Kitab Qowaidul Mustla Fi Sifatillah Taala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah Dan Nama Allah Yang Sempurna
Bab 1: Kaidah – Kaidah Dalam Memahami Nama-Nama Allah
Kaidah 1: “Semua Nama Allah Adalah Baik Sempurna”
Semua nama Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist adalah nama yang sempurna, yaitu bahwa semua nama Allah sempurna dan pasti baik, sehingga mustahil terdapat kekurangan dalam kandungan kata dari nama tersebut dari sisi manapun.
Oleh karena itu, tidak semua sifat yang Allah disifati dengannya bisa serta-merta dijadikan nama yang mana Allah dipanggil dengan nama tersebut. Itu dikarenakan Allah harus memiliki nama yang sama sekali tidak mengandung makna kekurangan dari sisi manapun.
Allah berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Contohnya, nama Al-Ḥayyu mengandung makna “Yang Maha Hidup”, mencakup sifat “hidup” yang sempurna—hidup yang azali, yaitu tidak didahului dengan ketiadaan, dan abadi, tidak diakhiri dengan ketiadaan. Nama Al-Ḥayyu juga mengharuskan adanya beberapa sifat kesempurnaan yang harus ada pada zat yang hidup, yaitu tiga sifat: melihat, mendengar, dan berbicara.
Begitu juga nama Allah adalah Al-‘Bashir yang memiliki makna “Yang Maha Melihat”. Nama tersebut tidak memiliki makna yang buruk atau kurang sedikit pun karena melihat adalah kesempurnaan, yang mana kebalikan dari “melihat” adalah “tidak melihat” atau “buta”, yang notabene adalah kekurangan.
Jika apa yang dilihat Allah adalah keburukan seperti maksiat-maksiat hamba yang Allah lihat, maka itu tidak berkaitan dengan zat dan sifat Allah karena makhluk terpisah dari zat Allah, sehingga yang kurang adalah makhluk. Adapun Allah tetap sempurna.
Oleh karena itu, sifat Al-Kalām, yaitu sifat Allah “berbicara”, Allah tidak dinamai dengan sifat tersebut dengan nama Al-Mutakallim (Yang Maha Berbicara). Hal tersebut dikarenakan makna “berbicara” mencakup berbicara sesuatu yang baik dan juga berbicara dengan sesuatu yang buruk, sehingga terdapat kemungkinan keburukan yang menjadikan nama tersebut tidak baik dari sebagian sisinya. Ketika itu perkataan buruk, dan itu adalah sifat yang melekat pada zat Allah, maka hal tersebut harus disucikan dari zat Allah yang Maha Sempurna.
Di antara contohnya juga, nama Allah adalah Al-‘Alīm yang memiliki makna “Yang Maha Mengetahui”.
Allah berfirman :
قَالَ عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَّا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنسَى
“Musa menjawab: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab. Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” [Taha: 52]
Pada ayat tersebut, Allah meniadakan kekurangan pada sifat ilmu, yaitu peniadaan kesesatan atau salah dan lupa, yang mana dua hal tersebut adalah kekurangan yang tersucikan dari zat Allah.
Dari nama Al-‘Alīm menunjukkan bahwa Allah mengetahui semuanya, baik itu perbuatan Allah dan apa yang Allah buat, maupun perbuatan makhluk dan apa yang mereka buat.
Allah berfirman :
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Tidak (pula) jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” [Anam: 59]
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” [Hud: 6]
Begitu juga:
يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” [Taghabun: 4]
Begitu juga, salah satu contoh nama Allah adalah Ar-Raḥmān (Yang Maha Pengasih), yang mengandung makna sifat kasih sayang terhadap hamba-hamba-Nya yang sangat luas dan sempurna. Nama Ar-Raḥmān ini memberikan dampak psikologis dan emosional yang sangat kuat di hati hamba-hamba Allah. Dampak tersebut menghasilkan rasa harapan yang mendalam dalam hati seorang hamba untuk tetap menjalani kehidupan, tetap melakukan ketaatan, dan tetap menjauhi kemaksiatan—dengan modal rasa harap yang timbul dari keyakinan terhadap nama Allah Ar-Raḥmān.
Allah berfirman :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” [Araf: 156]
Ketika kita melihat kasih sayang yang pernah terjadi di dunia antara makhluk satu sama lain, maka kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang antar makhluk. Rasulullah pernah bersabda terkait seorang ibu yang mendapati anaknya berada di antara para tawanan perang, maka ibu tersebut memeluk anaknya. Kemudian Rasulullah bersabda:
اللهُ أرحمُ بعبادِه من المرأةِ بولدِها
“Allah lebih sayang kepada hamba-Nya daripada ibu ini sayang kepada anaknya.“
Ketika seseorang sudah dikaruniai rahmat Allah, maka tidak ada yang perlu ditakuti lagi dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat, karena Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Pengasih pasti akan memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepadanya.
Perlu Kita Ketahui Rahmat Atau Kasih Sayang Allah Terbagi Kepada 2 Macam:
1. Rahmat Aamah (Umum) , yaitu rahmat Allah secara kauniyah (tidak berkaitan dengan syariat) yang Allah berikan kepada semua hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Rahmat inilah yang mendasari semua nikmat yang Allah berikan kepada seseorang, bahkan kepada orang atheis sekalipun. Rahmat ini berupa kenikmatan duniawi, yang mana dalam kenikmatan duniawi tersebut Allah juga memberikan kepada orang yang tidak beriman agar kesamaran dan kenyamanan terhadap keyakinan mereka tetap utuh, sebagai penopang konsep ujian yang Allah berikan kepada semua hamba-Nya.
2. Rahmat Khossoh (Khusus), yaitu rahmat Allah secara syar’i (yang berkaitan dengan syariat) yang Allah berikan sebagai sebab keimanan seorang hamba dan penegakannya terhadap syariat Allah. Maka, Dia akan memberikan nikmat khusus ini yang berupa kenikmatan keimanan, hidayah, keistiqomahan, serta keamanan di dunia dan akhirat.
–
Allah Berfirman:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau, dan peliharalah mereka dari siksa neraka yang menyala-nyala.” [Ghafir: 7]
Nama Allah sudah sempurna ketika nama itu berdiri sendiri, seperti Al-‘Alīm, As-Samī‘, Al-Baṣīr. Nama Allah juga sempurna ketika nama tersebut bersanding disebutkan dengan nama lain, seperti As-Samī‘ Al-Baṣīr, dan sebagainya. Maka, ketika disebutkan sendiri, nama Allah telah sempurna maknanya, dan ketika disebutkan bersama nama Allah lainnya, nama tersebut semakin sempurna dengan keterkaitannya dengan nama yang lain.
Allah berfirman :
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ ۚ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al Imran: 62]
Pada ayat di atas disebutkan Al-‘Azīz Al-Ḥakīm, yaitu bahwa Dzat yang Maha Perkasa adalah Dzat yang Maha Bijaksana juga. Allah menyandingkan kedua nama tersebut dalam ayat tersebut karena keduanya memiliki keterkaitan, baik keterkaitan satu sama lain maupun keterkaitan dengan konteks ayat yang disebutkan sebelumnya.
Ketika kita teliti, kita akan memahami bahwa keperkasaan Allah bukanlah keperkasaan yang dzalim atau semena-mena, melainkan keperkasaan yang dibarengi dengan kebijaksanaan pada setiap keputusan-Nya dalam menakdirkan sesuatu. Dengan demikian, Allah mampu menakdirkan karena Allah Maha Perkasa, dan takdir tersebut tidak akan luput dari hikmah Allah karena Allah Maha Bijaksana.
Begitu pula, ketika Allah mengazab dan memasukkan hamba-Nya ke dalam neraka, maka hal itu terjadi karena Allah Maha Perkasa, dan keputusan tersebut adil karena Allah Maha Bijaksana.
Kaidah 2: “Semua Nama Allah Menunjukkan Kepada Dzat Allah Yang Satu Dan Menunjukkan Kepada Sifat-Sifat Yang Banyak”
Semua nama Allah yang disebutkan dalam Alqur’an dan hadis menunjukkan kepada dua hal:
- Menunjukkan kepada Dzat Allah yang merupakan Dzat yang dinamai dengan nama tersebut. Maka dari sisi ini, semua nama Allah sama-sama menunjukkan kepada Dzat yang satu, yaitu Dzat Allah.
- Menunjukkan kepada sifat yang terkandung dalam nama tersebut sesuai dengan kata dan sighah (bentuk) bahasa Arab. Maka dari sisi ini, semua nama Allah berbeda-beda dan banyak, yang masing-masing menunjukkan kepada sifat-sifat tertentu sesuai dengan lafaz nama tersebut.
Contoh:
Nama Al-Hakīm, Al-‘Azīz, dan Al-Ghafūr. Ketiga nama tersebut menunjukkan kepada satu Dzat, yaitu hanya Dzat Allah. Maka dari sisi ini, semua nama Allah sama. Namun, ketiga nama tersebut masing-masing menunjukkan makna sifat yang berbeda-beda satu sama lain.
- Al-Hakīm menunjukkan sifat bijaksana,
- Al-‘Azīz menunjukkan sifat perkasa,
- Al-Ghafūr menunjukkan sifat pengampun.
Maka dari sisi ini, nama-nama Allah berbeda satu sama lain.
Allah berfirman :
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [Al Hashr: 23]
Semua nama yang disebutkan dalam ayat di atas menunjukkan kepada satu Dzat, yaitu Allah, dan menunjukkan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama tersebut yang berbeda satu sama lain.
Kaidah ini sangat penting dan fundamental untuk kita pahami, karena hampir semua sekte sesat dalam tauhid nama dan sifat Allah salah dalam memahami nama-nama Allah dari kedua sisi ini.
Di antara sekte sesat tersebut adalah Jahmiyyah dan Mu‘tazilah, yang mana mereka adalah orang-orang yang meniadakan sifat Allah, sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa semua nama yang disebutkan dalam Alqur’an dan hadis mengandung banyak sifat terhadap Dzat Allah yang Esa.
Ketika seseorang salah dalam memahami dua sisi yang telah disebutkan di atas, maka ia akan salah dalam memahami sifat Allah. Hal tersebut dibangun di atas menetapkan dikotomi atau perbedaan antara Dzat dan sifat. Sifat bukanlah Dzat, dan sifat juga tidak akan terpisah dari Dzat. Sifat tidak bisa berdiri sendiri, sedangkan Dzat berdiri sendiri. Namun, Dzat harus memiliki sifat yang melekat pada Dzat tersebut, karena tidak ada Dzat di alam nyata kecuali ia harus memiliki sifat.
Sehingga kita bisa memahami bahwa jika Dzatnya satu, maka bisa saja ia memiliki sifat lebih dari satu. Dengan demikian, jika sifat dari suatu Dzat itu banyak, maka tidak mengharuskan Dzat tersebut juga banyak. Karena sifat bukanlah Dzat dan sifat tidak bisa berdiri sendiri tanpa Dzat.
Dari pemahaman ini, kita bisa meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang satu dan memiliki sifat yang banyak dan beragam. Hal tersebut tidak menunjukkan adanya banyak Tuhan karena sifat bukanlah hal yang terpisah dari Dzat.
Oleh karena itu, orang yang memahami bahwa Allah boleh tidak memiliki banyak sifat karena mereka mengira bahwa hal tersebut adalah penyekutuan atau kesyirikan terhadap Dzat Allah yang Esa, maka pemahaman tersebut terbantahkan dengan dalil wahyu dan dalil akal, yaitu:
1. Dalil Wahyu (Al-Qur’an dan Hadis) yang Menetapkan Banyak Sifat untuk Dzat Allah yang Esa, Allah berfirman:
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ، إِنَّهُۥ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ، وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلْوَدُودُ، ذُو ٱلْعَرْشِ ٱلْمَجِيدُ، فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya azab Rabbmu benar-benar keras. Sesungguhnya Dialah yang memulai dan yang mengembalikan, yang Maha Pengampun dan Maha Mengasihi, yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Agung, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.“[Buruj: 12-16]
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menetapkan banyak sifat pada Dzat-Nya. Penetapan pada ayat tersebut adalah penetapan sifat secara langsung. Hal ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari penetapan nama-nama Allah karena alasan sifat. Maka Allah mendatangkan ayat dengan penetapan sifat secara tegas dan langsung.
2. Dalil Akal, Akal atau logika sehat manusia menentukan secara pasti bahwa satu Dzat mungkin dan harus memiliki sifat yang lebih dari satu. Hal tersebut sudah disepakati oleh semua orang yang berakal sehat. Oleh karena itu, dalil penetapan bahwa satu Dzat bisa memiliki lebih dari satu sifat adalah qath‘i (pasti), yaitu:
- Hal tersebut dapat kita pahami bahwa manusia memahami secara induktif dari hal-hal empirik bahwa satu Dzat memiliki banyak sifat. Contohnya, Dzat batu yang memiliki sifat “ada”, sifat “menempati ruang”, sifat “fisik”, dan lain-lain. Maka kita dapat memahami dengan qiyas awlawy bahwa Allah yang menciptakan alam semesta tidak mungkin tidak memiliki sifat, atau hanya memiliki satu sifat, karena hal tersebut akan menetapkan kekurangan pada Dzat Allah. Bagaimana mungkin pencipta memiliki sifat yang lebih sedikit daripada ciptaannya?
- Sifat Allah banyak dan semua sifat Allah sempurna, dikarenakan tidak mungkin Allah dinamai dengan kata yang tidak mengandung makna sifat terhadap Dzat Allah. Itu adalah kemustahilan. Karena dapat kita lihat bahwa manusia memiliki nama dan dinamai dengan tujuan untuk memiliki sifat dari nama tersebut. Contohnya, “Budi” dinamai Budi adalah karena dia “baik budi pekerti”. Jika ia belum memiliki sifat “baik budi”, maka nama tersebut adalah harapan dari orang yang memberikan nama agar ia memiliki sifat tersebut, itu dikarenakan dia adalah makhluk yang kurang dan tidak sempurna.
- Ketika kita memahami bahwa Allah maha sempurna, kita memahami dengan qiyas awlawy bahwa Allah lebih sempurna dari hamba-Nya. Dan ketika Allah memiliki nama, maka Allah pasti memiliki makna sifat yang terkandung dari nama tersebut. Jika tidak, maka itu menunjukkan dua kekurangan fatal, yaitu:
- Kekurangan pada Dzat Allah ketika tidak memiliki sifat dari nama yang baik, ini adalah mustahil bagi Dzat Allah.
- Kekurangan yang berupa kebohongan dan kelalaian, yaitu bahwa nama-nama yang Allah sebutkan dalam firman-Nya adalah kebohongan atau kelalaian karena Allah tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Ini juga mustahil bagi Dzat Allah.
Maka terbuktilah secara wahyu dan akal sehat bahwa Allah adalah Dzat yang esa, yang memiliki banyak nama baik dan memiliki banyak sifat sempurna dari nama-nama tersebut.