Tauhid Rububiyyah – 01

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

(05 – Serial Aqidah)

 

TAUHID RUBUBIYYAH – 01

Berbicara tentang tauhid tidak akan lepas pembicaraan tersebut dari pembahasan Tauhid Rububiyyah. Tauhid inilah yang pertama kali harus diyakini dan diimani oleh seorang muslim.

– Makna Tauhid Rububiyyah ialah : Mengimani adanya Allah Ta’ala, dan Dialah Allah yang Maha menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur segala sesuatu. Tidak ada satupun sekutu bagi Allah Ta’ala.

– Tauhid Rububiyyah mencakup dua hal :

1. Mengimani adanya Allah Ta’ala
2. Meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu, Allah yang memberi rezeki kepada makhluknya. Meyakini bahwa Allah yang menghidupkan dan mematikan.

Sehingga ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka ia akan meyakini bahwa tidak ada satupun yang dapat menciptakan segala sesuatu kecuai Allah. Ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah yang memberikan rezeki kepada makhluknya, maka ia akan meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberikan rezeki kecuali Allah Ta’ala.

Begitu banyak dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang menetapkan rububiyyah Allah Ta’ala. Maka setiap nash ataupun dalil yang terdapat penyebutan dari nama “Rabb” atau penyebutan kekhususan dari rububiyyah berupa al kholqu (penciptaan), ar rizqu (pemberi rezeki), al malik (raja), dan lain sebagainya. Maka ini merupakan dalil-dalil Tauhid Rububiyyah.

Seperti firman Allah Ta’ala

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al Fatihah : 1)

Seperti firman Allah juga,

اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ

Ingatlah! Hanya milik Allah segala penciptaan dan urusan.” (QS. Al ‘Arof : 54)

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya untuk senantiasa memerhatikan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang dzohir (terlihat jelas) pada makhluk-makhlukNya. Sebagai bukti atas rububiyyah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS. Adz Dzariyat : 20-21)

Pada ayat di atas Allah menjelaskan, bahwasanya di bumi tempat berpijak terdapat tanda-tanda rububiyyah Allah yang begitu banyak. Yang menunjukkan akan besarnya ciptaan Allah berupa jenis-jenis tumbuhan, hewan-hewan, gunung-gunung, gurun pasir, lautan, sungai-sungai, dan lain sebagainya.

Begitupun yang terdapat pada diri manusia, berupa tertatanya susunan anggota tubuh sesuai dengan letak kebutuhan dan kegunaannya. Kemudian berupa berbedanya bahasa-bahasa, warna kulit, bahkan berbeda dan bertingkat-tingkatnya akal dan pemahaman manusia. Ini semua menunjukkan keagungan Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalaah.

Bersambung In syaa Allah…

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

Depok, 30 Rabi’ul Akhir 1445/14 November 2023

———————————————

Sumber :

– Al Qoulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

– Tahdzib Syarah Tashil Aqidah Al Islamiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin

Makna Tauhid dan Macam-Macamnya

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

(04 – Serial Aqidah)

 

MAKNA TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA

 

Setelah mengetahui tentang makna aqidah, sumber pengambilan aqidah, dan lain sebagainya. Maka ada perlunya kita mengetahui tentang “apa itu tauhid?” berikut dengan pembagiannya, sebelum nantinya kita perlu mengetahui pula tentang lawan dari tauhid berupa kesyirikan. Tentunya dengan mengetahui tauhid terlebih dahulu, akan mudah nantinya mengetahui segala macam bentuk kesyirikan.

Sebelum beranjak lebih jauh berbicara tentang tauhid, pertanyaan dasar yang mungkin terlintas. Apa bedanya tauhid dengan aqidah? Apakah sama antara tauhid dan aqidah?

Secara umum tidak ada bedanya antara tauhid dan aqidah keduanya dipakai dalam istilah aqidah islamiyah yang berarti keyakinan. Secara asal, tauhid dikhususkan hanya kepada Allah rabbul ‘alamin. Adapun aqidah dikhususkan untuk rukun iman dan perkara-perkara yang ghoib.

Sehingga dapat disimpulkan, segala macam tauhid termasuk perkara aqidah. Namun perkara aqidah belum tentu termasuk perkara tauhid. Karena terkadang perkara aqidah ada padanya bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Sehingga makna aqidah lebih luas dari makna tauhid.

Tauhid secara bahasa berasal dari kata
وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا

yang artinya, menjadikan sesuatu menjadi satu (mengesakan).

Secara istilah meyakini keesaan Allah dengan beribadah hanya kepadaNya serta mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Tauhid yang harus diyakini seorang muslim terbagi menjadi tiga. Yaitu,
1. Tauhid Rububiyyah
2. Tauhid Uluhiyyah
3. Tauhid Asma’ was Shifat

Ketiga tauhid ini bersumber dari penelitian terhadap dalil-dalil dari Al Qur’an. Di antara dalilnya Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam : 65)

 

Tauhid Rububiyyah ada pada ayat,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya.”

 

Tauhid Uluhiyyah ada pada ayat,

فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖ

Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya.

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat,

هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?.”

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat ini karena, makna dari ayat di atas adalah, “Engkau tidak akan mengetahui atau mendapati yang semisal dan sama dengan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatnya.” (Lihat penjelasan ini di kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah – hal 19)

Sehingga inilah di antara dalil dari pembagian tauhid. dan pembagian tauhid ini bukan termasuk dari perkara bid’ah karena tidak ada penjelasan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak hal yang dibagi atau disusun oleh para ulama, namun hal itu tidak ada di zaman Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya hal ini untuk memudahkan kaum muslimin dalam memahami aqidah mereka. Sama halnya seperti pembagian rukun-rukun sholat, syarat-syarat sahnya sholat. Apakah kita katakan ini bid’ah ? tentu tidak. Karena ini hanya sekedar washilah untuk ketaatan.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat berada pada lingkungan yang penuh dengan ilmu, sehingga mereka begitu faham dan mengerti apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terlalu membutuhkan pembagian seperti demikian. Sebuah perkataan yang disandarkan kepada Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu,

العِلْمُ نُقْطَةٌ كَثَّرَهَا الجَاهِلُوْنَ

Ilmu pada asalnya hanya satu titik, kemudian diperbanyak oleh orang-orang bodoh.” (Lihat Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi – Hal 3)

Yakni, ilmu di zaman para sahabat dahulu sedikit. Ketika zaman semakin jauh dari zaman para sahabat, semakin banyaklah kebodohan dan semakin harus banyak permasalahan-permasalahan yang diungkap.

Demikianlah tauhid dan macam-macamnya yang harus diketahui oleh seorang muslim, dan pembagian ini bukan termasuk dari perkada bid’ah. Untuk perinciannya masing-masing akan datang ditulisan selanjutnya In syaa Allah.

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

Depok, 4 Rabi’ul Awwal 1445/19 September 2023

——————————————

Sumber :

– Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi Karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Sumber Pengambilan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Tatkala seorang muslim berkeyakinan dengan sebuah aqidah, maka yang harus ia perhatikan adalah dari mana ia mengambil sumber aqidah tersebut. Karena tidak semua aqidah itu haq adanya. Terdapat banyak sekali aqidah-aqidah menyimpang, yang sama sekali mereka tidak berpedoman kepada sumber yang benar. Sehingga harus menjadi skala prioritas bagi kita untuk mengetahui sumber pengambilan aqidah yang benar.

Aqidah sifatnya adalah tauqifiyyah, yakni aqidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan adanya dalil. Murni perkara aqidah bersumber dari dalil Al Qur’an dan juga As Sunnah. Sehingga sama sekali tidak ada ruang ataupun celah untuk akal ikut serta dalam mengatur perkara aqidah ini.

Sumber pengambilan aqidah yang benar adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Karena tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentangnya kecuali Allah Ta’ala dan tidak ada yang lebih mengetahui pula setelah Allah melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang diyakini oleh Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka. Apa saja yang diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tentang Allah, mereka akan beriman dan mengamalkannya. Sebaliknya, apapun yang tidak diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah mereka menafikannya.

Dengan kita berpegang dengan prinsip di atas tidak akan terjadi perbedaan dalam masalah aqidah. Karena Allah Ta’ala menjamin bagi siapa yang berpegang kepada kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, akan terus bersatu.


Allah Ta’ala berfirman :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ..

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imron : 103)


Allah juga berfirman :

فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ 

…Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha : 123)


Berkata Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah :

Tatkala sebagian orang membangun aqidah mereka dari selain Al Qur’an dan As Sunnah, dari ilmu kalam dan ilmu mantiq yang diwariskan dari filsafat yunani. Terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam masalah keyakinan, perpecahan dalam barisan mereka, serta hancur lah masyarakat islam karena sebab tersebut.”(Lihat Aqidatut Tauhid Hal 12)


Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kita harus menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber adalah firman Allah Ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِن وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلا مُّبِينا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Riwayat Al Hakim dalam Mustadrok dan dishahihkan Syaikh Al Albani).


Sebagai tambahan faidah, ada sebagian orang yang hanya mencukupkan diri dengan Al Qur’an saja. Adapula yang mencukupkan diri dengan As Sunnah saja. Hal ini tentu keliru. Karena Allah Ta’ala mengkolerasikan antara sunnah Rasul-Nya dengan kitabnya di banyak dalil. Bahkan mewajibkan hamba-Nya untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan Sunnah Rasul adalah penjelas makna Al Qur’an. Bagaimana mereka bisa mencukupkan hanya dengan Al Qur’an saja ?

 وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

…Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An Nahl : 44)

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

 

——————————————–

Sumber :

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Wajiz fi Aqidatissalafis Shaalih Karya Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary

Allah Beristiwa di Atas ‘Arsy

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Diantara keyakinan yang harus diyakini oleh setiap muslim. Bahwa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arsy. Demikianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun Sunnah. Bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy. Fitroh manusiapun sepakat meyakini bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy.

Terdapat tujuh dalil yang menerangkan dan menetapkan bahwasanya Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Berikut ini adalah dalil-dalilnya, Allah berfirman :

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.”[Al ‘Arof : 54]

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy?” [Yunus : 3]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy” [Ar Ra’d : 2]

 

﴿ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia istiwa di atas ‘Arsy”[Al Furqon : 59]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.”[As Sajdah : 4]

 

﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.” [Al Hadid : 4]

 

﴿ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥﴾

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thoha : 5]

 

Perhatikanlah ! kesemua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah istiwa di atas ‘Arsy. Kesemuanya senada dalam menetapkan Allah di atas ‘Arsy dengan kalimat “Beristiwa di atas ‘Arsy”.

Sehingga yang dapat difahami dari dalil-dalil di atas adalah makna secara hakiki. Bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Tidak mungkin bisa ditakwil (dirubah/diselewengkan) ke makna yang lainnya.

Istiwa secara bahasa (etimologi) terdapat empat makna. Yaitu,

عَلاَ – اِرْتَفَعَ – صَعِدَ – اِسْتَقَرَّ

Yang kesemua maknanya artinya adalah di atas. Para ulama ketika mereka menafsirkan makna istiwa, maka mereka kembali kepada keempat makna ini.

 

Adapun secara istilah (terminology) artinya adalah : Sifat berupa perbuatan khusus hanya milik Allah, yang sesuai dengan kemuliaannya dan keagungannya.

Sehingga dari sinilah kita harus mengimani dan meyakini bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Kendati sebagian ada yang mentakwil arti istiwa menjadi istawla yang artinya berkuasa atau menguasai. Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal akibatnya. Dengan keyakinan ini, seseorang bisa membatalkan dalil-dalil di atas dan menyelisihi yang diyakini oleh kaum muslimin dari dahulu hingga sekarang.

Diantara kefatalan dari pemahaman yang mentakwil menjadi istawla adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Daud bin ‘Ali Al Asbahaniy, beliau berkata : “Aku pernah bersama Ibnul Araby, kemudian datanglah seseorang,

seraya berkata : “Apa makna dari ayat ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ (“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”) ?

Ibnul Araby pun lantas menjawab : “Allah berada di atas ‘Arsy nya sebagaimana yang telah dikabarkan (dalam Al Qur’an).”

Orang itupun menjawab : “Wahai Abu Abdillah (Kunyah Ibnul Araby), makna yang benar adalah Istawla (menguasai).” Ibnul Araby menjawab : “Apa yang membuatmu berpendapat demikian ?, tidaklah engkau mengatakan Istawla (berkuasa) melainkan karena ada lawan sebelumnya, siapa yang menang maka dialah yang menguasai.” (Lihat : Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Mandzur 14/414, dinukil dari kitab Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hal 101).

Sehingga jika istawa ditakwil menjadi istawla, seolah-olah kita mengatakan bahwa tuhan itu berbilang. Seolah-olah kita mengatakan Allah memenangi peperangan dengan tuhan yang lain sebelum Allah menguasai ‘Arsy. Inikah yang engkau yakini ? Sungguh! Teramat buruk keyakinan yang demikian.

 

Ketahuilah ! bahwa takwil istiwa menjadi istawla (menguasai arsy) merupakan takwil yang batil dari beberapa sisi;

Pertama, Takwil ini adalah takwil yang bid’ah! Tidak ada sebelumnya dari kalangan para sahabat ataupun tabi’in yang mereka menafsirkan ayat tersebut dengan istawla. Dan yang pertama kali mentakwil ayat itu adalah Jahmiyyah dan Mu’tazilah.

Kedua, Kalau maksud dari istiwa adalah istawla (menguasai), maka dapat kita simpulkan tidak ada perbedaannya antara ‘Arsy (makhluk Allah yang agung), dengan bumi yang paling bawah. Secara jika ditakwil menjadi istawla maknanya tidak lagi berada di atas. Maka apa faidahnya disebutkan ‘Arsy jika tidak ada bedanya dengan bumi yang paling bawah ?

Ketiga, Di dalam Al Qur’an dan Sunnah semua lafadz menggunakan lafadz Istiwa dan tidak ada satupun yang menggunakan istawla. Andaikata ada satu saja lafadz istawla maka kita bisa mengimani hal tersebut. Nyatanya tidak ada satupun lafadz istawla sebagai penafsir dari istiwa.

Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan bagi mereka yang mentakwil makna istiwa menjadi istawla. Intinya yang harus kita Imani bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy demikianlah yang sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

 

Catatan :

Seringkali kata Istiwa diterjemahkan menjadi bersemayam. Bahkan sudah dari dulu digunakan terjemah ini. Alangkah baiknya terjemah ini ditinggalkan dan cukup menggunakan lafadz Istiwa, mengingat ada ketidak sesuaian makna antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia dalam hal ini.

Tidak mengapa lafadz tersebut diucapkan ketika memang orang lain tidak faham akan makna Istiwa sehingga harus ada bahasa padanan yang menggantikannya. Kendati bersemayam tidak mewakili makna dari Istiwa itu sendiri.

Namun tentu yang terbaik adalah mengganti terjemahan bersemayam cukup dengan menyebutkan Istiwa. dan ketika menterjemahkan ayat pula, harus disebutkan lafadz istiwanya. Karena Istiwa adalah termasuk perbuatan Allah yang harus ditetapkan. Begitupun Tinggi termasuk sifat dzatiyyah bagi Allah yang harus ditetapkan pula.

Sehingga kurang tepat jika dikatakan, “Allah di atas ‘Arsy” saja tanpa menggunakan Istiwa, katakan “Allah Istiwa di atas ‘Arsy”.

 

Wallahu’alam.

Wabillahittaufiq,

Zia Abdurrofi

 

Referensi :

Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah (cet. Daarul ‘Ashimah Tahun 1425H) Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan.

Penjelasan Tentang Makna Aqidah

Aqidah secara bahasa diambil dari kata Al ‘Aqdu. Yang artinya ikatan atau mengikat sesuatu. Dimaknai pula, yaitu segala hal yang manusia beragama dengannya. Seperti ucapan orang arab : Ia memiliki aqidah yang baik. Artinya, selamat dari keraguan.

Aqidah adalah amalan hati dan tempatnya dihati berupa keyakinan dan kepercayaan.

Adapun secara istilah adalah keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan beriman terhadap suatu hal yang diwajibkan kepada hamba berupa tauhid (iman kepada Allah), Iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Begitupun beriman kepada segala cabang dari pondasi keimanan di atas.

Inilah yang dinamakan dengan aqidah, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan juga beriman kepada rukun iman yang enam. Sehingga mengetahui ke enam hal diatas beserta perinciannya merupakan hal yang dituntut dalam agama kita.

Perlu diketahui ada beberapa nama lain dari aqidah, beberapa penamaan yang disebutkan oleh para ulama. Diantaranya adalah As Sunnah sebagai pembeda dari Aqidah yang jauh dari kebenaran. Karena aqidah yang shahih adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Diantara penamaannya, Ushuluddin (pokok/asas agama). Karena Aqidah berkaitan dengan pokoknya agama, sehingga sah atau tidaknya amalan tergantung dari Aqidah yang seorang hamba yakinin dan imani. Dari sinilah Aqidah dinamakan Ushuluddin.

Diantara nya juga ada Fiqhul Akbar para ulama menamakan Aqidah dengan Fiqhul Akbar karena Aqidah kembali kepada pokok agama. Sedangkan amalan-amalan dinamakan dengan Fiqhul Ashgar karena amalan-amalan sebagai cabang dari hal yang pokok. Al Imam Abu Hanifah memiliki kitab yang berjudul Al Fiqhul Akbar padanya terdapat penjelasan tentang masalah Aqidah dan bukan masalah Fiqh yang sifatnya ‘Amaliyyah.

Secara garis besar syariat agama Islam terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Perkara I’tiqodiyah

Yakni, segala hal yang tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Perkara I’tiqodiyah berkaitan dengan keyakinan, inilah yang disebut dengan aqidah. Seperti beriman kepada Allah dan wajib beribadah hanya kepadanya. Hal ini tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Ini dinamakan juga dengan perkara ushuliyyah.

2. Perkara ‘Amaliyyah

Yakni, segala perkara atau hal yang berkaitan dengan amal. Seperti contohnya salat, zakat, puasa dan segala hukum-hukum yang sifatnya amal. Ini dinamakan juga dengan perkara furu atau cabang karena amal ini tergantung dengan aqidah yang benar.

Sehingga aqidah yang benar merupakan asas atau pokok yang dengannya amalan dapat diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَن كَانَ يَرجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦفَليَعمَل عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشرِك بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦ أَحَدَا

Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surat Al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman :

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (Surat Az-Zumar : 65)

Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya segala bentuk amalan tidak akan diterima melainkan jauh dari segala macam bentuk kesyirikan. Dan dari sinilah terlihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mementingkan perkara aqidah terlebih dahulu tatkala beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan meninggalkan penyembahan selain dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah ṭāgūt, ” (Surat An-Nahl : 36)

Semua rasul yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala utus ke muka bumi ini yang pertama kali mereka dakwahi kaumnya adalah berkaitan tentang aqidah dan tauhid.

Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Mekah selama tiga belas tahun lamanya mengajak manusia kepada tauhid dan perbaikan aqidah. Karena perkara aqidah sekali lagi adalah perkara pokok yang dengannya dibangun sebuah agama.

Wabillahit taufiq.

 

Zia Abdurrofi

Bogor, 13 Juli 2023

 

Referensi :
– Aqidatut tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan. Cet. Daarul Ashimah
– Tahdzib Syarah Tashil Aqidah Al Islamiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin rahimahullah.
– Dan lain lain.

JANGAN LUPUT! TUNAIKAN HAK ALLAH INI

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Amma Ba’du..

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Di antara hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim bahwasanya aqidah adalah perkara yang sangat penting. Di karenakan perkara aqidah amat erat kaitannya dengan hak-hak Allah yang harus kita tunaikan sebagai seorang hamba yang berjalan di muka bumi ini.

Suatu ketika, sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu perjalanan. Lalu Nabi bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu.

«يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟» قَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «أَنْ يُعْبَدَ اللهُ وَلَا يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ»، قَالَ:«أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟» فَقَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:«أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ»

Wahai Mu’adz , apakah engkau mengetahui hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba ?.” Mu’adz menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya seorang hamba menyembah Allah dan tidak menyukutukannya dengan sesuatu apapun.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya : “Apakah engkau mengetahui hak para hamba tatkala mereka telah mengerjakan hal tersebut ?”. Muadz kembali menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yaitu , Allah tidak mengadzab mereka” (tatkala mereka menyembah Allah dan tidak berbuat kesyirikan).[1]

Hadits di atas menunjukkan akan urgensinya ilmu Aqidah. Sehingga Nabi mendahulukan hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Begitupun di hadits yang lain, tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman. Maka yang diperintahkan oleh nabi untuk di dakwahkan pertama kali adalah ‘Aqidah , setelah itu baru sholat dan lain lainnya. Dikarenakan ‘Aqidah berkaitan dengan hak Allah Ta’ala yang wajib kita tunaikan sebagai seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman :

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu” (Qs : Muhammad : 19)

Ini adalah ilmu yang Allah perintahkan -yakni ilmu tauhid (aqidah)- hukumnya wajib atas setiap manusia tanpa terkecuali. Bahkan seluruh makhluq diharuskan untuk mengetahuinya.”[2]

Dan metode atau cara untuk kita mengetahui Aqidah yang benar , bahwasanya tiada ilaah yang berhak di ibadahi dengan benar ada beberapa metode, diantaranya :

– Mentadabburi nama , sifat sifat dan perbuatan Allah. Yang itu semua menunjukkan akan kesempurnaan-Nya , kebesaran-Nya , kemuliaaan-Nya.

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala adalah yang Maha Esa dengan segala penciptaan dan mengatur (alam semesta).

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa atas segala nikmat yang diberikan. Baik secara dzohir (terlihat) atau baathin (tersembunyi) baik secara agama ataupun dunia.

– Dengan kita melihat dan mendengar balasan berupa pahala bagi para wali-wali Allah yang merealisasikan tauhid, dimana mereka Allah balas dengan pertolongan dan nikmat yang di segerakan. Begitupula, dengan kita melihat dan mendengar hukuman bagi orang orang yang menyekutukan Allah. Dengan dua hal itu , lebih membawa kita untuk mengetahui bahwa dialah Allah yang Maha Esa. Yang berhak untuk diibadahi secara totalitas.

– Mengetahui sifat-sifat dari berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan yang di sembah selain Allah dan dijadikan sebagai Ilaah. Mengetahui , bahwa itu semua diliputi oleh kekurangan dari segala arah. Kurang dari sisi dzatnya , sesembahan itu tidak dapat menguasai dirinya sendiri apalagi untuk para penyembahnya begitupun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot.

Kitab kitab yang Allah turunkan bersepakat dan bersatu padu atas wajibnya mengetahui dan mengesakan Allah.[3]

Demikianlah beberapa poin yang hendaknya dijadikan patokan bagi kita sekalian untuk mempelajari Aqidah ini. Yang mana dengan aqidah ini dapat di tentukan kehidupan seseorang. Apakah ia termasuk orang yang berbahagia atau tidak.

Dikarenakan diterimanya amalan atau tidak bergantung pada Aqidah ini. Sekiranya ia beraqidah dengan aqidah yang benar, kelak syurga ganjarannya. Kalau ia berbuat syirik atau menyukutukan Allah dengan sesuatu apapun bahkan dengan seekor lalat sekalipun. Maka neraka lebih berhak untuk ia proleh pada hari kiamat nanti.

Sebagian ulama memuthlakkan penamaan aqidah dengan “Ushulud Din” dikarenakan agama ini terbagi menjadi dua hal : Yaitu , ‘I’tiqodiyyat dan ‘amaliyyat. ‘i’tiqodiyyat adalah yang berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Adapun ‘amaliyyat adalah yang berkaitan dengan hukum hukum atau amalan amalan. Seperti sholat , zakat , haji, jual beli dan lain lain. Dan ‘amaliyyat ini di sebut dengan furu’ (cabang) adapun ‘i’tiqodiyyat disebut dengan ushul (akar/pondasi).

 

Sebuah sya’ir mengatakan :

و بعد فاعلم أن كل العلم

كالفرع للتوحيد فاسمع نظمي

لأنه العلم الذي لا ينبغي

لعاقل لفهمه لم يبتغ

Maka ketahuilah , bahwa seluruh ilmu

Ibarat cabang dari ilmu tauhid , maka dengarlah bait syairku

Karena ilmu tauhid adalah ilmu yang mengharuskan

Bagi seorang yang berakal untuk memahaminya, walau ia tidak di minta (untuk memahaminya).[4]

 

Maka ilmu ilmu yang berkaitan dengan sholat, zakat, puasa atau yang lainnya. Itu adalah cabang dari ilmu aqidah. Dan Aqidah adalah semulia mulianya ketaatan. Mengingat baiknya aqidah adalah syarat diterimanya ibadah. Tatkala aqidah rusak maka ibadah tersebut pun tak di terima.

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:

فاعلم أن العبادة لا تسمى عبادة إلا مع التوحيد كما أن الصلاة لا تسمى صلاة إلا مع الطهارة. فإذا دخل الشرك في العبادة فسدت كالحدث إذا دخل في الطهارة

Maka ketahuilah!, bahwasanya ibadah tidak di anggap sebagai ibadah melainkan dengan adanya Tauhid (aqidah). Ibarat sholat , tidak dikatakan sebuah sholat itu sah melainkan dengan adanya kesucian (wudhu) terlebih dahulu. Maka , ketika kesyirikan masuk kedalam sebuah ibadah niscaya ibadah itupun akan sirna. Sebagaimana tatkala hadats ada pada sebuah kesucian.”[5]

Diantara urgensi mempelajari aqidah[6] :

– Aqidah adalah ilmu agama yang paling penting.

– Dengan mempelajari aqidah , dapat meluruskan keyakinan yang rusak.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, dapat menjaga seseorang dari kesyirikan.

– Aqidah adalah semulia mulia dan seagung agungnya ilmu.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, menambah rasa takut seseorang dan menjauhkan dari perbuatan maksiat.

– Aqidah yang benar dapat melindungi diri dari perkara syubhat.

Wabillahit Taufiq,

 

Zia ‘Abdurrofi

 

Referensi :
-‘Aqidatut Tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah

– Taisir Karimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalamil Mannan Karya Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah.

– Qowa’idul Arba’ Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

– Syarh Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyyah Karya Prof.Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin

– Website alukah.net

——————————–
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori No.7373 dan Al Imam Muslim No. 30. Dibawakan pula dalam Kitabut Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.
[2] Lihat kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[3] Diringkas dari kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[4] Footnote kitab Syarh Tashil Al Aqidah Al Islamiyah Hal 32 – Karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin (Dosen Fakultas Tarbiyah Di Universitas Malik Su’ud Kota Riyadh, Saudi Arabia)
[5] Lihat di Muqoddimah kitab Qowa’idul Arba’ – Karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
[6] Di nukil dari tulisan Dr. Robi’ Ahmad di website alukah.net

Buah Manis Bertauhid (Part 2)

Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona & merupakan sambungan dari Buah Manis Bertauhid.

Kembali kita ingat bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Perintah yang paling besar yang Allah embankan kepada manusia adalah bertauhid. Oleh karenanya, mereka yang melanggar tauhid alias menyekutukan Allah, berarti orang ini telah melakukan perbuatan dosa yang terbesar dibandingkan dosa-dosa yang lainnya.

Kali ini kita akan berbicara tentang apa itu buah manis dari tauhid?

  1. Seorang yang bertauhid yang menjauhkan dirinya dari kesyirikan maka mereka dijamin oleh Allah mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat serta dijamin oleh Allah akan mendapatkan petunjuk.

Petunjuk adalah suatu perkara yang sangat diinginkan dalam setiap lini kehidupan kita. Tidak hanya dalam perkara bagaimana cara kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi setiap perkara yang terkait dengan masalah dunia juga kita butuh petunjuk dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, kita butuh pekerjaan dan kita menginginkan pekerjaan yang paling nyaman dan cocok untuk kita, maka kita mohon kepada Allah. Oleh karena itu, petunjuk adalah perkara yang paling urgen dalam setiap gerakan dan ucapan kita.

Apabila seseorang tidak memperdulikan petunjuk dalam perkataan dan perbuatan mereka, maka tidak ada tempat yang layak untuknya kecuali neraka. Makanya seorang yang bertauhid itu dijamin Allah Subhanahu wa Ta’ala aman dan dijamin Allah mendapatkan petunjuk dariNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82).

Ini merupakan buah yang luar biasa. Allah menyebutkan,

“…dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik)…”

Zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Pada zaman Rasulullah ﷺ, ketika turun ayat ini dan para shahabat  mendengar ayat ini, maka apa kata mereka ?

“Ya Rasulullah, apa ada di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim? Tidak ada di antara kami yang tidak berbuat zhalim, pasti pernah. Jadi kalau orang yang berbuat zhalim tidak berhak mendapatkan keamanan, tidak berhak mendapat hidayah ya Rasulullah ?

Satu hal yang mengkhawatirkan para shahabat, lantas Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Ini juga yang disebutkan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya ketika memberi nasihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم…..

“…‘Wahai anakku! Jangalah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar’ (QS. Lukman : 13)

Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-‘Anbiya ayat 103,

لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ

“Kengerian besar (Hari Kiamat) tidak membuat mereka gundah,…”

Orang-orang yang bertauhid tidak akan merasa susah pada hari kiamat.

وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ…

“…dan para malaikat menyambut mereka…”

Mereka disambut oleh para malaikat dan ini hanya untuk orang yang bertauhid.

هَٰذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ…

“…(Malaikat berkata), ‘Inilah hari kalian yang telah dijanjikan kepada kalian’ (QS. Al-Anbiya’ : 103)

Mereka mengatakan, ini adalah hari yang pernah dijanjikan untuk kalian.

 

  1. Seorang yang bertauhid ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dikarenakan apapun maka orang ini berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Orang yang paling beruntung mendapatkan syafa’atku di hari kiamat yaitu mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah ikhlas dan murni di hatinya bukan karena paksaan melainkan murni karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Inilah orang yang paling berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

 

  1. Seorang yang bertauhid tidak akan kekal di dalam neraka.

Manusia bukanlah makhluk yang suci yang tidak ada kesalahannya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”

Makanya tidak ada anak Adam yang tidak pernah berbuat salah, termasuk orang yang bertauhid. Namun, sebesar-besarnya dosa seorang yang bertauhid, kalaupun Allah tidak ampuni dosanya hingga dia masuk neraka, dia tidak akan kekal di dalam neraka. Beda halnya dengan seorang yang tidak bertauhid, mereka akan kekal dalam neraka selama-lamanya karena Allah tidak akan mengampuni dosanya. Dosa besar selain syirik masih ada kemungkinan untuk Allah ampuni jika Allah kehendaki. Berarti, ada yang dikehendaki Allah untuk diampuni dan ada juga yang tidak dikehendaki hingga tidak diampuni dosanya. Dan mau tidak mau dia harus masuk ke neraka.

Tapi ingat, azab dia tidak sama dengan orang yang kafir karena suatu saat dia akan keluar dari api neraka. Jangan ada satupun di antara kita yang ingin masuk neraka karena azab neraka yang paling ringan adalah dia memijak api neraka lalu otaknya menggelegak.

Seorang yang bertauhid tidak akan kekal dalam api neraka. Apa dasarnya? Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala selesai menetapkan hukuman-hukuman kepada para hambaNya lantas Allah ingin mengeluarkan penduduk neraka dari api neraka dengan rahmatNya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada malaikat untuk mengeluarkan siapa saja yang tidak pernah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, itupun memang orang yang Allah rahmati yaitu dari orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah.”

Para malaikat mengetahui mana yang layak untuk dikeluarkan dengan syarat dan ketetapan yang berlaku yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Darimana para malaikat tahu ? Mereka tahu penduduk-penduduk neraka yang layak keluar dari api neraka dari bekas sujud mereka.

“Karena Allah telah mengharamkan api neraka membakar bekas sujud yang  ada di tubuh anak Adam. Maka mereka pun keluar dan mereka sudah gosong. Dan dituangkanlah kepada mereka air, dimandikan mereka. Yang dikatakan air kehidupan.”

Jadi, orang-orang yang bertauhid tetap akan dikeluarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari api neraka. Tapi ingat, jangan ada di antara kita yang mengidam-idamkan masuk neraka karena tidak enak masuk neraka. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Didatangkan seseorang yang paling memiliki kehidupan yang paling bahagia di muka bumi. Memiliki segalanya apa saja yang dia inginkan dia bisa lakukan. Intinya yang paling bahagia di dunia. Lantas dia dicelupkan dalam api neraka sekali celup saja. Lantas ditanyakan, ‘Ya fulan, apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?’ Katanya, ‘Demi Allah tak pernah ya Allah’

Bayangkan, seumur hidup dia bahagia di muka bumi, tapi sayangnya dia termasuk penduduk neraka lalu dicelupkan sebentar saja ke dalam neraka. Lantas, ditanyakan apakah engkau pernah merasakan kebahagiaan ? Katanya, ‘tidak pernah ya Allah’. Makanya jangan ada di antara kita yang sempat masuk neraka, upayakan langsung masuk ke dalam surge-Nya Allah.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan dia ingkari semua sekutu-sekutu Allah.

Dia tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan dia tujukan seluruh jenis ibadah hanya kepada Allah maka haram hartanya dan jiwanya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah dan menegakkan sholat, dan membayar zakat. Kalau mereka lakukan itu semua maka terpeliharalah dariku darah dan harta mereka kecuali haknya islam, hisabnya ada pada Allah”

Jadi ada hak Islam yang memang harus kita keluarkan dari harta kita dengan zakat. Demikian juga ada seorang muslim, dia sudah bertauhid, maka mau tidak mau, halal darahnya dikarenakan sesuatu pelanggaran yang dia lakukan. Pelanggaran apa itu ? Rasulullah ﷺ bersabda,

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali tiga hal yaitu seorang yang sudah berumah tangga namun dia berzina,…”

Halal darahnya yang berarti dia di hukum mati (razam).

“…mereka membunuh orang lain,…”

Maka dia boleh diqishash yang artinya boleh dihukum mati.

“…mereka meninggalkan agama Islam dan meninggalkan jamaah kaum muslimin.”

Tiga orang ini halal darahnya. Oleh karenanya, seseorang yang sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan Muhammadur Rasulullah, terpeliharalah darah dan hartanya kecuali hak Islam.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hatinya cahaya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 122,

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…” (QS. Al-An’am : 122)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwasanya orang yang bertauhid itu akan diberikan cahaya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cahaya dalam kehidupannya bahkan nanti cahaya di akhirat. Bahkan Allah menyebutkan orang yang bertauhid itu dikatakan orang yang hidup. Perhatikan,

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan…”

Maksud mati di sini adalah orang kafir yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang musyrik yang tidak mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadatannya, maka dia dianggap mati. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah kepada mereka, maka itu adalah awal daripada kehidupan mereka. Allah beri mereka cahaya, dan sebesar apa cahaya mereka ? Semakin kuat tauhid mereka maka semakin dahsyat cahaya mereka. Makanya orang-orang mukmin itu ada yang cahayanya terang benderang bagaikan matahari, ada yang cahayanya bagaikan rembulan, ada yang cahayanya bagaikan bintang, ada yang bagaikan pelita yang terang dan semua ini tergantung sejauh mana tauhid yang ada pada diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 12-13,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَىٰ نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman; laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kalian kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang agung’.”

“Pada hari orang-orang munafik; laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman (ketika mereka meniti ash-Shirath), ‘Tunggulah kami! Biar kami mendapat secercah dari cahaya kalian.’ (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian).’ Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu; yang dari sebelah dalamnya (di tempat orang-orang Mukmin) adalah rahmat dan di sebelah luarnya (di tempat orang-orang munafik) adalah azab.” (QS. Al-Hadid : 12-13).

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah berikan dalam hatinya rasa benci kepada kemungkaran.

Semakin benci seorang kepada kemungkaran maka itu merupakan tanda semakin tebal tauhidnya dan semakin mantap keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 7,

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ…

“…Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hati kalian…”

Bagaimana?

كَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

“…serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan…” (QS. Al-Hujarat : 7)

Coba kita lihat sabda yang sering kita dengar, Rasulullah ﷺ,

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubah dengan tangannya, kalau tidak sanggup dengan lisannya, kalau tidak sanggup dengan hatinya.”

Bagaimana dengan hati ini ? Dia jangan berada dalam majelis kemungkaran tersebut. Harus dia tinggalkan karena itu menunjukkan bahwa dia benci melihat kemungkaran tersebut. Makanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Janganlah kalian duduk yang disitu dihidangkan khamrnya.”

Apabila dengan kuasa tidak bisa, dengan lisan juga tidak bisa, dan hatinya juga tidak bisa, maka tidak ada keimanan di hatinya. Keimanan apa maksudnya? Apakah keimanan mutlak ? Tidak, akan tetapi keimanan di sini dalam masalah kemungkaran yang tidak dia bemci sehingga dia dikatakan tidak mempunyai keimanan dalam hal tersebut. Makanya, semakin tebal keimanan seseorang maka semakin benci dia dengan seluruh kefasikan dan keburukan. Ini juga bisa sebagai barometer untuk hati kita.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah mudahkan dia dalam menghadapi berbagai macam permasalahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا…

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” (QS. Ath-Thalaq : 2).

Orang yang bertakwa tanpa tauhid itu bukan takwa Namanya. Karena yang dikatakan takwa adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang paling diperintahkan dalam Islam adalah tauhid dan yang paling dilarang dalam Islam yaitu syirik. Makanya seorang tidak dikatakan bertakwa kecuali dia bertauhid. Barangsiapa yang bertauhid dan bertakwa kepada Allah maka tidak hanya jalan keluar dari masalah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 3,

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka…”  (QS. Ath-Thalaq : 3).

Apalagi dalam keadaan wabah seperti ini, di mana kita dianjurkan di rumah saja, tidak berkumpul-kumpul, menjauh dari keramaian dan kita lihat tempat-tempat mulai sepi sehingga mereka yang biasa berdagang keliling menjadi sepi, omzetnya turun. Ketauhilah bahwa seorang yang bertauhid tidak akan membuat hal itu menjadi kekesalan pada dirinya. Karena itu semua kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, di balik itu Insya Allah ada hikmahnya.

Mungkin di antara hikmahnya adalah pedagang yang tadinya keliling mulai dari pagi sampai petang bahkan mungkin pulangnya malam sehingga tidak sempat bertemu keluarga, sekarang Allah berikan anda kesempatan 24 jam untuk bersama keluarga. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan anda dan keluarga dengan orang yang anda cintai. Jadi, jangan kesal. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan sesuatu ada hikmah di baliknya.

Orang yang bertakwa selalu mengambil hikmah dari ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masalahnya selalu ada jalan keluar, dan itu merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaupun anda berpindah dari satu usaha ke usaha berikutnya, jangan anda merasa piawai karena sanggup mengubah usaha ke usaha berikutnya sesuai kondisi. Itu semua merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan karena kehebatan anda.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat menjadi pemimpin dan Allah akan mantapkan kedudukannya di dunia.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur ayat 55,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama mereka yang telah Dia ridhai, dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa;…” (QS. An-Nur : 55).

Ingat buah tauhid yang lalu yaitu rasa aman. Kami akan ubah rasa takut mereka jadi rasa aman dengan syarat ?

….يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“…mereka beribadah kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun denganKu…” (QS. An-Nur : 55).

Jadi, orang-orang yang bertauhidlah yang akan diangkat menjadi pemimpin di muka bumi ini, yang mantap kedudukannya dan yang aman dari segala ketakutan, itulah orang-orang yang bertauhid.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah seorang yang sejahtera, bahagia di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 30-31,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian bersedih hati; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepada kalian.’ Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kalian memperoleh apa yang diinginkan oleh diri kalian dan di dalamnya kalian juga memperoleh apa yang kalian minta…” (QS. Fushilat : 30-31)

Bayangkan, Allah membacking kehidupan dia di dunia dan akhirat. Apakah ada backing yang lebih kuat ketimbang backing Rabbul ‘Alamin ? Makanya, orang-orang yang bertauhid selalu bahagia kehidupannya, di dunia dan di akhirat. Bahagia tidak harus dengan banyak harta, karena apabila orang yang banyak harta bahagia maka Qorun lah orang yang paling bahagia. Ternyata Qorun telah Allah benamkan dalam bumi karena kekurangajarannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Qashash ayat 78,

“… ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’…”

Harta yang sekian banyak aku dapati dikarenakan kehebatanku, kepiawaianku, dan ilmuku.

Maka, karena kedurhakaannya inilah Allah benamkan dia ke dalam bumi. Kalau harus punya jabatan baru bahagia maka Fir’aun lah orang yang bahagia, tapi kita lihat bagaimana akhir hidupnya, Allah benamkan dia ke dalam sungai.

Jadi, orang yang paling bahagia adalah orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau mereka bahagia, mereka bersyukur maka itu baik untuk mereka. Kalau mereka ditimpa musibah, mereka bersabar maka itu baik untuk diri mereka. Itulah luar biasanya kondisi orang-orang yang bertauhid.

Begitulah ada sembilan hal buah manis dari tauhid. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid dan mengumpulkan kita dalam surga-Nya kelak.

Buah Manis Bertauhid (Part 1)

Bertauhid- Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona & merupakan sambungan dari Apa Yang Kau Jadikan Pondasi?.

Pada kajian yang lalu kita telah membahas terkait dengan hakikat tauhid. Kemudian kita akan membahas terkait dengan buah dari tauhid itu sendiri. Buah ini tidak akan kita rasakan, kecuali kita telah menghujamkan dalam hati kita seberapa penting masalah tauhid tersebut. Karena, seorang akan memfokuskan dan menaruh perhatiannya kepada sesuatu apabila dia merasa ini merupakan suatu hal yang penting. Apalagi perkara tersebut adalah perkara yang paling penting dalam kehidupan seorang manusia. Jika ini telah dia lakukan, tentu perhatiannya dan seluruh pikirannya akan fokus dengan masalah ini. Sehingga dia bisa merasakan hasil daripada apa yang sedang dia perhatikan. Oleh karena itu, sebelum kita membahas terkait dengan buah dari tauhid, tentunya kita harus memahami, mengetahui, dan meyakini serta menghujamkan hal-hal ini dalam hati kita tentang seberapa pentingnya masalah tauhid.

Sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah atau untuk mentauhidkan Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Kalau kita lihat ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang terkait dengan masalah tauhid, kita bisa simpulkan beberapa hal penting tentang masalah tauhid. Di antaranya yaitu:

  1. Allah menciptakan manusia untuk bertauhid kepada-NYA

Hal ini sudah kita bahas

  1. Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah mengambil perjanjian dari anak-anak adam tentang masalah tauhid ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?Mereka menjawab, ‘Betul, kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini’,”

Saya dan anda termasuk yang pernah ditanya, sebagaimana firman Allah diatas. Coba perhatikan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil perjanjian dari kita. Allah tidak mengambil perjanjian masalah usaha kita, tidak mengambil masalah amanah yang harus kita lakukan, tidak mengambil perjanjian dari usaha yang akan mungkin kita lakukan, tapi ada yang jauh lebih penting yaitu Tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Ini perkara yang terpenting di atas semua perkara yang terpenting, karena tidak ada perkara yang lebih penting dibandingkan mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  1. Misi utama seluruh Rasul adalah agar manusia bertauhid kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada seorang Rasul pun kecuali misi utamanya adalah menegakkan kalimat “laa ilaha illallah” seluruhnya tanpa terkecuali.

Di kajian lalu telah kita bahas, ada orang-orang yang mengatakan bahwasanya Nabi mereka telah menyuruh kaumnya untuk menyembahnya. Tapi ternyata ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat tentang Nabi Isa, Allah bertanya kepada Nabi Isa,

Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?’ Nabi Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau

مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهٖٓ

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (QS. Al-Maidah : 116-117)

Apa yang diperintahkan Allah kepada Nabi Isa? Tauhidullah (mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala), tidak ada yang lain. Kalau ada yang menyembah Nabi Isa, menyembah ibunya kemudian dia katakan ini adalah agama yang dibawa oleh Nabi Isa maka dia telah berbohong. Ketahuilah bahwasanya Allah telah mengatakan,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا فَٱعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (QS. Al-Anbiya : 125)

 

  1. Untuk menegakkan tauhid, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab.

Atau yang kita sebut dengan kitab-kitab suci. Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit seperti Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an mempunyai misi yang sama seperti misi diutusnya para Rasul, yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di kajian lalu telah kita bahas bahwasanya Al-Qur’an itu semua isinya adalah tauhid. Terkait dengan nama, sifat, dan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana para wali Allah, para Nabi Allah mengajak kaum manusia untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana  perlakuan Allah terhadap orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terkait dengan bagaimana ganjaran yang Allah berikan kepada orang yang mentauhidkan Allah dan ganjaran yang menanti dia di hari akhirat. Terkait juga dengan orang yang menyekutukan Allah, hukuman dan bala serta bencana yang Allah turunkan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah. Juga menceritakan tentang azab yang luar biasa yang sedang menunggu dia nanti di hari kiamat yang lebih parah dan yang lebih dahsyat daripada azab yang Allah turunkan kepada mereka di dunia.

Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Qur’an, Injil, Taurat, Zabur. Itu seluruhnya untuk menjalankan, menegakkan misi kalimat ‘laa ilaha illallah’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Hud ayat 1 dan 2,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ

“Alif Lam Ra. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan sempurna serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha bijakssana lagi Maha Teliti, agar kalian tidak menyembah, kecuali Allah.”

Ayat pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan banyak permasalahan dan ayat-ayatnya adalah ayat yang muhkam, isinya diberi rincian oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Allah menyebutkan ayat berikutnya, jangan kalian menyembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah misi Al-Qur’an yang inti, dan ini juga misi seluruh kitab-kitab yang Allah turunkan dari langit. Misi utama adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

  1. Para Nabi dan Rasul memiliki misi mentauhidkan Allah.

Mereka punya misi, demikian juga para shahabat yang merupakan penerus misinya para Nabi dan Rasul. Shahabat meneruskan misinya Rasulullah ﷺ. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan shahabat Rasulullah itu sebagai penerus misinya Rasulullah, karena Allah menyebutkan tentang utusan-utusan Allah,

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah berdasarkan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik’.” (QS. Yusuf : 108)

Jadi, para Rasul dan Rasulullah ﷺ dan yang mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, misi utama dakwah mereka adalah bertauhid. Misi utama mereka adalah menegakkan kalimat ‘laa ilaha illallah’, tidak ada yang lainnya. Makanya, dakwah salafush shalih yang telah diemban dari Rasul yang terdahulu sampai Rasul yang terakhir dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka, dakwah utama mereka adalah at-tauhid, tidak ada yang lain, itu yang pertama.

Makanya, ketika salah seorang shahabat Rasulullah ﷺ yang bernama Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu-. Beliau diutus Rasulullah ﷺ ke Yaman sebagai da’i yang mengajak orang ke jalan Allah. Sebelum diutus, Rasulullah ﷺ memberinya wasiat,

Wahai Mu’adz, kamu itu akan mendatangi kaum ahlul kitab…”

Artinya ini kaum yang punya ilmu sebagaimana yang kita ketahui bahwa ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Beda halnya dengan orang-orang Quraisy karena mereka tidak punya kitab pedoman. Tapi di  negeri Yaman sudah banyak orang Yahudi dan Nasrani di sana. Makanya Rasulullah sebutkan nasehat pertama supaya Mu’adz bin Jabal mengerti bagaimana kondisi orang-orang yang di sana.

“Hendaklah yang pertama sekali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadatain. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.”

Karena, percuma dia sholat yang 5 waktu sementara dia belum syahadat. Sholatnya enggak berguna sama sekali. Karena, salah satu syarat sah sholatnya seseorang adalah dia harus masuk Islam dulu. Jika dia tidak masuk Islam maka apapun kebaikan dia tidak akan dihitung dalam Islam karena dia belum terdaftar sebagai seorang muslim. Jadi kalau ada seorang yang sudah yakin dengan Allah tapi dia belum pernah mengucapkan syahadat sebagai ikrar dia masuk Islam maka para ulama menyatakan bahwa orang ini belum masuk Islam.

Oleh karena itu, penting sekali dakwah kita kepada masyarakat yang pertama kita dudukkan adalah tauhid mereka. Karena kalau tauhid mereka sudah duduk, maka amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan itu semua memiliki nilai di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  1. Bertauhid merupakan penyebab terbaginya manusia menjadi 2 golongan, yaitu Mukmin dan Kafir.

Seorang mukmin, dia harus loyal kepada orang-orang mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara…”(QS. Al-Hujaraat :10)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain;…” (QS. At-Taubah : 71)

Orang kafir juga demikian sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Anfal ayat 73,

“Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain.”

Makanya ketika datang dakwah tauhid, mereka yang menyambut dakwah ini termasuk orang mukmin dan mereka yang menentang dakwah ini termasuk orang kafir. Kita sebagai seorang mukmin hanya loyal kepada mukmin yang lain. Jika kita mencari kemuliaan maka jangan cari kemuliaan itu dari orang kafir karena Allah telah mengatakan,

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, RasulNya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun : 8)

Oleh karenanya, loyalitas kita hanya untuk orang-orang mukmin semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mujadilah ayat 22,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak mereka, anak mereka, saudara mereka, atau keluarga mereka…” (QS. Al-Mujadilah : 22)

Maka, jika seseorang sudah beriman kepada Allah dan RasulNya sementara keluarga terdekatnya memusuhi Allah dan RasulNya maka dia haram mencintai mereka.

أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ

“Mereka itulah orang-orang yang Allah tanamkan keimanan dalam hati mereka…” (QS. Al-Mujadilah : 22)

Jadi, tidak boleh kita mencintai orang kafir. Apakah tidak mencintai mereka berarti harus memusuhi mereka? Tidak begitu ! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian. Sesungguhnya Allah mecintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah : 8)

Ketika kita tidak mencintai orang-orang kafir bukan berarti kita memusuhi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman terkait orang tua yang kafir dalam Al-Qur’an,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا

“Dan jika mereka berdua memaksamu untuk mempersekutukanKu dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentangnya, maka janganlah engkau menaati keduanya,…” (QS. Lukman : 15)

Padahal kita wajib untuk taat kepada orang tua. Akan tetapi, karena diperintahkan untuk menyekutukan Allah maka jangan ditaati. Dan lanjutan dari ayat diatas,

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“…dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…” (QS. Lukman : 15)

Jadi, surat Al-Mujadilah ayat 22 tadi menyatakan bahwa kita dilarang mencintai orang kafir karena mereka telah menyekutukan Allah. Tidak ada perbuatan zhalim melebihi perbuatan syirik. Seorang manusia yang membunuh 1000 orang manusia lebih kecil dosanya dibandingkan seorang yang mempersekutuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya nasihat pertama Luqman kepada anaknya adalah sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Luqman ayat 13,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ

“…‘Wahai anakku! Jangalah engkau mempersekutukan Allah,…’

Mengapa?

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“…sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar’.” (QS. Luqman : 13)

Tidak ada dosa yang lebih besar, lebih parah, dan lebih dahsyat melebihi dosa menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, orang yang kafir tidak mau beriman kepada Allah dan menyekutukan Allah layak sekali untuk tidak dicintai. Tetapi, ingat juga bahwa tidak harus dimusuhi selama mereka tidak menjahati kita, tidak mengusir kita dari tempat kita, tidak memerangi kita. Maka kita bisa berbuat baik dengan mereka dan Allah suka perbuatan tersebut karena bisa saja ini merupakan jalan bagi mereka tertarik masuk ke dalam Islam.

Kebanyakan orang kafir yang masuk ke dalam Islam itu bukan karena mereka perperangan akan tetapi karena telah melihat bagaimana akhlak kaum muslimin. Inilah alasan pentingnya tauhid untuk kita tegakkan di tengah-tengah masyarakat kita.

  1. Dengan bertauhid, seorang itu berhak mendapat keamanan dan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keamanan seperti apa yang dimaksud? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 151,

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Akan Kami masukkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, karena mereka mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah yang Allah tidak menurunkan bukti (hujjah) tentang itu.” (QS Ali ‘Imran : 151)

Orang-orang kafir sebenarnya takut sekali dengan orang-orang muslim. Disebabkan oleh ketakutan mereka itu, mereka membuat julukan kepada kita dengan mengatakan radikal. Padahal di agama mereka banyak orang-orang yang radikal, membunuh tanpa alasan, membunuh karena stres, membunuh satu keluarga bahkan mereka datang ke masjid dan mereka membunuh orang yang berada di dalam masjid.

Mereka menzhalimi kita dan malah menuduh kita yang menzhalimi. Kalau ada seorang muslim yang berpikir bahwasanya Islam adalah agama yang membuat kerusuhan maka orang ini dipertanyakan agamanya karena dia tidak paham dengan agamanya.

Orang-orang kafir selalu takut dengan orang-orang muslim karena Allah yang menurunkan rasa takut itu kepada mereka. Tapi, ingat bahwa mereka takut kepada kita di saat kita berpegang dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, hadits ini dari Jabir bin Abdillah -Radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku dari jarak sebulan perjalanan,…” (HR. Al-Bukhari (no. 335) dan Muslim (no. 521)

Intinya, yang pertama yaitu, bahwa Rasulullah ﷺ ditolong Allah dengan rasa mencekam bagi orang kafir sejak sebulan perjalanan. Makanya orang-orang kafir takut dengan kaum muslimin. Semakin kita berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah maka orang kafir tersebut semakin takut dengan kita.

 

  1. Bertauhid merupakan poin pertama yang diperintahkan di dalam agama Islam.

Oleh karenanya, segala perbuatan, baik itu terkait dengan ibadah ataupun muamalah, maka itu semuanya kembali kepada tauhid. Sebaliknya, tidak ada perkara yang paling dilarang dalam Islam melebihi perkara syirik. Oleh karena itu, semua keburukan, baik itu dosa besar atau dosa kecil, maka semuanya itu kembali kepada kesyirikan. Semakin kokoh tauhid seseorang, maka akan semakin baik hatinya dan semakin dekat dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang dari sebuah larangan, maka perbuatan yang pertama yang Allah larang adalah perbuatan syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 151,

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ

“Katakanlah (wahai Rasul), ‘Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kalian kepada kalian,…’

Apa yang pertama diharamkan oleh Allah ?

أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

‘…(yaitu), janganlah kalian mempersekutukan sesuatu denganNya,…’ (QS. Al-An’am : 151)

Makanya ketika kita katakan tadi bahwa seorang yang membunuh seribu orang manusia tapi dia tidak menyekutukan Allah itu masih lebih ringan ketimbang seorang yang tak pernah menyakiti manusia tapi dia menyekutukan Allah. Seorang yang membunuh tadi lebih baik ketimbang seorang yang menyekutukan Allah dikarenakan pengaruh tauhid, Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa saja mengampuni dirinya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam surat An-Nisa ayat 48,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) dipersekutukanNya Dia (syirik),…” (QS. An-Nisa’ :48)

Seseorang yang baik dengan orang tuanya, baik dengan tetangganya, baik dengan umat muslim lainnya tetapi dia berbuat syirik, maka dia tidak akan mungkin masuk surga karena dia tidak mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia orang yang bertauhid, kemudian dia masih berbuat seperti minum khamr, zina, membunuh, atau mencuri, apabila dia mati dalam keadaan seperti itu maka masih ada kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“…dan Dia mengampuni apa (dosa-dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ :48)

Tidak berarti orang yang sudah bertauhid boleh berbuat apa saja. Apakah anda yakin bahwa anda termasuk orang yang dikehendaki Allah untuk diampuni dosanya sehingga tidak ada masalah ketika bergunjing, mencuri, utang tidak dibayar, karena yang penting bertauhid ? Kalau kita tidak bisa memastikan bahwa kita termasuk orang yang diampuni, maka berupayalah sekuat tenaga untuk menjauhkan kemaksiatan. Karena dengan itu akan mengundang rahmat Allah kepada kita sehingga Allah mengampuni dosa-dosa kita.

 

  1. Bertauhid merupakan perbuatan kebaikan yang terbesar pahalanya.

Dibandingkan perbuatan-perbuatan yang lain, tauhid merupakan perbuatan kebaikan yang terbesar pahalanya. Mungkin seorang beramal haji atau berbakti kepada kedua orang  tuanya, akan tetapi itu semua pahala dan ganjarannya masih di bawah orang yang bertauhid karena tidak ada ganjaran perbuatan ma’ruf yang terbesar melebihi bertauhid tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh shahabat,

“Ya Rasulullah, amalan apakah yang paling baik?”

Lantas Nabi ﷺ bersabda,

“Beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah ﷺ.”

Jika tauhid merupakan perbuatan ma’ruf yang terbesar maka syirik merupakan perbuatan mungkar yang terbesar. Tidak ada kemungkaran yang lebih besar melebihi kemungkaran orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang shahabat,

“Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”

Beliau menjawab,

“Engkau menyekutukan Allah padahal Allah yang menciptakan kamu.” HR. Bukhâri (no. 4477), Muslim (no. 86).

 

  1. Bertauhid merupakan modal dasar seseorang untuk diampuni dosanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah ﷺ bersabda,

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangiKu dengan dosa sepenuh bumi kemudiaan engkau tidak berbuat syirik kepadaKu dengan sesuatu apa pun, maka aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” HR. Tirmidzi (no. 3540).

Jadi, rugi sekali orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Makanya penting sekali masyarakat kita untuk mengerti tauhidullah.

Demikian, semoga kita bisa menghujamkan pentingnya bertauhid itu dalam hati kita, keluarga kita, dan di masyarakat kita sehingga Allah bisa mengampuni dosa-dosa kita dan mengumpulkan seluruh kita kelak di surgaNya, InsyaAllah.

Artikel ini bersambung ke Buah Manis Bertauhid part (2)

Apa Yang Kau Jadikan Pondasi?

Berikut ini adalah ringkasan Kajian Ilmiah Apa Yang Kau Jadikan Pondasi? oleh Ustadz Ali Nur, Lc Hafidzahullah. Insya allah tulisan ini akan terbit berkala. Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona.

Kita seluruhnya sudah memahami dan mengetahui bahwasanya saya, anda, mereka, dan seluruh yang ada di alam ini merupakan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan sesuatu, pastilah untuk suatu hikmah dan suatu tujuan. Suka atau tidak suka pasti ada hikmah dan tujuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibalik itu semua. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci engkau ya Allah, lindungilah kami dari azab neraka.’”(QS. Ali Imran : 191)

Artinya Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, pasti ada hikmah dan tujuannya.

Ini adalah pernyataan seorang yang merenungi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang yang mau berpikir tentang ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia akan menyimpulkan satu hal bahwasanya dibalik ini semua ada satu kekuatan yang sangat luar biasa yang menciptakan ini semua, Dia adalah Dzat Yang Maha Esa yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang menciptakan planet, matahari, bulan, bumi, makhluk, manusia, jin, malaikat, hewan dan lain-lainnya. Dan itu pasti untuk suatu hikmah yang luar biasa yang terkadang kita bisa memahaminya dan terkadang kita tidak tahu juga untuk apa.

Semua ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu mengarah pada satu titik yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ  

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memujiNya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. (QS. Al-Israa’ : 44)

Inilah alam, Allah ciptakan untuk satu tujuan. Manusia dan jin juga termasuk diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk suatu tujuan, apa itu ? Allah menyebutkan dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Kalau anda merasa sebagai seorang manusia maka Allah menciptakan anda bukan untuk berfoya-foya, bukan untuk bersenang-senang tapi untuk beribadah, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ingat itu. Kalau anda tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka anda telah melanggar konstitusi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wahai umat manusia dimanapun anda berada, ingatlah anda diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menyembah kepada Allah artinya hanya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau ada manusia yang menyembah Allah tapi dia juga menyembah yang lain maka dia telah melanggar ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.

Perlu kita ketahui bahwasanya ketika Allah menyatakan,

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.”

Mungkin ada yang bertanya, “Emangnya Allah butuh untuk kita sembah? Allah sangat perlu kita sembah? Jawabannya hanya satu, TIDAK !! Allah tidak butuh kita sembah, tidak butuh dengan ketaatan kita, tidak butuh dengan kebaikan kita. Karena sesungguhnya kita mentauhidkan Allah, taat kepada Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan Allah, sesungguhnya itu semua maslahatnya, kepentingannya, dan keuntungannya kembali kepada diri kita masing-masing, bukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mari kita lihat sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Dzar –radhiyallahu ‘anhu-, dari Nabi ﷺ, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rabbnya, bahwa Allah berfirman,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas DiriKu dan Aku menjadikannya diharamkan di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi..”

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menzhalimi hamba Nya. Allah turunkan azab kepada suatu kaum bukan karena zhalim kepada mereka, akan tetapi mereka yang telah mengundang azab tersebut. Bukankah setiap maksiat yang kita lakukan itu akan mengundang azab dan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Allah sayang kepada hambaNya dengan sayang yang luar biasa bahkan melebihi sayangnya seorang ibu kepada anaknya.

Kemudian sambungan dari hadits qudsi diatas,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian tersesat, kecuali siapa yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku memberi petunjuk kepada kalian.”

Makanya antum yang sudah kenal dakwah, yang sudah mengetahui tauhid, yang sudah berada di atas sunnah Rasulullah ﷺ hendaklah istiqomah karena tidak semua orang yang mendapatkannya. Sangat pentingnya hidayah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kita untuk berdo’a di setiap raka’at yaitu di dalam salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah,

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Oleh karena itu kalau ada seorang yang sudah mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian dia merasa mendapatkan hidayah itu karena upaya dia sehingga dia katakan bahwa wajarlah kalau dia diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah maka ini belum tentu. Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Masih dari sambungan hadits qudsi diatas,

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian adalah lapar, kecuali siapa yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku memberi kalian makan.

Kita sebagai seorang hamba sering lupa untuk minta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah katakan, “Minta”, apa susahnya minta ? Tinggal minta, Allah akan beri kita makan.

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, setiap kalian adalah telanjang, kecuali siapa yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku beri kalian pakaian..”

Tidak ada seorang pun yang di antara kita lahir dalam keadaan berpakaian. Semuanya lahir dalam keadaan telanjang, tidak berpakaian walaupun hanya sehelai benang pun. Lantas, kita yang sedang berpakaian ini, Masya Allah, siapa yang memberi pakaian tersebut ? Mengapa kita sekarang berpakaian ? Semua itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dikarenakan kasih sayang Allah kepada kita. Banyak orang-orang yang tidak berpakaian, sedangkan kita Alhamdulillah punya pakaian bagus sehingga kita harus mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada malam dan siang, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa semuanya, maka mintalah ampunan kepadaKu, niscaya Aku mengampuni kalian..”

Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala marah kepada kita, sungguh sudah layak kita dimarahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak Maha Penyayang, Maha Pengampun, entah apa jadinya kita ini. Allah sudah ingatkan bahwa kita itu selalu berbuat kesalahan, siang malam, tapi Allah terus beri ampunan. Allah tidak pernah bosan mengampuni kita.

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى

“Wahai hamba-hambaKu, kalian tidak akan mencapai kemudaratanKu sehingga kalian dapat memberikan mudarat kepadaKu, dan kalian tidak akan mencapai kemanfaatanKu sehingga kalian dapat memberi manfaat kepadaKu..”

Kita tidak akan bisa memberi mudarat dan memberi manfaat kepada Allah karena Allah tidak butuh dengan kita.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya setakwa hati orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka itu tidak akan menambah sedikit pun pada kekuasaanKu..”

Artinya kalau manusia dan jin seluruhnya punya hati seperti hati Rasulullah ﷺ itu takkan menambah kerajaan Allah sedikitpun. Tidak ada sedikitpun untungnya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya sejahat hati orang yang paling jahat di antara kalian, maka itu tidak mengurangi sedikit pun pada kekuasaanKu.”

Artinya kalau pun manusia dan jin seluruhnya punya hati seperti hati yang paling buruk di antara kalian, misalnya Fir’aun maka itu tidak akan mengurangi sedikitpun kerajaanKu.

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ

“Wahai hamba-hambaKu, sekiranya orang-orang terdahulu dan kemudian, manusia dan jin, semuanya berdiri di satu tempat lantas memohon kepadaKu, lalu Aku mengabulkan apa yang terdapat di sisiKu, kecuali sebagaimana yang  dikurangi oleh jarum ketika dimasukkan dalam lautan..”

Coba kita bandingkan, kita ambil jarum lalu kita celupkan di lautan kemudian kita angkat. Maka jarum itu basah dan berkuranglah air laut, akan tetapi seberapalah berkurangnya? Jadi, minta lah kepada Allah dan jangan sombong kepadaNya.

يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya itu hanyalah amalan-amalan kalian yang Aku perhitungkan untuk kalian, kemudian Aku akan menyempurnakan (pahalanya) bagi kalian. Oleh karenanya, barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selain itu, janganlah dia mencela kecuali kepada dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Jadi, dari awal sampai akhir Allah mengatakan minta kepadaKu menunjukkan bahwa kita itu tidak ada apa-apanya. Kita yang tadinya telanjang, kita yang tadinya tidak makan, kita yang tadinya tidak dapat hidayah, kita yang selalu berbuat salah, lalu Allah berikan hidayah, pakaian, makanan, diampuni kesalahan kita dan seharusnya yang kita lakukan adalah mentauhidkan Allah. Kalau kita sudah mentauhidkan Allah, menaati segala perintah Allah, menjauhi larangan Allah, itu semua juga Allah catat lalu semua kembali kepada kita maslahat dan manfaatnya. Yang berbuat baik Allah sediakan surga, yang berbuat buruk maka neraka mengancamnya. Jadi sedikitpun Allah gak butuh dengan kita. Oleh karena itu, seseorang yang mau mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia harus berbuat, bersikap, dan berkeyakinan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an.

Al-Qur’an itu seluruh isinya adalah tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 1 dan 2,

 تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini diturunkan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (wahai Rasul) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepadaNya.” (QS. Az-Zumar : 1-2)

Kitab ini membimbing kita untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalau kita perhatikan Al-Qur’an yang seluruh isinya tauhid, kita bisa jabarkan dengan beberapa penjabaran :

  1. Al-Qur’an itu isinya terkait dengan nama dan sifat serta perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara nama Allah seperti Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, Al-Malik, dan lain-lainnya. Di antara sifat Allah seperti cinta, ridho, marah, dan lain-lainnya. Nama dan Sifat ini harus kita tetapkan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu pula dengan perbuatan Allah di mana Allah menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki dan lain-lainnya. Semua ini disebut dengan Tauhid Al-‘Ilmi wal Khobari, artinya tauhid yang terkait dengan berita tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang nama, sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak boleh memberikan nama Allah dan menyebutkan sifat Allah kecuali nama dan sifat tersebut telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan Rasulullah ﷺ sebutkan dalam haditsnya. Allah adalah Dzat yang ghaib yang kita tidak bisa berbicara tentang hal ghaib kecuali yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah ﷺ maka ini bukan termasuk ke dalam ranah ijtihad.
  2. Dakwah (mengajak) dalam Al-Qur’an maksudnya ialah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah semata dan menafikan seluruh sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini disebut dengan tauhidu al-tholab wa al-qosd. Ini yang dituntut dari kita.

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali kisah para nabi dan rasul. Seluruhnya mengajak kepada tauhid dan menjauhkan dari kesyirikan sebagaimana Allah berfirman,

 وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku (QS. Al-Anbiya : 25)

Lihat lagi,

 لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥٓ

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. (QS. Al-A’raf : 59)

Demikian juga Allah menjelaskan tentang Nabi Sholeh,

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya’” (QS. Al-A’raf : 73)

Allah juga menyebutkan tentang Nabi Syu’aib,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan (yang haq) bagimu selain-Nya.’” (QS. Al-A’raf : 85)

Oleh karena itu, semua dakwah Rasul menuju pada satu titik, yaitu untuk menegakkan kalimat tauhid dan memberantas seluruh kesyirikan.

 

  1. Perintah dan larangan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an merupakan penyempurna tauhid. Ketika kita mengetahui dan meyakini bahwa Allah sayang kepada kita, maka ketika Allah melarang kita dari sesuatu, itu pasti karena sesuatu tersebut mudharat untuk diri kita. Ketika Allah perintahkan sesuatu pula, itu pasti bermanfaat untuk diri kita. Oleh karenanya, perintah dan larangan merupakan penyempurna tauhid.

 

  1. Al-Qur’an mengabarkan tentang wali-wali Allah dan ganjaran yang mereka terima di dunia dan juga di akhirat karena mereka telah mentauhidkan Allah seperti yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul.

 

  1. Al-Qur’an juga mengabarkan tentang orang-orang yang menyekutukan Allah dan akibat yang mereka terima di dunia dan juga di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) dipersekutukanNya Dia (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa-dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)

Dan masih banyak lagi kisah bagaimana kaum-kaum yang menyekutukan Allah, Allah timpahkan azab kepada mereka dan Allah binasakan mereka. Termasuk wabah pada saat ini merupakan ulah manusia sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda,

لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيْهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ قَدْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِيْنَ مَضَو

“Tidaklah nampak perbuatan keji (zina) di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.”

Oleh karena itu tidak ada daya upaya kita kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kembalilah kepada Allah, karena sesungguhnya hanya Allah yang bisa mengangkat wabah ini.

Artikel ini bersambung ke Buah Manis Bertauhid.

Hukum Menggunakan Darah Kambing untuk Mengobati Penyakit Kulit

Hukum Menggunakan Darah Kambing :

Bismillah

Assalamu’alaikum warrahmatullah.

‘Afwan menyita waktunya Ustadz. Ana mau bertanya. Apa hukumnya mengobati penyakit kulit dengan mencelupkan lukanya ke darah binatang (kambing) yang baru aja disembelih. Karena ana mau potong kambing, sementara ada keluarga yang minta darahnya. Hal demikian tanpa diiringi keyakinan yang berbau kesyirikan. Namun belum terbukti secara ilmiah, hanya dari mulut ke mulut orang tua terdahulu.

Jawaban

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه وبعد
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Rincian untuk masalah ini:

Mengambil sesuatu menjadi sebuah sebab yang boleh untuk ditempuh, harus terpenuhi 2 syarat:

  1. Sesuatu tersebut dinyatakan secara syar’i, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang shohih sebagai sebab yang diakui. Contohnya madu, ruqyah syar’i, habbatussauda, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Syar’i.
  2. Sesuatu tersebut tidak disebutkan dalam dalil syar’i namun terbukti secara klinis (lulus uji klinis) atau teruji menurut pengalaman dan penelitian para ahli bahwa ia memiliki pengaruh kesembuhan yang hakikatnya Allah jadikan ia memiliki daya sembuh yang kemudian ditemukan manusia. Contohnya seperti kunyit untuk penyakit lever, pil Kina untuk demam, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Qodari.

 

Bila sesuatu dijadikan sebagai sebab sementara tidak disebutkan dalam dalil Al-Qur’an maupun hadits yang shohih, tidak juga ada pernyataan ahli dalam masalah tersebut serta belum lulus uji klinis maka tindakan menjadikannya sebagai sebab yang ditempuh terhitung syirik kecil ( الشرك الأصغر ) . Karena seolah -olah ia menebak dan mengetahui perkara yang ghaib. Namun bila ia meyakini sesuatu tersebut mampu memberikan kesembuhan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah, maka telah terjerumus ke dalam Syirik Besar (الشرك الأكبر ).

Lebih – lebih ternyata sebab tersebut terhitung najis. Maka tidak dibenarkan. Pada kasus yang ditanyakan, darah yang keluar dari leher hewan yang disembelih adalah najis. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لَّاۤ اَجِدُ فِيْ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗۤ اِلَّاۤ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}

Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir (dari luka leher yang disembelih), daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 145).

 

Tidak Boleh Berobat dengan Menggunakan Najis

Bila darah yang najis dijadikan obat maka telah melanggar larangan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits- hadits berikut:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ:« ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﺪﻭاء اﻟﺨﺒﻴﺚ.» ﺭﻭاﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata: ” Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ melarang dari obat yang najis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

«ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻠﻖ اﻟﺪاء ﻭاﻟﺪﻭاء ﻓﺘﺪاﻭﻭا وﻻ ﺗﺘﺪاﻭﻭا ﺑﺤﺮاﻡ »رواه الطبراني ﻋﻦ ﺃﻡ اﻟﺪﺭﺩاء. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 1762 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah! Namun jangan berobat dengan yang harom!!” (HR. Thobroniy)

والله تعالى أعلم

 

Baca juga : Bolehkah Menggantikan Kewajiban Shalat Orang Tua Yang Sedang Koma

 

Hukum Menggunakan darah kambing

Ringkasan Kajian Silsilah Tauhid “Ma’na Thogut” – Pertemuan 1

بسم الله الرحمن الرحيم

Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:

إعلم رحمك الله تعالى أن أول مافرض الله على ابن آدم الكفر بالطاغوت والإيمان بالله

“Ketahuilah -semoga Allah ta’ala merahmatimu- bahwasanya yang pertama kali Allah wajibkan atas bani Adam adalah mengingkari thagut dan beriman kepqda Allah”.

Allah ta’ala berfirman,

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”. (Q.S Al-Baqarah : 256)

“Tidak ada paksaan dalam menganut agama” pada ayat di atas artinya,

– Tidak diwajibkannya masuk Islam ketika Nabi Muhammad pertama kali diperintahkan mengajarkan Islam di Mekkah. Hal ini sebelum turun ayat jihad, adapun setelahnya maka wajib masuk ke dalam Islam.

– Ayat in ditujukan untuk Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi. Setelah mereka membayar upeti dan tunduk pada pemerintahan Islam, tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk Islam.

– Ini dimaksudkan untuk kalangan keluarga Yahudi dan Nasrani, tidak boleh bagi mereka memaksa anak mereka masuk agama mereka.

Ayat “فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ” menunjukkan Nafyu pada kalimat يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ (mengingkari thagut), dan Istbat pada kalimat وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ (beriman pada Allah). Nafyu artinya menafikan segala sesembahan selain Allah, sedangkan Istbat artinya menetapkan bahwa hanya Allah-lah zat yang pantas disembah. Dua hal ini termasuk ke dalam rukun لااله إلاالله.  

Pengertian Thagut

Kata “Thagut” diambil dari kata طَغَى yang artinya “melampuai batas”

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Thagut adalah segala hal yang melampaui batasannya dari yang disembah, diikuti, dan ditaati”.

Thagut memiliki 5 tingkatan, dari yang paling tinggi ke paling rendah yaitu,

1. Iblis.

2. Siapa yang disembah dan dia ridho.

3. Siapa yang mengajak beribadah kepada dirinya.

4. Siapa yang mengaku-ngaku mengetahui ilmu ghaib.

5. Siapa yang berhukum dengan selain hukum Allah.

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَۖ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagut”, (Q.S An-Nahl : 36).

Abdullah bin Abbas berkata, “setiap kata ‘ibadah’ dalam Al-qur’an maksudnya mentauhidkan Allah”. Tugas seluruh Nabi dan Rasul adalah selalu mendakwahkan tauhid.

Pada ayat di atas terdapat kata أُمَّةٍ. Kata “ummat” di dalam Al-Qur’an bisa memiliki 4 makna:

1. Sekelompok kaum/golongan (lihat Q.S An-Nahl : 36)

2. Waktu/masa (lihat Q.S Hud : 8)

3. Imam/contoh/panutan (lihat Q.S An-Nahl : 120)

4. Agama (lihat Az-Zukhruf : 22)

10 Cara Menumbuhkan Cinta kepada Allah

Ada sepuluh sebab di antara sekian banyak sebab menumbuhkan cinta kepada Allah:

 

1. Membaca Alquran dengan mentadabburi dan berusaha memahaminya.

2. Mendekat/taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan amalan sunnah setelah menunaikankan yang wajib.

3. Terus menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan, baik dengan lisan, hati, maupun amalan.

4. Mengutamakan apa yang dicintai Allah daripada apa yang dicintai oleh jiwanya.

5. Hati berusaha menelaah nama nama dan sifat-Nya.

6. Mempersaksikan kebaikan-Nya serta nikmat-Nya yang lahir dan batin.

7. Benar-benar hati itu luluh lantak di hadapan-Nya.

8. Memanfaatkan waktu turunnya Allah untuk bermunajat kepada-Nya dengan membaca Alquran, serta ditutup dengan istighfar.

9. Duduk bermajelis dengan orang-orang soleh yang mencintai Allah, mengambil buah dari ucapan mereka yang baik, selain itu ia tidak berbicara melainkan dipastikan ada kemaslahatannya.

10. Menjahui segala sebab yang dapat memiskan hati dengan Allah.

 

(Rujukan kitab Fathul Majid hal 292-293)

Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang benar cintanya kepada Mu

 

Baca juga: Hukum Barang Temuan

Tanya Jawab Seputar Perayaan Hari Valentine

Fatwa Lajnah Daimah Saudi  Nomor 21203

Tanggal: 23/11/1420 H

Pertanyaan:

Alhamdulillah wahdahu washshalatu wassalamu ‘ala man laa Nabiyya ba’dah waba’du:

Komite Riset Ilmiyyah dan Fatwa telah mengetahui atas apa yang disebutkan Samahatul Muftil’Am dari peminta fatwa/ Abdullah Alu Rabi’ah dan disampaikan kepada Komite melaui sekretariat Haiah Kibarul Ulama’ nomor 5324 dan tanggalnya 3/11/1420 H. Peminta fatwa telah bertanya dengan pertanyaan yang teksnya:

Setiap tahun pada tanggal 14 Februari sebagian orang merayakan hari cinta kasih ” Valentine Day”. Mereka saling berbagi bunga merah, memakai baju warna merah, dan mengucapkan selamat. Beberapa toko kue menyediakan berbagai jenis kue warna merah yang di atasnya diberi gambar hati. Dan beberapa toko lagi memasang iklan promo produk khusus Valentine Day. Bagaimana pendapat Anda:

Pertama, tentang perayaan Valentine Day.

Kedua, hukum membeli barang di toko-toko tersebut saat Valentine Day.

Ketiga, hukum jual beli pemilik toko yang tidak ikut merayakan tapi menjual paket hadiah kepada mereka yang merayakan Valentine Day.

Semoga Allah memberi balasan terbaik kepada Anda.

 

Jawaban:

Dalil-dalil sarih (yang jelas) dari Alquran dan Sunah menunjukkan -dan atas dasar itu maka ulama salaf umat ini sepakat- bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Perayaan selain dua hari raya ini, baik berhubungan dengan seseorang, golongan, peristiwa atau momen-momen tertentu lainnya adalah perayaan yang diada-adakan alias bidah. Pemeluk agama Islam tidak boleh mengadakan, ikut mendukung, turut bergembira atau memberikan bantuan, karena hal demikian melanggar hukum ketentuan Allah.

Barangsiapa melanggar hukum ketentuan Allah maka dia telah berbuat aniaya kepada diri sendiri. Terlebih lagi jika perayaan baru ini merupakan perayaan orang kafir, maka dosanya bertumpuk-tumpuk, karena dalam hal ini terdapat sikap mengikuti trend mereka dan menunjukkan kesetiaan kepada mereka. Padahal dalam Alquran Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang orang-orang mukmin meniru dan setia kepada mereka, dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.”

Valentine Day termasuk kategori ini, karena terhitung sebagai salah satu perayaan umat Kristiani penyembah berhala. Karena itu seorang Muslim tidak boleh mengadakan, mendukung atau memberi selamat Valentine Day, bahkan wajib meninggalkan dan menanggalkannya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar dijauhkan dari sebab-sebab kemurkaan dan siksa Allah.

Seorang Muslim juga dilarang turut andil dalam perayaan ini atau perayaan-perayaan yang haram lainnya, baik dengan makan, minum, jual, beli, produk, hadiah, korespondensi, iklan promo dan lain-lain, karena kesemua hal ini masuk kategori saling bantu membantu dalam melakukan dosa, pelanggaran dan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Kewajiban seorang Muslim untuk berpegang teguh kepada Alquran dan Sunah dalam segala kondisi terutama pada waktu merajalela kekacauan dan kerusakan. Ia harus bertindak cerdas dan waspada agar tidak terjatuh dalam kesesatan kaum yang dimurkai (Yahudi), kaum yang tersesat (Kristen) dan orang-orang fasik yang tidak percaya akan kebesaran Allah dan tidak menaruh hormat kepada Islam. Seorang muslim sepatutnya mencari perlindungan kepada Allah Ta’ala dengan meminta petunjuk dan keteguhan, karena tiada pemberi petunjuk kecuali Allah, dan tiada peneguh kecuali Dia yang Maha Suci.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Al Lajnah ad Daimah Lilbuhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

 

Baca juga: Mengkaji per

Mengkaji Perayaan Hari Valentine

14 Februari, adalah tanggal yang telah lekat dengan kehidupan muda-mudi kita. Hari yang lazim disebut Valentine Day ini, konon adalah momen berbagi, mencurahkan segenap kasih sayang kepada “pasangan”-nya masing-masing dengan memberi hadiah berupa coklat, permen, mawar, dan lainnya. Seakan tak terkecuali, remaja Islam pun turut larut dalam ritus tahunan ini, meski tak pernah tahu bagaimana akar sejarah perayaan ini bermula.

Sesungguhnya Allah ta’ala telah memilih Islam sebagai agama bagi kita, sebagaimana firman-Nya:


إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Allah juga menyatakan bahwa Dia tidak menerima dari seorang pun agama selain Islam. Allah ta’ala berfirman: 

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorangpun yang mendengar tentang aku, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”

Semua agama yang ada di masa ini –selain Islam– adalah agama yang batil. Tidak bisa menjadi (jalan) pendekatan kepada Allah. Bahkan bagi seorang hamba, agama-agama itu tidaklah menambah kecuali kejauhan dari-Nya, sesuai dengan kesesatan yang ada padanya.

Telah lama, tersebar suatu fenomena –yang menyedihkan– di kalangan banyak pemuda-pemudi Islam. Fenomena ini merupakan bentuk nyata sikap taqlid (membebek) terhadap kaum Nasrani, yaitu Hari Kasih Sayang (Valentine Day). Berikut ini secara ringkas akan dipaparkan asal-muasal perayaan tersebut, perkembangannya, tujuan serta bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapinya.

 

Asal Muasal Hari Valentine

Perayaan ini termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan ini merupakan ungkapan –dalam agama paganis Romawi– kecintaan terhadap sesembahan mereka.

Perayaan ini memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus –pendiri kota Roma– disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah. Di antara ritualnya adalah menyembel

 

Apa Hubungan St. Valentine dengan Perayaan Ini?

Versi I: Disebutkan bahwa St. Valentine adalah seorang yang mati di Roma ketika disiksa oleh Kaisar Claudius sekitar tahun 296 M. Di tempat terbunuhnya di Roma, dibangun sebuah gereja pada tahun 350 M untuk mengenangnya.

Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap memperingati Hari Kasih Sayang. Hanya saja mereka mengubahnya dari makna kecintaan kepada sesembahan mereka, kepada pemahaman lain yang mereka istilahkan sebagai martir kasih sayang, yakni St. Valentine, sang penyeru kasih sayang dan perdamaian, yang –menurut mereka– mati syahid pada jalan itu.

Di antara aqidah batil mereka pada hari tersebut, dituliskan nama-nama pemudi yang memasuki usia nikah pada selembar kertas kecil, lalu diletakkan pada talam di atas lemari buku. Lalu diundanglah para pemuda yang ingin menikah untuk mengambil salah satu kertas itu. Kemudian sang pemuda akan menemani si wanita pemilik nama yang tertulis di kertas (yang diambilnya) selama setahun. Keduanya saling menguji perilaku masing-masing, baru kemudian mereka menikah. Bila tidak cocok, mereka mengulangi hal yang serupa tahun mendatang.

Para pemuka agama Nasrani menentang sikap membebek ini, dan menganggapnya sebagai perusak akhlak para pemuda dan pemudi. Maka perayaan ini pun dilarang di Italia. Dan tidak diketahui kapan perayaan ini dihidupkan kembali.

Versi II: Bangsa Romawi di masa paganis dahulu merayakan sebuah hari raya yang disebut hari raya Lupercalia. Ini adalah hari raya yang sama seperti pada kisah versi I di atas. Pada hari itu, mereka mempersembahkan qurban bagi sesembahan mereka selain Allah. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala itu mampu menjaga mereka dari keburukan dan menjaga binatang gembalaan mereka dari serigala.

Ketika bangsa Romawi memeluk agama Nasrani, dan Kaisar Claudius II berkuasa pada abad ketiga, dia melarang tentaranya menikah. Karena menikah akan menyibukkan mereka dari peperangan yang mereka jalani. Maka St. Valentine menentang peraturan ini, dan dia menikahkan tentara secara diam-diam. Kaisar lalu mengetahuinya dan memenjarakannya, sebelum kemudian dia dihukum mati.

Versi III: Kaisar Claudius II adalah penyembah berhala, sedangkan Valentine adalah penyeru agama Nasrani. Sang Kaisar berusaha mengeluarkannya dari agama Nasrani dan mengembalikannya kepada agama paganis Romawi. Namun Valentine tetap teguh memeluk agama Nasrani, dan dia dibunuh karenanya pada 14 Februari 270 M, malam hari raya paganis Romawi: Lupercalia.

Ketika bangsa Romawi memeluk Nasrani, mereka tetap melakukan perayaan paganis Lupercalia, hanya saja mereka mengaitkannya dengan hari terbunuhnya Valentine untuk mengenangnya.

 

Syi’ar Perayaan Hari Kasih Sayang

1. Menampakkan kegembiraan dan kesenangan.

2. Saling memberi mawar merah, sebagai ungkapan cinta, yang dalam budaya Romawi paganis merupakan bentuk cinta kepada sesembahan kepada selain Allah ta’ala.

3. Menyebarkan kartu ucapan selamat hari raya tersebut. Pada sebagiannya terdapat gambar Cupid, seorang anak kecil dengan dua sayap membawa busur dan panah. Cupid adalah dewa cinta erotis dalam mitologi Romawi paganis. Maha Tinggi Allah dari kedustaan dan kesyirikan mereka dengan ketinggian yang besar.

4. Saling memberi ucapan kasih sayang, rindu, dan cinta dalam kartu ucapan yang saling mereka kirim.

5. Di banyak negeri Nasrani diadakan perayaan pada siang hari, dilanjutkan begadang sambil berdansa, bercampur baur lelaki dan perempuan.

Beberapa versi kisah yang disebutkan seputar perayaan ini dan simbolnya, St. Valentine, bisa memberikan pencerahan kepada orang berakal. Terlebih lagi seorang muslim yang mentauhidkan Allah. Pemaparan di atas menjelaskan hakikat perayaan ini kepada kaum muslimin yang tidak tahu dan tertipu, kemudian ikut merayakannya. Mereka hakikatnya meniru umat Nasrani yang sesat, dan mengambil segala yang datang dari Barat, Nasrani, lagi atheis.

 

Renungan

Barangsiapa yang membaca kisah yang telah disebutkan seputar perayaan paganis ini, akan jelas baginya hal-hal berikut:

1. Asalnya adalah aqidah paganis (penyembahan berhala) kaum Romawi, untuk mengungkapkan rasa cinta kepada berhala yang mereka ibadahi selain Allah. Barangsiapa yang merayakannya, berarti dia merayakan momen pengagungan dan penyembahan berhala. Padahal Allah telah mengingatkan kita dari perbuatan syirik:

 وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ – بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar: 65-66)

Allah juga menyatakan melalui lisan ‘Isa a’laihissalam:

  إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.” (Al-Ma`idah: 72)

Dan seorang muslim wajib berhati-hati dari syirik dan segala yang akan mengantarkan kepada syirik.

2. Awal mula perayaan ini di kalangan bangsa Romawi paganis terkait dengan kisah dan khurafat yang tidak bisa diterima akal sehat, apalagi akal seorang muslim yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya.

Pada satu versi, disebutkan bahwa seekor serigala betina menyusui Romulus pendiri kota Roma, sehingga memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Ini menyelisihi aqidah seorang muslim, bahwa yang memberikan kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran hanyalah Allah, Dzat Maha Pencipta, bukan air susu serigala. Dalam versi lain, pada perayaan itu kaum Romawi paganis mempersembahkan qurban untuk berhala sesembahan mereka, dengan keyakinan bahwa berhala-berhala itu mampu mencegah terjadinya keburukan dari mereka dan mampu melindungi binatang gembalaan mereka dari serigala. Padahal, akal yang sehat mengetahui bahwa berhala tidaklah dapat menimpakan kemudaratan, tidak pula bisa memberikan suatu kemanfaatan.

Bagaimana mungkin seorang berakal mau ikut merayakan perayaan seperti ini? Terlebih lagi seorang muslim yang Allah telah menganugerahkan agama yang sempurna dan aqidah yang lurus ini kepadanya.

3. Di antara syi’ar jelek perayaan ini adalah menyembelih anjing dan domba betina, lalu darahnya dilumurkan kepada dua orang pemuda, kemudian darah itu dicuci dengan susu, dst. Orang yang berfitrah lurus tentu akan menjauh dari hal yang seperti ini. Akal yang sehat pun tidak bisa menerimanya.

4. Keterkaitan St. Valentine dengan perayaan ini diperselisihkan, juga dalam hal sebab dan kisahnya. Bahkan, sebagian literatur meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Sehingga pantas bagi kaum Nasrani untuk tidak mengakui perayaan paganis ini yang mereka tiru dari bangsa Romawi paganis. Terlebih lagi keterkaitan perayaan ini dengan salah satu santo (orang-orang suci dalam khazanah Nasrani, ed.) mereka, masih diragukan. Bila merayakannya teranggap sebagai aib bagi kaum Nasrani, yang telah mengganti-ganti agama mereka dan mengubah kitab mereka, tentu lebih tercela bila seorang muslim yang ikut merayakannya. Dan bila benar bahwa perayaan ini terkait dengan terbunuhnya St. Valentine karena mempertahankan agama Nasrani, maka apa hubungan kaum muslimin dengan St. Valentine?

5. Para pemuka Nasrani telah menentang perayaan ini karena timbulnya kerusakan akhlak pemuda dan pemudi akibat perayaan ini, maka dilaranglah perayaan ini di Italia, pusat Katholik. Lalu perayaan ini muncul kembali dan tersebar di Eropa. Dari sanalah menular ke negeri kaum muslimin. Bila pemuka Nasrani –pada masa mereka– mengingkari perayaan ini, maka wajib bagi para ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikatnya dan hukum merayakannya. Sebagaimana wajib bagi kaum muslimin yang awam untuk mengingkari dan tidak menerimanya, sekaligus mengingkari orang yang ikut merayakannya atau menularkannya kepada kaum muslimin.

 

Mengapa Kaum Muslimin Tidak Boleh Merayakannya?

Sebagian kaum muslimin yang ikut merayakannya mengatakan bahwa Islam juga mengajak kepada kecintaan dan kedamaian. Dan Hari Kasih Sayang adalah saat yang tepat untuk menyebarkan rasa cinta di antara kaum muslimin. Sehingga, apa yang menghalangi untuk merayakannya?

Jawaban terhadap pernyataan ini dari beberapa sisi:

1. Hari raya dalam Islam adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hari raya merupakan salah satu syi’ar agama yang agung. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hari raya kecuali hari Jum’at, Idul Fithri, dan Idul Adh-ha. Perkara ibadah harus ada dalilnya. Tidak bisa seseorang membuat hari raya sendiri, yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Berdasarkan hal ini, perayaan Hari Kasih Sayang ataupun selainnya yang diada-adakan, adalah perbuatan mengada-adakan (bid’ah) dalam agama, menambahi syariat, dan bentuk koreksi terhadap Allah, Dzat yang telah menetapkan syariat.

2. Perayaan Hari Kasih Sayang merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) bangsa Romawi paganis, juga menyerupai kaum Nasrani yang meniru mereka, padahal ini tidak termasuk (amalan) agama mereka.

Ketika seorang muslim dilarang menyerupai kaum Nasrani dalam hal yang memang termasuk agama mereka, maka bagaimana dengan hal-hal yang mereka ada-adakan dan mereka menirunya dari para penyembah berhala?

Seorang muslim dilarang menyerupai orang-orang kafir –baik penyembah berhala ataupun ahli kitab– baik dalam hal aqidah dan ibadah, maupun dalam adat yang menjadi kebiasaan, akhlak, dan perilaku mereka. Allah berfirman:

 وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)

 أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 3/50, dan Abu Dawud, no. 5021)

Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perkara agama mereka –di antaranya adalah Hari Kasih Sayang– lebih berbahaya daripada menyerupai mereka dalam hal pakaian, adat, atau perilaku. Karena agama mereka tidak lepas dari tiga hal: yang diada-adakan, atau yang telah diubah, atau yang telah dihapuskan hukumnya (dengan datangnya Islam). Sehingga, tidak ada sesuatupun dari agama mereka yang bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.

3. Tujuan perayaan Hari Kasih Sayang pada masa ini adalah menyebarkan kasih sayang di antara manusia seluruhnya, tanpa membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Hal ini menyelisihi agama Islam. Hak orang kafir yang harus ditunaikan kaum muslimin adalah bersikap adil dan tidak mendzaliminya. Dia juga berhak mendapatkan sikap baik –bila masih punya hubungan silaturahim– dengan syarat: tidak memerangi atau membantu memerangi kaum muslimin. Allah berfirman:

 لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Bersikap adil dan baik terhadap orang kafir tidaklah berkonsekuensi mencintai dan berkasih sayang dengan mereka. Allah bahkan memerintahkan untuk tidak berkasih sayang dengan orang kafir dalam firman-Nya:

 لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sikap tasyabbuh akan melahirkan sikap kasih sayang, cinta dan loyalitas di dalam batin. Sebagaimana kecintaan yang ada di batin akan melahirkan sikap menyerupai.” (Al-Iqtidha`, 1/490)

4. Kasih sayang yang dimaksud dalam perayaan ini semenjak dihidupkan oleh kaum Nasrani adalah cinta, rindu, dan kasmaran, di luar hubungan pernikahan. Buahnya, tersebarnya zina dan kekejian, yang karenanya pemuka agama Nasrani –pada waktu itu– menentang dan melarangnya.

Kebanyakan pemuda muslimin merayakannya karena menuruti syahwat, dan bukan karena keyakinan khurafat sebagaimana bangsa Romawi dan kaum Nasrani. Namun hal ini tetaplah tidak bisa menafikan adanya sikap tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam salah satu perkara agama mereka. Selain itu, seorang muslim tidak diperbolehkan menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, yang merupakan pintu menuju zina.

 

Sikap yang Seharusnya Ditempuh Seorang Muslim

1. Tidak ikut merayakannya, menyertai orang yang merayakannya, atau menghadirinya.

2. Tidak membantu/mendukung orang kafir dalam perayaan mereka, dengan memberikan hadiah, menyediakan peralatan untuk perayaan itu atau syi’ar-syi’arnya, atau meminjaminya.

3. Tidak membantu kaum muslimin yang ikut-ikutan merayakannya. Bahkan ia wajib mengingkari mereka, karena kaum muslimin yang merayakan hari raya orang kafir adalah perbuatan mungkar yang harus diingkari.

Dari sini, kaum muslimin tidak boleh pula menjual bingkisan (pernak-pernik) bertema Hari Kasih Sayang, baik pakaian tertentu, mawar merah, kartu ucapan selamat, atau lainnya. Karena memperjualbelikannya termasuk membantu kemungkaran. Sebagaimana juga tidak boleh bagi orang yang diberi hadiah Hari Kasih Sayang untuk menerimanya. Karena, menerimanya mengandung makna persetujuan terhadap perayaan ini.

4. Tidak memberikan ucapan selamat Hari Kasih Sayang, karena hari itu bukanlah hari raya kaum muslimin. Dan bila seorang muslim diberi ucapan selamat Hari Kasih Sayang, maka dia tidak boleh membalasnya.

5. Menjelaskan hakikat perayaan ini dan hari-hari raya orang kafir yang semisalnya, kepada kaum muslimin yang tertipu dengannya.

 

(Diringkas dari makalah ‘Idul Hubb, Qishshatuhu, Sya’airuhu, Hukmuhu, karya Ibrahim bin Muhammad Al-Haqil)

Apakah Orang-Orang Nashrani Adalah Kafir dan Termasuk Penghuni Neraka?

Apakah kafir orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga (Trinitas) ?

Allah subhana wa ta’la sendiri yang menyatakan bahwa orang yang mengatakan Allah salah satu dari yang tiga (Trinitas), maka dia Kafir. Allah ta’la berfirman :

لَقَدْ كَفَرَ الذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga.” ( Qs.Al Maidah : 73).

Disebutkan bahwa yang benar adalah ayat ini di turunkan kepada orang- orang nashrani karena mereka yang mengatakan ajaran trinitas, mengatakan tuhan ayah, tuhan anak, tuhan ibu yang melahirkan tuhan anak.

Ibnu katsir rahimahullah menyatakan :

والصحيح : أنها أنزلت في النصارى خاصة، قاله مجاهد وغير واحد

Pendapat yang benar adalah bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang- orang nashrani saja secara khusus. Demikian menurut apa yang dikatakan mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seseorang. (Tafsir Al Qur’anul Azhim jilid 2 juz3 hal 104, cet.Daarul Ibnu Jauzi Kairo)

Maka jelaslah ayat di atas maka kafirlah orang- orang yang menyatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga (trinitas).

Allahu ‘alam.

Apakah orang-orang yahudi dan nashrani harus beriman dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ?

Ya, orang-orang yahudi dan nashrani harus beriman dengan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, jika tidak maka mereka termasuk penghuni neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadist.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari rasulullah ﷺ bahwasanya beliau bersabda :

والذي نفسُ محمدٍ بيده لا يسمعُ بي أحدٌ من هذه الأمة يهوديٌّ ولا نصرني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلتُ به إلا كان من أصحاب النار.

Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari ummat ini baik yahudi dan nashrani mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku di utus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR.Muslim no. 153)

Maka jelaslah hadist diatas, bahwa mereka jika tidak beriman kepada nabi Muhammad ﷺ maka mereka penghuni neraka.

Allahu ‘alam.

9 Alasan Seorang Muslim Tidak Merayakan Tahun Baru

Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dariI skandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesarmenambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoretis bisa menghindari penyimpangan dalamkalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesarterbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulanAgustus.
(Sumber bacaan :https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru)

Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa,sejarah tahun baru bukan dari islam.

9 Alasan Seorang Muslim Tidak Merayakan Tahun Baru:

1. Karena Tahun baru bukan Hari Raya Islam

Tahun baru bukanlah Hari Raya Islam, maka tidak boleh kaum muslimin merayakannya.

Dari Anas dia berkata;

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus untuk permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa mengadakan permainan pada dua hari tersebut semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullahﷺ bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (iedul Aldha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR.Abu Daud 1134, Ahmad11568 dan Nasai1556)

2. Menyerupai kebiasaan orang-orang kafir

Merayakan Tahun baru adalah perayaan orang-orang non muslim, Nabi melarang kita menyerupai mereka.

Dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi ﷺ bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” ( HR.Abu Daud 4031)

3. Mengikuti kebiasaan orang-orang kafir

1. Mengikuti gaya hidup mereka

Rasulullah ﷺ bersabda :

“Sungguh kalian akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta dan sejengkal demi sejengkal, hingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak sungguh kalian akan memasukinya bersama mereka, ” para sahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Kalau bukan mereka siapa lagi.”( HR.Ahmad 9443)

2. Meniup terompet (kebiasaan orang yahudi)

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya dia berkata; ‘Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu shalat. Tidak ada seorang pun yang menyeru untuk shalat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata: ‘Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang nashara.’ Sebagian yang lain berkata: ‘Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.’ Kemudian Umar berkata: ‘Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang untuk mengumandangkan tiba waktu shalat?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda; “Wahai Bilal, bangunlah dan serukanlah untuk shalat.”( HR.Muslim 378)

4. Membuang Waktu percuma

Waktu dan umur kita akan ditanya. kebiasaannya kaum muslimin yang mengikuti perayaan tahun baru menunggu sampai pukul 24.00 wib dini hari hanya untuk membakar atau melihat kembang api, ini adalah perbuatan sia-sia.

Dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij dari Abu Barzah Al Aslami berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

Rasulullah ﷺ bersabda: “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan kemana dia infakkan dan tentang tubuhnya untuk apa dia gunakan.”
( HR.Tirmidzi 2417)

5. Banyaknya Kemaksiatan dan kerusakan

  1. Mengucapkan selamat tahun baru, hal ini tidak di boleh kan.
  2. Berkumpulnya antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya.
  3. Bergadang malam
  4. Lalai dalam menjalankan Ibadah Shalat
  5. Meminum- minuman keras.
  6. Menghadiri Pentas musik
  7. Melihat kembang api
  8. Memakai topi santa ,atau topi kerucut
  9. Meniup terompet.
  10. Sebagian para wanita muslimah keluar tidak menutup aurat dan lain sebagainya.

6. Bergembiranya orang-orang kafir karena kaum muslimin mengikuti mereka

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa orang yang yahudi dan nasrani tidak akan ridha sampai kita mengikuti agama atau kebiasaan mereka.

Allah ta’la berfirman :

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Qs.Al Baqarah : 120 )

7. Membuang Harta Percuma

Ketika tahun baru, biasanya sebagian kaum muslimim membeli hal-hal yg tidak penting seperti membeli terompet dan kembang api.

Allah ta’la berfirman :

لا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (Qs.al Isra : 26 -27)

8. Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah mengucapkan Selamat Natal dan Tahun baru.

Apakah Rasulullah dan para sahabat pernah mengucpakan Natal dan tahun baru kepada orang-orang Non muslim?

Rasulullah tidak pernah mengucapkan Selamat Natal dan Tahun baru kepada orang-orang kafir atau sesama para sahabat dan kaum muslimin sesama mereka, namun yang di lakukan beliau adalah mengajak orang-orang non muslim agar masuk kedalam kepada Islam.

Dalam satu riwayat rasulullah mengirim surat kepada Heraklius Raja Romawi, yang isinya mengajak dia masuk kedalam islam, dalam surat tersebut di tulis,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ الْأَرِيسِيِّينَ وَ
{ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ }

“Bismillahir rahmaanir rahiim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rosul-Nya, untuk Heraklius, Raja Romawi, Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Kemudian dari pada itu, sungguh aku menyeru kamu dengan seruan Islam. Masuklah kedalam Islam maka kamu akan selamat.Masuklah Islam niscaya Allah akan memberimu pahala dua kali. Namun bila kamu enggan maka kamu akan menanggung dosa bangsa Arisiyyiin (Erapa). Dan; (Di salam surat itu Beliau menuliskan firman Allah QS Ali ‘Imran ayat 64) yang artinya: (“Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) “. (HR.Bukhari 2940)

9. Dilarang mengikuti perayaaan non muslim

Fatwa lajnah daimah:

Pertanyaan:

Saya ingin memberitahukan kepada Anda bahwa di depan salah satu gedung sebuah lembaga di Riyad ada sebuah panel (reklame) elektronik besar dan bertuliskan angka-angka berbahasa Inggris berwarna merah, dengan lebar sekitar empat meter dan tinggi dua meter, yang menunjukkan hitungan mundur dari sisa hari-hari terakhir tahun masehi 2000 hingga akhir tahun dan perayaan awal tahun baru masehi dan masuk milenium ketiga masehi . Hari ini, saat saya mengirimkan Anda surat saya ini tanggal 2/7/1420 H, hitungan mundur tinggal 18 hari lagi dan panel tersebut disiapkan setelah berakhirnya delapan puluh satu hari untuk menunjuk angka tahun 2000 dengan empat buah lampu. Iklan ini merupakan semboyan dan kalender orang -orang Nasrani (Kristen) dan kalender mereka dan ikut serta bersama mereka dalam semboyan-semboyan mereka dan hari raya mereka. Praktik ini sama dengan meninggalkan kalender Hijriah milik kaum Muslimin dan menyakiti perasaan mereka, memanfaatkan kelengahan para ulama dan ilmuwan, dan menyebarkan semboyan milik orang Kristen ini.

Saya mohon jawaban Anda. Semoga Allah memberi Anda taufik dan mengarahkan orang yang memiliki kekuasaan (pemimpin) untuk menghapus papan reklame seperti ini. Menghapus hal seperti ini adalah suatu kegembiraan bagi kaum Muslimin. Semoga Allah selalu menjaga Anda.

Jawaban:

Seorang muslim yang beriman dengan Allah dan hari akhir tidak boleh menampakkan perhatian dan simpati terhadap tahun milenium tersebut atau perayaan lain yang berhubungan dengan agama orang – orang Nasrani (Kristen) atau orang-orang kafir lainnya serta tahun baru milenium yang disebutkan atau mengaitkan beberapa hal dengan tahun tersebut, seperti melangsungkan akad nikah, memulai awal perdagangan atau menganggapnya sebagai hari raya karena hal tersebut berari setuju dengan apa yang mereka kerjakan (kemusyrikan dan kekafiran), mencari muka kepada mereka, menolong dan mengajak orang lain ikut merayakan hari raya mereka, tempat salib diusung, kebatilan diagungkan, dan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dilanggar.

Allah `Azza wa Jalla telah berfirman:

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu sangat pedih siksa-Nya

Ada hadis sahih dari Nabi ﷺ bahwasanya ia bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.

Orang muslim yang rida Allah sebagai Rabb (Tuhan), Islam sebagai Agama, dan Muhammad -Shallallahu ﷺ sebagai nabi dan rasul harus mengikuti jalan Allah yang lurus; yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya yang mulia radhiyallahu ‘anhum. Wujud istiqamah pada jalan ini yaitu: bahwa seorang muslim menjauhi jalan orang yang telah dimurkai Allah dan orang-orang yang sesat, baik Yahudi,Nasrani maupun orang-orang kafir lainnya, sehingga ia tidak mengikuti kesesatan mereka, tidak menyerupai mereka dalam perbuatan dan berpakaian mereka, tidak bercampur dengan mereka dalam memperingati hari raya mereka di Gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, dan tidak menampakkan kepada mereka kegembiraan dan kesenangan terhadap hari-hari besar mereka atau memberi mereka ucapan selamat atas semua itu, tetapi ia berlepas diri dari semua perbuatan tersebut, berserah diri kepada Allah, dan memohon petunjuk dan kemantapan mengikuti petunjuk kepada-Nya hingga berjumpa dengan-Nya.Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

(Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa, Fatwa Nomor:21040
Anggota: Ketua Syaikh Bakar Abu Zaid,Syaikh Shalih al-Fawzan , Syaikh Abdullah bin Ghadyan, Syaikh
Abdul Aziz bin Abdillah Alu asy-Syaikh)
[www.alifta.net]

 

Allahu ‘alam.

Ust.Abu Yusuf Dzulfadhli, Lc.

Pekanbaru-Panam
10 Rabi’ul Akhir 1439 H/ 30 Desember 2017.