Ringkasan Tablig Akbar Cerita Tentang Dajjal

Pada malam hari ini, saya mau bercerita tentang Dajjal tapi bukan DONGENG ya. Kenapa saya mengangkat tema tentang Dajjal? Karena : (1) Dajjal itu keluar di saat orang-orang tidak lagi membicarakan tentangnya dan sudah melupakannya. (2) Fitnah yang paling besar adalah Fitnah Dajjal[1]. (3) Banyak orang di zaman sekarang yang berbicara tentang tokoh yang satu ini dengan menggunakan dalil-dalil yang dhoif.

Sebelum Dajjal datang, akan ada 3 tahun yang sangat kering, di mana tahun yang pertama, Allah akan menahan sepertiga air hujan. Tahun yang kedua, Allah akan menahan dua pertiga air hujan. Tahun yang ketiga, Allah akan menahan hujan sama sekali dan di saat itu tidak ada makanan[2]. Dalam riwayat yang lain[3], “Tidak akan tegak hari kiamat sampai orang-orang akan mengharapkan keluarnya Dajjal.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa demikian?” kata Rasulullah, “Karena di saat itu kesusahan luar biasa sekali.” BAYANGKAN tidak ada makanan, di saat kesusahan seperti itu Dajjal membawa gunung roti. Di zaman sekarang saja ada orang bersedia mengganti agamanya demi mendapatkan sesuap nasi, bagaimana kalau ternyata itu di waktu Dajjal keluar? MENGERIKAN.

Disebutkan pula dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan, “Makmurnya Baitul Maqdis itu tanda akan kosongnya kota Madinah. Kosongnya kota Madinah, tanda akan adanya malhamah kubro. Setelah malhamah, akan dikuasainya Konstantinopel. Dikuasainya Konstantinopel, keluarlah Dajjal.”[4]

Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa tanda Dajjal sudah sangat dekat yaitu Baitul Maqdis itu makmur. Kenapa Baitul Maqdis makmur? Karena di sana merupakan kerajaan Islam terakhir di Syam dan akan dipimpin oleh Imam Mahdi. Makmurnya Baitul Maqdis, tanda kota Madinah akan kosong ditinggalkan penduduknya. Kosongnya kota Madinah, tanda akan terjadi malhamah kubro yang merupakan perperangan yang sangat dahsyat dan berakhir dengan kemenangan kaum muslimin juga dikuasainya kota Konstantinopel. Ketika kota Konstantinopel sudah dikuasai dan ketika kaum muslimin hendak mengambil ghanimah, maka terdengar seruan bahwa Dajjal sudah keluar. Maka kaum muslimin pun meninggalkan ghanimah dan lari menyelamatkan diri masing-masing.

Siapa Dajjal?

Dajjal telah ada bahkan di zaman Rasulullah, Dajjal sudah ada. dari seorang shahabat yang bernama Tamim bin Aus Ad-Dari (Abu Ruqoyyah). Tamim bin Aus Ad-Dari berkata, “Aku bersama beberapa orang dari qabilahku(yaitu dari Bani Tamim) kami berlayar di lautan akan tetapi kami diombang-ambingkan selama 3 hari 3 malam sampai akhirnya kami terdampar di sebuah pulau. Lalu di pulau itu kami bertemu dengan makhluk yang dipenuhi oleh bulu. Kami tidak tau mana depan mana belakang. Lalu kami berkata, “Kamu siapa?”

Dia menjawab, “Aku Jasasah.”

Lalu kami bertanya, “Siapa Jasasah?”

Maka dia berkata, “Hai kaum, bersegera kalian ke sebuah rumah ibadah di sana karena di sana ada seorang laki-laki yang ingin bertemu dengan kalian.”

Kami pun segera pergi ke sebuah rumah tersebut. Maka kami melihat dan bertemu dengan seorang manusia yang tidak pernah kami melihat ada yang lebih besar daripada manusia itu. Dia dirantai oleh rantai-rantai besi. Lalu kami berkata, “Siapa kamu?”

Maka orang besar ini berkata, “Kabarkan kepadaku siapa kalian?”

Kata kami, “Kami dari Arab dari Bani Tamim.”

Lalu orang yang besar ini berkata, “Apa yang dilakukan oleh Muhammad dan para shahabatnya?”

Kata Abu Ruqoyyah, “Dia sudah hijrah ke kota Madinah dan menguasai qabilah-qabilah yang ada di sekitarnya.”

Kata Dajjal, “Ketahuilah jika mereka mengikuti Muhammad itu lebih baik buat mereka.”

Lalu kemudian Dajjal minta diberitahu tentang 3 perkara. Dajjal berkata kepada Tamim, “Kabarkan kepadaku tentang kurma yang ada di suatu tempat namanya Baissan?”

Kata Tamim, “Tentang apanya?”

“Tentang kurmanya, apakah masih berbuah?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang besar ini, “Kelak nanti pohon kurma di sana tidak akan berbuah lagi.”

“Kabarkan kepadaku tentang sebuah mata air yang bernama Zughor?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, apakah masih banyak?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang ini, “Kelak airnya akan kering.” Kemudian orang ini bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku tentang danau yang bernama Tobaria(Tiberias)?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, masih ada atau tidak?”

Kata Tamim, “Banyak.”

Kata Beliau, “Kelak nanti danau itu akan kering. Di saat mata air Zughor sudah kering dan Tiberias sudah kering dan pohon kurma yang ada di Baissan sudah tidak berbuah, aku akan keluar. Akulah Dajjal.”

Lalu pulanglah Tamim bersama teman–temannya, mereka pun langsung menuju kota Madinah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu masuk islam lah Tamim dan diceritakan perihal bertemunya Tamim dengan Dajjal. Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabat, “diam di tempat-tempat kalian, bercerita kepadaku tadi Tamim tentang Dajjal persis seperti yang aku ceritakan kepada kalian.”[5]

Qadarullah, Tamim dijadikan Allah lupa di daerah mana itu, apakah di timur atau barat? Lupa Tamim. Jangankan Dajjal yang cuma satu orang, Ya’juj dan Ma’juj yang jumlahnya sangat banyak saja susah kita menemukannya di mana. Hanya Allah yang Maha Tau.

Di mana Dajjal akan keluar?

Dajjal akan keluar di sebuah tempat yang bernama Yahuda di Ashbahan. Kata Rasulullah, ”Dia akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi yang memakai toyalisah.”[6] Antum tau Ashbahan di mana? Di Iran. Perlu antum ketahui bahwa populasi jumlah Yahudi di Ashbahan sekarang ini sudah sangat banyak sekali.

Sifat-sifat Dajjal

Di antara sifat-sifat Beliau adalah :

  1. Rambutnya kribo dan pendek.[7]
  2. Besar badannya.[8]
  3. Jidatnya agak nonjol(jenong) yang bertuliskan ka fa ra.[9]
  4. Diberikan kemampuan yang luar biasa seperti dapat berjalan secepat angin, bisa menyuruh awan untuk hujan, bisa menyuruh tanah agar kering[10] dan ini merupakan fitnah yang dahsyat.
  5. Dajjal membawa air yang dingin dan membawa api.[11]
  6. Dajjal disebut almasih karena matanya pecak sebelah.[12]
  7. Dajjal akan terus mendatangi tempat-tempat di bumi.[13]

Orang yang akan terfitnah oleh Dajjal

  1. Orang Yahudi. Karena disebutkan di dalam hadits, dia(Dajjal) akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi.
  2. Wanita. Karena kebanyakan mereka bodoh dalam agama.[14]

Tempat yang tidak bisa dimasuki Dajjal

Ada 4 tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Dajjal[15] :

  1. Kota Mekkah
  2. Kota Madinah
  3. Baitul Maqdis
  4. Gunung Thur

Bagaimana cara supaya selamat dari Dajjal?

  1. Berusaha menjadi penuntut ilmu agama. Pernah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Rasulullah mengabarkan tentang ada seorang pemuda yang akan mendatangi Dajjal dan berkata pemuda itu, “Wahai manusia, sesungguhnya dia itu Dajjal, jangan diikuti oleh kalian.” Maka kemudian dia ditangkap oleh pasukan Dajjal dan dibawanya kepada Dajjal. Lalu kemudian Dajjal menyuruh dia murtad dan mengakuinya sebagai Nabi, tapi dia tidak mau. Maka digergaji kepalanya sampai jadi dua belah, kemudian Dajjal berjalan di antara dua anggota tubuhnya tersebut, rapat lagi jadi orang lagi, berdiri. Lalu Dajjal berkata, “Sekarang kamu beriman tidak bahwa aku tuhanmu?” apa kata si pemuda ini? “Justru aku semakin yakin engkau Dajjal yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”[16] rupanya si pemuda ini punya ilmu tentang hadits. Berarti ini memberikan isyarat, mereka yang berpegang kepada sunnah, yang belajar sunnah, yang belajar agama, belajar diin, insyaAllah mereka selamat.
  2. Kenali sifatsifat Dajjal. Sebab kalau kita tidak mengenalinya secara betul-betul, maka kita bisa tertipu.
  3. Berdo’a berlindung dari 4 perkara.

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jangan lupakan itu, Nabi menganjurkan umatnya sebelum salam setelah selesai tahiyat untuk berlindung dari 4 perkara.[17]

  1. Hafalkan 10 ayat pertama dari surat Al Kahfi[18]. Hafalkanlah dari sekarang.
  2. Berusaha menjauh dari Dajjal. Lari, jangan malah penasaran bagaimana Beliau itu, karena syubhatnya besar. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Seseorang ingin bertemu dengan Beliau dan dia merasa yakin dia tidak terpengaruh ternyata langsung terkena syubhatnya.”[19] Karena syubhat Beliau itu kuat sekali, berat. Ini seperti isyarat agar kita meninggalkan dan menjauhi segala macam syubhat. Jangan dekati syubhat. Kalau di zaman sekarang, banyak orang senang malah mendekati syubhat itu. Malah penasaran pengen tau, akhirnya terpengaruh. Akibat dari kita tidak mau menjauhi syubhat, akhirnya jatuhlah kepada syubhat. Nah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh kita supaya ketika mendengar Dajjal di suatu tempat, segera lari, lari, dan lari masyaAllah. Untuk lari meninggalkan Dajjal itu tidak mudah, karena butuh perjuangan luar biasa.

Berapa lama Dajjal tinggal di bumi?

Dajjal akan tinggal di bumi 40 hari. Hari yang pertama, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sepanjang satu tahun, artinya matahari akan Allah tahan selama satu tahun. Kemudian hari kedua, kata Rasulullah panjangnya sama dengan sebulan, hari yang ketiga panjangnya sama dengan seminggu, dan hari berikutnya sama dengan hari-hari yang lainnya.[20]

Terbunuhnya Dajjal

Kemudian setelah Dajjal tinggal di bumi selama 40 hari, Allah pun turunkan Nabi Isa ‘alaihissalam, di sebuah menara yang berwarna putih di kota Damaskus. Di mana Nabi Isa turun dengan mengendarai malaikat, seakan akan beliau baru keluar dari kamar mandi. Kenapa? Karena Nabi Isa itu rambutnya selalu basah. Lalu kemudian Nabi Isa mengumumkan jihad dan di saat itu kaum muslimin hendak siap-siap untuk shalat subuh. Ketika mereka hendak shalat subuh, terdengarlah suara. Maka mereka segera menuju suara tersebut ternyata Nabi Isa ‘alaihissalam. Lalu kemudian dikumangkanlah iqamah, dipersilahkan Nabi Isa jadi Imam tapi Nabi Isa tidak mau. Makanya Rasulullah bersabda, “bagaimana keadaan kalian apabila Nabi Isa almasih telah keluar pada kalian dan ternyata yang menjadi imam tetap dari kalian?” Kenapa Nabi Isa tidak mau jadi imam? Karena menghormati umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka saat itu Nabi Isa pun mengumumkan perang, Nabi Isa hanya menerima dua, dibunuh atau masuk Islam dan tidak lagi menerima jizyah dan saat itu Nabi Isa akan menghancurkan salib, akan menghancurkan babi, dan Nabi Isa ‘alaihisallam pun diberikan oleh Allah kekuatan yang luar biasa. Tidak ada seorang pun orang kafir yang mencium nafasnya Nabi Isa kecuali mati dan nafas Nabi Isa sepanjang mata memandang beliau.[21] Dikejarnya terus dikejarnya sampai akhirnya Nabi Isa membunuh Dajjal di suatu tempat bernama Bab Ludd[22]. Di sanalah kemudian Beliau dibunuh oleh Nabi Isa. Maka the end, selesailah riwayat dari tokoh yang satu ini.

Penutup

Semua itu pasti terjadi karena itu semua dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dari itu setiap kita mempersiapkan keimanan kita dari sekarang. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika mengabarkan Dajjal akan keluar, lalu tokoh yang satu ini akan berbuat kerusakan di sana sini, apa kata Rasulullah? “hai hamba-hamba Allah, kokohlah kalian di atas agama kalian. Kuat kalian berpegang kepada agama kalian.” Karena memang berat sekali, Allahua’lam.

*Diintisarikan dari Tabligh Akbar berjudul “Cerita Tentang Dajjal” oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam –hafizhahullah- dengan sedikit penambahan dan pengurangan yang diperlukan tanpa mengubah makna.

Video Kajian Selengkapnya Dapat Ditonton Di: KAJIAN ILMIYAH : Ustadz Abu Yahya Badru Salam, Lc – Cerita Tentang Dajjal

[1] HR. Ibnu Majah no. 4215

[2] Silsilah Hadits Ash-Shahihah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[3] Shahih Jami’, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[4] HR. Abu Daud

[5] Hadits Jasasah. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya

[6] HR. Muslim no. 2944

[7] HR. Abu Daud no. 4320. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[8] HR. Bukhari no. 7128 dan Muslim no. 171

[9] HR. Muslim no. 169

[10] HR. Muslim no. 2937

[11] HR. Muslim no. 2934

[12] Jami’ al-Ushul, 4: 204

[13] HR. Muslim no. 2942

[14] HR. Ahmad 2: 67

[15] HR. Ahmad 5: 364

[16] HR. Muslim no. 2938

[17] HR. Muslim no. 588

[18] HR. Muslim no. 809

[19] HR. Abu Daud no. 4319 dan Ahmad 4: 441

[20] HR. Abu Daud no. 4321

[21] HR. Muslim no. 2937 dari Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhu

[22] HR. At-Tirmidzi no. 2244

Tulisan ini merupakan tulisan pemenang pada Sayembara Menulis Sesuaisunnah.com edisi #01

 

Baca juga : Ciri-ciri Orang Yang diterima Amalannya di Bulan Ramadhan

Ringkasan Kajian Silsilah Tauhid “Ma’na Thogut” – Pertemuan 1

بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:

إعلم رحمك الله تعالى أن أول مافرض الله على ابن آدم الكفر بالطاغوت والإيمان بالله

“Ketahuilah -semoga Allah ta’ala merahmatimu- bahwasanya yang pertama kali Allah wajibkan atas bani Adam adalah mengingkari thagut dan beriman kepqda Allah”.

Allah ta’ala berfirman,

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”. (Q.S Al-Baqarah : 256)

“Tidak ada paksaan dalam menganut agama” pada ayat di atas artinya,

– Tidak diwajibkannya masuk Islam ketika Nabi Muhammad pertama kali diperintahkan mengajarkan Islam di Mekkah. Hal ini sebelum turun ayat jihad, adapun setelahnya maka wajib masuk ke dalam Islam.

– Ayat in ditujukan untuk Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi. Setelah mereka membayar upeti dan tunduk pada pemerintahan Islam, tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk Islam.

– Ini dimaksudkan untuk kalangan keluarga Yahudi dan Nasrani, tidak boleh bagi mereka memaksa anak mereka masuk agama mereka.

Ayat “فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ” menunjukkan Nafyu pada kalimat يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ (mengingkari thagut), dan Istbat pada kalimat وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ (beriman pada Allah). Nafyu artinya menafikan segala sesembahan selain Allah, sedangkan Istbat artinya menetapkan bahwa hanya Allah-lah zat yang pantas disembah. Dua hal ini termasuk ke dalam rukun لااله إلاالله.  

Pengertian Thagut

Kata “Thagut” diambil dari kata طَغَى yang artinya “melampuai batas”

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Thagut adalah segala hal yang melampaui batasannya dari yang disembah, diikuti, dan ditaati”.

Thagut memiliki 5 tingkatan, dari yang paling tinggi ke paling rendah yaitu,

1. Iblis.

2. Siapa yang disembah dan dia ridho.

3. Siapa yang mengajak beribadah kepada dirinya.

4. Siapa yang mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib.

5. Siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah.

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, (Q.S An-Nahl : 36).

Abdullah bin Abbas berkata, “setiap kata ‘ibadah’ dalam Al-qur’an maksudnya mentauhidkan Allah”. Tugas seluruh Nabi dan Rasul adalah selalu mendakwahkan tauhid.

Pada ayat di atas terdapat kata أُمَّةٍ. Kata “ummat” di dalam Al-Qur’an bisa memiliki 4 makna:

1. Sekelompok kaum/golongan (lihat Q.S An-Nahl : 36)

2. Waktu/masa (lihat Q.S Hud : 8)

3. Imam/contoh/panutan (lihat Q.S An-Nahl : 120)

4. Agama (lihat Az-Zukhruf : 22)

Muqaddimah Kitaab at-Tauhid – Penjelasan Surah Adz-Dzaariyat ayat 56 dan Pengertian Ibadah

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S Adz-Dzariyat 51:56)

Kata (خلقتُ) berasal dari kata (الخلقُ) yang artinya penciptaan. Penciptaan artinya mengadakan sesuatu yang tidak ada asalnya sebelumnya dan tidak ada pula contohnya. Sehingga Allah disifatkan dengan (الخالق), yang artinya pencipta, karena tidak ada yang menciptakan alam, manusia, dan jin selain Allah.

Pengertian Ibadah dan Klasifikasinya

Kata (ليعبدون) berasal dari kata (العبادةُ). Ibadah, menurut bahasa artinya adalah perendahan diri dan ketundukan. Contoh ibadah adalah sholat. Simbol paling hina saat seseorang sholat adalah sujud, sedangkan simbol kemuliaan pada manusia adalah wajahnya. Pada saat seorang manusia solat, dia meletakkan simbol kemuliaan (wajahnya) di tempat yang hina (sujud). Inilah yang disebut ketundukan/perendahan diri. Namun tatkala seorang hamba melaksanakan sholat, ini tidak menunjukkan kehinaan, karena sholat adalah perintah Allah. Tempat terendah saat sholat adalah pada saat sujud, akan tetapi apabila dia beribadah dengan benar, inilah tempat terdekat seorang hamba kepada Rabb-Nya.

Rasulullah bersabda,

“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabb-Nya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa” (HR. Muslim)

Sedangkan Ibadah menurut syara’, artinya “suatu nama yang mencakup seluruh apa-apa yang dicintai Allah dan diridhoi-Nya, dari perkatan-perkataan dan amalan-amalan, yang dzahir (tampak) maupun yang batin (tersembunyi).

Ibadah Hati, Ibadah Anggota Badan, dan Ibadah Harta

Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin mengatakan tentang ibadah, ada yang namanya ibadah hati dan ibadah dzahir.

Ibadah hati atau ibadah batin, terbagi menjadi 2, yaitu ucapan hati dan amalan hati. Ibadah ucapan hati adalah ibadah yang terkait dengan i’tiqadiyyah/keyakinan. Contoh ibadah ucapan hati adalah meyakini tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, mengimani seluruh nama dan sifat Allah, dan mengimani malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Ibadah amalan hati contohnya adalah ikhlas dalam niat beribadah hanya untuk Allah, mencintai Allah, berharap, takut, dan tawakkal hanya kepada Allah.

Ibadah dzahir terbagi menjadi 2, yaitu ibadah anggota badan dan ibadah harta. Ibadah anggota badan contohnya adalah shalat, puasa, dan menghadiri majelis ilmu. Ibadah harta contohnya adalah zakat, berkurban, dan sedekah.

Ibadah Mahdoh dan Ibadah Ghairu Mahdhoh

Kemudian, ibadah dapat dibagi lagi menjadi Ibadah Mahdhoh dan Ibadah Ghairu Mahdhoh. Ibadah Mahdhoh artinya ibadah yang dibangun di atas dalil, dan kaidah yang dijelaskan ulama tentang ibadah ini adalah ‘Ibadah itu asalnya haram, sampai ada dalilnya’. Contoh ibadah ini adalah sholat dan puasa. Ibadah Ghairu Mahdhoh adalah perbuatan yang pada asalnya bukan ibadah, namun jika diiringi niat yang baik maka perbuatan itu bisa bernilai ibadah. Contohnya adalah makan dan kerja.

Maka dari penjelasan di atas, jelaslah ibadah tidak hanya terbatas pada sholat, puasa, kegiatan di masjid dan sejenisnya. Namun cakupan ibadah itu luas. Sehingga haruslah seorang hamba memenuhi harinya dengan beribadah kepada Allah, dimanapun ia berada.

Penjelasan Surat Adz-Dzariyaat Ayat 56

Syaikh Shalih Fauzan berkata di dalam Kitaab At-Tauhid, makna ayat di atas (Adz-Dzariyaat : 56) adalah “Bahwasanya Allah mengabarkan tidaklah Allah ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada-Nya, dan di dalamnya penjelasan hikmah di dalam penciptaan makhluk. Allah tidak menginginkan dari mereka apa yang diinginkan seorang tuan dari hambanya berupa rezeki dan makanan, dan sesungguhnya yang Allah inginkan adalah kemaslahatan untuk mereka”

Allah kepada hambanya, berbeda dengan tuan dengan hambanya. Allah tidak memerlukann ibadah hamba-Nya. Kalaupun seluruh manusia dan jin beribadah dan bertaqwa pada Allah, ini tidak akan menambah kerajaan Allah. Dan jika seluruh makhluk-Nya berbuat maksiat, maka hal ini pun tidak mengurangi kerajaan Allah sedikitpun.

Dengan begitu, seluruh ibadah yang dilakukan hamba itu untuk kebaikan dan kemaslahatan hamba itu sendiri. Maka rugilah orang yang tidak mau beribadah karena dia akan mendapatkan kemudhorotan, sedangkan bagi orang yang mau beribadah akan Allah kembalikan kemaslahatan bagi hamba yang beribadah itu.

Wallahu a’lam bishshawab

 

Ringkasan Kajian Kitab Al-Mulakhkhos fii Syarh Kitaab At-Tauhiid, karangan Syaikh Shalih Fauzan

Pertemuan ke 2, 21 Januari 2019 / 15 Jumadil Awal 1440 H

Muroja’ah oleh : Ustadz Muhammad Permana

Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Al-Mulakhkhos fii Syarhi Kitaab At-Tauhiid KaranganSyaikh Shalih Fauzan.

Seri 01 – Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Senin, 14 Januari 2019/ 8 Jumadil Awal 1440 H

Biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Beliau bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Aliyyi, dari kabilah Bani Tamimi, dan beliau adalah imam dakwah salafiyyah di Najed dan sekitarnya.

Beliau dilahirkan di negeri Uyainiyyah di dekat Madinah pada tahun 1115 H. Beliau telah menghafal al-qur’an saat berumur 10 tahun, dan beliau belajar agama dari ayahnya yang merupakan qadhi Uyainiyyah pada waktu itu. Berbeda dengan anak-anak yang pada umumnya masih senang bermain-main, beliau sangat semangat dalam menuntut ilmu. Beliau telah baligh pada umur 12 tahun, dan pada umur itu orangtuanya menikahkannya. Di usia yang sama beliau melakukan perjalanan haji, dan belajar pada ulama di di Madinah. Beliau juga belajar pada ulama di Najed, Ahsaai, dan Basrah.

Pada zaman beliau telah tersebar berbagai macam khurafat dan kebid’ahan. Banyak orang mencari berkah di kuburan, pepohonan, dan batu. Maka beliau -rahimahullah- mendakwahkan manusia kepada aqidah yang lurus dan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, dan menuliskan kitab-kitab, salah satunya adalah (Kitabut Tauhid). Kitab ini mendapat sambutan yang besar dari para ulama dan penuntut ilmu. Sangat besar perhatian ulama untuk mempelajari dan mensyarah kitab ini, salah satunya -yang mensyarah kitab ini- adalah Syaikh Shalih Fauzan. Kitab ini merupakan kitab yang sangat bagus dan kaya akan faedah, semoga Allah memberikan manfaat kitab ini kepada banyak manusia.

Beliau wafat di Dirriyyah dekat Madinah pada tahun 1206 H. Sungguh beliau telah menghasilkan banyak ulama dan imam dakwah. Semoga Allah memberikan pahala yang banyak baginya dan menjadikan surga baginya.

Sebab Banyak Orang Membenci Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Di zaman sekarang ini, banyak orang yang membenci atau menyelisihi dakwah syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Mereka ini -yang membenci syaikh rahimahullah– dapat dibagi menjadi 2,

1. Mereka berbicara tanpa ilmu, tidak mengenal sejarah, ilmu, dan kitab-kitab beliau. Hal ini menyebabkan mereka membuat tuduhan yang tidak benar kepada syaikh rahimahullah
2. Mereka paham dan mengenal siapa syaikh rahimahullah, tapi karena adanya kebencian dan hasad di dalam hati mereka, mereka buat pernyataan-pernyataan dusta tentang syaikh rahimahullah

Sungguh, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab selama hidupnya selalu mendakwahkan manusia kepada Allah ta’ala, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Bagi orang yang mencari kebenaran dengan hati yang murni, mereka akan mendapatkan banyak faedah dari kitab-kitab beliau. Semoga Allah menetapkan hati kita di atas kebenaran, dan Allah mudahkan kita untuk mempelajari kitab-kitab beliau dan mengamalkannya.

Wallahu a’lam bishshawab

Allah Memiliki Sifat Qadiim, Daaim, dan Iradah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Imam Ath-Thahawi berkata dalam Aqidah Ath-Thahawiyyah

قديم بلا ابتداء, دائم بلا انتهاء, لا يفنى ولا يَبِيْد

Artinya, “Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Kata (القديم ) dalam bahasa arab adalah lawan dari (الحديث). Syaikh Albani berkata: Qadiim adalah sebutan untuk sesuatu yang baru, yang mana sebelumnya sesuatu telah ada. Jika sesuatu itu tidak ada sebelumnya kemudian dia ada, maka tidak disebut dengan qadiim.

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (Q.S Yaasiin : 39)

, أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ , قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ ,

Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah [75], kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? [76]” (Q.S Asy-Syu’ara’ : 75-76)

Qadiim digunakan sebagai pengkhabaran sifat Allah. Adapun Qadiim terbagi menjadi dua, yaitu Taqaddum Nisbiy dan Taqaddum Mutlaq.

Taqaddum Nisbiy ditujukan kepada makhluk, karena sifat ada mereka sebagiannya mendahului sebagian yang lain. Seperti manusia yang awalnya berbentuk sperma sebelum kemudian terbentuk wujudnya.

Taqaddum Mutlaq ditujukan kepada Allah, karena Dia ada tanpa ada permulaan.

Namun Qadiim ini hanya termasuk sifat Allah dan tidak termasuk ke dalam nama-Nya. Tidak boleh kita mengatakan “Yaa Qaadiim” atau “Yaa Subhaanal Qadiim”, karena tidak pengkhususan nama dalam hal ini. Nama-nama Allah bersifat tauqify dan perlu dalil.

Adapun penyebutan Qadiim dan Daaim bagi Allah tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi Allah menyebutkan: Al-Awwal wal Aakhir, seperti firman Allah taala,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” . (Q.S Al-Hadiid : 3)

Perkataan Imam Ath-Thahawi “dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa” merupakan penguat perkataan beliau sebelumnya, yaitu “dan Dia kekal tanpa ada akhir”.

Sebagaimana kaidah Ahlus Sunnah dalam mensifat sifat Allah yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya

Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Allah kehendaki

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا يكون الا ما يريد

Artinya, “Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Dia kehendaki

Ini menunjukkan sifat iradah (kehendak) Allah. Allah berfirman,

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki” (Q.S Al-Buruuj : 16)

Allah berbuat sesuai dengan yang Dia kehendaki. Dialah pencipta segala sesuatu, dan jika Allah menginginkan terjadi sesuatu, maka hal itu pasti terjadi.

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia.” (Q.S An-Nahl : 40)

Iradah Allah terbagi atas dua, yaitu Iradah Kauniyyah dan Iradah Syar’iyyah.

Iradah kauniyah adalah kehendak Allah yang pasti terjadi. Iradah kauniyah meliputi semuanya, tidak ada yang keluar dari kehendak Allah, baik yang dicintai-Nya maupun yang dibenci-Nya.

Iradah Syar’iyyah adalah kehendak Allah yang belum tentu terjadi. Iradah Syar’iyyah hanya meliputi hal yang dicintai Allah saja. Contoh Iradah Syar’iyyah adalah hidayah yang Allah berikan kepada seorang hamba, tapi diterima atau ditolaknya hidayah tersebut tergantung kepada hamba-Nya itu. Allah berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S Al-Baqarah : 185)

Kedua Iradah ini tidak akan bisa terjadi kecuali tanpa izin Allah, Allah berfirman,

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا, قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ

Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah” (Q.S Al-Hasyr : 5)

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 11 November 2018 / 3 Rabi’ul Awwal 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Kaidah Ahlus Sunnah dalam Menetapkan Sifat Allah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Tidak Ada yang Sama Seperti Dia (Allah)

Melanjutkan perkataan Imam Ath-Thahawi dalam Aqidah Ath-Thahawiyah, beliau berkata

ولا شيء مثله

Artinya: “Tidak ada yang sama seperti Dia (Allah)

Ini adalah kalimat yang menunjukkan penafian bahwa ada yang semisal dengan Allah. Dalil dari hal ini adalah,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Q.S Asy-Syura : 11)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (Q.S Al-Ikhlas : 4)

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

Karena itu janganlan kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (Q.S Al-Baqarah : 22)

Karena tidak ada yang sama seperti Allah, tidak boleh kita mengadakan tandingan bagi Allah, dan tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Ketika seorang mukmin mengimani Allah, maka diwajibkan padanya untuk mengimani kesempurnaan Allah, bahwa tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak boleh mensifatkan Allah seperti makhluk-Nya, dan tidak boleh pula menafikan sifat Allah.

Di antara firqah-firqah sesat yang keliru dalam menetapkan sifat Allah adalah Mu’aththilah dan Musyabbihah. Mu’aththilah, mereka menolak seluruh sifat Allah, sedangkan Musyabbihah, mereka menerima sifat Allah namun mereka samakan sifat Allah dengan sifat makhluk.

Ahlussunnah (dalam menetapkan sifat Allah), mereka berada ditengah dua firqah ini. Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki sifat, namun sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya.

Kemudian kelompok dari kalangan jahmiyah dan mu’tazilah yang mereka menafikan sifat Allah. Pada awalnya, mereka meyakini bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Mereka ingin mensucikan Allah dari tasbih (penyerupaan), namun dikarenakan tidak mengikuti manhaj salaf dalam memahami sifat Allah, akhirnya mereka terjatuh ke dalam bid’ah yang lain, yaitu menolak sifat2 Allah

Ahlussunnah telah membantah mereka. Jika mereka berhujjah untuk menafikan sifat Allah dengan mengatakan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, maka cukuplah ini sebagai dalil bagi mereka Allah punya sifat.

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (Q.S Asy-Syura : 11)

Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, ini adalah sifat Allah.

Dan untuk firqah yang menyamakan sifat Allah, Ahlussunnah pun telah membantah mereka. Allah berfirman

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

Dalil ini menunjukkan Allah bersifat hidup.

يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” (Q.S Ar-Rum : 19)

Dalil ini menunjukkan bahwa makhluk bersifat hidup pula.

Namun apakah sama sifat hidupnya Allah dengan sifat hidupnya makhluk? Tidaklah sama hidupnya Allah dengan hidupnya makhluk. Allah memiliki sifat hidup dengan kesempurnaan-Nya. Dia tidak mati, tidak mengantuk dan tidak tidur. Berbeda dengan hidup makhluk yang penuh dengan kekurangan.

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

(Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur” (Q.S Al-Baqarah : 255)

Tidak ada yang Melemahkan-Nya

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا شيء يعجزه

Yang artinya “Tidak ada yang melemahkan-Nya

Ini adalah penafian dari sifat Allah yang Maha Kuat. Allah berfirman,

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Dan tidaklah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul), padahal orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa” (Q.S Fathir : 44)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikitpun.” (Q.S Qaf : 38)

Kaidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah, ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya.

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak lemah, maka Allah bersifat Maha Kuasa

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak jahil, maka Allah bersifat maha Mengetahui

Tidak Ada Ilah (Sembahan) Selain Allah

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا إله غيره

Yang artinya, “Dan tidak adalah ilah (sembahan) selain Allah

Dan ini adalah kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah). Allah berfirman,

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي

Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (Q.S Thahaa : 14)

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ

(Yunus berkata) Tidak ada tuhan selain Engkau” (Q.S Al-’Anbiya’ : 87)

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia” (Q.S Ali-Imran : 18)

Tidak mengapa bila seorang hamba ingin berzikir kepada Allah, dia menggnakan kata ganti dhamir sebagai pengganti kata Allah. Apabila seorang hamba ingin berzikir kepada Rabb-Nya, maka dia bisa mengatakan “Tidak ada tuhan selain Engkau”, atau “Tidak ada tuhan selain Allah”, atau “Tidak ada tuhan selain Dia”.

Ketika seorang hamba berzikir kepada Rabb-Nya, hendaklah dia menggunakan dzikir yang lengkap. Tidak seperti golongan Sufi yang hanya berzikir dengan mengatkan “Allah… Allah…” atau “Hu.. Hu.. (maksudnya dari kata هو)”. Maka ini adalah cara berzikir yang batil. Dari akal, bahasa, ataupun syariat hal ini adalah hal yang salah. Tidak ada zikir dan keimanan disini, dan tidak memberikan manfaat ketika dilakukan seorang hamba.

Dalam bahasa arab, kata (إله) memiliki wazan (فِعال) yang maknanya (مَفعول), artinya yang di-. Misalnya (كتاب) )tulisan) maknanya (مكتوب) (yang ditulis). Maka (إله) maknanya (مألوه) dari kata (أَله   يأَلَه) yang maknanya (عبد) yang artinya menyembah.

Maka makna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang disembah selain Allah”. Namun makna ini kurang lengkap, yaitu masih kurang tauhid uluhiyahnya. Dan masih ada tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah. Seperti firman Allah dalam surah al-Kaafirun

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ , لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” (Q.S Al-Kafirun : 1-2).

Maka makna yang sempurna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ بحق إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah”

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 28 Oktober 2018 / 19 Safar 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Dalam pembagian tauhid, sebagian ahlussunnah membagi tauhid menjadi 3 jenis, dan sebagian lagi membagi tauhid menjadi 2 jenis.

Pembagian Tauhid Menjadi 3 Jenis

Mereka yang membagi tauhid menjadi 3 jenis adalah; tauhid rububiyah, tauhid ibadah (uluhiyah) dan tauhid asma wa shifat.

Tauhid rububiyah maknanya: mentauhidkan Allah dalam ke-rububiyahan-nya. Allah-lah yang mengatur seluruh alam, seperti menciptakan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Dan tidak ada kesyirikan dalam af’al (perbuatan) Allah.

Tauhid uluhiyah ialah: mengesakan Allah dalam beribadah. Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia.

Tauhid asma wa shifat ialah: menetapkan bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi. Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan dan kaki, seperti pada dalil-dalil berikut.

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” (Q.S Az-Zumar: 67).

“(Neraka) jahanam masih saja berkata, ‘apakah ada tambahan; hingga akhirnya Tuhan Pemilik Kemuliaan meletakkan kaki-Nya, kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat.”(H.R Bukhari dan Muslim)

Allah bersifat memiliki tangan dan kaki, tetapi tangan Allah tidaklah sama dengan tangan makhluk dan kaki Allah tidaklah sama dengan kaki makhluk. Tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk dan tidak boleh kita nafikan sifat yang dimiliki Allah. Dan sifat-sifat Allah (tangan, kaki) tidak bisa kita bayangkan atau kita perumpamakan.

Pembagian Tauhid Menjadi 2 Jenis

Ulama yang membagi tauhid menjadi 2 bagian, yaitu tauhid ma’rifah wa itsbat dan tauhid ilahiyah.

Tauhid ma’rifah wa itsbat (atau disebut juga tauhid fii ‘ilmi wa qauli atau tauhid ‘ilmi wa khabari) meliputi dua tauhid, yaitu tauhid rububiyah dan tauhid asma wa shifat. Kedua tauhid ini berkaitan dengan ‘ilmu, dan dalil yang menjelaskan kedua tauhid ini sifatnya khabar/informasi.

Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa (1). Allah tempat meminta segala sesuatu (2). (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3). Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (4).” (Q.S Al-Ikhlash : 1-4)

Tauhid ilahiyah (disebut juga tauhid ibadah, atau tauhid iradah walqasdi wal ‘amali, atau tauhid thalabii) meliputi tauhid uluhiyah. Dalil yang menjelaskan tauhid ini bersifat perintah (insyaa’). Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Q.S An-Nisa: 36).

Pembagian-pembagian tauhid ini dilakukan oleh ulama ahlussunnah dengan menggunakan nash-nash syar’i.

Faedah Membagi Tauhid Menjadi Beberapa Bagian

Diantara ahli bid’ah ada yang mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi beberapa bagian ini adalah bid’ah. Perkataan mereka (para ahli bid’ah) ini adalah perkataan yang bathil. Memang benar bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada pembagian tauhid. Namun berdasarkan penelitian para ulama dari dalil Alquran maupun Sunnah, mereka membagi tauhid ini menjadi tiga untuk memudahkan kaum muslimin untuk memahami tauhid. Sebaik-baik ungakapan ialah ungkapan yang pernah dibuat oleh ahli fiqih (ulama). Sebagai contoh yaitu sholat, mereka membaginya menjadi rukun, wajib, dan sunnah. Contoh lain misalnya adalah pembelajaran yang terbagi menjadi tafsir, aqidah, dan fiqih. Pembagian ini tidak dikenal pada zaman dahulu, namun para ulama membagi-bagi hal ini untuk memudahkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Pembagian ini pun bukan sembarangan, akan tetapi didasari oleh dalil dan nash-nash syar’i.

Pembagian tauhid menjadi beberapa bagian memiliki faedah. Faedah yang pertama, pembagian tauhid memudahkan para penuntut ilmu memahami tauhid. Faedah yang kedua, pembagian tauhid menunjukkan bahwa hanya meyakini tauhid rububiyah saja tidak memasukkan seseorang kedalam Islam. Sebagaimana orang kafir quraisy yang meyakini kerububiyahan Allah, Allah berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. Maka mereka akan menjawab, “Allah.”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa?” (Q.S Yunus: 31).

Mereka (kafir quraisy) meyakini kerububiyahan Allah, tetapi mereka tidak hanya menyembah Allah dan mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah. Keyakinan mereka terhadap rububiyah Allah saja, tanpa disertai tauhid uluhiyah, tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam.

Kebathilan dalam Membagi Tauhid

Pembagian tauhid yang batil pernah dilakukan oleh orang-orang yang menyelisihi ahlussunnah. Seperti ahli kalam (filsafat) membagi tauhid menjadi tauhid Dzat, tauhid shifat, dan tauhid af’al. Mereka mengatakan bahwa Dzat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Shifat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Dan af’al Allah tunggal, tidak ada yang sepertinya. Pembagian tauhid ini adalah pembagian yang bathil. Penjelasannya tentang kesesatan pembagian ini cukup panjang, namun Syaikh Al-Baraak memberi kesimpulan bahwa: Kebathilan pembagian ini adalah mereka tidak memasukkan tauhid ibadah ke dalam pembagian tauhid mereka. Selain itu mereka memasukkan sifat Allah ke dalam pembagian mereka untuk menafikan sifat Allah. Sedangkan Ahlussunnah meyakini sifat Allah dan sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk.

Pembagian bathil lain misalnya adalah, pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat, dan hakimiyah. Pembagian ini dilakukan oleh orang-orang khawarij. Mereka menambahkan tauhid hakimiyah, dengan tujuan mengkafirkan orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Wallahu a’lam bishshawab

Masjid at-Taubah Prona, 21 Oktober 2018 / 12 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Muqaddimah Aqidah Ath-Thhawiyyah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Muqaddimah

Berkata Abu Ja’far Al-Waraaq Ath-Thahawi rahimahullah:

“Ini adalah penjelasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah di atas mazhab para fuqaha agama ini: Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kuufi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibanii -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama dan mereka beragama kepada Rabbul ‘aalamiin.”

Yang dimaksud beliau adalah aqidah Imam Abu Hanifah adalah seperti apa yang beliau tulis di buku ini. Imam Abu Hanifah memiliki aqidah ahlussunnah wal jamaah dan berada di atas mazhab yang lurus, dan aqidah beliau menyelisihi aqidah-aqidah sesat yang ada (qadariyah, mu’tazhilah, jahmiyah, dll).

Ketika beliau berkata “…dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama…”, yang dimaksud dengan pokok agama adalah: enam pokok iman, (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar), dan juga lima pokok islam (persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji).

Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih

Sebagian ulama memutlakkan ushuluddin dengan pembahasan i’tiqad atau aqidah saja, dan fiqih sebagai pembahasan furu’. Sebenarnya hal itu tidaklah demikian. Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih (amaliyah). Permasalahan aqidah seperti ushul sittah (rukun iman) dan permasalahan Fiqih seperti sholat, zakat dll, keduanya termasuk ke dalam pembahasan ushuluddin dan tidak boleh dipisahkan. Masing2 memiliki ushul dan furu’. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengingkari pemisahan ini. Karena aqidah memiliki ushul dan fiqih pun memiliki ushul.

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata “Kami berkata tentang tauhid Allah, kami meyakininya dengan taufiq-Nya: Sesungguhnya Allah itu esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yg serupa seperti-Nya, dan tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada sembahan selain Dia.”

Ahlussunnah meyakini Allah itu Esa

Yang dimaksud kami pada kalimat “Kami berkata…” maksudnya adalah Ahlussunnah. “Sesungguhnya Allah itu esa…”, ini adalah bentuk itsbat (penetapan), dan kalimat “…tidak ada sekutu bagi-Nya…” ini maksudnya adalah nafii (penafian). Syaikh Al-Albani berkata, “2 rukun di dalam kata laailaaha illallah, ialah (nafi) penafian dan (itsbat) penetapan. 2 rukun ini haruslah ada dalam setiap diri seorang muslim. Maksud penafian yaitu dia menafikan tuhan-tuhan yang lain, dan penetapan yaitu dia menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah”.

Allah mentauhidkan diri-Nya maksudnya Allah mensucikan dirinya. Allah itu ahad (satu) di dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mentauhidkan Allah di dalam 3 hal ini.

Menafikan 3 hal di atas akan membawa diri seseorang ke dalam kesesatan bahkan kekufuran. Diantara bentuk menafikan rububiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Qadariyah, mereka menafikan bahwa Allah mengetahui/menciptakan perbuatan buruk makhluknya. Mereka ini seperti kaum Majusi yang meyakini tuhan mereka ada 2, yaitu tuhan cahaya (yang menciptakan kebaikan) dan tuhan kegelapan (yang menciptakan keburukan). Diantara bentuk menafikan uluhiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Sufi, mereka meyembah Allah bersamaan dengan menyembah makhluk-Nya. Mereka ber-istighasah kepada para Nabi, orang shalih, wali, syaikh, dan menjadikan mereka sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah. Dan diantara bentuk menafikan asma wa shifat Allah, adalah dengan mensifati Allah sama dengan sifatnya makhluk.

Syaikh Al-Baraak berkata: “Tauhid adalah hal yg pertama sekali diyakini dan dipelajari,”. Inilah cara beragama yang benar. Tidak seperti orang-orang filsafat yang menjadikan nadzhar (penelitian/berfikir tentang ayat 2 Allah) sebagai hal yg pertama sekali. Mereka memikirkan ayat-ayat Allah terlebih dahulu sebelum meyakini-Nya. Seharusnya kita meyakininya terlebih dahulu kemudian setelah itu berfikir. Memang baik jika kita berfikir atau membahas ayat-ayat Allah tapi hal itu bukanlah yang pertama. Yang pertama adalah mengimaninya kemudian memikirkannya, maka dengan begitu hal ini akan menguatkan keimanan kita.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 14 Oktober 2018/ 5 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Biografi Imam Ath-Thahawi dan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Biografi Imam Ath-Thahawi

Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salmah bin Abdul Malik al-Azady al-Mishri ath-Thahawi. Nama kunyah beliau adalah Abu Ja’far. Beliau lahir di Thaha, sebuah kampung kecil di Mesir. Sebagian ulama berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 239 H, sebagian lagi berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 238 H. Namun, yang rajih ialah beliau lahir pada tahun 239 H. Diantara guru beliau adalah Yunus bin Abdul A’la, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dan Ahmad bin Abi ‘Imran. Beliau juga belajar dari paman beliau, Imam al-Muzaani (pengarang Syahrus Sunnah, murid langsung imam Syafi’i). Imam Ath-Thahawi berangkat ke Syam, dan belajar pada Abdul Hamid bin Abdul Aziz. Di Syam, beliau banyak belajar dari ahli hadits.

Awalnya bermazhab Syafi’i lalu berpindah ke mazhab Hanafi

Pada awalnya Imam ath-Thahawi bermazhab Syafi’i. Kemudian beliau berpindah ke mazhab Hanafi. Hal ini dikarenakan pada suatu ketika Imam Ath-Thahawi bertanya suatu hal kepada Imam Al-Muzaani (Imam Al-Muzaani bermazhab Syafi’i). Namun beliau kurang puas terhadap jawaban yang diberikan Imam Al-Muzaani, sehingga Imam Al-Muzaani marah kepada beliau dan berkata “Demi Allah, kau tidak akan mendapatkan apapun”. Beliau pun marah dan tersinggung, kemudian beliau pergi ke majelis Ibnu Abi Imran. Ibnu Abi Imran adalah seorang yang bermazhab Hanafi. Beliaulah yang berperan dalam perubahan mazhab Imam Ath-Thahawi. Adapun perubahan mazhab ini hanya dalam hal fiqih, dan bukan dalam hal aqidah.

Pujian ulama kepada beliau

  • Ibnu Yunus berkata: “Beliau adalah orang yang tsiqah, faqih, cerdas dan tidak ada yang seperti beliau.”
  • Imam Al-Khalili berkata: “Beliau memiliki banyak karangan dalam perkara hadits, dan beliau termasuk ahli hadits.”
  • Imam Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah seorang muhaddits di Mesir, dan juga merupakan ahli fiqih.”
  • Imam Ibnu Katsir berkata: “Beliau adalah orang faqih, bermazhab Hanafi, dan memiliki karangan yang banyak.”

Imam Ath-Thahawi wafat di Mesir, pada malam kamis di bulan Dzulqa’idah, pada tahun 321 H.

Biografi Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Beliau bernama ‘Abdurrahman bin Nashir bin Baraak bin Ibrahim Al-Baraak. Beliau lahir di negeri Bukairiyyah, sebuah daerah di Qashim, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 1352 H. Ayah beliau wafat pada saat beliau berumur 1 tahun, lalu kemudian beliau tinggal di rumah pamannya bersama ibunya, dan beliau diajari agama dengan baik. Pada saat berumur 5 tahun, beliau safar bersama ibunya ke Makkah, lalu ibunya menikah dengan Muhammad bin Mahmud al-Barrak. Di usia 5/6/7 tahun, beliau sekolah di ar-Rahmaniyyah, dan pada saat kelas 2, Allah menakdirkan mata beliau menjadi buta, Pada saat itu beliau berumur 10 tahun.

Setelah Syaikh ‘Abdurrahman menyelesaikan sekolahnya (pada saat berumur belasan tahun), beliau kembali ke kampungnya. Beliau lalu menghafal al-qur’an bersama pamannya. Setelah selesai menghafal al-qur’an, beliau belajar bersama muqri’ (ahli qira’ah) di kampungnya. Pada tahun 1364/1365 H beliau mulai belajar dengan ulama di tempatnya. Beliau belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah as-Sabiil, beliau belajar [Kitab at-Tauhid] dan [Al-Jurumiyyah]. Kemudian kepada Syaikh Muhammad bin Muqbil, beliau belajar [ats-Tsalatsah al-Ushul].

Safar & Menetap di Mekkah selama 3 tahun

Kemudian Syaikh ‘Abdurrahman safar ke Mekkah pada tahun 1366 H dan menetap disana selama 3 tahun. Beliau mempelajari [Al-Jurumiyah] kepada imam besar Masjidil Haram, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Khalifi. Disini beliau bertemu dengan murid-murid besar Syaikh Muhammad bin Ibrahim, diantaranya: Syaikh Shalih bin Husain al-’Ali al-’Iraqi, teman dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ketika Syaikh al-’Iraqi diangkat sebagai Mudir Madrasah ‘Azizah di negeri Dalm, beliau ingin membawa Syaikh ‘Abdurrahman bersamanya, agar mereka belajar kepada Syaikh bin Baz yg pada saat itu menjabat sebagai Qhadhi Dalm. Maka Syaikh ‘Abdurrahman safar pada tahun 1369 H, dan masuk ke Madrasah al Azizah. Disini beliau belajar kitab [Qawa’id Tajwid], dan pada tahun ini juga beliau melaksanakan haji. Setelah pulang beliau keluar dari Madrasah ‘Azizah, dan beliau bermulazamah bersama Syaikh bin Baz untuk mengfal matan-matan.

Syaikh ‘Abdurrahman tinggal di kota Dalm bersama Syaikh al-’Iraqi. Syaikh al-’Iraqi lah yang mengasuh beliau, dan disini beliau menghafal kitab [at-Tauhid], [al-Ushul ats-Tsalatsah], [al-Ajurumiyyah], [Qatrun Nida], dan [Alfiyah Ibnu Malik], dan Alfiyah Al’Iraqy dalam ilmu hadits. Beliau tinggal di kota Dalm sampai akhir tahun 1370 H.

Menuntut Ilmu Ma’had ‘Ilmi Riyadh

Kemudian ketika Ma’had ‘Ilmi dibuka di Riyadh pada tahun 1370 H, banyak murid Syaikh bin Baz yang masuk ke dalamnya. Maka Syaikh ‘Abdurrahman ikut masuk ke Ma’had ‘Ilmi, dan beliau mulai belajar pada bulan Muharram tahun 1371 H. Di Ma’had ‘Ilmi terdapat 2 marhalah (tingkat), tingkat pertama adalah Tamhidi (persiapan untuk pemula) dan Tsanawi (lanjutan). Saat itu tingkat tsanawi berlangsung selama 4 tahun, dan beliau selesai pada tahun 1374 H. Kemudian beliau melanjutkan ke Kuliah Syari’ah dan selesai pada tahun 1378 H. Pada saat kuliah beliau belajar kepada Syaikh bin Baz dan Muhammad Amin al-Syanqiti. Beliau belajar tafsir dan ushul fiqih pada mereka berdua.

Dan guru Syaikh ‘Abdurrahman yang paling besar pengaruhnya pada dirinya ialah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Beliau belajar kepada Syaikh bin Baz selama 50 tahun, dari tahun 1369 H sampai Syaikh bin Baz wafat pada tahun 1420 H. Dan Syaikh al-’Iraqi.

Diantara pekerjaan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak, beliau pernah menjadi mudir di Ma’had ‘Ilmi selama 3 tahun pada tahun 1379 H. Beliau kemudian dipindahkan untuk mengajar ke Kuliah Syari’ah pada tahun 1379 H dan disana beliau mengajar ilmu syari’ah. Ketika kuliah ushuluddin, beliau juga mengajar di ushuddin. Beliau memiliki karangan kitab diantaranya kitab aqidah dan mazhab-madzhab kontemporer. Pada tahun 1420 H, beliau keluar dari Kuliah Syari’ah dan beliau lebih sibuk berdakwah dan mengadakan ta’lim di masjid-masjid.

Sering di ajak Syaikh bin Baz Untuk ikut bergabung ke dalam Dewan Fatwa

Syaikh bin Baz sering mengajak Syaikh ‘Abdurrahman untuk ikut bergabung ke dalam dewan fatwa namun beliau selalu menolak. Namun beliau pernah masuk ke dewan fatwa untuk sementara, dimana saat itu Syaikh bin Baz sedang pergi ke Thaif. Setelah Syaikh bin Baz wafat, mufti saudi sekarang yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh pernah meminta Syaikh ‘Abdurrahman untuk masuk ke dalam Lajnah Daimah, namun Syaikh ‘Abdurrahman pun kembali menolak. Inilah bentuk ke-tawadhu-an beliau.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 9 Oktober 2018/ 28 Muharram 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

15 Pondasi Aqidah Yang Benar

Bismillahirrahmanirrahim

Pengertian Aqidah

Aqidah, kata yang muncul di agama kita, berasal dari kata عَقَدَ – يَعْقِدُ – عَقْدًا/عَقِيْدَةً  yang artinya mengikat atau membuhul, seperti kalimat “saya mengikat tali” (عَقَدتُّ الحَبْلَ). Begitu juga lafaz yang mengikat dalam proses jual beli, dinamakan akad jual beli; atau yang mengikat dalam proses pernikahan, dinamakan akad nikah.

Agama Islam tidak semuanya berisi aqidah. Di dalamnya juga terdapat pembahasan ‘ibadah, akhlak, muamalah dan lain-lain; semua ini berkaitan dengan fiqih dan ‘amalan badan. Adapun aqidah, maka dia berkaitan dengan keyakinan dan ‘amalan hati. Aqidah dalam istilah para ‘Ulama adalah pembahasan-pembahasan dalam agama yang resmi dan diikat dengan erat di dalam hati. Aqidah harus selalu terikat di dalam hati, karena apabila terlepas maka sesuatu yang diikat diatasnya akan hilang dan ini akan membawa kepada kegelisahan.

Kedudukan Aqidah Yang Benar

Sesungguhnya Aqidah Islam yang bersih, murni dan suci yang diambil dari Alquran dan Assunnah memiliki kedudukan yang tinggi dan tempat yang mulia di dalam Agama ini; bahkan kedudukannya di dalam Agama ini bagaikan pondasi suatu bangunan, maka pondasi itulah aqidah sementara yang ada di atasnya adalah bagian yang lain dari agama. Atau kedudukannya seperti jantung terhadap bagian tubuh yang lain. Dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Maka baiknya aqidah atau ‘amalan hati seseorang akan berpengaruh kepada ‘amalan badannya.

Permisalan lainnya dari aqidah adalah seperti akar dari sebatang pohon. Apabila sebatang pohon memiliki akar yang lemah, maka dengan angin yang pelan saja, pohon itu akan mudah jatuh; namun sebaliknya apabila pohon tersebut memiliki akar yang kuat, maka badai pun tidak akan bisa merobohkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Dari kedua ayat di atas, Allah ‘Azza wajalla menjelaskan tentang tingginya dan pentingnya aqidah dalam Agama Islam. Maksud dari ‘kalimat yang baik’ adalah kalimat laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yakni kalimat tauhid yang dia masuk ke dalam pembahasan aqidah, sedangkan kalimat ‘cabangnya menjulang ke langit’ menggambarkan ‘amalan badan dari seseorang yang memiliki tauhid yang baik. Inilah perumpamaan aqidah yang baik; sekuat apapun angin yang menerpa, apabila memiliki akar yang kuat, maka tidak akan tumbang pohon yang ada di atasnya. Bahkan dengan akar yang dalam yang kuat juga, itu akan bermanfaat bagi pohon tersebut sehingga dapat memberi banyak manfaat berupa buah-buahan.

Pentingnya Aqidah Bagi Orang Yang Beraqidah Itu Sendiri

Aqidah yang baik adalah sesuatu yang terpatri kuat di dalam hati seseorang. Di dalam hatinya, itu bagaikan sesuatu yang tidak pernah bergoyang; yakni suatu keyakinan yang kuat dan terhujam kokoh; dan dari keyakinan tersebut seseorang bersikap, mengambil tindakan dan bahkan bisa saja sampai mengorbankan jiwa, harta dan segala-galanya demi mempertahankan apa yang ada di dalam hatinya. Inilah nilai aqidah bagi orang yang memiliki aqidah itu sendiri. Dia tidak akan menjual aqidahnya demi dunia. Orang yang beraqidah akan memiliki perhatian yang besar terhadap aqidahnya; dia akan merasa aqidah itu jauh lebih penting dari makanan, pakaian atau kenikmatan lain dari nikmat-nikmat duniawi.

Masalah aqidah adalah masalah yang terpenting dari masalah-masalah yang penting dan yang terwajib dari masalah-masalah yang wajib. Generasi Assalafush Shalih menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah aqidah ini. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mewariskan ilmu aqidah kepada para sahabat secara lisan, seperti yang beliau Shallallahu’alaihi wasallam ajarkan kepada Abdullah ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma.

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

Abdullah bin ‘Abbas –Radhiyallahu’anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu manfaat, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya)

Begitu juga Generasi Sahabat, mereka mewariskan ‘ilmu ini secara lisan kepada generasi Tabi’in. Setelah generasi Tabi’in, maka dimulailah penulisan ‘ilmu-‘ilmu agama yang termasuk di dalamnya ‘ilmu aqidah; seperti kitab yang ditulis Imam Abu Hanifah yang berjudul Al-Fiqh Al-Akbar. Lalu setelah itu muncul lagi kitab-kitab lain yang sangat banyak. Ini menunjukkan besarnya perhatian Generasi Assalafush Shalih terhadap aqidah dan usaha-usaha mereka agar generasi setelahnya dapat memahami aqidah yang benar.

15 Pondasi Aqidah Yang Benar

Berikut ini adalah 15 pondasi aqidah yang membuat aqidah para generasi terdahulu menjadi kokoh. Dengan mengetahui 15 poin ini, seseorang akan merasa bahwa aqidah adalah sesuatu yang penting dan dengan menerapkannya seseorang akan terjaga aqidahnya insyaallah.

Mereka Berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wasallam sebagai sumber utama aqidah.

Kitabullah dan Assunnah adalah sumber utama agama seorang muslim yang dari keduanya diambil berbagai hukum-hukum Islam seperti fiqih dan aqidah. Apabila seorang muslim tidak lagi percaya kepada dua hal itu maka terancamlah aqidahnya.

Alquran dan Assunnah telah menjawab semua kebutuhan kaum muslimin, tidak ada yang mereka tinggalkan sedikitpun dari urusan agama. Allah telah menerangkan semua hal yang dibutuhkan oleh manusia. Generasi Salaf telah berhasil mempertahankan aqidahnya karena mereka berpegang teguh kepada Alquran dan Assunnah.

Sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk mengimani dan memercayai semua yang ada di dalam Alquran dan Assunnah. Mereka wajib mengimani semuanya dan terlarang bagi mereka untuk mengimani sebagian lalu mengingkari sebagian yang lain. Apabila terjadi yang demikian maka akan muncul berbagai perpecahan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)

Mereka yakin kepada Alquran dan Assunnah bahwa keyakinan yang ada di dalam keduanya adalah keyakinan yang benar.

Alquran dan Assunnah merupakan landasan utama Islam, yang dengannya Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan kaum muslimin, bahkan masalah buang hajat sekalipun. Adapun masalah aqidah, Islam juga turut mengatur hal tersebut secara sempurna.

Para generasi salaf terdahulu meyakini keduanya dengan keyakinan yang sempurna. Mereka juga meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang ada di dalam Alquran dan Assunnah yang boleh ditinggalkan atau disisihkan walaupun sedikit. Generasi salaf terdahulu mengimani semua nash-nash yang berisi berita tentang Allah, para malaikat dan nabi-nabi terdahulu; walaupun mereka tidak pernah melihat Allah, berkenalan dengan satu orang malaikat pun atau bertemu dengan nabi-nabi sebelum Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Kendatipun begitu, mereka mengimani itu semua dengan keimanan yang rinci tanpa keraguan sedikitpun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-hujurat: 15)

Saat terjadi perbedaan atau perselisihan pendapat di antara mereka tatkala mereka merujuk kepada Alquran dan Assunnah, maka mereka tidak punya solusi yang lain selain mengembalikannya kepada Alquran dan Assunnah pula.

Tidak ada pilihan lain selain mengambil dari Alquran dan Assunnah dalam menetapkan sesuatu dalam agama. Para generasi salaf tidak mengenal solusi lain selain kedua hal itu. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Selamatnya fitrah mereka.

Hal ini sangat berpengaruh sekali dalam pengkokohan aqidah. Para generasi salaf tidak tercoreng oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Fitrah mereka tetap selamat sehingga bisa menyaring pemikiran-pemikiran yang batil. Inilah yang membuat generasi terdahulu memiliki aqidah yang kokoh.

Fitrah adalah anugrah dari Allah ‘Azza wajalla yang sudah ada sejak lahir dan harus dijaga. Oleh karena itu, inilah salah satu yang harus dijaga oleh seorang muslim apabila ia ingin menyelamatkan aqidahnya. Apabila fitrah telah rusak, maka akan sulit untuk dibersihkan kembali dan dimasuki oleh aqidah yang benar. 

Sehatnya akal mereka.

Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah golongan yang meninggalkan akal dalam beragama. Bagi mereka akal hanyalah sebatas alat yang digunakan untuk memahami wahyu, bukan alat yang digunakan untuk mengritisinya. Apabila seorang anak dari kecil sudah diajarkan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, maka pola pikirnya akan terjaga, yaitu yang sesuai dengan tuntunan wahyu.

Sedangkan Ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu), tingkatan berfikir mereka tidak sesuai dengan tuntunan agama. Bagi mereka, yang menjadi pondasi kebenaran adalah akal mereka. Namun ini adalah hal yang batil dan mustahil. Jikalau pondasi kebenaran adalah akal, maka mereka harus mencari orang tercerdas di muka bumi ini yang akalnya dapat digunakan sebagai standar utama kebenaran. Tentu mereka akan sulit melakukannya karena di atas orang yang berilmu ada lagi orang yang lebih berilmu. Allah Ta’ala berfirman:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)

Wahyu adalah standar utama dalam berfikir sedangkan fungsi akal hanyalah untuk memahaminya. Kaidah-kaidah dalam memahami wahyu sudah ada dan sudah diatur, itulah yang harus dituruti. Menuhankan akal adalah perlakuan orang yang akalnya tidak sehat. Bagaimana bisa seseorang mengaku bahwa dengan akalnya dia mampu mengetahui segala-galanya? Padahal akalnya adalah pemberian dari Allah dan Allah telah memberikan kemampuan yang terbatas atasnya. Manusia saja tentunya akan sadar bahwa tangannya tidak akan mampu mengangkat bangunan karena kemampuannya yang terbatas, maka mengapa dia mengklaim bahwa dengan akalnya dia dapat mengritisi wahyu? Jadi sekali lagi, akal bukanlah standar mutlak kebenaran. Kalau seseorang memiliki akal sehat, maka dia akan tahu bahwa akalnya memiliki batas.

Mereka merasa tenang di atas keyakinan mereka.

Aqidah yang benar akan memberikan kenyamanan, ketentraman dan ketenangan. Generasi salaf merasa nyaman dan bahagia dengan keyakinan mereka sedangkan orang-orang yang menuhankan akalnya, di akhir-akhir hidupnya mereka akan merasakan penyesalan, seperti yang kita temui pada tokoh-tokoh filsafat.

Orang-orang yang beriman, hati-hati mereka tenang dengan menegakkan dzikir kepada Allah; memperbincangkan Allah, sifat-sifat-Nya dan kekuasan-kekuasaan-Nya. Membicarakan itu semua membuat mereka merasa nyaman. Ini menunjukkan aqidah yang benar akan membuat hati tentram. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)

Sebagaimana keyakinan yang kuat memberikan ketenangan dan ketentraman hati, maka keragu-raguan akan melahirkan ketidaktenangan. Generasi salaf memiliki aqidah yang kokoh karena mereka tenang dalam aqidahnya.

Ketergantungan mereka untuk mengikuti pemahaman Assalafush Shalih dalam memahami aqidah.

Yang dimaksud Assalafush Shalih adalah para sahabat, para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in. Mereka semua adalah orang-orang yang berhasil mempertahankan aqidahnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mempertahankan aqidahnya, hendaknya dia tiru orang-orang yang berhasil dalam mempertahankannya.

Janganlah seseorang membuat cara yang baru untuk memahami aqidah karena ini hanya akan membuka pintu kesesatan. Ambillah cara memahami aqidah yang benar dari Assalafush Shalih yang hidup di 3 abad pertama hijriyah dan jangan ambil dari orang-orang yang hidup di abad ke-4, ke-5 dan seterusnya dari penanggalan hijriyah.

Tanda orang yang diingini oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan yaitu ketika dia berjalan di atas jalan ini; yaitu Kitabullah, Sunnah Rasul Shallallahu’alaihi wasallam, Sunnah para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Mereka berada di tengah-tengah dalam beragama.

Para Generasi Salaf, mereka tidak terlalu berlebihan dalam beragama dan tidak juga terlalu lalai dalam menjalaninya. Berlebihan dalam agama akan menimbulkan kesesatan dan begitu juga apabila melalai-lalaikannya.

Inilah yang terjadi di beberapa firqah, contohnya dalam menanggapi pelaku dosa besar; ada firqah sesat yang memvonis pelaku dosa besar itu telah keluar dari keimanan dan telah kafir, ini adalah pendapat yang berlebihan; ada pula firqah sesat yang menganggap bahwa perbuatan maksiat itu tidak memengaruhi iman, maka ini adalah pendapat yang melalai-lalaikan. Ahlussunnah, mereka berada di tengah-tengah dalam menanggapi hal ini. Ahlussunnah berkeyakinan bahwa seorang muslim yang berbuat dosa tidak jatuh kepada kekafiran selama dia tetap bertauhid, namun setiap dosa-dosa yang dikerjakan dapat mengurangi keimanannya.

Ahlussunnah tidak berlebihan dan tidak mengurang-ngurangi, mereka ada di posisi yang sebenarnya, yaitu tempat yang sempurna dalam beragama dan beraqidah. Ciri-ciri seorang muslim adalah mereka berjalan di tengah-tengah dalam beragama. Allah Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Mereka tidak mendahulukan akal dan perasaan dari apa yang ada di dalam Alquran dan Assunnah.

Akal dan perasaan mereka selalu berimamkan kepada Alquan dan Assunnah, yaitu mengikuti kemana Alquran dan Assunnah mengarah. Dimana ada Alquan dan Asunnah, maka ke sanalah akal dan perasaan mereka mengikuti, sedangkan ahlul ahwa adalah kebalikannya.

Sebagian orang, ada yang mengingkari hukum Islam seperti hukum potong tangan bagi pencuri karena bertentangan dengan perasaan mereka; ada juga yang menentang hukum-hukum Islam yang lain karena bertentangan dengan akal mereka. Mereka mengesampingkan Alquran dan Assunnah tatkala bertentangan dengan perasaan dan akal mereka; sedangkan ahlussunnah, mereka mengesampingkan akal dan perasaan dalam beragama, apabila Alquran dan Assunnah telah menjelaskan mengenai sesuatu, maka mereka mendengar dan mereka menaati keduanya.

Baiknya hubungan mereka dengan Allah dan besarnya keterikatan mereka kepada-Nya.

Mereka selalu berusaha untuk terpaut kepada Allah Subhanahu wata’ala, mereka juga bertawakkal dengan sempurna kepada-Nya. Baiknya aqidah mereka karena mereka senantiasa memperbaiki hubungan mereka kepada Allah.

Berhasil atau tidaknya seorang muslim dalam menjaga aqidahnya adalah anugerah dari Allah, oleh karena itu hendaknya seorang muslim memperbaiki hubungannya kepada Allah. Hubungan yang baik ini dapat dijaga dengan ibadah kepada-Nya. Agar selamat dari fitnah yang mengancam aqidah, perbanyaklah ketaatan kepada Allah dalam bentuk ‘amal. Selain itu, perbanyaklah juga memanjatkan do’a kepada-Nya agar kita senantiasa diberi keteguhan di dalam hidayah, sebagaimana do’a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a adalah cara seorang muslim untuk menyerahkan keselamatan aqidahnya kepada Allah.

Mereka menjauhkan keyakinan mereka dari sarana untuk berdebat.

Keyakinan mereka bukan untuk mereka perdebatkan, melainkan untuk menimbulkan ketenangan dalam diri mereka. Aqidah yang benar akan membuat hati menjadi tenang dan ini akan menimbulkan motivasi yang besar dalam beribadah. Sedangkan perdebatan, dia tidak akan melembutkan hati, melainkan hanya akan membuat hati menjadi  lebih keras.

Mereka yakin bahwa pembahasan aqidah adalah sesuatu yang baku dan tidak bisa diubah-ubah.

Aqidah itu berdasarkan wahyu semata. Kita tidak bisa menetapkannya kecuali dengan dalil syar’i dan tidak ada medan ijtihad di dalamnya. Generasi salaf terdahulu dalam mengambil aqidah, terbatas hanya dari Alquran dan Assunnah.

Apabila di dalam pembahasan fiqih terdapat medan ijtihad, maka di dalam pembahasan aqidah sama sekali tidak ada kesempatan untuk berijtihad. Para Rasul bisa saja membawa syari’at agama yang berbeda, namun aqidah yang mereka ajarkan, semuanya sama. Kita juga tidak akan menemui perbedaan dalam aqidah dari empat imam mahdzab, begitu juga ‘ulama ahlussunnah setelah mereka; padahal dalam perihal fiqih, begitu banyak perbedaan di antara mereka.

Jelas dan nyatanya aqidah mereka serta jauhnya aqidah mereka dari hal-hal yang samar.

Aqidah itu jelas, gamblang dan mudah untuk dipahami. Aqidah itu mudah untuk dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan bukan khusus hanya untuk dipelajari oleh orang-orang yang pandai berfikir. Apabila terdapat yang samar-samar, maka itu bukanlah aqidah. Pelajarilah aqidah karena hukumnya adalah fardu ‘ain.

Mereka mampu mengambil pelajaran dari orang-orang yang sesat dalam beraqidah.

Orang yang sukses adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari orang lain, baik itu dari orang yang telah berhasil maupun yang telah gagal. Kesuksesan dalam menjaga aqidah adalah ketika seseorang mampu mengambil pelajaran dari orang yang sesat dalam beraqidah. Pelajarilah kesalahan-kesalahan dari orang-orang yang telah sesat dalam beraqidah, sehingga kita dapat menghindari kesalahan-kesalahan itu. Betapa banyak orang yang cerdas, namun dia jatuh kepada kesesatan, maka apalagi kita yang kecerdasannya dipertanyakan. 

Persatuan

Berbeda pendapat dalam fiqih adalah sesuatu yang wajar dan tidak masalah, namun jangan sampai, karena perbedaan itu, hati menjadi berpecah belah. Perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin dapat membuat orang yang benar aqidahnya menjadi menyimpang. Hendaknya kita menghilangkan segala prasangka buruk tatkala timbul beberapa perbedaan. Walaupun kita melepaskan keyakinan kita terhadap suatu pendapat untuk mencegah perpecahan, maka itu lebih mulia. Para ‘Ulama memiliki berbagai perbedaan yang besar dalam pendapat-pendapat mereka, namun hati mereka tetap satu. Allah Ta’ala berfirman

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran: 103)

 

Wallahu a’lam bish-showab

 

Tabligh Akbar Lajnah Dakwah Medan

Ustadz Dr. Aspri Rahmat Azai, MA

Ahad, 11 Muharram 1439 H / 1 Oktober 2017 M

Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Beristinja’ dengan Menggunakan Kurang dari Tiga Buah Batu

Setelah buang air, terdapat 2 cara untuk membersihkannya. Yaitu Istinja’ (membersihkan dengan air) dan Istijmar (membersihkan dengan menggunakan selain air). Istijmar dapat dilakukan dengan menggunakan batu atau tissue. Berbeda dengan hukum wudhu dan tayamum, dimana tayamum merupakan alternatif disaat ketidak tersediaan air. Adapun untuk istijmar, seseorang boleh melakukan Istijmar meskipun terdapat air di sekitarnya. Dan hal ini tetap sah, asal memperhatikan beberapa hal yang telah ditetapkan.

Diriwayatkan dari Salman, bahwa pernah ditanyakan kepadanya, “Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang hajat.” Salman menjawab, “Benar, beliau melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat besar atau kecil, melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan atau beristinja’ dengan kurang dari tiga buah batu atau beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan yang sudah kering atau tulang!”

Kandungan Bab:

1.      Perintah beristinja’ dan larangan meninggalkannya. Bahkan larangan beristinja’ dengan menggunakan kurang dari tiga buah batu adalah menunjukkan wajibnya beristinja’.

2.      Batas minimal jumlah batu yang boleh digunakan yaitu tiga buah batu.

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu telah diriwayatkan perintah untuk itu dalam hadits dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah memerintahkanku agar membawakan tiga buah batu untuk beliau.”

Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya, “Beliau memerintahkan beristinja’ dengan menggunakan tiga buah batu dan melarang beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang.”

Demikian pula hadits Khuzaimah bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya, Rasulullah saw. ditanya tentang tata cara istijmar. Beliau menjawab, “Gunakan tiga buah batu dan jangan gunakan kotoran yang telah mengering.”

3.      Sebagian ahli ilmu tidak mensyaratkan tiga buah batu dalam beristinja’, mereka berdalil dengan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas, disebutkan di dalamnya, “Aku menemukan dua buah batu, aku ingin mencari yang ketiga namun tidak kutemukan. Aku pun mengambil sebuah kotoran hewan yang telah mengering. Lalu kubawa kepada beliau. Beliau mengambil dua buah batu itu dan membuang kotoran hewan.”. Mereka berkata, “Sekiranya tiga buah batu adalah syarat, tentu beliau akan mencari satu batu lagi.”

Namun argumentasi mereka itu lemah ditinjau dari beberapa sisi:

1.      Sebenarnya Rasulullah . telah mencari batu yang ketiga, dalam riwayat Ahmad [I/450] dan ad-Daruquthni [I55] disebutkan, “Beliau membuang kotoran hewan dan berkata, ‘Sesungguhnya benda ini adalah kotoran, carilah batu satu lagi’.” Diriwayatkan dari jalur Ma’mar dari Abu Ishaq, dari ‘Alqamah bin Qais, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani [I/257] berkata, “Perawinya tsiqat.”

2.      Kemungkinan Rasulullah merasa cukup dengan perintah beliau yang pertama, sehingga beliau merasa tidak perlu mengulangi perintah mencari tiga buah batu untuk kedua kalinya.

3.      Dalam hadits tersebut tidak terdapat dalil tidak adanya pensyaratan tiga buah batu. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. hanya menceritakan bahwa beliau mencarinya, namun tidak mendapatkannya. Dan kemungkinan Rasulullah merasa cukup dengan salah satu sisi dari dua buah batu tersebut sehingga tidak membutuhkan batu yang ketiga. Wallaahu a’lam.

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 21 Muharram 1439 H / 12 Oktober 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Buang Air Kecil di Pintu-Pintu Masjid

Diriwayatkan dari Makhul secara mursal, “Bahwasanya Rasulullah melarang buang air kecil di pintu-pintu masjid,” (Shahiihul Jaami’ wa Ziyaadatuhu [I/6813]).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika kami sedang berada dalam masjid bersama Rasulullah , tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui, ia berdiri lalu buang air di dalam masjid. Para Sahabat Nabi berseru, ‘Hei…! Hei…!’ Rasulullah berkata, ‘Jangan putus buang airnya, biarkanlah hingga selesai.’ Mereka pun membiarkannya hingga ia selesai. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid ini tidak boleh digunakan untuk tempat buang air kecil atau buang kotoran. Masjid adalah tempat untuk dzikrullah ‘azza wa jalla, shalat dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Lalu Rasulullah memerintahkan seseorang untuk membawa seember air dan menyiraminya dengan air tersebut,” (HR Bukhari [219] dan [221] dan Muslim (285).

 

Kandungan Bab:

Larangan buang air kecil di pintu masjid atau di dalam masjid, serta anjuran memelihara masjid dari ludah dan dahak serta kotoran, sebab masjid bukan tempat untuk membuang kotoran, namun masjid didirikan sebagai tempat ibadah, dzikrullah dan ilmu. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas sangat jelas menunjukkan haramnya buang air kecil di dalam masjid. Oleh sebab itu, Rasulullah tidak mengingkari tindakan para Sahabat, beliau tidak mengatakan kepada mereka, “Mengapa kalian melarang Arab Badui itu!?” Hanya saja Rasulullah melarang tindakan mereka untuk sebuah maslahat, yaitu menghilangkan mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil dan lebih ringan. Karena bila dilarang saat Arab Badui itu sedang kencing, dikhawatirkan kencingnya akan semakin menjoroki masjid.

Wallaahu a’laam

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 8 Muharram 1439 H / 28 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

 

 

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Israf (Berlebih-Lebihan Dalam Penggunaan Air) Ketika Berwudhu

 

Diriwayatkan dari Abu Nu’amah, bahwasanya ‘Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdo’a, “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu istana putih di sebelah kanan Surga, bilamana aku memasukinya.” Maka ia pun berkata, “Hai anakku, mintalah Surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari api Neraka. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda,

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

 ‘Sesungguhnya, akan ada nanti di tengah ummat ini orang-orang yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a’,” (Shahih, HR Abu Dawud [96] dan Ibnu Majah [3864]).

 

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakenya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu), ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوءِ، فَأَرَاهُ الْوُضُوءَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ»

“Ada seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah dan bertanya kepada beliau tentang tata cara wudhu. Beliau memperlihatkan tata cara berwudhu, yakni membasuh setiap anggota wudhu masing-masing tiga kali. Kemudian beliau berkata, ‘Begitulah tata cara berwudhu, barangsiapa menambah-nambahinya, maka ia telah berbuat kesalahan atau melampaui batas atau berbuat zhalim’.” (HR Abu Dawud [135], an-Nasa’i [I/88], Ibnu Majah [422], dan al-Baghawi [228]).

 

Kandungan Bab

1. Dibolehkan berwudhu sekali-sekali, dua kali-dua kali, atau tiga kali-tiga kali. Dan juga diharuskan untuk sempurna di dalam setiap wudhu yang dilakukan baik sekali-sekali, dua kali-dua kali, ataupun tiga kali-tiga kali. Barangsiapa menambah lebih dari itu, maka ia termasuk orang yang melampaui batas dalam berwudhu.

Ibnul Mubarak telah berkata, “Dikhawatirkan orang yang menambah-nambahi lebih dari tiga kali-tiga kali dalam berwudhu jatuh dalam perbuatan dosa.”

Imam Ahmad dan Ishaq mengatakan, “Hanya orang yang celaka sajalah yang menambah-nambahi lebih dari tiga kali-tiga kali.” (Sharhus Sunnah [I/445]).

2. Tidak boeh berlebih-lebihan dalam penggunaan air, walaupun jumlah basuhan sesuai dengan ketentuan yang disyari’atkan.

Al-Bukhari berkata dalam kitab Shahihnya, Kitaab Wudhuu Bab: Perihal Wudhu’, Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa kewajiban berwudhu itu adalah sekali-sekali, dua kali-dua kali atau tiga kali-tiga kali dan tidak boleh lebih dari itu. Para ahli ilmu mebenci israf (berlebih-lebihan menggunakan air) dalam berwudhu dan menambah-nambahi tata cara yang dilakukan oleh Rasulullah

3. Menambah-nambahi dari jumlah yang telah disyaria’atkan akan menyebabkan pelakunya jatuh dalam perasaan was-was (ragu-ragu) akan kesempurnan wudhunya. Dan hal ini merupakan hal yang tercela.

4. Larangan israf tersebut tidak boleh diartikan karena air yang tersedia sedikit. Saat air yang tersedia sedikit ataupun saat banyak, berlebih-lebihan dalam menggunakan air tidak dibolehkan. Telah dinukil dari Abu Darda, Ibnu Mas’ud dan Hilal bin Yasaf bahwa mereka berkata: “Salah satu perkara yang dilarang dalam wudhu adalah israf, meskipun engkau berwudhu di tepi sungai.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (I/66-67).

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 8 Muharram 1439 H / 28 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

 

 

Ringkasan Tabligh Akbar Ustadz Nuzul Dzikri, “Keberkahan Ilmu”

Telah kita ketahui begitu banyak keutamaan untuk setiap mereka yang menuntut ilmu agama. Rasulullah ﷺ bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224).

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah : 11).

Dan Rasulullah ﷺ bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan-ikan yang berada di dalam air.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3641)).

Kita hidup di zaman dimana Allah sangat memudahkan kita untuk mempelajari ilmu agama. Dulu, Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan satu bulan untuk mencari satu hadits. Dulu, Yahya bin Yahya Al-laitsi, pergi dari Andalusia, Spanyol ke Madinah untuk belajar ke Imam Malik. Luar biasa perjuangan mereka. Kini, cukup dengan smartphone dengan kuotanya dan dua jari saja cukup untuk membawa kita ke dunia maya, mencari ribuan kitab-kitab untuk kita pelajari.

Tapi pertanyaannya, dengan segala kemudahan yang telah Allah berikan kepada kita, kenapa kualitas ilmu dan agama kita tidak sebanding dengan mereka? Kenapa ketaqwaan dan keimanan kita tidak lebih baik Jabir bin Abdillah? Tidak lebih baik dari Yahya bin Yahya?

Jawabannya terletak pada keberkahan ilmu kita.

Perlu kita telaah kembali tujuan utama kita menghadiri kajian-kajian dan majelis ilmu. Tujuan kita tidaklah semata-mata untuk menambah ilmu saja, tapi agar kita juga bisa mengamalkan ilmu tersebut. Agar ilmu yang kita dapatkan benar-benar berkah dan bermanfaat. Satu hadits yang kita ketahui dan kita amalkan itu lebih baik daripada ratusan hadits kita hapal hanya teksnya saja tanpa ada pengamalan dalam kehidupan kita. Itulah ilmu yang sia-sia.

Imam Syafi’i memiliki nasehat berharga, beliau berkata,

“Ilmu adalah yang bermanfaat dan bukan hanya dilafalkan” (Siyar A’lamin Nubala, 10 : 89).

Ilmu bukanlah apa yang banyak kita ingat, yang banyak kita hafal, bukan juga banyaknya goresan tinta dalam catatan-catatan kita. Ilmu adalah yang bermanfaat, yang kita amalkan dan sibukkan dengan diri kita sendiri, bukan ilmu yang kita gunakan untuk ‘menembak’ dan mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Dan hal ini, inilah yang langka di antara para penuntut ilmu di hari ini.

Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat, dan menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Bagaimana agar kita mendapatkan keberkahan dalam ilmu-ilmu kita? Ada dua kunci utama agar kita bisa mendapatkan keberkahan ilmu:

1. Menata Hati

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

… إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati…” (QS. Qaf : 37)

Perumpamaan hati dengan ilmu barat gelas dengan air. Gelas yang kotor, diisi dengan air sebersih apapun, tetap tidak akan bersih. Maka bersihkanlah ‘gelas’ kita, niscaya ilmu akan mudah meresap ke hati. Jadikanlah hati kita hati yang ikhlas, yang mudah bersyukur, yang mentauhidkan Allah, hati yang selalu teringat dengan firman Allah alam ya’lam bi annallah yaraa, hati yang selalu ingat bahwa setiap perbuatan maksiat pasti akan dicatat untuk diminta pertanggung jawabannya.

Dengan menata hati kita juga meluruskan tujuan kita untuk menuntut ilmu. Tujuan kita untuk belajar adalah untuk mengamalkan ilmu itu pada diri kita sendiri. Juga untuk menghidupkan syariat Allah dan sunnah Rasulullah.

Dan salah satu cara untuk menata hati dan menyinarinya dengan cahaya adalah dengan memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu. Niatkanlah diri kita belajar untuk mengangkat kebodohan dari diri kita dan selalu tanamkan sifat tawadhu dalam diri kita. Karena sejatinya semakin banyak ilmu yang kita pelajari, semakin diri kita merasa rendah dan tidak ada apa-apanya. Bukan merasa lebih baik dan lebih taat dari orang lain.

2. Memperbaiki Adab

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Seorang penuntut ilmu, jika tidak menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, maka tidak ada faidah menuntut ilmunya”. (Syahrul Hilyah Fii Thalabul Ilmi).

Ibnu Sirin berkata,

“Para Salaf mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu” (Tadzkiratus Saami’ Wal Mutakallim).

Ibnu Mubarak rahimahullah berkata,

“Mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu” (Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446).

Habib bin asy-Syahid berkata kepada anaknya: “Wahai, anakku, pergaulilah para fuqaha’ dan ulama; belajarlah dan ambillah adab dari mereka. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyak hadits.” (Tadzkiratus Saami’ Wal Mutakallim).

Tanpa akhlak dan adab, ilmu kita takkan bisa menyelamatkan kita. Tanpa kelembutan hati dan keindahan akhlak, dakwah kita tidak akan diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits,

فَإِنَّ الرِّفْقَ لَمْ يَكُنْ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ نُزِعَ مِنْ شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan memperkeruhnya” (HR. Abu Dawud, sanad: shahih).

Maka jangan sampai hadirnya ilmu pada diri kita menjadikan kita bersikap keras pada orang lain. Kelembutan akan menghiasi dakwah islam, dan membawa keberkahan ilmu tidak hanya pada kita tapi juga pada orang lain.

Terdapat sebuah kisah menarik tentang pemuda bernama Dzaadzan, seorang peminum khamr dan pemusik. Suatu hari dzaadzan, pergi ke menjumpai Abdullah ibnu Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata: “Marhaban (selamat datang) orang yang Allah mencintainya. Duduklah”. Lalu Ibnu Mas’ud pun menghidangkan kurma padanya.

Siapa yang mengira bahwa Abdullah bin Mas’ud, salah seorang sahabat Rasulullah, ketika bertemu dengan Dzaadzan yang seorang ahli maksiat akan mengucapkan “Marhaban orang yang Allah mencintainya” kepadanya? Melihat kelembutan akhlak dan adab dari Ibnu Mas’ud, maka Dzaadzan pun bertaubat. Dan jadilah Dzaadzan termasuk orang-orang yang terbaik dari kalangan tabi’in, dan salah seorang ulama yang terkemuka. (Hiyatul Aulia 4/199, Bidayah wan Nihayah 9/74 dan Siyar ‘Alamun Nubala 4/280 dan 4/28).

Semoga Allah selalu menjaga kita dan menjaga hati kita agar muncul keberkahan dalam Ilmu kita. Semoga kita selalu diberi hidayah untuk istiqomah dalam niat yang lurus dan dalam akhlak yang baik. Semoga ilmu kita bermanfaat.

Wallahu a’lam bishshawab

 

Ringkasan Tabligh Akbar

“Keberkahan Ilmu”

Oleh : Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. MA

5 Muharram 1439 H / 24 September 2017

Masjid Al-Jihad, Jl. Abdullah Lubis, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Sengaja Meninggalkan Bacaan Basmalah Ketika Memulai Wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

Tidak sah shalat tanpa wudhu dan tidak sempurna wudhu tanpa membaca nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya” (Hasan, HR. Abu Dawud [101], Ibnu Majah [399], dan Ahmad [II/418]).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

Tidak sempurna wudhu tanpa menyebutkan nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya.” (Hasan, HR. Ahmad [III/41]).

Diriwayatkan dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْ

Tidak sempurna wudhu tanpa menyebutkan nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya”.

Ketiga hadits diatas menyebutkan diharuskannya membaca bismillah sebelum mulai berwudhu. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama tentang penafsiran kalimat “tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu“.

Pendapat pertama, sebagian ulama menyamakan makna kalimat diatas dengan hadits,

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394).

Dalam hadits diatas, tidak membaca al-fatihah, maka sholatnya tidak sah. Begitu pula ulama berpendapat bahwa tidak membaca bismillah sebelum berwudhu maka wudhunya tidak sah.

Pendapat kedua, sebagian ulama menyamakan makna kalimat “tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu“, dengan hadits,

Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi seseorang yang tidak memenuhi janji.” (HR. imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad Ahmad, di shahihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004).

Dalam hadits diatas, kalimat “tidak ada keimanan” dan “tidak ada agama” menyatakan tidak sempurnanya iman seseorang bila mereka tidak amanah dan tidak memenuhi janji, bukan tidak sah atau batalnya iman dan agama seseorang. Maka semakna dengan hadits diatas, ulama berpendapat bahwa tidak membaca bismillah sebelum berwudhu maka wudhunya tidak sempurna, tetapi wudhu tersebut tetap sah.

Dari hadits-hadits dan pendapat-pendapat diatas, dapat ditarik 3 poin penting :

1. Sebagian ulama berpendapat, membaca bismillah merupakan syarat sah wudhu. Jika seseorang sengaja (bukan dikarenakan ia lupa) tidak membaca bismillah, dengan anggapan lebih utama berwudhu tanpa membaca bismillah maka wudhunya tidak sah.

2. Sebagian ulama berpendapat, membaca bismillah adalah wajib wudhu dan tidak termasuk syarat sah wudhu. Sehingga bila ditinggalkan ia berdosa, tetapi wudhunya tetap sah.

3. Membaca bismillah sebelum berwudhu merupakan salah satu bentuk kesempurnaan wudhu. Jika tidak membaca bismillah sebelum berwudhu, maka wudhunya tidak sempurna.

Imam Bukhari rahimahullah, dalam kitabnya Shahih Bukhari, membuat sebuah bab yang berjudul “Membaca Basmallah pada Setiap Hal”. Didalam salah satu hadits,

Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388)

Jika sebelum berhubungan suami istri saja terdapat perintah untuk mengucapkan bismillah sebelum memulainya, maka membaca bismillah sebelum berwudhu pun juga termasuk hal yang diperintahkan. 3 hadits tentang wudhu diatas tidak dicantumkan didalam Shahih Bukhari, karena Imam Bukhari hanya memasukkan hadits berderajat shahih ke dalam kitabnya dan 3 hadits diatas berderajat hasan. Walaupun demikian, hadits berderajat hasan termasuk boleh untuk diamalkan.

Kesimpulan

1. Wajib hukumnya membaca basmalah ketika memulai wudhu, karena telah diriwayatkan secara shahih perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. dalam sebuah hadits yang sangat panjang, disebutkan di dalamnya, Rasulullah berkata, “Hai Jabir, umumkan kepada orang-orang supaya berwudhu’!” Maka akupun berkata: “Wudhu…! Wudhu…! Wudhu…!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hai Jabir, ambillah air dan tuangkan untukku, dan ucapkanlah: Bismillah.” Aku pun menuangkan air untuk beliau dan kuucapkan, Bismillah, maka aku lihat air mengalir dari sela jari –jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim [IV/3013]).

Tidak ragu lagi, sebuah perintah hukumnya wajib dilaksanakan, kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan tidak wajib. Sementara indikasi itu tidak ada, bahkan hadits-hadits yang disebutkan sebelumnya mendukung dan menguatkan kewajiban tersebut.

2. Larangan sengaja meninggalkan bacaan basmalah ketika hendak berwudhu. Barangsiapa melakukannya, maka wudhunya cacat, tidak sempurna.

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 1 Muharram 1439 H / 21 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star)

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits ke-12

Bismillah

عن أبي مرة مولى عقيل أنّ أبا هريرة كان يستخلفه مروان, وكان يكون بذي الحليفة, و كانت أمه في بيت وهو في آخر, قال: فإذا أراد أن يخرج وقف على بابها فقال: السلام عليك, يا أمتاه! ورحمة الله وبركاته, فتقول: وعليك يا بني! ورحمة الله وبركاته، فيقول: رحمك الله كما ربيتني صغيرا، فتقول: رحمك الله كما بررتني كبيرا، ثم إذا أراد أن يدخل صنع مثله.

ضعيف الإسناد، فيه سعيد بن أبي هلال، كان اختلط

Dari Abu Murrah Maula ‘Aqil bahwasannya Abu Hurairah diangkat sebagai perwakilan oleh marwan dan waktu itu beliau berada di daerah Dzul Hulaifah. Saat itu ibu beliau berada di dalam rumah dan dia di tempat yang lain. Apabila beliau akan keluar meninggalkan rumahnya, dia berdiri di depan pintu rumah ibunya dan berkata : ”Semoga kesejahteraan tercurah atasmu wahai bunda, begitu juga dengan rahmat Allah dan berkah-Nya” maka ibunya pun menjawab : “Dan semoga kesejahteraan juga tercurah atasmu wahai anakku! Begitu juga dengan rahmat Allah dan berkah-Nya”. Maka Abu Hurairah pun berkata : “Semoga Allah menyayangimu wahai ibu, sebagaimana engkau menyayangiku di saat aku masih kecil”, lalu ibunya pun menjawab : “Semoga Allah juga menyayangimu karena engkau telah berbakti kepadaku di saat engkau besar”. Apabila beliau masuk ke rumah ibunya maka ia melakukan hal yang sama.

(HR. Bukhari no.12 dalam Al-Adab Al-Mufrad, dinyatakan dha’if oleh Syaikh Albani)

Hadits ini memiliki sanad yang dha’if karena di dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Abi Hilal, beliau memiliki hafalan yang kacau. Hanya saja, terdapat hadits hasan yang bunyinya sama dengan hadits ini, sebagaimana yang telah dicantumkan oleh Al-Bukhari di kitab yang sama, Al-Adab Al-Mufrad no.14.

 

Penamaan daerah Dzulhulaifah

Saat itu rumah Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berada di Dzulhulaifah. Dzulhulaifah merupakan miqat penduduk Madinah yang hendak berangkat haji, jaraknya sekitar 15 km dari Masjid Nabawi. Namun saat ini, daerah tersebut masyhur dengan sebutan Bir ‘Ali. Padahal nama ini tidak memiliki periwayatan yang jelas mengenai asal-usul penamaannya, baik dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam maupun dari orang-orang setelahnya. Sikap kita sebagai seorang ummat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam hendaknya menamakan tempat tersebut dengan apa yang beliau Shallallahu’alaihi wasallam namakan, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sendiri menamai tempat tersebut dengan nama Dzulhulaifah.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.

Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzulhulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.” [HR. Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96]

 

Lafadz salam

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu ketika keluar dari rumah ibunya, beliau selalu mengucapkan:

السَلَامُ عَلَيكِ, يا أُمَّتَاه!””

“…semoga kesejahteraan tercurah atasmu wahai ibu…”

Dalam keseharian, kita biasa mengucapkan salam dengan lafadz “Assalamu’alaikum” kepada muslim yang lain. Secara bahasa, lafaz ini memiliki arti “semoga kesejahteraan tercurah atas kalian (laki-laki)”. Artinya, lafadz salam ini ditujukan untuk muslim laki-laki yang jumlahnya banyak, namun tidak mengapa salam dengan lafadz ini diucapkan kepada muslim yang wanita ataupun lelaki yang jumlahnya hanya sendiri.

Dalam dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

خَلَقَ اللهُ  آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ : اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ – وَهُمْ نَفَرٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ – فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ

“Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuknya. Tingginya 60 hasta. Ketika ia diciptakan, Allah berfirman kepada Adam: ‘pergilah dan berilah salam kepada sekelompok makhluk itu (yaitu Malaikat), dan dengarkanlah ucapan tahiyyah dari mereka kepadamu. Karena itu adalah ucapan tahiyyah (yang disyariatkan untuk) engkau dan keturunanmu‘. Lalu Adam pergi dan mengucapkan: Assalamu’alaikum. Para Malaikat menjawab: Wa’alaikumussalam Warahmatullah. Mereka menambahkan kata warahmatullah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadz yang lain:

خَلَقَ اللهُ آدَمَ بِيَدِهِ ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ، وأمرالْمَلَائِكَةِ فَسَجَدُوا لَهُ ،فَجَلَسَ فَعَطَسَ فَقَالَ : الْحَمْدُ للهِ ، فَقَالَ لَهُ رَبُّهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ رَبُّكَ ، إيتِ هَؤلَاءِ الْمَلَائِكَةَ فَقُلِ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَأَتَاهُم فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَقَالُوا : وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى رَبِّهِ تَعَالَى فَقَالَ لَهُ : هَذِهِ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ بَيْنَهُمْ

“Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, lalu meniup ruh untuknya. Lalu Allah memerintahkan Malaikat untuk sujud kepada Adam, lalu merekapun sujud. Lalu Adam duduk, kemudian ia bersih. Allah pun berfirman: yarhamukallahu rabbuka (Rabb-mu telah merahmatimu). Kemudian Allah berfirman: ‘datangilah para Malaikat itu dan ucapkanlah: Assalaamu’alaikum‘. Lalu Adam mendatangi mereka dan mengucapkan: Assalaamu’alaikum. Lalu para Malaikat menjawab: wa’alaikumussalam warahmatullah. Lalu Adam kembali kepada Rabb-nya. Kemudian Allah berfirman kepada Adam: ‘Itu adalah ucapan tahiyyahmu dan anak keturunanmu yang kalian ucapkan sesama kalian‘”. (HR. An Nasa’i)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Murrah, Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam kepada ibunya dengan lafaz “Assalamu’alaiki”, artinya salam itu ditujukan untuk seorang wanita yang sedang diajak bicara. Ini menunjukkan bolehnya mencocokkan lafadz salam dengan lawan bicara, seperti Assalamu’alaika (semoga kesejahteraan tercurah atas engkau (laki-laki), Assalamu’alaikuma (semoga kesejahteraan tercurah atas kalian berdua) dan seterusnya, namun ‘Ulama menjelaskan bahwa lafadz salam yang lebih utama adalah ucapan Assalamu’alaikum.

Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (14/140) mengatakan:

أَقَلّ السَّلَام أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ , فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِم عَلَيْهِ وَاحِدًا فَأَقَلّه السَّلَام عَلَيْك , وَالْأَفْضَل أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ ، لِيَتَنَاوَلهُ وَمَلَكَيْهِ , وَأَكْمَل مِنْهُ أَنْ يَزِيد وَرَحْمَة اللَّه , وَأَيْضًا وَبَرَكَاته , وَلَوْ قَالَ : سَلَام عَلَيْكُمْ أَجْزَأَهُ ؛ وَاسْتَدَلَّ الْعُلَمَاء لِزِيَادَةِ : وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته بِقَوْلِهِ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنْ سَلَام الْمَلَائِكَة بَعْد ذِكْر السَّلَام : ] رَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته عَلَيْكُمْ أَهْل الْبَيْت [ ( هود : 73 ) . وَبِقَوْلِ الْمُسْلِمِينَ كُلّهمْ فِي التَّشَهُّد : السَّلَام عَلَيْك أَيّهَا النَّبِيّ وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته

“Ucapan salam yang paling minimal adalahAssalamu’alaikum. Kalau hanya ada satu orang Muslim, maka ucapan paling minimal adalah: Assalamu’alaika. Namun yang lebih utama adalah mengucapkan: Assalamu’alaikum, agar salam tersebut tersampaikan kepadanya dan dua Malaikatnya. Dan yang lebih sempurna lagi adalah dengan menambahkan warahmatullah, dan juga menambahkan wabarakatuh. Kalau seseorang mengucapkan: salam ‘alaikum, itu sudah mencukupi. Para ulama menganjurkan penambahan warahmatullah dan wabarakatuh dengan firman Allah Ta’ala yang mengabarkan ucapan salam Malaikat (yang artinya): ‘rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga dilimpahkan atas kalian, wahai ahlul bait‘ (QS. Hud: 73). Dan juga berdalil dengan ucapan dalam tasyahud : Assalamu’alaika ayyuhannabiy warahmatullah wabarakatuh“.

 

Sunnah mengucapkan salam dengan lengkap

Dari hadits yang diriwayatkan Abu Murrah, dapat diketahui bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam yang lengkap kepada ibunya.

 “…السلام عليك, يا أمتاه! ورحمة الله وبركات…”

“…Semoga kesejahteraan tercurah atas engkau wahai bunda, begitu juga dengan rahmat Allah dan berkahnya…”

Beliau Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam dengan lengkap agar lengkap pula doanya kepada sang ibu; dan ketika ibunya membalas, maka lengkap jugalah doa sang ibu kepada dirinya. Ucapan salam tidak hanya bermanfaat bagi yang diberi salam, namun juga bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Orang yang mengucapkan salam akan mendapatkan pahala dari Allah ‘Azza wajalla ketika mengucapkannya, semakin lengkap salam yang dia ucapkan, semakin besar juga pahala yang Allah berikan kepadanya.

Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:

إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ فِي مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُونَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا الْأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ

Ada seseorang datang kepada Rasulullah yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat duapuluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tigapuluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah pun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabl Al-Mufrad no. 757)

Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim mengucapkan salam dengan lengkap kepada muslim yang lainnya. Selain berfungsi sebagai doa dan penambah amal kebaikan, memberi salam juga dapat membuat orang yang mengucapkannya saling mencintai.

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ”

Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Semakin lengkap salam yang diberikan seorang muslim kepada muslim yang lain, maka semakin dalam pula rasa cinta yang ada di antara mereka. Namun apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, maka sebaiknya memberi ataupun menjawab salam dihindari, sebagaimana yang dapat terjadi di antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ingatlah salah satu kaedah fiqih, menghindari mudharat diutamakan daripada memperoleh manfaat.

 

Salam adalah salah satu hak seorang muslim atas muslim yang lain

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

 حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ ». قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.

Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal itu?” Lantas beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim no. 2162)

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu telah memenuhi salah satu hak ibunya sebagai seorang muslimah dengan mengucapkan salam kepadanya. Seorang ibu lebih berhak untuk mendapat salam dari anaknya ketimbang orang lain, bahkan ketimbang ustadz sang anak sendiri. Namun kenyataannya, seseorang lebih banyak memberi salam kepada orang lain daripada kepada ibunya sendiri. Hendaknya seorang muslim tidak gengsi dalam mengucapkan salam kepada ibunya; karena dengan memberi salam kepada ibunya, menunjukkan kepada sang ibu bahwa anaknya sedang mempelajari sunnah Rasulullah Shallallahu’alahi wasallam yang mulia.

 

Anggota keluarga yang mengenal sunnah membuat suasana kekeluargaan semakin harmonis

Tatkala Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam yang lengkap kepada ibunya, maka ibunya pun menjawab dengan salam yang lengkap pula. Ibunya tidak ingin mengurangi salam kepada anaknya karena dia paham akan firman Allah ‘Azza wajalla berikut :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

Lihatlah betapa harmonisnya suatu keluarga apabila antara anak dan orang tua saling mengerti sunnah, mereka akan saling mendoakan bahkan bisa saling menasihati.

 

Keantusiasan Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu terhadap ibunya

Sebelum ibunya masuk Islam, Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu sangat antusias untuk mengajak ibunya menerima Islam. Hal ini karena beliau Radhiyallahu’anhu sangat menyayangi ibunya. Tatkala itu, berkali-kali dia menemui ibunya dan mengajaknya masuk Islam namun sang ibu menolak, hingga akhirnya Abu Hurairah Radhyiallahu’anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam agar beliau Shallallahu’alaihi wasallam mendoakan ibunya.

Ia bercerita: “Dahulu aku mengajak ibuku untuk masuk Islam ketika ia masih berbuat kesyirikan. Dan pada suatu hari aku mengajaknya, tapi ia berbicara tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan ucapan yang aku benci, maka itu aku mendatangi Rasulullah sambil menangis.

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam, namun ia enggan menerima ajakanku. Dan pada hari ini aku mengajaknya lagi, tapi dia malah berkata tentangmu dengan ucapan yang aku tidak sukai, maka itu doakanlah agar ibu Abu Hurairah mendapat hidayah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berdoa: “Ya Allah, bukakanlah pintu hidayah bagi ibu Abu Hurairah.”

Lalu aku keluar dengan senang hati lantaran doa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ketika datang aku langsung mendekati pintu rumahku yang masih tertutup, dan ibuku mendengar suara langkah kakiku, ia berkata: “Tetaplah di situ, wahai Abu Hurairah.” Dan aku mendengar kucuran air. Ia melanjutkan: “Ternyata ibuku mandi, kemudian ia mengenakan baju kurung dan memakai jilbab, lalu membuka pintu. Ia berkata: “Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang hak kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Ia berkata: “Aku pun langsung kembali menemui Rasulullah sambil menangis karena saking bahagianya. Aku berkata: “Ya Rasulullah, kabar gembira bagimu, sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan Dia telah memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah dan berkata dengan perkataan yang baik. Aku berkata lagi: “Wahai Rasulullah, memohonlah kepada Allah untuk menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan mereka dicintai oleh kami.”

Maka beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini -yakni Abu Hurairah- dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka dicintai olehnya.”

Tidaklah diciptakan seorang mukmin yang mendengar tentang diriku meskipun ia tidak melihatku kecuali ia pasti mencintaiku. (HR. Muslim)

Hendaknya kita bercermin dari perilaku Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu di atas. Beliau senantiasa berusaha agar ibunya mendapat hidayah. Tatkala Allah memberinya hidayah, maka hidup mereka pun menjadi semakin harmonis.

 

Orang yang pertama kali mengucapkan salam

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada  orang yang dudukYang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR. Bukhari no. 6231)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur : 27)

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu pada hadits ini datang ke rumah ibunya sebagai orang yang lebih muda dan sekaligus sebagai tamu, oleh karena itu beliaulah yang pertama kali mengucapkan salam.

 

Seorang anak hendaknya selalu mengingat jasa orang tua kepadanya sewaktu kecil

Kasih sayang orang tua kepada anaknya itu memuncak pada saat anaknya masih kecil. Seluruh waktu mereka akan dihabiskan untuk merawat sang anak tatkala itu. Tidak kenal siang dan tidak kenal malam, apabila anak mereka menangis maka mereka akan segera menimang dan menenangkannya. Bahkan mereka kurang tidur pun tak masalah bagi mereka asalkan sang anak tercukupi waktu tidurnya.

Allah ‘Subhanahu wata’ala pun memerintahkan para hambanya untuk mendoakan kedua orang tua mereka karena jasa orang tua mereka kepada mereka sewaktu kecil, maka Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu pun rutin mendoakan ibunya

فيقول: رحمك الله كما ربيتني صغيرا

Abu Hurairah pun berkata : “semoga Allah menyayangimu wahai ibu, sebagaimana engkau menyayangiku di saat aku masih kecil

 

Seorang anak diharapkan baktinya tatkala dia telah dewasa

Saat masih kecil, sang anak tidak bisa banyak membantu kedua orang tuanya, bahkan dia bergantung pada bantuan kedua orang tuanya dalam berbagai hal. Maka tatkala sang anak telah dewasa, bantuannya sangat diharapkan oleh orang tuanya, terutama tatkala orang tua sudah berusia lanjut dan tidak mampu melakukan banyak hal untuk dirinya sendiri. Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu termasuk sahabat yang berbakti kepada ibunya tatkala dia telah dewasa, oleh karenanya sang ibu membalas doanya dengan mengatakan:

فتقول: رحمك الله كما بررتني كبيرا

Ibunya pun menjawab : “semoga Allah juga menyayangimu karena engkau telah berbakti kepadaku di saat engkau besar

 

Wallahu a’lam bish-showab

 

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad

Ustadz Ali Nur, Lc

Sabtu, 18 Dzulhijjah 1438 H / 9 September 2017

Masjid Dakwah USU, Medan