Jangan Berwatak Keras!

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Agama Islam adalah agama yang penuh kelembutan, tidak tempramen dan tidak kasar. Islam terkenal dengan agama yang santun dan berakhlak mulia. Telah masyhur hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam terdengar oleh kita. Beliau bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 8595)

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ۬

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qolam : 4)

Sehingga akhlak yang mulia dan agung, merupakan junjungan tertinggi yang harus dimiliki oleh setiap Muslim dan Muslimah. Dan akhlak yang mulia tidaklah dapat terealisasikan melainkan dengan adanya kelemah lembutan kepada sesama, mudah dalam bergaul dan bermuamalah serta tidak tempramen serta kasar terhadap sesama. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu..” (QS. Ali Imron : 159)

Sehingga sifat keras dan kasar yang bukan pada tempatnya adalah suatu hal yang hendaknya dijauhi dan dihindari. Mengingat ini bukan cara yang diajarkan oleh agama Islam. Bahkan dalam berdebat atau dialog sekalipun agama kita melarang untuk berlaku keras dan kasar. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُ ۥ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيُشۡهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلۡبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah [atas kebenaran] isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS. Al Baqoroh : 204)

Bahkan keras dalam berdebat termasuk di antara perkara kemunafikan yang harus dihindari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ

Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara tersebut ada pada dirinya maka dia menjadi orang munafik, dan apabila salah satu sifat dari empat perkara tersebut ada pada dirinya, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari kemunafikan hingga dia meninggalkannya: orang yang apabila berbicara dia bohong, dan apabila dia berjanji maka dia mengingkari, apabila dia memusuhi maka dia melakukan kekejian (dengan melampaui batas), dan apabila dia mengadakan perjanjian maka dia yang mulai membatalkannya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Bukhori No.2279, Ahmad No.6568, Abu Daud No.4068)

Ketika dia berdebat, maka ia akan berlaku kasar. Terlebih jika lawan debatnya mengunggulinya. Sehingga hal ini serupa dengan orang-orang munafiq. Tentunya yang seperti ini harus dijauhkan.

Dari ‘Aisyah radiyalllah ‘anha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang paling keras (gemar) dalam berbantah-bantahan.”
(Hadits diriwayatkan oleh Bukhori No.2277, Muslim No.4821 dan An Nasa’i No.5328)

Oleh karena itu, jangan sampai ada pada kita karakter, watak, dan tabiat yang keras dan kasar. Terlebih kepada orang-orang terdekat yang kita cintai. Kepada istri dan anak-anak, yang hak mereka sejatinya bukan untuk menerima sifat kasar dan kerasnya tabi’at yang kita punya. Begitupun istri kepada suami dan anak-anaknya, dan anak-anak kepada kedua orang tuanya.

Kendati sebagian manusia memiliki watak yang kasar. Tentunya watak dan tabiat itu dapat dirubah secara perlahan. Dengan berjalannya waktu dan zaman disertai dengan do’a dan kesungguhan untuk merubahnya.

 

إِنَّما العلمُ بِالتَّعَلُّمِ ، و إِنَّما الحِلْمُ بِالتَّحَلُّم

Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar, dan kelembutan diperoleh dengan berlatih untuk berlaku lembut.”
(Lihat Silsilah Al Ahaadits As Shahihah No.342)

Wallahul muwaffiq.

 

Zia Abdurrofi

Depok, 19 Rajab 1445H / 31 Januari 2024

Makna Tauhid dan Macam-Macamnya

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

(04 – Serial Aqidah)

 

MAKNA TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA

 

Setelah mengetahui tentang makna aqidah, sumber pengambilan aqidah, dan lain sebagainya. Maka ada perlunya kita mengetahui tentang “apa itu tauhid?” berikut dengan pembagiannya, sebelum nantinya kita perlu mengetahui pula tentang lawan dari tauhid berupa kesyirikan. Tentunya dengan mengetahui tauhid terlebih dahulu, akan mudah nantinya mengetahui segala macam bentuk kesyirikan.

Sebelum beranjak lebih jauh berbicara tentang tauhid, pertanyaan dasar yang mungkin terlintas. Apa bedanya tauhid dengan aqidah? Apakah sama antara tauhid dan aqidah?

Secara umum tidak ada bedanya antara tauhid dan aqidah keduanya dipakai dalam istilah aqidah islamiyah yang berarti keyakinan. Secara asal, tauhid dikhususkan hanya kepada Allah rabbul ‘alamin. Adapun aqidah dikhususkan untuk rukun iman dan perkara-perkara yang ghoib.

Sehingga dapat disimpulkan, segala macam tauhid termasuk perkara aqidah. Namun perkara aqidah belum tentu termasuk perkara tauhid. Karena terkadang perkara aqidah ada padanya bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Sehingga makna aqidah lebih luas dari makna tauhid.

Tauhid secara bahasa berasal dari kata
وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا

yang artinya, menjadikan sesuatu menjadi satu (mengesakan).

Secara istilah meyakini keesaan Allah dengan beribadah hanya kepadaNya serta mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Tauhid yang harus diyakini seorang muslim terbagi menjadi tiga. Yaitu,
1. Tauhid Rububiyyah
2. Tauhid Uluhiyyah
3. Tauhid Asma’ was Shifat

Ketiga tauhid ini bersumber dari penelitian terhadap dalil-dalil dari Al Qur’an. Di antara dalilnya Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam : 65)

 

Tauhid Rububiyyah ada pada ayat,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya.”

 

Tauhid Uluhiyyah ada pada ayat,

فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖ

Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya.

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat,

هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?.”

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat ini karena, makna dari ayat di atas adalah, “Engkau tidak akan mengetahui atau mendapati yang semisal dan sama dengan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatnya.” (Lihat penjelasan ini di kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah – hal 19)

Sehingga inilah di antara dalil dari pembagian tauhid. dan pembagian tauhid ini bukan termasuk dari perkara bid’ah karena tidak ada penjelasan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak hal yang dibagi atau disusun oleh para ulama, namun hal itu tidak ada di zaman Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya hal ini untuk memudahkan kaum muslimin dalam memahami aqidah mereka. Sama halnya seperti pembagian rukun-rukun sholat, syarat-syarat sahnya sholat. Apakah kita katakan ini bid’ah ? tentu tidak. Karena ini hanya sekedar washilah untuk ketaatan.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat berada pada lingkungan yang penuh dengan ilmu, sehingga mereka begitu faham dan mengerti apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terlalu membutuhkan pembagian seperti demikian. Sebuah perkataan yang disandarkan kepada Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu,

العِلْمُ نُقْطَةٌ كَثَّرَهَا الجَاهِلُوْنَ

Ilmu pada asalnya hanya satu titik, kemudian diperbanyak oleh orang-orang bodoh.” (Lihat Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi – Hal 3)

Yakni, ilmu di zaman para sahabat dahulu sedikit. Ketika zaman semakin jauh dari zaman para sahabat, semakin banyaklah kebodohan dan semakin harus banyak permasalahan-permasalahan yang diungkap.

Demikianlah tauhid dan macam-macamnya yang harus diketahui oleh seorang muslim, dan pembagian ini bukan termasuk dari perkada bid’ah. Untuk perinciannya masing-masing akan datang ditulisan selanjutnya In syaa Allah.

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

Depok, 4 Rabi’ul Awwal 1445/19 September 2023

——————————————

Sumber :

– Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi Karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Sumber Pengambilan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Tatkala seorang muslim berkeyakinan dengan sebuah aqidah, maka yang harus ia perhatikan adalah dari mana ia mengambil sumber aqidah tersebut. Karena tidak semua aqidah itu haq adanya. Terdapat banyak sekali aqidah-aqidah menyimpang, yang sama sekali mereka tidak berpedoman kepada sumber yang benar. Sehingga harus menjadi skala prioritas bagi kita untuk mengetahui sumber pengambilan aqidah yang benar.

Aqidah sifatnya adalah tauqifiyyah, yakni aqidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan adanya dalil. Murni perkara aqidah bersumber dari dalil Al Qur’an dan juga As Sunnah. Sehingga sama sekali tidak ada ruang ataupun celah untuk akal ikut serta dalam mengatur perkara aqidah ini.

Sumber pengambilan aqidah yang benar adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Karena tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentangnya kecuali Allah Ta’ala dan tidak ada yang lebih mengetahui pula setelah Allah melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang diyakini oleh Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka. Apa saja yang diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tentang Allah, mereka akan beriman dan mengamalkannya. Sebaliknya, apapun yang tidak diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah mereka menafikannya.

Dengan kita berpegang dengan prinsip di atas tidak akan terjadi perbedaan dalam masalah aqidah. Karena Allah Ta’ala menjamin bagi siapa yang berpegang kepada kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, akan terus bersatu.


Allah Ta’ala berfirman :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ..

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imron : 103)


Allah juga berfirman :

فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ 

…Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha : 123)


Berkata Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah :

Tatkala sebagian orang membangun aqidah mereka dari selain Al Qur’an dan As Sunnah, dari ilmu kalam dan ilmu mantiq yang diwariskan dari filsafat yunani. Terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam masalah keyakinan, perpecahan dalam barisan mereka, serta hancur lah masyarakat islam karena sebab tersebut.”(Lihat Aqidatut Tauhid Hal 12)


Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kita harus menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber adalah firman Allah Ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِن وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلا مُّبِينا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Riwayat Al Hakim dalam Mustadrok dan dishahihkan Syaikh Al Albani).


Sebagai tambahan faidah, ada sebagian orang yang hanya mencukupkan diri dengan Al Qur’an saja. Adapula yang mencukupkan diri dengan As Sunnah saja. Hal ini tentu keliru. Karena Allah Ta’ala mengkolerasikan antara sunnah Rasul-Nya dengan kitabnya di banyak dalil. Bahkan mewajibkan hamba-Nya untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan Sunnah Rasul adalah penjelas makna Al Qur’an. Bagaimana mereka bisa mencukupkan hanya dengan Al Qur’an saja ?

 وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

…Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An Nahl : 44)

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

 

——————————————–

Sumber :

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Wajiz fi Aqidatissalafis Shaalih Karya Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary

Allah Beristiwa di Atas ‘Arsy

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Diantara keyakinan yang harus diyakini oleh setiap muslim. Bahwa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arsy. Demikianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun Sunnah. Bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy. Fitroh manusiapun sepakat meyakini bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy.

Terdapat tujuh dalil yang menerangkan dan menetapkan bahwasanya Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Berikut ini adalah dalil-dalilnya, Allah berfirman :

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.”[Al ‘Arof : 54]

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy?” [Yunus : 3]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy” [Ar Ra’d : 2]

 

﴿ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia istiwa di atas ‘Arsy”[Al Furqon : 59]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.”[As Sajdah : 4]

 

﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.” [Al Hadid : 4]

 

﴿ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥﴾

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thoha : 5]

 

Perhatikanlah ! kesemua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah istiwa di atas ‘Arsy. Kesemuanya senada dalam menetapkan Allah di atas ‘Arsy dengan kalimat “Beristiwa di atas ‘Arsy”.

Sehingga yang dapat difahami dari dalil-dalil di atas adalah makna secara hakiki. Bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Tidak mungkin bisa ditakwil (dirubah/diselewengkan) ke makna yang lainnya.

Istiwa secara bahasa (etimologi) terdapat empat makna. Yaitu,

عَلاَ – اِرْتَفَعَ – صَعِدَ – اِسْتَقَرَّ

Yang kesemua maknanya artinya adalah di atas. Para ulama ketika mereka menafsirkan makna istiwa, maka mereka kembali kepada keempat makna ini.

 

Adapun secara istilah (terminology) artinya adalah : Sifat berupa perbuatan khusus hanya milik Allah, yang sesuai dengan kemuliaannya dan keagungannya.

Sehingga dari sinilah kita harus mengimani dan meyakini bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Kendati sebagian ada yang mentakwil arti istiwa menjadi istawla yang artinya berkuasa atau menguasai. Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal akibatnya. Dengan keyakinan ini, seseorang bisa membatalkan dalil-dalil di atas dan menyelisihi yang diyakini oleh kaum muslimin dari dahulu hingga sekarang.

Diantara kefatalan dari pemahaman yang mentakwil menjadi istawla adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Daud bin ‘Ali Al Asbahaniy, beliau berkata : “Aku pernah bersama Ibnul Araby, kemudian datanglah seseorang,

seraya berkata : “Apa makna dari ayat ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ (“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”) ?

Ibnul Araby pun lantas menjawab : “Allah berada di atas ‘Arsy nya sebagaimana yang telah dikabarkan (dalam Al Qur’an).”

Orang itupun menjawab : “Wahai Abu Abdillah (Kunyah Ibnul Araby), makna yang benar adalah Istawla (menguasai).” Ibnul Araby menjawab : “Apa yang membuatmu berpendapat demikian ?, tidaklah engkau mengatakan Istawla (berkuasa) melainkan karena ada lawan sebelumnya, siapa yang menang maka dialah yang menguasai.” (Lihat : Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Mandzur 14/414, dinukil dari kitab Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hal 101).

Sehingga jika istawa ditakwil menjadi istawla, seolah-olah kita mengatakan bahwa tuhan itu berbilang. Seolah-olah kita mengatakan Allah memenangi peperangan dengan tuhan yang lain sebelum Allah menguasai ‘Arsy. Inikah yang engkau yakini ? Sungguh! Teramat buruk keyakinan yang demikian.

 

Ketahuilah ! bahwa takwil istiwa menjadi istawla (menguasai arsy) merupakan takwil yang batil dari beberapa sisi;

Pertama, Takwil ini adalah takwil yang bid’ah! Tidak ada sebelumnya dari kalangan para sahabat ataupun tabi’in yang mereka menafsirkan ayat tersebut dengan istawla. Dan yang pertama kali mentakwil ayat itu adalah Jahmiyyah dan Mu’tazilah.

Kedua, Kalau maksud dari istiwa adalah istawla (menguasai), maka dapat kita simpulkan tidak ada perbedaannya antara ‘Arsy (makhluk Allah yang agung), dengan bumi yang paling bawah. Secara jika ditakwil menjadi istawla maknanya tidak lagi berada di atas. Maka apa faidahnya disebutkan ‘Arsy jika tidak ada bedanya dengan bumi yang paling bawah ?

Ketiga, Di dalam Al Qur’an dan Sunnah semua lafadz menggunakan lafadz Istiwa dan tidak ada satupun yang menggunakan istawla. Andaikata ada satu saja lafadz istawla maka kita bisa mengimani hal tersebut. Nyatanya tidak ada satupun lafadz istawla sebagai penafsir dari istiwa.

Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan bagi mereka yang mentakwil makna istiwa menjadi istawla. Intinya yang harus kita Imani bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy demikianlah yang sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

 

Catatan :

Seringkali kata Istiwa diterjemahkan menjadi bersemayam. Bahkan sudah dari dulu digunakan terjemah ini. Alangkah baiknya terjemah ini ditinggalkan dan cukup menggunakan lafadz Istiwa, mengingat ada ketidak sesuaian makna antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia dalam hal ini.

Tidak mengapa lafadz tersebut diucapkan ketika memang orang lain tidak faham akan makna Istiwa sehingga harus ada bahasa padanan yang menggantikannya. Kendati bersemayam tidak mewakili makna dari Istiwa itu sendiri.

Namun tentu yang terbaik adalah mengganti terjemahan bersemayam cukup dengan menyebutkan Istiwa. dan ketika menterjemahkan ayat pula, harus disebutkan lafadz istiwanya. Karena Istiwa adalah termasuk perbuatan Allah yang harus ditetapkan. Begitupun Tinggi termasuk sifat dzatiyyah bagi Allah yang harus ditetapkan pula.

Sehingga kurang tepat jika dikatakan, “Allah di atas ‘Arsy” saja tanpa menggunakan Istiwa, katakan “Allah Istiwa di atas ‘Arsy”.

 

Wallahu’alam.

Wabillahittaufiq,

Zia Abdurrofi

 

Referensi :

Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah (cet. Daarul ‘Ashimah Tahun 1425H) Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan.

Penjelasan Tentang Makna Aqidah

Aqidah secara bahasa diambil dari kata Al ‘Aqdu. Yang artinya ikatan atau mengikat sesuatu. Dimaknai pula, yaitu segala hal yang manusia beragama dengannya. Seperti ucapan orang arab : Ia memiliki aqidah yang baik. Artinya, selamat dari keraguan.

Aqidah adalah amalan hati dan tempatnya dihati berupa keyakinan dan kepercayaan.

Adapun secara istilah adalah keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan beriman terhadap suatu hal yang diwajibkan kepada hamba berupa tauhid (iman kepada Allah), Iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Begitupun beriman kepada segala cabang dari pondasi keimanan di atas.

Inilah yang dinamakan dengan aqidah, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan juga beriman kepada rukun iman yang enam. Sehingga mengetahui ke enam hal diatas beserta perinciannya merupakan hal yang dituntut dalam agama kita.

Perlu diketahui ada beberapa nama lain dari aqidah, beberapa penamaan yang disebutkan oleh para ulama. Diantaranya adalah As Sunnah sebagai pembeda dari Aqidah yang jauh dari kebenaran. Karena aqidah yang shahih adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Diantara penamaannya, Ushuluddin (pokok/asas agama). Karena Aqidah berkaitan dengan pokoknya agama, sehingga sah atau tidaknya amalan tergantung dari Aqidah yang seorang hamba yakinin dan imani. Dari sinilah Aqidah dinamakan Ushuluddin.

Diantara nya juga ada Fiqhul Akbar para ulama menamakan Aqidah dengan Fiqhul Akbar karena Aqidah kembali kepada pokok agama. Sedangkan amalan-amalan dinamakan dengan Fiqhul Ashgar karena amalan-amalan sebagai cabang dari hal yang pokok. Al Imam Abu Hanifah memiliki kitab yang berjudul Al Fiqhul Akbar padanya terdapat penjelasan tentang masalah Aqidah dan bukan masalah Fiqh yang sifatnya ‘Amaliyyah.

Secara garis besar syariat agama Islam terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Perkara I’tiqodiyah

Yakni, segala hal yang tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Perkara I’tiqodiyah berkaitan dengan keyakinan, inilah yang disebut dengan aqidah. Seperti beriman kepada Allah dan wajib beribadah hanya kepadanya. Hal ini tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Ini dinamakan juga dengan perkara ushuliyyah.

2. Perkara ‘Amaliyyah

Yakni, segala perkara atau hal yang berkaitan dengan amal. Seperti contohnya salat, zakat, puasa dan segala hukum-hukum yang sifatnya amal. Ini dinamakan juga dengan perkara furu atau cabang karena amal ini tergantung dengan aqidah yang benar.

Sehingga aqidah yang benar merupakan asas atau pokok yang dengannya amalan dapat diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَن كَانَ يَرجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦفَليَعمَل عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشرِك بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦ أَحَدَا

Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surat Al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman :

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (Surat Az-Zumar : 65)

Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya segala bentuk amalan tidak akan diterima melainkan jauh dari segala macam bentuk kesyirikan. Dan dari sinilah terlihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mementingkan perkara aqidah terlebih dahulu tatkala beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan meninggalkan penyembahan selain dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah ṭāgūt, ” (Surat An-Nahl : 36)

Semua rasul yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala utus ke muka bumi ini yang pertama kali mereka dakwahi kaumnya adalah berkaitan tentang aqidah dan tauhid.

Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Mekah selama tiga belas tahun lamanya mengajak manusia kepada tauhid dan perbaikan aqidah. Karena perkara aqidah sekali lagi adalah perkara pokok yang dengannya dibangun sebuah agama.

Wabillahit taufiq.

 

Zia Abdurrofi

Bogor, 13 Juli 2023

 

Referensi :
– Aqidatut tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan. Cet. Daarul Ashimah
– Tahdzib Syarah Tashil Aqidah Al Islamiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin rahimahullah.
– Dan lain lain.

JANGAN LUPUT! TUNAIKAN HAK ALLAH INI

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Amma Ba’du..

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Di antara hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim bahwasanya aqidah adalah perkara yang sangat penting. Di karenakan perkara aqidah amat erat kaitannya dengan hak-hak Allah yang harus kita tunaikan sebagai seorang hamba yang berjalan di muka bumi ini.

Suatu ketika, sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu perjalanan. Lalu Nabi bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu.

«يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟» قَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «أَنْ يُعْبَدَ اللهُ وَلَا يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ»، قَالَ:«أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟» فَقَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:«أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ»

Wahai Mu’adz , apakah engkau mengetahui hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba ?.” Mu’adz menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya seorang hamba menyembah Allah dan tidak menyukutukannya dengan sesuatu apapun.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya : “Apakah engkau mengetahui hak para hamba tatkala mereka telah mengerjakan hal tersebut ?”. Muadz kembali menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yaitu , Allah tidak mengadzab mereka” (tatkala mereka menyembah Allah dan tidak berbuat kesyirikan).[1]

Hadits di atas menunjukkan akan urgensinya ilmu Aqidah. Sehingga Nabi mendahulukan hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Begitupun di hadits yang lain, tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman. Maka yang diperintahkan oleh nabi untuk di dakwahkan pertama kali adalah ‘Aqidah , setelah itu baru sholat dan lain lainnya. Dikarenakan ‘Aqidah berkaitan dengan hak Allah Ta’ala yang wajib kita tunaikan sebagai seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman :

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu” (Qs : Muhammad : 19)

Ini adalah ilmu yang Allah perintahkan -yakni ilmu tauhid (aqidah)- hukumnya wajib atas setiap manusia tanpa terkecuali. Bahkan seluruh makhluq diharuskan untuk mengetahuinya.”[2]

Dan metode atau cara untuk kita mengetahui Aqidah yang benar , bahwasanya tiada ilaah yang berhak di ibadahi dengan benar ada beberapa metode, diantaranya :

– Mentadabburi nama , sifat sifat dan perbuatan Allah. Yang itu semua menunjukkan akan kesempurnaan-Nya , kebesaran-Nya , kemuliaaan-Nya.

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala adalah yang Maha Esa dengan segala penciptaan dan mengatur (alam semesta).

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa atas segala nikmat yang diberikan. Baik secara dzohir (terlihat) atau baathin (tersembunyi) baik secara agama ataupun dunia.

– Dengan kita melihat dan mendengar balasan berupa pahala bagi para wali-wali Allah yang merealisasikan tauhid, dimana mereka Allah balas dengan pertolongan dan nikmat yang di segerakan. Begitupula, dengan kita melihat dan mendengar hukuman bagi orang orang yang menyekutukan Allah. Dengan dua hal itu , lebih membawa kita untuk mengetahui bahwa dialah Allah yang Maha Esa. Yang berhak untuk diibadahi secara totalitas.

– Mengetahui sifat-sifat dari berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan yang di sembah selain Allah dan dijadikan sebagai Ilaah. Mengetahui , bahwa itu semua diliputi oleh kekurangan dari segala arah. Kurang dari sisi dzatnya , sesembahan itu tidak dapat menguasai dirinya sendiri apalagi untuk para penyembahnya begitupun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot.

Kitab kitab yang Allah turunkan bersepakat dan bersatu padu atas wajibnya mengetahui dan mengesakan Allah.[3]

Demikianlah beberapa poin yang hendaknya dijadikan patokan bagi kita sekalian untuk mempelajari Aqidah ini. Yang mana dengan aqidah ini dapat di tentukan kehidupan seseorang. Apakah ia termasuk orang yang berbahagia atau tidak.

Dikarenakan diterimanya amalan atau tidak bergantung pada Aqidah ini. Sekiranya ia beraqidah dengan aqidah yang benar, kelak syurga ganjarannya. Kalau ia berbuat syirik atau menyukutukan Allah dengan sesuatu apapun bahkan dengan seekor lalat sekalipun. Maka neraka lebih berhak untuk ia proleh pada hari kiamat nanti.

Sebagian ulama memuthlakkan penamaan aqidah dengan “Ushulud Din” dikarenakan agama ini terbagi menjadi dua hal : Yaitu , ‘I’tiqodiyyat dan ‘amaliyyat. ‘i’tiqodiyyat adalah yang berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Adapun ‘amaliyyat adalah yang berkaitan dengan hukum hukum atau amalan amalan. Seperti sholat , zakat , haji, jual beli dan lain lain. Dan ‘amaliyyat ini di sebut dengan furu’ (cabang) adapun ‘i’tiqodiyyat disebut dengan ushul (akar/pondasi).

 

Sebuah sya’ir mengatakan :

و بعد فاعلم أن كل العلم

كالفرع للتوحيد فاسمع نظمي

لأنه العلم الذي لا ينبغي

لعاقل لفهمه لم يبتغ

Maka ketahuilah , bahwa seluruh ilmu

Ibarat cabang dari ilmu tauhid , maka dengarlah bait syairku

Karena ilmu tauhid adalah ilmu yang mengharuskan

Bagi seorang yang berakal untuk memahaminya, walau ia tidak di minta (untuk memahaminya).[4]

 

Maka ilmu ilmu yang berkaitan dengan sholat, zakat, puasa atau yang lainnya. Itu adalah cabang dari ilmu aqidah. Dan Aqidah adalah semulia mulianya ketaatan. Mengingat baiknya aqidah adalah syarat diterimanya ibadah. Tatkala aqidah rusak maka ibadah tersebut pun tak di terima.

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:

فاعلم أن العبادة لا تسمى عبادة إلا مع التوحيد كما أن الصلاة لا تسمى صلاة إلا مع الطهارة. فإذا دخل الشرك في العبادة فسدت كالحدث إذا دخل في الطهارة

Maka ketahuilah!, bahwasanya ibadah tidak di anggap sebagai ibadah melainkan dengan adanya Tauhid (aqidah). Ibarat sholat , tidak dikatakan sebuah sholat itu sah melainkan dengan adanya kesucian (wudhu) terlebih dahulu. Maka , ketika kesyirikan masuk kedalam sebuah ibadah niscaya ibadah itupun akan sirna. Sebagaimana tatkala hadats ada pada sebuah kesucian.”[5]

Diantara urgensi mempelajari aqidah[6] :

– Aqidah adalah ilmu agama yang paling penting.

– Dengan mempelajari aqidah , dapat meluruskan keyakinan yang rusak.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, dapat menjaga seseorang dari kesyirikan.

– Aqidah adalah semulia mulia dan seagung agungnya ilmu.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, menambah rasa takut seseorang dan menjauhkan dari perbuatan maksiat.

– Aqidah yang benar dapat melindungi diri dari perkara syubhat.

Wabillahit Taufiq,

 

Zia ‘Abdurrofi

 

Referensi :
-‘Aqidatut Tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah

– Taisir Karimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalamil Mannan Karya Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah.

– Qowa’idul Arba’ Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

– Syarh Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyyah Karya Prof.Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin

– Website alukah.net

——————————–
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori No.7373 dan Al Imam Muslim No. 30. Dibawakan pula dalam Kitabut Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.
[2] Lihat kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[3] Diringkas dari kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[4] Footnote kitab Syarh Tashil Al Aqidah Al Islamiyah Hal 32 – Karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin (Dosen Fakultas Tarbiyah Di Universitas Malik Su’ud Kota Riyadh, Saudi Arabia)
[5] Lihat di Muqoddimah kitab Qowa’idul Arba’ – Karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
[6] Di nukil dari tulisan Dr. Robi’ Ahmad di website alukah.net

Buah Manis Bertauhid (Part 2)

Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona & merupakan sambungan dari Buah Manis Bertauhid.

Kembali kita ingat bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Perintah yang paling besar yang Allah embankan kepada manusia adalah bertauhid. Oleh karenanya, mereka yang melanggar tauhid alias menyekutukan Allah, berarti orang ini telah melakukan perbuatan dosa yang terbesar dibandingkan dosa-dosa yang lainnya.

Kali ini kita akan berbicara tentang apa itu buah manis dari tauhid?

  1. Seorang yang bertauhid yang menjauhkan dirinya dari kesyirikan maka mereka dijamin oleh Allah mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat serta dijamin oleh Allah akan mendapatkan petunjuk.

Petunjuk adalah suatu perkara yang sangat diinginkan dalam setiap lini kehidupan kita. Tidak hanya dalam perkara bagaimana cara kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi setiap perkara yang terkait dengan masalah dunia juga kita butuh petunjuk dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, kita butuh pekerjaan dan kita menginginkan pekerjaan yang paling nyaman dan cocok untuk kita, maka kita mohon kepada Allah. Oleh karena itu, petunjuk adalah perkara yang paling urgen dalam setiap gerakan dan ucapan kita.

Apabila seseorang tidak memperdulikan petunjuk dalam perkataan dan perbuatan mereka, maka tidak ada tempat yang layak untuknya kecuali neraka. Makanya seorang yang bertauhid itu dijamin Allah Subhanahu wa Ta’ala aman dan dijamin Allah mendapatkan petunjuk dariNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82).

Ini merupakan buah yang luar biasa. Allah menyebutkan,

“…dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik)…”

Zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Pada zaman Rasulullah ﷺ, ketika turun ayat ini dan para shahabat  mendengar ayat ini, maka apa kata mereka ?

“Ya Rasulullah, apa ada di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim? Tidak ada di antara kami yang tidak berbuat zhalim, pasti pernah. Jadi kalau orang yang berbuat zhalim tidak berhak mendapatkan keamanan, tidak berhak mendapat hidayah ya Rasulullah ?

Satu hal yang mengkhawatirkan para shahabat, lantas Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Ini juga yang disebutkan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya ketika memberi nasihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم…..

“…‘Wahai anakku! Jangalah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar’ (QS. Lukman : 13)

Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-‘Anbiya ayat 103,

لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ

“Kengerian besar (Hari Kiamat) tidak membuat mereka gundah,…”

Orang-orang yang bertauhid tidak akan merasa susah pada hari kiamat.

وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ…

“…dan para malaikat menyambut mereka…”

Mereka disambut oleh para malaikat dan ini hanya untuk orang yang bertauhid.

هَٰذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ…

“…(Malaikat berkata), ‘Inilah hari kalian yang telah dijanjikan kepada kalian’ (QS. Al-Anbiya’ : 103)

Mereka mengatakan, ini adalah hari yang pernah dijanjikan untuk kalian.

 

  1. Seorang yang bertauhid ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dikarenakan apapun maka orang ini berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Orang yang paling beruntung mendapatkan syafa’atku di hari kiamat yaitu mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah ikhlas dan murni di hatinya bukan karena paksaan melainkan murni karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Inilah orang yang paling berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

 

  1. Seorang yang bertauhid tidak akan kekal di dalam neraka.

Manusia bukanlah makhluk yang suci yang tidak ada kesalahannya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”

Makanya tidak ada anak Adam yang tidak pernah berbuat salah, termasuk orang yang bertauhid. Namun, sebesar-besarnya dosa seorang yang bertauhid, kalaupun Allah tidak ampuni dosanya hingga dia masuk neraka, dia tidak akan kekal di dalam neraka. Beda halnya dengan seorang yang tidak bertauhid, mereka akan kekal dalam neraka selama-lamanya karena Allah tidak akan mengampuni dosanya. Dosa besar selain syirik masih ada kemungkinan untuk Allah ampuni jika Allah kehendaki. Berarti, ada yang dikehendaki Allah untuk diampuni dan ada juga yang tidak dikehendaki hingga tidak diampuni dosanya. Dan mau tidak mau dia harus masuk ke neraka.

Tapi ingat, azab dia tidak sama dengan orang yang kafir karena suatu saat dia akan keluar dari api neraka. Jangan ada satupun di antara kita yang ingin masuk neraka karena azab neraka yang paling ringan adalah dia memijak api neraka lalu otaknya menggelegak.

Seorang yang bertauhid tidak akan kekal dalam api neraka. Apa dasarnya? Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala selesai menetapkan hukuman-hukuman kepada para hambaNya lantas Allah ingin mengeluarkan penduduk neraka dari api neraka dengan rahmatNya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada malaikat untuk mengeluarkan siapa saja yang tidak pernah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, itupun memang orang yang Allah rahmati yaitu dari orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah.”

Para malaikat mengetahui mana yang layak untuk dikeluarkan dengan syarat dan ketetapan yang berlaku yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Darimana para malaikat tahu ? Mereka tahu penduduk-penduduk neraka yang layak keluar dari api neraka dari bekas sujud mereka.

“Karena Allah telah mengharamkan api neraka membakar bekas sujud yang  ada di tubuh anak Adam. Maka mereka pun keluar dan mereka sudah gosong. Dan dituangkanlah kepada mereka air, dimandikan mereka. Yang dikatakan air kehidupan.”

Jadi, orang-orang yang bertauhid tetap akan dikeluarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari api neraka. Tapi ingat, jangan ada di antara kita yang mengidam-idamkan masuk neraka karena tidak enak masuk neraka. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Didatangkan seseorang yang paling memiliki kehidupan yang paling bahagia di muka bumi. Memiliki segalanya apa saja yang dia inginkan dia bisa lakukan. Intinya yang paling bahagia di dunia. Lantas dia dicelupkan dalam api neraka sekali celup saja. Lantas ditanyakan, ‘Ya fulan, apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?’ Katanya, ‘Demi Allah tak pernah ya Allah’

Bayangkan, seumur hidup dia bahagia di muka bumi, tapi sayangnya dia termasuk penduduk neraka lalu dicelupkan sebentar saja ke dalam neraka. Lantas, ditanyakan apakah engkau pernah merasakan kebahagiaan ? Katanya, ‘tidak pernah ya Allah’. Makanya jangan ada di antara kita yang sempat masuk neraka, upayakan langsung masuk ke dalam surge-Nya Allah.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan dia ingkari semua sekutu-sekutu Allah.

Dia tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan dia tujukan seluruh jenis ibadah hanya kepada Allah maka haram hartanya dan jiwanya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah dan menegakkan sholat, dan membayar zakat. Kalau mereka lakukan itu semua maka terpeliharalah dariku darah dan harta mereka kecuali haknya islam, hisabnya ada pada Allah”

Jadi ada hak Islam yang memang harus kita keluarkan dari harta kita dengan zakat. Demikian juga ada seorang muslim, dia sudah bertauhid, maka mau tidak mau, halal darahnya dikarenakan sesuatu pelanggaran yang dia lakukan. Pelanggaran apa itu ? Rasulullah ﷺ bersabda,

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali tiga hal yaitu seorang yang sudah berumah tangga namun dia berzina,…”

Halal darahnya yang berarti dia di hukum mati (razam).

“…mereka membunuh orang lain,…”

Maka dia boleh diqishash yang artinya boleh dihukum mati.

“…mereka meninggalkan agama Islam dan meninggalkan jamaah kaum muslimin.”

Tiga orang ini halal darahnya. Oleh karenanya, seseorang yang sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan Muhammadur Rasulullah, terpeliharalah darah dan hartanya kecuali hak Islam.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hatinya cahaya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 122,

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…” (QS. Al-An’am : 122)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwasanya orang yang bertauhid itu akan diberikan cahaya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cahaya dalam kehidupannya bahkan nanti cahaya di akhirat. Bahkan Allah menyebutkan orang yang bertauhid itu dikatakan orang yang hidup. Perhatikan,

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan…”

Maksud mati di sini adalah orang kafir yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang musyrik yang tidak mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadatannya, maka dia dianggap mati. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah kepada mereka, maka itu adalah awal daripada kehidupan mereka. Allah beri mereka cahaya, dan sebesar apa cahaya mereka ? Semakin kuat tauhid mereka maka semakin dahsyat cahaya mereka. Makanya orang-orang mukmin itu ada yang cahayanya terang benderang bagaikan matahari, ada yang cahayanya bagaikan rembulan, ada yang cahayanya bagaikan bintang, ada yang bagaikan pelita yang terang dan semua ini tergantung sejauh mana tauhid yang ada pada diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 12-13,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَىٰ نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman; laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kalian kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang agung’.”

“Pada hari orang-orang munafik; laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman (ketika mereka meniti ash-Shirath), ‘Tunggulah kami! Biar kami mendapat secercah dari cahaya kalian.’ (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian).’ Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu; yang dari sebelah dalamnya (di tempat orang-orang Mukmin) adalah rahmat dan di sebelah luarnya (di tempat orang-orang munafik) adalah azab.” (QS. Al-Hadid : 12-13).

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah berikan dalam hatinya rasa benci kepada kemungkaran.

Semakin benci seorang kepada kemungkaran maka itu merupakan tanda semakin tebal tauhidnya dan semakin mantap keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 7,

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ…

“…Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hati kalian…”

Bagaimana?

كَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

“…serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan…” (QS. Al-Hujarat : 7)

Coba kita lihat sabda yang sering kita dengar, Rasulullah ﷺ,

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubah dengan tangannya, kalau tidak sanggup dengan lisannya, kalau tidak sanggup dengan hatinya.”

Bagaimana dengan hati ini ? Dia jangan berada dalam majelis kemungkaran tersebut. Harus dia tinggalkan karena itu menunjukkan bahwa dia benci melihat kemungkaran tersebut. Makanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Janganlah kalian duduk yang disitu dihidangkan khamrnya.”

Apabila dengan kuasa tidak bisa, dengan lisan juga tidak bisa, dan hatinya juga tidak bisa, maka tidak ada keimanan di hatinya. Keimanan apa maksudnya? Apakah keimanan mutlak ? Tidak, akan tetapi keimanan di sini dalam masalah kemungkaran yang tidak dia bemci sehingga dia dikatakan tidak mempunyai keimanan dalam hal tersebut. Makanya, semakin tebal keimanan seseorang maka semakin benci dia dengan seluruh kefasikan dan keburukan. Ini juga bisa sebagai barometer untuk hati kita.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah mudahkan dia dalam menghadapi berbagai macam permasalahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا…

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” (QS. Ath-Thalaq : 2).

Orang yang bertakwa tanpa tauhid itu bukan takwa Namanya. Karena yang dikatakan takwa adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang paling diperintahkan dalam Islam adalah tauhid dan yang paling dilarang dalam Islam yaitu syirik. Makanya seorang tidak dikatakan bertakwa kecuali dia bertauhid. Barangsiapa yang bertauhid dan bertakwa kepada Allah maka tidak hanya jalan keluar dari masalah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 3,

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka…”  (QS. Ath-Thalaq : 3).

Apalagi dalam keadaan wabah seperti ini, di mana kita dianjurkan di rumah saja, tidak berkumpul-kumpul, menjauh dari keramaian dan kita lihat tempat-tempat mulai sepi sehingga mereka yang biasa berdagang keliling menjadi sepi, omzetnya turun. Ketauhilah bahwa seorang yang bertauhid tidak akan membuat hal itu menjadi kekesalan pada dirinya. Karena itu semua kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, di balik itu Insya Allah ada hikmahnya.

Mungkin di antara hikmahnya adalah pedagang yang tadinya keliling mulai dari pagi sampai petang bahkan mungkin pulangnya malam sehingga tidak sempat bertemu keluarga, sekarang Allah berikan anda kesempatan 24 jam untuk bersama keluarga. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan anda dan keluarga dengan orang yang anda cintai. Jadi, jangan kesal. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan sesuatu ada hikmah di baliknya.

Orang yang bertakwa selalu mengambil hikmah dari ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masalahnya selalu ada jalan keluar, dan itu merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaupun anda berpindah dari satu usaha ke usaha berikutnya, jangan anda merasa piawai karena sanggup mengubah usaha ke usaha berikutnya sesuai kondisi. Itu semua merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan karena kehebatan anda.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat menjadi pemimpin dan Allah akan mantapkan kedudukannya di dunia.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur ayat 55,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama mereka yang telah Dia ridhai, dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa;…” (QS. An-Nur : 55).

Ingat buah tauhid yang lalu yaitu rasa aman. Kami akan ubah rasa takut mereka jadi rasa aman dengan syarat ?

….يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“…mereka beribadah kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun denganKu…” (QS. An-Nur : 55).

Jadi, orang-orang yang bertauhidlah yang akan diangkat menjadi pemimpin di muka bumi ini, yang mantap kedudukannya dan yang aman dari segala ketakutan, itulah orang-orang yang bertauhid.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah seorang yang sejahtera, bahagia di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 30-31,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian bersedih hati; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepada kalian.’ Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kalian memperoleh apa yang diinginkan oleh diri kalian dan di dalamnya kalian juga memperoleh apa yang kalian minta…” (QS. Fushilat : 30-31)

Bayangkan, Allah membacking kehidupan dia di dunia dan akhirat. Apakah ada backing yang lebih kuat ketimbang backing Rabbul ‘Alamin ? Makanya, orang-orang yang bertauhid selalu bahagia kehidupannya, di dunia dan di akhirat. Bahagia tidak harus dengan banyak harta, karena apabila orang yang banyak harta bahagia maka Qorun lah orang yang paling bahagia. Ternyata Qorun telah Allah benamkan dalam bumi karena kekurangajarannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Qashash ayat 78,

“… ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’…”

Harta yang sekian banyak aku dapati dikarenakan kehebatanku, kepiawaianku, dan ilmuku.

Maka, karena kedurhakaannya inilah Allah benamkan dia ke dalam bumi. Kalau harus punya jabatan baru bahagia maka Fir’aun lah orang yang bahagia, tapi kita lihat bagaimana akhir hidupnya, Allah benamkan dia ke dalam sungai.

Jadi, orang yang paling bahagia adalah orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau mereka bahagia, mereka bersyukur maka itu baik untuk mereka. Kalau mereka ditimpa musibah, mereka bersabar maka itu baik untuk diri mereka. Itulah luar biasanya kondisi orang-orang yang bertauhid.

Begitulah ada sembilan hal buah manis dari tauhid. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid dan mengumpulkan kita dalam surga-Nya kelak.

Buah Manis Bertauhid (Part 1)

Bertauhid- Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona & merupakan sambungan dari Apa Yang Kau Jadikan Pondasi?.

Pada kajian yang lalu kita telah membahas terkait dengan hakikat tauhid. Kemudian kita akan membahas terkait dengan buah dari tauhid itu sendiri. Buah ini tidak akan kita rasakan, kecuali kita telah menghujamkan dalam hati kita seberapa penting masalah tauhid tersebut. Karena, seorang akan memfokuskan dan menaruh perhatiannya kepada sesuatu apabila dia merasa ini merupakan suatu hal yang penting. Apalagi perkara tersebut adalah perkara yang paling penting dalam kehidupan seorang manusia. Jika ini telah dia lakukan, tentu perhatiannya dan seluruh pikirannya akan fokus dengan masalah ini. Sehingga dia bisa merasakan hasil daripada apa yang sedang dia perhatikan. Oleh karena itu, sebelum kita membahas terkait dengan buah dari tauhid, tentunya kita harus memahami, mengetahui, dan meyakini serta menghujamkan hal-hal ini dalam hati kita tentang seberapa pentingnya masalah tauhid.

Sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah atau untuk mentauhidkan Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Kalau kita lihat ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang terkait dengan masalah tauhid, kita bisa simpulkan beberapa hal penting tentang masalah tauhid. Di antaranya yaitu:

  1. Allah menciptakan manusia untuk bertauhid kepada-NYA

Hal ini sudah kita bahas

  1. Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah mengambil perjanjian dari anak-anak adam tentang masalah tauhid ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?Mereka menjawab, ‘Betul, kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini’,”

Saya dan anda termasuk yang pernah ditanya, sebagaimana firman Allah diatas. Coba perhatikan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil perjanjian dari kita. Allah tidak mengambil perjanjian masalah usaha kita, tidak mengambil masalah amanah yang harus kita lakukan, tidak mengambil perjanjian dari usaha yang akan mungkin kita lakukan, tapi ada yang jauh lebih penting yaitu Tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Ini perkara yang terpenting di atas semua perkara yang terpenting, karena tidak ada perkara yang lebih penting dibandingkan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  1. Misi utama seluruh Rasul adalah agar manusia bertauhid kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada seorang Rasul pun kecuali misi utamanya adalah menegakkan kalimat “laa ilaha illallah” seluruhnya tanpa terkecuali.

Di kajian lalu telah kita bahas, ada orang-orang yang mengatakan bahwasanya Nabi mereka telah menyuruh kaumnya untuk menyembahnya. Tapi ternyata ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat tentang Nabi Isa, Allah bertanya kepada Nabi Isa,

Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?’ Nabi Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau

مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهٖٓ

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (QS. Al-Maidah : 116-117)

Apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi Isa? Tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala), tidak ada yang lain. Kalau ada yang menyembah Nabi Isa, menyembah ibunya kemudian dia katakan ini adalah agama yang dibawa oleh Nabi Isa maka dia telah berbohong. Ketahuilah bahwasanya Allah telah mengatakan,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا فَٱعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (QS. Al-Anbiya : 125)

 

  1. Untuk menegakkan tauhid, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab.

Atau yang kita sebut dengan kitab-kitab suci. Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit seperti Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an mempunyai misi yang sama seperti misi diutusnya para Rasul, yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di kajian lalu telah kita bahas bahwasanya Al-Qur’an itu semua isinya adalah tauhid. Terkait dengan nama, sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana para wali Allah, para Nabi Allah mengajak kaum manusia untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana  perlakuan Allah terhadap orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana ganjaran yang Allah berikan kepada orang yang mentauhidkan Allah dan ganjaran yang menanti dia di hari akhirat. Terkait juga dengan orang yang menyekutukan Allah, hukuman dan bala serta bencana yang Allah turunkan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah. Juga menceritakan tentang azab yang luar biasa yang sedang menunggu dia nanti di hari kiamat yang lebih parah dan yang lebih dahsyat daripada azab yang Allah turunkan kepada mereka di dunia.

Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur. Itu seluruhnya untuk menjalankan, menegakkan misi kalimat ‘laa ilaha illallah’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Hud ayat 1 dan 2,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ

“Alif Lam Ra. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan sempurna serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha bijakssana lagi Maha Teliti, agar kalian tidak menyembah, kecuali Allah.”

Ayat pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan banyak permasalahan dan ayat-ayatnya adalah ayat yang muhkam, isinya diberi rincian oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Allah menyebutkan ayat berikutnya, jangan kalian menyembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah misi Al-Qur’an yang inti, dan ini juga misi seluruh kitab-kitab yang Allah turunkan dari langit. Misi utama adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

  1. Para Nabi dan Rasul memiliki misi mentauhidkan Allah.

Mereka punya misi, demikian juga para shahabat yang merupakan penerus misinya para Nabi dan Rasul. Shahabat meneruskan misinya Rasulullah ﷺ. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan shahabat Rasulullah itu sebagai penerus misinya Rasulullah, karena Allah menyebutkan tentang utusan-utusan Allah,

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah berdasarkan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik’.” (QS. Yusuf : 108)

Jadi, para Rasul dan Rasulullah ﷺ dan yang mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, misi utama dakwah mereka adalah bertauhid. Misi utama mereka adalah menegakkan kalimat ‘laa ilaha illallah’, tidak ada yang lainnya. Makanya, dakwah salafush shalih yang telah diemban dari Rasul yang terdahulu sampai Rasul yang terakhir dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka, dakwah utama mereka adalah at-tauhid, tidak ada yang lain, itu yang pertama.

Makanya, ketika salah seorang shahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu-. Beliau diutus Rasulullah ﷺ ke Yaman sebagai da’i yang mengajak orang ke jalan Allah. Sebelum diutus, Rasulullah ﷺ memberinya wasiat,

Wahai Mu’adz, kamu itu akan mendatangi kaum ahlul kitab…”

Artinya ini kaum yang punya ilmu sebagaimana yang kita ketahui bahwa ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Beda halnya dengan orang-orang Quraisy karena mereka tidak punya kitab pedoman. Tapi di  negeri Yaman sudah banyak orang Yahudi dan Nasrani di sana. Makanya Rasulullah sebutkan nasehat pertama supaya Mu’adz bin Jabal mengerti bagaimana kondisi orang-orang yang di sana.

“Hendaklah yang pertama sekali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadatain. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.”

Karena, percuma dia sholat yang 5 waktu sementara dia belum syahadat. Sholatnya enggak berguna sama sekali. Karena, salah satu syarat sah sholatnya seseorang adalah dia harus masuk Islam dulu. Jika dia tidak masuk Islam maka apapun kebaikan dia tidak akan dihitung dalam Islam karena dia belum terdaftar sebagai seorang muslim. Jadi kalau ada seorang yang sudah yakin dengan Allah tapi dia belum pernah mengucapkan syahadat sebagai ikrar dia masuk Islam maka para ulama menyatakan bahwa orang ini belum masuk Islam.

Oleh karena itu, penting sekali dakwah kita kepada masyarakat yang pertama kita dudukkan adalah tauhid mereka. Karena kalau tauhid mereka sudah duduk, maka amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan itu semua memiliki nilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  1. Bertauhid merupakan penyebab terbaginya manusia menjadi 2 golongan, yaitu Mukmin dan Kafir.

Seorang mukmin, dia harus loyal kepada orang-orang mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara…”(QS. Al-Hujaraat :10)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain;…” (QS. At-Taubah : 71)

Orang kafir juga demikian sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Anfal ayat 73,

“Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain.”

Makanya ketika datang dakwah tauhid, mereka yang menyambut dakwah ini termasuk orang mukmin dan mereka yang menentang dakwah ini termasuk orang kafir. Kita sebagai seorang mukmin hanya loyal kepada mukmin yang lain. Jika kita mencari kemuliaan maka jangan cari kemuliaan itu dari orang kafir karena Allah telah mengatakan,

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, RasulNya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun : 8)

Oleh karenanya, loyalitas kita hanya untuk orang-orang mukmin semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mujadilah ayat 22,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak mereka, anak mereka, saudara mereka, atau keluarga mereka…” (QS. Al-Mujadilah : 22)

Maka, jika seseorang sudah beriman kepada Allah dan RasulNya sementara keluarga terdekatnya memusuhi Allah dan RasulNya maka dia haram mencintai mereka.

أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ

“Mereka itulah orang-orang yang Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka…” (QS. Al-Mujadilah : 22)

Jadi, tidak boleh kita mencintai orang kafir. Apakah tidak mencintai mereka berarti harus memusuhi mereka? Tidak begitu ! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian. Sesungguhnya Allah mecintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)

Ketika kita tidak mencintai orang-orang kafir bukan berarti kita memusuhi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman terkait orang tua yang kafir dalam Al-Qur’an,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

“Dan jika mereka berdua memaksamu untuk mempersekutukanKu dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentangnya, maka janganlah engkau menaati keduanya,…” (QS. Lukman : 15)

Padahal kita wajib untuk taat kepada orang tua. Akan tetapi, karena diperintahkan untuk menyekutukan Allah maka jangan ditaati. Dan lanjutan dari ayat diatas,

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“…dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…” (QS. Lukman : 15)

Jadi, surat Al-Mujadilah ayat 22 tadi menyatakan bahwa kita dilarang mencintai orang kafir karena mereka telah menyekutukan Allah. Tidak ada perbuatan zhalim melebihi perbuatan syirik. Seorang manusia yang membunuh 1000 orang manusia lebih kecil dosanya dibandingkan seorang yang mempersekutuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya nasihat pertama Luqman kepada anaknya adalah sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Luqman ayat 13,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ

“…‘Wahai anakku! Jangalah engkau mempersekutukan Allah,…’

Mengapa?

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“…sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar’.” (QS. Luqman : 13)

Tidak ada dosa yang lebih besar, lebih parah, dan lebih dahsyat melebihi dosa menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, orang yang kafir tidak mau beriman kepada Allah dan menyekutukan Allah layak sekali untuk tidak dicintai. Tetapi, ingat juga bahwa tidak harus dimusuhi selama mereka tidak menjahati kita, tidak mengusir kita dari tempat kita, tidak memerangi kita. Maka kita bisa berbuat baik dengan mereka dan Allah suka perbuatan tersebut karena bisa saja ini merupakan jalan bagi mereka tertarik masuk ke dalam Islam.

Kebanyakan orang kafir yang masuk ke dalam Islam itu bukan karena mereka perperangan akan tetapi karena telah melihat bagaimana akhlak kaum muslimin. Inilah alasan pentingnya tauhid untuk kita tegakkan di tengah-tengah masyarakat kita.

  1. Dengan bertauhid, seorang itu berhak mendapat keamanan dan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keamanan seperti apa yang dimaksud? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 151,

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Akan Kami masukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, karena mereka mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) tentang itu.” (QS Ali ‘Imran : 151)

Orang-orang kafir sebenarnya takut sekali dengan orang-orang muslim. Disebabkan oleh ketakutan mereka itu, mereka membuat julukan kepada kita dengan mengatakan radikal. Padahal di agama mereka banyak orang-orang yang radikal, membunuh tanpa alasan, membunuh karena stres, membunuh satu keluarga bahkan mereka datang ke masjid dan mereka membunuh orang yang berada di dalam masjid.

Mereka menzhalimi kita dan malah menuduh kita yang menzhalimi. Kalau ada seorang muslim yang berpikir bahwasanya Islam adalah agama yang membuat kerusuhan maka orang ini dipertanyakan agamanya karena dia tidak paham dengan agamanya.

Orang-orang kafir selalu takut dengan orang-orang muslim karena Allah yang menurunkan rasa takut itu kepada mereka. Tapi, ingat bahwa mereka takut kepada kita di saat kita berpegang dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, hadits ini dari Jabir bin Abdillah -Radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan,…” (HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521)

Intinya, yang pertama yaitu, bahwa Rasulullah ﷺ ditolong Allah dengan rasa mencekam bagi orang kafir sejak sebulan perjalanan. Makanya orang-orang kafir takut dengan kaum muslimin. Semakin kita berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah maka orang kafir tersebut semakin takut dengan kita.

 

  1. Bertauhid merupakan poin pertama yang diperintahkan di dalam agama Islam.

Oleh karenanya, segala perbuatan, baik itu terkait dengan ibadah ataupun muamalah, maka itu semuanya kembali kepada tauhid. Sebaliknya, tidak ada perkara yang paling dilarang dalam Islam melebihi perkara syirik. Oleh karena itu, semua keburukan, baik itu dosa besar atau dosa kecil, maka semuanya itu kembali kepada kesyirikan. Semakin kokoh tauhid seseorang, maka akan semakin baik hatinya dan semakin dekat dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang dari sebuah larangan, maka perbuatan yang pertama yang Allah larang adalah perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151,

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kalian kepada kalian,…’

Apa yang pertama diharamkan oleh Allah ?

أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

‘…(yaitu), janganlah kalian mempersekutukan sesuatu denganNya,…’ (QS. Al-An’am : 151)

Makanya ketika kita katakan tadi bahwa seorang yang membunuh seribu orang manusia tapi dia tidak menyekutukan Allah itu masih lebih ringan ketimbang seorang yang tak pernah menyakiti manusia tapi dia menyekutukan Allah. Seorang yang membunuh tadi lebih baik ketimbang seorang yang menyekutukan Allah dikarenakan pengaruh tauhid, Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa saja mengampuni dirinya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat An-Nisa ayat 48,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) dipersekutukanNya Dia (syirik),…” (QS. An-Nisa’ :48)

Seseorang yang baik dengan orang tuanya, baik dengan tetangganya, baik dengan umat muslim lainnya tetapi dia berbuat syirik, maka dia tidak akan mungkin masuk surga karena dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia orang yang bertauhid, kemudian dia masih berbuat seperti minum khamr, zina, membunuh, atau mencuri, apabila dia mati dalam keadaan seperti itu maka masih ada kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“…dan Dia mengampuni apa (dosa-dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ :48)

Tidak berarti orang yang sudah bertauhid boleh berbuat apa saja. Apakah anda yakin bahwa anda termasuk orang yang dikehendaki Allah untuk diampuni dosanya sehingga tidak ada masalah ketika bergunjing, mencuri, utang tidak dibayar, karena yang penting bertauhid ? Kalau kita tidak bisa memastikan bahwa kita termasuk orang yang diampuni, maka berupayalah sekuat tenaga untuk menjauhkan kemaksiatan. Karena dengan itu akan mengundang rahmat Allah kepada kita sehingga Allah mengampuni dosa-dosa kita.

 

  1. Bertauhid merupakan perbuatan kebaikan yang terbesar pahalanya.

Dibandingkan perbuatan-perbuatan yang lain, tauhid merupakan perbuatan kebaikan yang terbesar pahalanya. Mungkin seorang beramal haji atau berbakti kepada kedua orang  tuanya, akan tetapi itu semua pahala dan ganjarannya masih di bawah orang yang bertauhid karena tidak ada ganjaran perbuatan ma’ruf yang terbesar melebihi bertauhid tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh shahabat,

“Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling baik?”

Lantas Nabi ﷺ bersabda,

“Beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah ﷺ.”

Jika tauhid merupakan perbuatan ma’ruf yang terbesar maka syirik merupakan perbuatan mungkar yang terbesar. Tidak ada kemungkaran yang lebih besar melebihi kemungkaran orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang shahabat,

“Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”

Beliau menjawab,

“Engkau menyekutukan Allah padahal Allah yang menciptakan kamu.” HR. Bukhâri (no. 4477), Muslim (no. 86).

 

  1. Bertauhid merupakan modal dasar seseorang untuk diampuni dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangiKu dengan dosa sepenuh bumi kemudiaan engkau tidak berbuat syirik kepadaKu dengan sesuatu apa pun, maka aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” HR. Tirmidzi (no. 3540).

Jadi, rugi sekali orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya penting sekali masyarakat kita untuk mengerti tauhidullah.

Demikian, semoga kita bisa menghujamkan pentingnya bertauhid itu dalam hati kita, keluarga kita, dan di masyarakat kita sehingga Allah bisa mengampuni dosa-dosa kita dan mengumpulkan seluruh kita kelak di surgaNya, InsyaAllah.

Artikel ini bersambung ke Buah Manis Bertauhid part (2)

Apa Yang Kau Jadikan Pondasi?

Berikut ini adalah ringkasan Kajian Ilmiah Apa Yang Kau Jadikan Pondasi? oleh Ustadz Ali Nur, Lc Hafidzahullah. Insya allah tulisan ini akan terbit berkala. Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona.

Kita seluruhnya sudah memahami dan mengetahui bahwasanya saya, anda, mereka, dan seluruh yang ada di alam ini merupakan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan sesuatu, pastilah untuk suatu hikmah dan suatu tujuan. Suka atau tidak suka pasti ada hikmah dan tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibalik itu semua. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci engkau ya Allah, lindungilah kami dari azab neraka.’”(QS. Ali Imran : 191)

Artinya Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, pasti ada hikmah dan tujuannya.

Ini adalah pernyataan seorang yang merenungi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang mau berpikir tentang ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia akan menyimpulkan satu hal bahwasanya dibalik ini semua ada satu kekuatan yang sangat luar biasa yang menciptakan ini semua, Dia adalah Dzat Yang Maha Esa yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang menciptakan planet, matahari, bulan, bumi, makhluk, manusia, jin, malaikat, hewan dan lain-lainnya. Dan itu pasti untuk suatu hikmah yang luar biasa yang terkadang kita bisa memahaminya dan terkadang kita tidak tahu juga untuk apa.

Semua ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu mengarah pada satu titik yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ  

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. (QS. Al-Israa’ : 44)

Inilah alam, Allah ciptakan untuk satu tujuan. Manusia dan jin juga termasuk diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk suatu tujuan, apa itu ? Allah menyebutkan dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Kalau anda merasa sebagai seorang manusia maka Allah menciptakan anda bukan untuk berfoya-foya, bukan untuk bersenang-senang tapi untuk beribadah, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ingat itu. Kalau anda tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka anda telah melanggar konstitusi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wahai umat manusia dimanapun anda berada, ingatlah anda diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyembah kepada Allah artinya hanya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau ada manusia yang menyembah Allah tapi dia juga menyembah yang lain maka dia telah melanggar ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.

Perlu kita ketahui bahwasanya ketika Allah menyatakan,

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.”

Mungkin ada yang bertanya, “Emangnya Allah butuh untuk kita sembah? Allah sangat perlu kita sembah? Jawabannya hanya satu, TIDAK !! Allah tidak butuh kita sembah, tidak butuh dengan ketaatan kita, tidak butuh dengan kebaikan kita. Karena sesungguhnya kita mentauhidkan Allah, taat kepada Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan Allah, sesungguhnya itu semua maslahatnya, kepentingannya, dan keuntungannya kembali kepada diri kita masing-masing, bukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mari kita lihat sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Dzar –radhiyallahu ‘anhu-, dari Nabi ﷺ, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rabbnya, bahwa Allah berfirman,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas DiriKu dan Aku menjadikannya diharamkan di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi..”

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menzhalimi hamba Nya. Allah turunkan azab kepada suatu kaum bukan karena zhalim kepada mereka, akan tetapi mereka yang telah mengundang azab tersebut. Bukankah setiap maksiat yang kita lakukan itu akan mengundang azab dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Allah sayang kepada hambaNya dengan sayang yang luar biasa bahkan melebihi sayangnya seorang ibu kepada anaknya.

Kemudian sambungan dari hadits qudsi diatas,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian tersesat, kecuali siapa yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku memberi petunjuk kepada kalian.”

Makanya antum yang sudah kenal dakwah, yang sudah mengetahui tauhid, yang sudah berada di atas sunnah Rasulullah ﷺ hendaklah istiqomah karena tidak semua orang yang mendapatkannya. Sangat pentingnya hidayah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kita untuk berdo’a di setiap raka’at yaitu di dalam salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Oleh karena itu kalau ada seorang yang sudah mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian dia merasa mendapatkan hidayah itu karena upaya dia sehingga dia katakan bahwa wajarlah kalau dia diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah maka ini belum tentu. Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Masih dari sambungan hadits qudsi diatas,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian adalah lapar, kecuali siapa yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian makan.

Kita sebagai seorang hamba sering lupa untuk minta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah katakan, “Minta”, apa susahnya minta ? Tinggal minta, Allah akan beri kita makan.

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian adalah telanjang, kecuali siapa yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku beri kalian pakaian..”

Tidak ada seorang pun yang di antara kita lahir dalam keadaan berpakaian. Semuanya lahir dalam keadaan telanjang, tidak berpakaian walaupun hanya sehelai benang pun. Lantas, kita yang sedang berpakaian ini, Masya Allah, siapa yang memberi pakaian tersebut ? Mengapa kita sekarang berpakaian ? Semua itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dikarenakan kasih sayang Allah kepada kita. Banyak orang-orang yang tidak berpakaian, sedangkan kita Alhamdulillah punya pakaian bagus sehingga kita harus mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada malam dan siang, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya, maka mintalah ampunan kepadaKu, niscaya Aku mengampuni kalian..”

Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala marah kepada kita, sungguh sudah layak kita dimarahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak Maha Penyayang, Maha Pengampun, entah apa jadinya kita ini. Allah sudah ingatkan bahwa kita itu selalu berbuat kesalahan, siang malam, tapi Allah terus beri ampunan. Allah tidak pernah bosan mengampuni kita.

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى

“Wahai hamba-hambaKu, kalian tidak akan mencapai kemudaratanKu sehingga kalian dapat memberikan mudarat kepadaKu, dan kalian tidak akan mencapai kemanfaatanKu sehingga kalian dapat memberi manfaat kepadaKu..”

Kita tidak akan bisa memberi mudarat dan memberi manfaat kepada Allah karena Allah tidak butuh dengan kita.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya setakwa hati orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka itu tidak akan menambah sedikit pun pada kekuasaanKu..”

Artinya kalau manusia dan jin seluruhnya punya hati seperti hati Rasulullah ﷺ itu takkan menambah kerajaan Allah sedikitpun. Tidak ada sedikitpun untungnya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya sejahat hati orang yang paling jahat di antara kalian, maka itu tidak mengurangi sedikit pun pada kekuasaanKu.”

Artinya kalau pun manusia dan jin seluruhnya punya hati seperti hati yang paling buruk di antara kalian, misalnya Fir’aun maka itu tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaanKu.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya berdiri di satu tempat lantas memohon kepadaKu, lalu Aku mengabulkan apa yang terdapat di sisiKu, kecuali sebagaimana yang  dikurangi oleh jarum ketika dimasukkan dalam lautan..”

Coba kita bandingkan, kita ambil jarum lalu kita celupkan di lautan kemudian kita angkat. Maka jarum itu basah dan berkuranglah air laut, akan tetapi seberapalah berkurangnya? Jadi, minta lah kepada Allah dan jangan sombong kepadaNya.

يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya itu hanyalah amalan-amalan kalian yang Aku perhitungkan untuk kalian, kemudian Aku akan menyempurnakan (pahalanya) bagi kalian. Oleh karenanya, barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selain itu, janganlah dia mencela kecuali kepada dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Jadi, dari awal sampai akhir Allah mengatakan minta kepadaKu menunjukkan bahwa kita itu tidak ada apa-apanya. Kita yang tadinya telanjang, kita yang tadinya tidak makan, kita yang tadinya tidak dapat hidayah, kita yang selalu berbuat salah, lalu Allah berikan hidayah, pakaian, makanan, diampuni kesalahan kita dan seharusnya yang kita lakukan adalah mentauhidkan Allah. Kalau kita sudah mentauhidkan Allah, menaati segala perintah Allah, menjauhi larangan Allah, itu semua juga Allah catat lalu semua kembali kepada kita maslahat dan manfaatnya. Yang berbuat baik Allah sediakan surga, yang berbuat buruk maka neraka mengancamnya. Jadi sedikitpun Allah gak butuh dengan kita. Oleh karena itu, seseorang yang mau mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia harus berbuat, bersikap, dan berkeyakinan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an itu seluruh isinya adalah tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 1 dan 2,

 تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini diturunkan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Rasul) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepadaNya.” (QS. Az-Zumar : 1-2)

Kitab ini membimbing kita untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalau kita perhatikan Al-Qur’an yang seluruh isinya tauhid, kita bisa jabarkan dengan beberapa penjabaran :

  1. Al-Qur’an itu isinya terkait dengan nama dan sifat serta perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara nama Allah seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, Al-Malik, dan lain-lainnya. Di antara sifat Allah seperti cinta, ridho, marah, dan lain-lainnya. Nama dan Sifat ini harus kita tetapkan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu pula dengan perbuatan Allah di mana Allah menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki dan lain-lainnya. Semua ini disebut dengan Tauhid Al-‘Ilmi wal Khobari, artinya tauhid yang terkait dengan berita tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang nama, sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak boleh memberikan nama Allah dan menyebutkan sifat Allah kecuali nama dan sifat tersebut telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan Rasulullah ﷺ sebutkan dalam haditsnya. Allah adalah Dzat yang ghaib yang kita tidak bisa berbicara tentang hal ghaib kecuali yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah ﷺ maka ini bukan termasuk ke dalam ranah ijtihad.
  2. Dakwah (mengajak) dalam Al-Qur’an maksudnya ialah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah semata dan menafikan seluruh sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini disebut dengan tauhidu al-tholab wa al-qosd. Ini yang dituntut dari kita.

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali kisah para nabi dan rasul. Seluruhnya mengajak kepada tauhid dan menjauhkan dari kesyirikan sebagaimana Allah berfirman,

 وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku (QS. Al-Anbiya : 25)

Lihat lagi,

 لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥٓ

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. (QS. Al-A’raf : 59)

Demikian juga Allah menjelaskan tentang Nabi Sholeh,

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya’” (QS. Al-A’raf : 73)

Allah juga menyebutkan tentang Nabi Syu’aib,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf : 85)

Oleh karena itu, semua dakwah Rasul menuju pada satu titik, yaitu untuk menegakkan kalimat tauhid dan memberantas seluruh kesyirikan.

 

  1. Perintah dan larangan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an merupakan penyempurna tauhid. Ketika kita mengetahui dan meyakini bahwa Allah sayang kepada kita, maka ketika Allah melarang kita dari sesuatu, itu pasti karena sesuatu tersebut mudharat untuk diri kita. Ketika Allah perintahkan sesuatu pula, itu pasti bermanfaat untuk diri kita. Oleh karenanya, perintah dan larangan merupakan penyempurna tauhid.

 

  1. Al-Qur’an mengabarkan tentang wali-wali Allah dan ganjaran yang mereka terima di dunia dan juga di akhirat karena mereka telah mentauhidkan Allah seperti yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul.

 

  1. Al-Qur’an juga mengabarkan tentang orang-orang yang menyekutukan Allah dan akibat yang mereka terima di dunia dan juga di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) dipersekutukanNya Dia (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa-dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)

Dan masih banyak lagi kisah bagaimana kaum-kaum yang menyekutukan Allah, Allah timpahkan azab kepada mereka dan Allah binasakan mereka. Termasuk wabah pada saat ini merupakan ulah manusia sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيْهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ قَدْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِيْنَ مَضَو

“Tidaklah nampak perbuatan keji (zina) di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.”

Oleh karena itu tidak ada daya upaya kita kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kembalilah kepada Allah, karena sesungguhnya hanya Allah yang bisa mengangkat wabah ini.

Artikel ini bersambung ke Buah Manis Bertauhid.

Wabah Dalam Sejarah Islam Bagian Pertama

Wabah Pertama Dalam Sejarah Islam – Dalam sejarah panjang peradaban manusia, silih berganti musibah besar melanda. Wabah Thaun, bencana kelaparan, banjir, gempa bumi, kemarau panjang, dll. Tentu musibah-musibah ini membuat manusia menderita. Tidak terkecuali kaum muslimin. Hanya saja kita mengingat firman Allah,

إِن تَكُونُوا۟ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Quran An-Nisa: 104].

Kita mendapat pahala dari derita yang kita dapatkan jika kita bersabar. Sementara orang-orang nonmuslim hanya mendapat derita saja. Mereka tak mendapatkan pahala.

Sekarang masyarakat dunia dilanda Wabah Corona. Wabah yang berasal dari Wuhan, Cina ini disebabkan oleh virus Covid 19. Terhitung setelah 100 hari kemunculannya, pada tanggal 8 April 20202, wabah ini telah menewaskan 88.338 warga dunia. Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Menerima taubat kita. Dan segera mengangkat musibah ini. Amin.

Dalam sejarah panjang umat Islam, wabah yang menewaskan manusia dalam skala besar pun pernah beberapa kali menimpa umat ini. Di Mesir, Syam, Maroko, Irak, Andalusia. Wabah-wabah ini menghilangkan ribuan nyawa penduduk kota-kota besar tersebut.

Para sejarawan semisal al-Maqrizi, Abu al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghribirdi, Ibnu Katsir, Ibnu Iyas, Ibnu Batutah, Ibnu Idzari al-Marakisyi, dll. mencatat bagaimana musibah ini menimpa kaum muslimin. Catatan-catatan mereka saling melengkapi sehingga gambaran kejadian terasa semakin detil. Tidak ketinggalan, para ahli fikih semisal Ibnu Rusyd juga membahas peristiwa ini dari sudut pandang fikih.

Sebagaimana yang kita rasakan pada hari ini, wabah di masa itu juga berdampak buruk pada kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang lainnya.

Pengertian Thaun

Thaun (Arab: الطاعون) ditinjau secara bahasa. Missal dikatakan kepada seseorang tha’in (Arab: طعين) jika dia terkena thaun. Kata thaun (Arab: الطاعون) adalah sebuah kata yang dalam bahasa Arab memiliki pola kata فاعول dari kata الطعن. Kemudian digunakan bukan dengan makna aslinya. Namun memberi pengertian yang berdekatan. Yang intinya menunjukkan kematian yang melanda pada sejumlah besar orang. Kematian menyebar di tengah masyarakat seperti wabah (Bahjat, 2011. Hal: 99).

Adapun makna thaun secara istilah artinya adalah luka-luka di badan. Berada di tempat yang berbeda-beda di tubuh. Seperti di tangan, siku, ketiak, dll. dan rasa sakitnya luar biasa. Selain luka-luka di sekujur tubuh, orang yang terserang wabah ini juga akan muntah-muntah dan merasakan jantung yang berdebar-debar.

Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan pengertian thaun, “Thaun adalah sakit yang mengganggu pernafasan, melemahkan badan, dan jantung. Sebuah virus mematikan yang terletak di rongga mulut. Kemudian menyebabkan rusaknya pembuluh darah.” Orang-orang yang terjangkiti virus Thaun ini akan menderita benjolan-benjolan di badannya. Dan ini sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الطَاعُوْنَ غُدَّةٌ كَغُدَّةِ الإِبِلِ

“Thaun itu berupa daging tumbuh bagaikan daging tumbuh yang menimpa onta.” (Riwayat At Thobrani dan dihasankan oleh Al Albani)

Sebagian ulama membedakan antara thaun dan wabah. Menurut mereka, thaun merupakan bagian dari wabah. Sebagian lainnya menyamakan antara thaun dan wabah. Jadi, menurut mereka setiap wabah adalah thaun.

Wabah sendiri berarti penyakit tertentu yang menyebar ke wilayah yang luas bahkan menyebar dunia (pandemi). Atau bisa juga diartikan dengan epidemi yaitu penyakit yang menyebar luas di satu Kawasan.

Wabah Dalam Sejarah Islam

Pertama: Thaun Amwas

Wabah yang paling terkenal dalam sejarah Islam adalah wabah Thaun Amwas. Wabah besar yang terjadi di masa pemerintah Umar bin al-Khattab. Tepatnya tahun 18 H atau 640 M, terjadi wabah di Syam yang menewaskan puluhan ribu orang. Wabah tersebut dikenal dengan nama Wabah Thaun Amwas.

Mengapa dinamakan Thaun Amwas? Amwas adalah satu wilayah kecil di Palestina. Antara Ramallah dan Al-Quds. Di wilayah inilah wabah Thaun tersebut pertama kali muncul. Kemudian menyebar dan melanda banyak wilayah. Serta merenggut banyak nyawa.

Wilayah Amwas di masa sekarang dihancurkan oleh Zionis pada tahun 1967 sehingga penduduknya pun mengungsi. Kemudian tempat tersebut dijadikan hutan dengan modal dari para Zionis Kanada. Sekarang dinamai Canada Park.

Wabah Thaun di masa itu menyebabkan kematian sekitar 25000 jiwa. Di antara mereka yang wafat adalah tokoh para sahabat Nabi. Seperti:

1. Abu Ubaidah bin al-Jarrah,
2. al-Fadhl bin Abbas bin Abdul Muthalib,
3. Muadz bin Jabal,
4. Abdurrahman bin Muadz bin Jabal,
5. Syurahbil bin Hasanah,
6. Amr bin Suhail al-Amiri,
7. Abu Jandal bin Amr bin Suhail,
8. al-Harits bin Hisyam al-Makhzumi,
9. ‘Inabah bin ‘Amru bin Suhail
10. Amir bin Ghailan Ats-Tsaqafi
11. Ammar bin Ghailan Ats-Tsaqafi
12. Nashr bin Ghanim Al-‘Adawi
13. Hudzafah bin Nashr Al-‘Adawi
14. Salamah bin Nashr Al-‘Adawi
15. Shakhr bin Nashr Al-‘Adawi
16. Shukhair bin Nashr Al-‘Adawi
17. Hamthath bin Syuraiq Al-‘Adawi
18. Wail bin Riab Al-‘Adawi
19. Ma’mar bin Riab
20. Habiib bin Riab

Dan tahun terjadinya wabah Thaun Amwas ini juga dikenal dengan ‘Am Ramadah (tahun abu). Dinamakan tahun abu karena kemarau yang panjang menyebabkan tanah menjadi gosong dan debunya seperti abu. Keadaan ini semakin membuat tahun tersebut berat. Dan masyarakat menderita kerugian materi yang amat besar.

Kedua: Thaun al-Jarif

Thaun al-Jarif terjadi di Bashrah pada tahun 69 H, pada masa pemerintahan Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu. Dinamakan al-Jarif (Arab: الجَارِفُ) dari kata jarafa (Arab: جَرَفَ) yang artinya menyapu bersih. Karena begitu banyak orang yang wafat karena wabah ini, maka dia disebut thaun al-jarif. Walaupun wabah ini berlangsung singkat, hanya tiga hari, namun mereka yang meninggal karena wabah ini digambarkan bagaikan sungai yang mengalir.

Ketiga: Thaun al-Fatayat

Pada tahun 87 H terjadi wabah di Irak dan Syam. Wabah ini dinamakan wabah al-Fatayat yang berarti perempuan. Dinamakan demikian karena wabah ini awalnya menyerang para wanita. Kemudian baru laki-laki. Ada juga yang menamakannya wabah asyraf (orang-orang mulia). Karena wabah ini banyak menewaskan orang-orang mulia dan para tokoh.

Keempat: Thaun Muslim bin Qutaibah

Wabah ini dinamakan Muslim bin Qutaibah, karena dia adalah orang pertama yang wafat karena wabah ini. Wabah ini adalah virus yang menyebar pada masyarakat di Era Bani Umayyah pada tahun 131 H/748 M. Wabah ini melanda Kota Basrah selama tiga bulan. Dimulai dari bulan Rajab dan memuncak di bulan Ramadhan. Sampai-sampai dalam satu hari seribu lebih orang meninggal karenanya (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Tahqiq: Ahmad Isham Abdul Qadir al-Katib. Darul Ashimah, Riyadh. Hal: 363).

Abu al-Mahasin Yusuf Ibnu Taghribirdi mengatakan, “Pada tahun 131 H, terjadi wabah Thaun yang dahsyat. Membinasakan sejumlah besar makhluk. Sampai-sampai satu hari 7000 orang meninggal karenanya. Wabah ini dinamakan dengan Thaun Aslam bin Qutaibah (Ibnu Taghribirdi: an-Nujum az-Zahirah fi Muluk Mishr wa al-Qahirah, 1/369).

Sebenarnya banyak wabah yang menimpa kaum muslimin di masa Bani Umayyah. Dan wabah ini adalah wabah terakhir yang terjadi di masa itu. Wilayah yang sering terkena wabah adalah Syam. Wilayah dimana ibu kota Bani Umayyah berada, Damaskus. Karena wabah ini sebagian khalifah umayyah sampai mengasingkan diri di padang pasir. Adapun Khalifah Hisyam bin Abdul Malik menyiapkan sebuah tempat khusus di Irak (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Hal: 363).

Sejarawan juga mencatat, di antara faktor yang membantu berhasilnya revolusi Abbasiyah terhadap Bani Umayyah adalah wabah Muslim bin Qutaibah ini. Wabah ini mengakibatkan begitu besar kerugian materi yang diderita Bani Umayyah. Dan tentunya mereka juga kehilangan banyak orang-orang penting mereka (Ahmad al-Adawi: ath-Thaun fi al-Ashri al-Umawi)

Di masa Abbasiyah, Thaun ini mulai mereda. Lalu sebagian pembesar Abbasiyah berkhutbah di tengah masyarakat, “Pujilah Allah yang telah mengangkat wabah ini dari kalian sejak pemerintahan kami.” Lalu ada yang mengatakan, “Allah lebih adil dari pada menguasakan kalian dan menimpakan wabah ini.” (al-Hafizh Ibnu Hajar: Badzlul Ma’un fi Fadhlit Thaun. Hal: 364).

Kelima: wabah-wabah di masa pemerintahan Abbasiyah, Dinasti Mamluk, dan Dinasti Ayyubiyah di belahan timur wilayah Islam.

Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan bahwa pada saat Mongol menghancurkan Kota Baghdad pada tahun 656 H/1258 M, “Masjid-masjid kosong dari shalat Jumat dan jamaah selama beberapa bulan di Baghdad… …setelah kekacauan berlalu yaitu empat puluh hari berikutnya, Baghdad tetap kosong dari kepemimpinan. Kota itu hanya dihuni oleh orang-orang bodoh saja. sementara mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan bagaikan gundukan. Jasad-jasad mereka terkena hujan hingga merubah fisik mereka. Dan bau anyir bangkai manusia semerbak di penjuru kota. Udara pun berubah dan membawa penyakit. Hingga berhembus ke negeri Syam. Lalu wabah itu menyebabkan banyak orang mati karena cuaca dan udara yang rusak. Bertumpuklah musibah, wabah, dan thaun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun (Ibnu Katsir: al-Bidayayah wa an-Nihayah, 13/203).

Sementara wabah di masa Dinasti Mamluk yaitu sebuah wabah yang merata di sebagian besar daerah Syam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 748 H. Wabah ini dikenal dengan nama Thaun al-A’zham (besar). Dinamakan demikian karena penyebarannya yang dahsyat dan membinasakan. Wabah ini mengakibatkan wafatnya penghuni kota Aleppo, Damasku, al-Quds, dan daerah-daerah pinggiran Syam. Dan pada tahun 795 H, di Aleppo juga tersebar wabah yang disebut al-Fana al-Azhim. Wabah ini mengakibatkan 150.000 orang wafat di Aleppo (Mubarak Muhammad ath-Tharawunah: al-Awbi-ah wa Atsaruha al-Ijtima’iyyah fi Bilad asy-Syam fi ‘Ashri al-Mamalik asy-Syirakasah, 2010. Hal: 47-48).

Wabah lainnya terjadi di Maroko dan Andalusia tahun 571 H, pada masa pemerintah Daulah Muwahhidun. Wabah ini sangat mengerikan. Seolah tak membiarkan seorang pun selamat. Empat orang pucuk pimpinan Muwahhidun yang merupakan saudara Khalifah Yusuf bin Ya’qub wafat karenanya. 100 sampai 190 orang wafat dalam satu hari (Abdul Ilah Banmalih: jawai’ wa Awbi-ah al-Maghrib fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, 2002. Hal: 124).

Pada tahun 1798 M, Maroko juga dilanda wabah. Wabah ini dibawa oleh pedagang yang datang dari Iskandariyah menuju Tunisia. Kemudian Aljazair. Lalu Maroko. Kota Fes, Menkes, hingga Rabath terpapar wabah ini. Setidaknya 130 orang wafat per harinya (Muhammad al-Amin al-Bazaz: Tarikh al-Awbi-ah wa al-Maja’at bil Maghrib fi al-Qarnain ats-Tsamin ‘Asyr wa at-Tasi’ ‘Asyr, 1992. Hal: 92).

 

Baca juga : Buah Manis Bertauhid part (1)

Sumber:
https://islamonline.net/34109
– https://lite.islamstory.com/ar/artical/10942/طاعون-مسلم-بن-قتيبة?fbclid=IwAR2HCi7iBHwiFTjPJL39ncSAL97ehop1C-1YtPF7uplmGWoOTIJ_V2to4l4
– https://www.theguardian.com/world/ng-interactive/2020/apr/09/how-coronavirus-spread-across-the-globe-visualised?fbclid=IwAR2gY95ez1yH7rAkdtm7BapLYUnOZCMCTd_dPNMxT785vdXdbUTN6L57l0Q

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Disalin dari : https://kisahmuslim.com/6463-wabah-dalam-sejarah-islam-1-2.html

Wabah Pertama Dalam Sejarah Islam

Ringkasan Tablig Akbar Cerita Tentang Dajjal

Pada malam hari ini, saya mau bercerita tentang Dajjal tapi bukan DONGENG ya. Kenapa saya mengangkat tema tentang Dajjal? Karena : (1) Dajjal itu keluar di saat orang-orang tidak lagi membicarakan tentangnya dan sudah melupakannya. (2) Fitnah yang paling besar adalah Fitnah Dajjal[1]. (3) Banyak orang di zaman sekarang yang berbicara tentang tokoh yang satu ini dengan menggunakan dalil-dalil yang dhoif.

Sebelum Dajjal datang, akan ada 3 tahun yang sangat kering, di mana tahun yang pertama, Allah akan menahan sepertiga air hujan. Tahun yang kedua, Allah akan menahan dua pertiga air hujan. Tahun yang ketiga, Allah akan menahan hujan sama sekali dan di saat itu tidak ada makanan[2]. Dalam riwayat yang lain[3], “Tidak akan tegak hari kiamat sampai orang-orang akan mengharapkan keluarnya Dajjal.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa demikian?” kata Rasulullah, “Karena di saat itu kesusahan luar biasa sekali.” BAYANGKAN tidak ada makanan, di saat kesusahan seperti itu Dajjal membawa gunung roti. Di zaman sekarang saja ada orang bersedia mengganti agamanya demi mendapatkan sesuap nasi, bagaimana kalau ternyata itu di waktu Dajjal keluar? MENGERIKAN.

Disebutkan pula dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan, “Makmurnya Baitul Maqdis itu tanda akan kosongnya kota Madinah. Kosongnya kota Madinah, tanda akan adanya malhamah kubro. Setelah malhamah, akan dikuasainya Konstantinopel. Dikuasainya Konstantinopel, keluarlah Dajjal.”[4]

Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa tanda Dajjal sudah sangat dekat yaitu Baitul Maqdis itu makmur. Kenapa Baitul Maqdis makmur? Karena di sana merupakan kerajaan Islam terakhir di Syam dan akan dipimpin oleh Imam Mahdi. Makmurnya Baitul Maqdis, tanda kota Madinah akan kosong ditinggalkan penduduknya. Kosongnya kota Madinah, tanda akan terjadi malhamah kubro yang merupakan perperangan yang sangat dahsyat dan berakhir dengan kemenangan kaum muslimin juga dikuasainya kota Konstantinopel. Ketika kota Konstantinopel sudah dikuasai dan ketika kaum muslimin hendak mengambil ghanimah, maka terdengar seruan bahwa Dajjal sudah keluar. Maka kaum muslimin pun meninggalkan ghanimah dan lari menyelamatkan diri masing-masing.

Siapa Dajjal?

Dajjal telah ada bahkan di zaman Rasulullah, Dajjal sudah ada. dari seorang shahabat yang bernama Tamim bin Aus Ad-Dari (Abu Ruqoyyah). Tamim bin Aus Ad-Dari berkata, “Aku bersama beberapa orang dari qabilahku(yaitu dari Bani Tamim) kami berlayar di lautan akan tetapi kami diombang-ambingkan selama 3 hari 3 malam sampai akhirnya kami terdampar di sebuah pulau. Lalu di pulau itu kami bertemu dengan makhluk yang dipenuhi oleh bulu. Kami tidak tau mana depan mana belakang. Lalu kami berkata, “Kamu siapa?”

Dia menjawab, “Aku Jasasah.”

Lalu kami bertanya, “Siapa Jasasah?”

Maka dia berkata, “Hai kaum, bersegera kalian ke sebuah rumah ibadah di sana karena di sana ada seorang laki-laki yang ingin bertemu dengan kalian.”

Kami pun segera pergi ke sebuah rumah tersebut. Maka kami melihat dan bertemu dengan seorang manusia yang tidak pernah kami melihat ada yang lebih besar daripada manusia itu. Dia dirantai oleh rantai-rantai besi. Lalu kami berkata, “Siapa kamu?”

Maka orang besar ini berkata, “Kabarkan kepadaku siapa kalian?”

Kata kami, “Kami dari Arab dari Bani Tamim.”

Lalu orang yang besar ini berkata, “Apa yang dilakukan oleh Muhammad dan para shahabatnya?”

Kata Abu Ruqoyyah, “Dia sudah hijrah ke kota Madinah dan menguasai qabilah-qabilah yang ada di sekitarnya.”

Kata Dajjal, “Ketahuilah jika mereka mengikuti Muhammad itu lebih baik buat mereka.”

Lalu kemudian Dajjal minta diberitahu tentang 3 perkara. Dajjal berkata kepada Tamim, “Kabarkan kepadaku tentang kurma yang ada di suatu tempat namanya Baissan?”

Kata Tamim, “Tentang apanya?”

“Tentang kurmanya, apakah masih berbuah?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang besar ini, “Kelak nanti pohon kurma di sana tidak akan berbuah lagi.”

“Kabarkan kepadaku tentang sebuah mata air yang bernama Zughor?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, apakah masih banyak?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang ini, “Kelak airnya akan kering.” Kemudian orang ini bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku tentang danau yang bernama Tobaria(Tiberias)?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, masih ada atau tidak?”

Kata Tamim, “Banyak.”

Kata Beliau, “Kelak nanti danau itu akan kering. Di saat mata air Zughor sudah kering dan Tiberias sudah kering dan pohon kurma yang ada di Baissan sudah tidak berbuah, aku akan keluar. Akulah Dajjal.”

Lalu pulanglah Tamim bersama teman–temannya, mereka pun langsung menuju kota Madinah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu masuk islam lah Tamim dan diceritakan perihal bertemunya Tamim dengan Dajjal. Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabat, “diam di tempat-tempat kalian, bercerita kepadaku tadi Tamim tentang Dajjal persis seperti yang aku ceritakan kepada kalian.”[5]

Qadarullah, Tamim dijadikan Allah lupa di daerah mana itu, apakah di timur atau barat? Lupa Tamim. Jangankan Dajjal yang cuma satu orang, Ya’juj dan Ma’juj yang jumlahnya sangat banyak saja susah kita menemukannya di mana. Hanya Allah yang Maha Tau.

Di mana Dajjal akan keluar?

Dajjal akan keluar di sebuah tempat yang bernama Yahuda di Ashbahan. Kata Rasulullah, ”Dia akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi yang memakai toyalisah.”[6] Antum tau Ashbahan di mana? Di Iran. Perlu antum ketahui bahwa populasi jumlah Yahudi di Ashbahan sekarang ini sudah sangat banyak sekali.

Sifat-sifat Dajjal

Di antara sifat-sifat Beliau adalah :

  1. Rambutnya kribo dan pendek.[7]
  2. Besar badannya.[8]
  3. Jidatnya agak nonjol(jenong) yang bertuliskan ka fa ra.[9]
  4. Diberikan kemampuan yang luar biasa seperti dapat berjalan secepat angin, bisa menyuruh awan untuk hujan, bisa menyuruh tanah agar kering[10] dan ini merupakan fitnah yang dahsyat.
  5. Dajjal membawa air yang dingin dan membawa api.[11]
  6. Dajjal disebut almasih karena matanya pecak sebelah.[12]
  7. Dajjal akan terus mendatangi tempat-tempat di bumi.[13]

Orang yang akan terfitnah oleh Dajjal

  1. Orang Yahudi. Karena disebutkan di dalam hadits, dia(Dajjal) akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi.
  2. Wanita. Karena kebanyakan mereka bodoh dalam agama.[14]

Tempat yang tidak bisa dimasuki Dajjal

Ada 4 tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Dajjal[15] :

  1. Kota Mekkah
  2. Kota Madinah
  3. Baitul Maqdis
  4. Gunung Thur

Bagaimana cara supaya selamat dari Dajjal?

  1. Berusaha menjadi penuntut ilmu agama. Pernah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Rasulullah mengabarkan tentang ada seorang pemuda yang akan mendatangi Dajjal dan berkata pemuda itu, “Wahai manusia, sesungguhnya dia itu Dajjal, jangan diikuti oleh kalian.” Maka kemudian dia ditangkap oleh pasukan Dajjal dan dibawanya kepada Dajjal. Lalu kemudian Dajjal menyuruh dia murtad dan mengakuinya sebagai Nabi, tapi dia tidak mau. Maka digergaji kepalanya sampai jadi dua belah, kemudian Dajjal berjalan di antara dua anggota tubuhnya tersebut, rapat lagi jadi orang lagi, berdiri. Lalu Dajjal berkata, “Sekarang kamu beriman tidak bahwa aku tuhanmu?” apa kata si pemuda ini? “Justru aku semakin yakin engkau Dajjal yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”[16] rupanya si pemuda ini punya ilmu tentang hadits. Berarti ini memberikan isyarat, mereka yang berpegang kepada sunnah, yang belajar sunnah, yang belajar agama, belajar diin, insyaAllah mereka selamat.
  2. Kenali sifatsifat Dajjal. Sebab kalau kita tidak mengenalinya secara betul-betul, maka kita bisa tertipu.
  3. Berdo’a berlindung dari 4 perkara.

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jangan lupakan itu, Nabi menganjurkan umatnya sebelum salam setelah selesai tahiyat untuk berlindung dari 4 perkara.[17]

  1. Hafalkan 10 ayat pertama dari surat Al Kahfi[18]. Hafalkanlah dari sekarang.
  2. Berusaha menjauh dari Dajjal. Lari, jangan malah penasaran bagaimana Beliau itu, karena syubhatnya besar. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Seseorang ingin bertemu dengan Beliau dan dia merasa yakin dia tidak terpengaruh ternyata langsung terkena syubhatnya.”[19] Karena syubhat Beliau itu kuat sekali, berat. Ini seperti isyarat agar kita meninggalkan dan menjauhi segala macam syubhat. Jangan dekati syubhat. Kalau di zaman sekarang, banyak orang senang malah mendekati syubhat itu. Malah penasaran pengen tau, akhirnya terpengaruh. Akibat dari kita tidak mau menjauhi syubhat, akhirnya jatuhlah kepada syubhat. Nah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh kita supaya ketika mendengar Dajjal di suatu tempat, segera lari, lari, dan lari masyaAllah. Untuk lari meninggalkan Dajjal itu tidak mudah, karena butuh perjuangan luar biasa.

Berapa lama Dajjal tinggal di bumi?

Dajjal akan tinggal di bumi 40 hari. Hari yang pertama, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sepanjang satu tahun, artinya matahari akan Allah tahan selama satu tahun. Kemudian hari kedua, kata Rasulullah panjangnya sama dengan sebulan, hari yang ketiga panjangnya sama dengan seminggu, dan hari berikutnya sama dengan hari-hari yang lainnya.[20]

Terbunuhnya Dajjal

Kemudian setelah Dajjal tinggal di bumi selama 40 hari, Allah pun turunkan Nabi Isa ‘alaihissalam, di sebuah menara yang berwarna putih di kota Damaskus. Di mana Nabi Isa turun dengan mengendarai malaikat, seakan akan beliau baru keluar dari kamar mandi. Kenapa? Karena Nabi Isa itu rambutnya selalu basah. Lalu kemudian Nabi Isa mengumumkan jihad dan di saat itu kaum muslimin hendak siap-siap untuk shalat subuh. Ketika mereka hendak shalat subuh, terdengarlah suara. Maka mereka segera menuju suara tersebut ternyata Nabi Isa ‘alaihissalam. Lalu kemudian dikumangkanlah iqamah, dipersilahkan Nabi Isa jadi Imam tapi Nabi Isa tidak mau. Makanya Rasulullah bersabda, “bagaimana keadaan kalian apabila Nabi Isa almasih telah keluar pada kalian dan ternyata yang menjadi imam tetap dari kalian?” Kenapa Nabi Isa tidak mau jadi imam? Karena menghormati umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka saat itu Nabi Isa pun mengumumkan perang, Nabi Isa hanya menerima dua, dibunuh atau masuk Islam dan tidak lagi menerima jizyah dan saat itu Nabi Isa akan menghancurkan salib, akan menghancurkan babi, dan Nabi Isa ‘alaihisallam pun diberikan oleh Allah kekuatan yang luar biasa. Tidak ada seorang pun orang kafir yang mencium nafasnya Nabi Isa kecuali mati dan nafas Nabi Isa sepanjang mata memandang beliau.[21] Dikejarnya terus dikejarnya sampai akhirnya Nabi Isa membunuh Dajjal di suatu tempat bernama Bab Ludd[22]. Di sanalah kemudian Beliau dibunuh oleh Nabi Isa. Maka the end, selesailah riwayat dari tokoh yang satu ini.

Penutup

Semua itu pasti terjadi karena itu semua dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dari itu setiap kita mempersiapkan keimanan kita dari sekarang. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika mengabarkan Dajjal akan keluar, lalu tokoh yang satu ini akan berbuat kerusakan di sana sini, apa kata Rasulullah? “hai hamba-hamba Allah, kokohlah kalian di atas agama kalian. Kuat kalian berpegang kepada agama kalian.” Karena memang berat sekali, Allahua’lam.

*Diintisarikan dari Tabligh Akbar berjudul “Cerita Tentang Dajjal” oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam –hafizhahullah- dengan sedikit penambahan dan pengurangan yang diperlukan tanpa mengubah makna.

Video Kajian Selengkapnya Dapat Ditonton Di: KAJIAN ILMIYAH : Ustadz Abu Yahya Badru Salam, Lc – Cerita Tentang Dajjal

[1] HR. Ibnu Majah no. 4215

[2] Silsilah Hadits Ash-Shahihah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[3] Shahih Jami’, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[4] HR. Abu Daud

[5] Hadits Jasasah. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya

[6] HR. Muslim no. 2944

[7] HR. Abu Daud no. 4320. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[8] HR. Bukhari no. 7128 dan Muslim no. 171

[9] HR. Muslim no. 169

[10] HR. Muslim no. 2937

[11] HR. Muslim no. 2934

[12] Jami’ al-Ushul, 4: 204

[13] HR. Muslim no. 2942

[14] HR. Ahmad 2: 67

[15] HR. Ahmad 5: 364

[16] HR. Muslim no. 2938

[17] HR. Muslim no. 588

[18] HR. Muslim no. 809

[19] HR. Abu Daud no. 4319 dan Ahmad 4: 441

[20] HR. Abu Daud no. 4321

[21] HR. Muslim no. 2937 dari Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhu

[22] HR. At-Tirmidzi no. 2244

Tulisan ini merupakan tulisan pemenang pada Sayembara Menulis Sesuaisunnah.com edisi #01

 

Baca juga : Ciri-ciri Orang Yang diterima Amalannya di Bulan Ramadhan

Hukum Menggunakan Darah Kambing untuk Mengobati Penyakit Kulit

Hukum Menggunakan Darah Kambing :

Bismillah

Assalamu’alaikum warrahmatullah.

‘Afwan menyita waktunya Ustadz. Ana mau bertanya. Apa hukumnya mengobati penyakit kulit dengan mencelupkan lukanya ke darah binatang (kambing) yang baru aja disembelih. Karena ana mau potong kambing, sementara ada keluarga yang minta darahnya. Hal demikian tanpa diiringi keyakinan yang berbau kesyirikan. Namun belum terbukti secara ilmiah, hanya dari mulut ke mulut orang tua terdahulu.

Jawaban

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه وبعد
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Rincian untuk masalah ini:

Mengambil sesuatu menjadi sebuah sebab yang boleh untuk ditempuh, harus terpenuhi 2 syarat:

  1. Sesuatu tersebut dinyatakan secara syar’i, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang shohih sebagai sebab yang diakui. Contohnya madu, ruqyah syar’i, habbatussauda, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Syar’i.
  2. Sesuatu tersebut tidak disebutkan dalam dalil syar’i namun terbukti secara klinis (lulus uji klinis) atau teruji menurut pengalaman dan penelitian para ahli bahwa ia memiliki pengaruh kesembuhan yang hakikatnya Allah jadikan ia memiliki daya sembuh yang kemudian ditemukan manusia. Contohnya seperti kunyit untuk penyakit lever, pil Kina untuk demam, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Qodari.

 

Bila sesuatu dijadikan sebagai sebab sementara tidak disebutkan dalam dalil Al-Qur’an maupun hadits yang shohih, tidak juga ada pernyataan ahli dalam masalah tersebut serta belum lulus uji klinis maka tindakan menjadikannya sebagai sebab yang ditempuh terhitung syirik kecil ( الشرك الأصغر ) . Karena seolah -olah ia menebak dan mengetahui perkara yang ghaib. Namun bila ia meyakini sesuatu tersebut mampu memberikan kesembuhan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah, maka telah terjerumus ke dalam Syirik Besar (الشرك الأكبر ).

Lebih – lebih ternyata sebab tersebut terhitung najis. Maka tidak dibenarkan. Pada kasus yang ditanyakan, darah yang keluar dari leher hewan yang disembelih adalah najis. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لَّاۤ اَجِدُ فِيْ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗۤ اِلَّاۤ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}

Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir (dari luka leher yang disembelih), daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 145).

 

Tidak Boleh Berobat dengan Menggunakan Najis

Bila darah yang najis dijadikan obat maka telah melanggar larangan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits- hadits berikut:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ:« ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﺪﻭاء اﻟﺨﺒﻴﺚ.» ﺭﻭاﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata: ” Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ melarang dari obat yang najis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

«ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻠﻖ اﻟﺪاء ﻭاﻟﺪﻭاء ﻓﺘﺪاﻭﻭا وﻻ ﺗﺘﺪاﻭﻭا ﺑﺤﺮاﻡ »رواه الطبراني ﻋﻦ ﺃﻡ اﻟﺪﺭﺩاء. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 1762 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah! Namun jangan berobat dengan yang harom!!” (HR. Thobroniy)

والله تعالى أعلم

 

Baca juga : Bolehkah Menggantikan Kewajiban Shalat Orang Tua Yang Sedang Koma

 

Hukum Menggunakan darah kambing

Membawa Anak Ke Masjid, Bolehkah?

Hukum Membawa Anak Ke Masjid

Pertanyaan

Ustadz, ana menemukan fatwa Syaikh Utsaimin yang menganjurkan untuk tidak membawa anak-anak ke masjid. Padahal di zaman Nabi ada kisah Hasan Husain ke masjid. Itu bagaimana ya ustadz?

Jawab

Bila memang anak-anak itu menganggu dengan berlari-lari, atau berteriak-teriak, maka lebih baik tidak dibawa ke masjid.
Hendaknya mereka diajarkan adab adab dalam masjid agar mereka memahami.

Tetapi bila mereka tidak menganggu atau orang tuanya menjaganya agar tidak menganggu, maka tidak apa-apa. Oleh karena itu Nabi sholat sambil menggendong Umamah.

Al Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata dalam kitab Attamhiid:

Dan telah diriwayatkan bahwa Umar bin Khathab apabila ia melihat anak kecil di dalam shaff, beliau mengeluarkannya. Diriwayatkan juga dari Zirr bin Hubaisy dan Abu Wail, mereka melakukan itu. Ahmad bin Hanbal tidak menyukai itu. Al Atsram berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hanbal tidak suka yang berdiri sholat di masjid kecuali orang telah baligh, atau telah tumbuh bulu kemaluannya atau telah berumur 15 tahun. Lalu aku menyebutkan kepadanya hadits Anas dan anak yatim. beliau menjawab: Itu di sholat sunnah. Selesai perkataan Ibnu Abdil Barr.

Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang suara gaduh di masjid. sabdanya:

ليلني منكم أولو الأحلام والنهى ثم الذين يلونهم ثلاثا وإياكم وهيشات الأسواق

Hendaklah yang berada di belakangku orang orang yang baligh dan berilmu, kemudian setelahnya kemudian setelahnya. Dan jauhilah suara gaduh seperti di pasar. (HR Muslim)

Hadits ini menunjukkan larangan gaduh di masjid. Maka jika kehadiran anak anak tersebut menyebabkan kegaduhan, maka hendaknya mereka tidak diajak ke masjid.

Wallahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Abu Yahya Badrussalam hafizhohullah.
Diambil dari artikel beliau dengan seijin beliau di
https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=1127155994144510&id=100005503590633

 

Baca juga : Perempuan Yang Tidak Berpuasa Karena Menyusui, Bagaiman Mengganti Puasanya

 

Membawa Anak Ke Masjid

Ringkasan Kajian Silsilah Tauhid “Ma’na Thogut” – Pertemuan 1

بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:

إعلم رحمك الله تعالى أن أول مافرض الله على ابن آدم الكفر بالطاغوت والإيمان بالله

“Ketahuilah -semoga Allah ta’ala merahmatimu- bahwasanya yang pertama kali Allah wajibkan atas bani Adam adalah mengingkari thagut dan beriman kepqda Allah”.

Allah ta’ala berfirman,

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”. (Q.S Al-Baqarah : 256)

“Tidak ada paksaan dalam menganut agama” pada ayat di atas artinya,

– Tidak diwajibkannya masuk Islam ketika Nabi Muhammad pertama kali diperintahkan mengajarkan Islam di Mekkah. Hal ini sebelum turun ayat jihad, adapun setelahnya maka wajib masuk ke dalam Islam.

– Ayat in ditujukan untuk Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi. Setelah mereka membayar upeti dan tunduk pada pemerintahan Islam, tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk Islam.

– Ini dimaksudkan untuk kalangan keluarga Yahudi dan Nasrani, tidak boleh bagi mereka memaksa anak mereka masuk agama mereka.

Ayat “فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ” menunjukkan Nafyu pada kalimat يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ (mengingkari thagut), dan Istbat pada kalimat وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ (beriman pada Allah). Nafyu artinya menafikan segala sesembahan selain Allah, sedangkan Istbat artinya menetapkan bahwa hanya Allah-lah zat yang pantas disembah. Dua hal ini termasuk ke dalam rukun لااله إلاالله.  

Pengertian Thagut

Kata “Thagut” diambil dari kata طَغَى yang artinya “melampuai batas”

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Thagut adalah segala hal yang melampaui batasannya dari yang disembah, diikuti, dan ditaati”.

Thagut memiliki 5 tingkatan, dari yang paling tinggi ke paling rendah yaitu,

1. Iblis.

2. Siapa yang disembah dan dia ridho.

3. Siapa yang mengajak beribadah kepada dirinya.

4. Siapa yang mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib.

5. Siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah.

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, (Q.S An-Nahl : 36).

Abdullah bin Abbas berkata, “setiap kata ‘ibadah’ dalam Al-qur’an maksudnya mentauhidkan Allah”. Tugas seluruh Nabi dan Rasul adalah selalu mendakwahkan tauhid.

Pada ayat di atas terdapat kata أُمَّةٍ. Kata “ummat” di dalam Al-Qur’an bisa memiliki 4 makna:

1. Sekelompok kaum/golongan (lihat Q.S An-Nahl : 36)

2. Waktu/masa (lihat Q.S Hud : 8)

3. Imam/contoh/panutan (lihat Q.S An-Nahl : 120)

4. Agama (lihat Az-Zukhruf : 22)

Ciri-Ciri Orang Yang Diterima Amalannya Di Bulan Ramadahan

Jadikan Ibadah Sebagai Kebutuhan Dan Bukan Beban.

Syarat Diterima Amal

– Ikhlas
– Ittiba Dengan Rasulullah ﷺ

“Tidak ada satu Amal Tanpa Ditanyakan 2 Pertanyaan,

1. Untuk Siapa Anda Beramal
2. Bagaimana Cara Anda Beramal

Kewajiban Mengikuti Sunnah

Ibnu qayim Rahimahullah Berkata : salahnya tata cara orang beribadah karena menyesuaikan dengan kepuasan jiwa.

Dalil Pentingnya Ibadah Mengikuti Sunnah Rasulullah Dan Bukan Mengikuti Kepuasan Jiwa. Hadist Rasulullah ﷺ. :

وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا، وَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ وَقدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّيْ اللَّيْلَ أَبَداً، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ أَبَداً وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَداً.

فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), mereka menganggap ibadah Beliau itu sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan ampunan atas semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang lainnya menimpali, “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya lagi berkata, “Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan menikah selamanya.”

Kemudian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 5063); Muslim (no. 1401); Ahmad (III/241, 259, 285); An-Nasâ-i (VI/60); Al-Baihaqi (VII/77); Ibnu Hibbân (no. 14 dan 317-at-Ta’lîqâtul Hisân); al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 96).

Amal Bisa Batal Disaat Kita Sedang Beramal Jika Riya & Amal Bisa Batal Ketika Sudah Selesai Beramal Jika Ujub.

Tanda Amalan Ramadhan Di Terima

1. Khawatir Amalnya Tidak Diterima Sama Allah ﷻ :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)

‘Aisyah mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ».

“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.”[1]

2. Amalan Baik Diikuti Kebaikan Berikutnya :

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, ”Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”(Latho-if Al Ma’arif)

3. Menganggap Amalan Yang Dikerjakan Itu Sedikit, merasa amal sholih belum sempurna, merasa kecil serta tidak ujub dengan ibadah yang sudah diperbuat.

Ada sebuah renungan indah dari Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah-.

وعلامة قبول عملك : احتقاره واستقلاله وصغره في قلبك حتى إن العارف ليستغفر الله عقيب طاعته وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من الصلاة استغفر الله ثلاثا وأمر الله عباده بالاستغفار عقيب الحج ومدحهم على الاستغفار عقيب قيام الليل وشرع النبي صلى الله عليه وسلم عقيب الطهور التوبة والاستغفار، فمن شهد واجب ربه ومقدار عمله وعيب نفسه : لم يجد بدا من استغفار ربه منه واحتقاره إياه واستصغاره

Tanda diterimanya amal shalih anda : saat hati merasa bahwa amal shalih masih hina dan kecil. Sampai orang-orang yang benar-benar mengenal Allah, selalu beristighfar setiap usai melakukan ibadah. Adalah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bila selesai salam dari sholat, beliau beristighfar sebanyak tiga kali. Allah juga telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk beristighfar setelah selesai melakukan ibadah haji. Allah juga memuji mereka yang beristighfar setelah melakukan sholat malam. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan taubat dan istighfar usai berwudhu.

Maka siapa yang mengetahui kewajibannya kepada Tuhannya, dan menyadari kualitas amalnya, serta aib-aib yang melekat pada jiwanya, niscaya dia akan selalu beristighfar usai melakukan amal ibadah, merasa amalannya masih sangat penuh kekurangan. (Lihat : Madarijus Salikin 2/62)

4. Tidak Mengingat Amalan Sholeh Yang Telah Dikerjakan

5. Mencintai Amalan Dan Ketaatan Yang Telah Dikerjakan

6. Dimudahkan Allah ﷻ dalam mengerjakan ketaatan.

– jika Puasanya Menimbulkan Ketaqwaan Maka Itu Tanda Tandanya Puasa Diterima

– jika Puasa Tidak Menikbulkan Ketaqwaan Maka Itu Tanda Tanya Besar,Puasanya Tidak Di Terima :

Dalil Firman Allah ﷻ :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Taqwa itu, Meninggalkan Larangan Dari Allah ﷻ dan Melaksanakan Perintahnya

Ibnu Qayim Berkata: Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal

Ustadz.Abu Yahya Badrusallam Hafidzahullah

-Siantar, 9 Syawal 1440H / 12 Juni 2019-

Seputar Qiyamul Lail Di 10 Malam Terakhir Ramadhan

بسم الله

.والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه ولا حول ولا قوة إلا بالله. أما بعد:

Anjuran Qiyamul Lail di Malam Ramadhan

Kita umat Islam dimotivasi untuk menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan sholat Qiyamul Lail.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

« ﻣﻦ ﻗﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺇﻳﻤﺎﻧﺎ ﻭاﺣﺘﺴﺎﺑﺎ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ »

 متفق عليه ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 6440 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Siapa saja yang berdiri (sholat malam di bulan) Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni baginya apa saja yang telah berlalu dari dosa-dosanya” –  (HR. Bukhori – Muslim)

Dan kita dimotivasi untuk melakukannya dengan cara berjama’ah.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

«ﺇﻧﻪ ﻣﻦ ﻗﺎﻡ ﻣﻊ اﻹﻣﺎﻡ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﺼﺮﻑ ﻛﺘﺐ ﻟﻪ ﻗﻴﺎﻡ ﻟﻴﻠﺔ»

رواه الترمذي وابن ماجه ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺫﺭ. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 2417 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Sesungguhnya siapa saja yang berdiri (sholat malam Ramadhan) bersama imam hingga ia (imam) selesai, maka dicatat baginya berdiri (sholat) semalam (penuh).” – (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

 

Semakin Ditekankan di 10 Malam Terakhir

Demikian pula kita dimotifasi untuk menghidupkan 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan agar berpeluang mendapatkan malam Lailatul Qodar dalam kondisi beramal Sholeh yang kebaikannya lebih baik dari 1000 bulan.

Allah Ta’ala berfirman:

{لَيْلَةُ الْقَدْرِ   ۙ  خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ }

Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” – (QS. Al-Qadr 97: Ayat 3)

Berikut dalil tentang motivasi tersebut.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

«اﻃﻠﺒﻮا ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻘﺪﺭ ﻓﻲ اﻟﻌﺸﺮ اﻷﻭاﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ»

رواه الطبراني ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ.(ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 1029 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Carilah Lailatul Qodar di 10 Terakhir dari bulan Ramadhan.” – (HR. Thobroniy)

Dan dianjurkan untuk lebih giat mencarinya di malam-malam ganjil dari 10 Terakhir bulan Ramadhan.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

«اﻟﺘﻤﺴﻮا ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻘﺪﺭ ﻓﻲ اﻟﻌﺸﺮ اﻷﻭاﺧﺮ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻲ ﻭﺗﺮ ﻓﺈﻧﻲ ﻗﺪ ﺭﺃﻳﺘﻬﺎ ﻓﻨﺴﻴﺘﻬﺎ»

رواه أحمد و الطبراني  ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﺳﻤﺮﺓ.  (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 1239 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Carilah Lailatul Qodar di 10 Terakhir bulan dari Ramadhan di malam ganjil. Karena sesungguhnya aku telah melihatnya namun aku lupa.” – (HR. Ahmad dan Thobroniy)

Motivasi ini berlaku umum bagi semua kaum muslimin.

 

Bagi Wanita Tetap Boleh Ikut Berjamaah Shalat Seputar Qiyamul Lail di Masjid

Adapun bagi wanita maka tidak boleh mereka dilarang untuk melakukan sholat malam Ramadhan secara berjama’ah di Mesjid.
Secara umum Nabi صلى الله عليه وسلم melarang siapa saja yang menghalangi wanita yang datang ke mesjid untuk memakmurkannya. Beliau bersabda :

« ﻻ ﺗﻤﻨﻌﻮا ﺇﻣﺎء اﻟﻠﻪ ﻣﺴﺎﺟﺪ اﻟﻠﻪ ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻴﺨﺮﺟﻦ ﻭﻫﻦ ﺗﻔﻼﺕ »

رواه أحمد وأبو داود ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 7457 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah dari mesjid – mesjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka (para wanita) keluar dalam kondisi tidak berhias/ berwangi-wangian.” – (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Secara khusus adalah sholat. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

«ﻻ ﺗﻤﻨﻌﻮا ﺇﻣﺎء اﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻴﻦ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺠﺪ »

رواه ابن ماجه ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 7455 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah untuk sholat di mesjid.” – (HR. Ibnu Majah)

 

Akan Tetapi, Wanita Lebih Utama Shalat di Rumah

Hanya saja yang lebih utama bagi para wanita adalah sholat di rumah – rumah mereka.

 ﻋﻦ عمة عبد الله ﺃﻡ ﺣﻤﻴﺪ اﻣﺮﺃﺓ ﺃﺑﻲ ﺣﻤﻴﺪ اﻟﺴﺎﻋﺪﻱ، ﺃﻧﻬﺎ ﺟﺎءﺕ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ، ﺇﻧﻲ ﺃﺣﺐ اﻟﺼﻼﺓ ﻣﻌﻚ، ﻗﺎﻝ: «ﻗﺪ ﻋﻠﻤﺖ ﺃﻧﻚ ﺗﺤﺒﻴﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻣﻌﻲ، ﻭﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻚ ﺧﻴﺮ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﺣﺠﺮﺗﻚ، ﻭﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﺣﺠﺮﺗﻚ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﺩاﺭﻙ، ﻭﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﺩاﺭﻙ ﺧﻴﺮ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻗﻮﻣﻚ، ﻭﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻗﻮﻣﻚ ﺧﻴﺮ ﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻚ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪﻱ » ﻗﺎﻝ: ﻓﺄﻣﺮﺕ ﻓﺒﻨﻲ ﻟﻬﺎ ﻣﺴﺠﺪ ﻓﻲ ﺃﻗﺼﻰ ﺷﻲء ﻣﻦ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺃﻇﻠﻤﻪ، ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺗﺼﻠﻲ ﻓﻴﻪ ﺣﺘﻰ ﻟﻘﻴﺖ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ»

رواه أحمد

Dari bibi Abdullah yaitu Ummu Humaid istri dari Abu Humaid As- Sai’idiy رضي الله عنهما bahwa ia pernah mendatangi Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berkata, “Wahai Rosulullah! Sungguh saya suka sholat bersama dengan Anda.”
Beliau bersabda: Sungguh saya tahu bahwa engkau suka sholat bersama saya. Namun sholatmu di dalam rumahmu lebih baik bagimu dari sholatmu di ruanganmu (yang lebih lebar dari rumahmu). Dan sholatmu di ruanganmu (yang lebih lebar) lebih baik bagimu dari sholatmu di rumah indukmu. Sholatmu di rumah indukmu lebih bagimu dari sholatmu di Mesjid kaummu dan sholatmu di Mesjid kaummu lebih baik bagimu dari sholatmu di Mesjidku.” – (HR. Ahmad).

Kita tahu bahwa sholat di mesjid Nabi صلى الله عليه وسلم itu lebih baik dari sholat 1000 kali di Mesjid lain selain Masjidil Haram.

Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

 «ﺻﻼﺓ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪﻱ ﻫﺬا ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻟﻒ ﺻﻼﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺳﻮاﻩ ﺇﻻ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻡ»

متفق عليه

Satu kali sholat di mesjidku ini lebih dari 1000x sholat di mesjid lain kecuali Masjidil Haram.” – (HR. Bukhori – Muslim)

Ini menunjukkan bahwa seorang wanita semakin tersembunyi tempat sholatnya semakin lebih baik bagi dirinya. Tentu juga lebih besar pahalanya.

Hanya saja tetap dianjurkan baginya untuk berjama’ah ketika hendak melakukan sholat Qiyamul Lail di rumahnya. Bisa jadi bersama suaminya sepulang dari sholat berjamaah di Mesjid. Bisa jadi bersama wanita lainnya di rumahnya, baik itu saudarinya, putrinya, ibunya maupun ‘madu’ nya. Agar mendapat pahala berjama’ah.

والله تعالى أعلم بالصواب.