Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Beristinja’ dengan Menggunakan Kurang dari Tiga Buah Batu

Setelah buang air, terdapat 2 cara untuk membersihkannya. Yaitu Istinja’ (membersihkan dengan air) dan Istijmar (membersihkan dengan menggunakan selain air). Istijmar dapat dilakukan dengan menggunakan batu atau tissue. Berbeda dengan hukum wudhu dan tayamum, dimana tayamum merupakan alternatif disaat ketidak tersediaan air. Adapun untuk istijmar, seseorang boleh melakukan Istijmar meskipun terdapat air di sekitarnya. Dan hal ini tetap sah, asal memperhatikan beberapa hal yang telah ditetapkan.

Diriwayatkan dari Salman, bahwa pernah ditanyakan kepadanya, “Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang hajat.” Salman menjawab, “Benar, beliau melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat besar atau kecil, melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan atau beristinja’ dengan kurang dari tiga buah batu atau beristinja’ dengan menggunakan kotoran hewan yang sudah kering atau tulang!”

Kandungan Bab:

1.      Perintah beristinja’ dan larangan meninggalkannya. Bahkan larangan beristinja’ dengan menggunakan kurang dari tiga buah batu adalah menunjukkan wajibnya beristinja’.

2.      Batas minimal jumlah batu yang boleh digunakan yaitu tiga buah batu.

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu telah diriwayatkan perintah untuk itu dalam hadits dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud berkata, “Rasulullah memerintahkanku agar membawakan tiga buah batu untuk beliau.”

Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya, “Beliau memerintahkan beristinja’ dengan menggunakan tiga buah batu dan melarang beristinja’ dengan kotoran hewan dan tulang.”

Demikian pula hadits Khuzaimah bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya, Rasulullah saw. ditanya tentang tata cara istijmar. Beliau menjawab, “Gunakan tiga buah batu dan jangan gunakan kotoran yang telah mengering.”

3.      Sebagian ahli ilmu tidak mensyaratkan tiga buah batu dalam beristinja’, mereka berdalil dengan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas, disebutkan di dalamnya, “Aku menemukan dua buah batu, aku ingin mencari yang ketiga namun tidak kutemukan. Aku pun mengambil sebuah kotoran hewan yang telah mengering. Lalu kubawa kepada beliau. Beliau mengambil dua buah batu itu dan membuang kotoran hewan.”. Mereka berkata, “Sekiranya tiga buah batu adalah syarat, tentu beliau akan mencari satu batu lagi.”

Namun argumentasi mereka itu lemah ditinjau dari beberapa sisi:

1.      Sebenarnya Rasulullah . telah mencari batu yang ketiga, dalam riwayat Ahmad [I/450] dan ad-Daruquthni [I55] disebutkan, “Beliau membuang kotoran hewan dan berkata, ‘Sesungguhnya benda ini adalah kotoran, carilah batu satu lagi’.” Diriwayatkan dari jalur Ma’mar dari Abu Ishaq, dari ‘Alqamah bin Qais, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani [I/257] berkata, “Perawinya tsiqat.”

2.      Kemungkinan Rasulullah merasa cukup dengan perintah beliau yang pertama, sehingga beliau merasa tidak perlu mengulangi perintah mencari tiga buah batu untuk kedua kalinya.

3.      Dalam hadits tersebut tidak terdapat dalil tidak adanya pensyaratan tiga buah batu. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. hanya menceritakan bahwa beliau mencarinya, namun tidak mendapatkannya. Dan kemungkinan Rasulullah merasa cukup dengan salah satu sisi dari dua buah batu tersebut sehingga tidak membutuhkan batu yang ketiga. Wallaahu a’lam.

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 21 Muharram 1439 H / 12 Oktober 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Buang Air Kecil di Pintu-Pintu Masjid

Diriwayatkan dari Makhul secara mursal, “Bahwasanya Rasulullah melarang buang air kecil di pintu-pintu masjid,” (Shahiihul Jaami’ wa Ziyaadatuhu [I/6813]).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika kami sedang berada dalam masjid bersama Rasulullah , tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui, ia berdiri lalu buang air di dalam masjid. Para Sahabat Nabi berseru, ‘Hei…! Hei…!’ Rasulullah berkata, ‘Jangan putus buang airnya, biarkanlah hingga selesai.’ Mereka pun membiarkannya hingga ia selesai. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya masjid ini tidak boleh digunakan untuk tempat buang air kecil atau buang kotoran. Masjid adalah tempat untuk dzikrullah ‘azza wa jalla, shalat dan membaca Al-Qur’an.’ Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Lalu Rasulullah memerintahkan seseorang untuk membawa seember air dan menyiraminya dengan air tersebut,” (HR Bukhari [219] dan [221] dan Muslim (285).

 

Kandungan Bab:

Larangan buang air kecil di pintu masjid atau di dalam masjid, serta anjuran memelihara masjid dari ludah dan dahak serta kotoran, sebab masjid bukan tempat untuk membuang kotoran, namun masjid didirikan sebagai tempat ibadah, dzikrullah dan ilmu. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas sangat jelas menunjukkan haramnya buang air kecil di dalam masjid. Oleh sebab itu, Rasulullah tidak mengingkari tindakan para Sahabat, beliau tidak mengatakan kepada mereka, “Mengapa kalian melarang Arab Badui itu!?” Hanya saja Rasulullah melarang tindakan mereka untuk sebuah maslahat, yaitu menghilangkan mafsadat yang lebih besar dengan memilih mafsadat yang lebih kecil dan lebih ringan. Karena bila dilarang saat Arab Badui itu sedang kencing, dikhawatirkan kencingnya akan semakin menjoroki masjid.

Wallaahu a’laam

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 8 Muharram 1439 H / 28 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

 

 

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Israf (Berlebih-Lebihan Dalam Penggunaan Air) Ketika Berwudhu

 

Diriwayatkan dari Abu Nu’amah, bahwasanya ‘Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdo’a, “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu istana putih di sebelah kanan Surga, bilamana aku memasukinya.” Maka ia pun berkata, “Hai anakku, mintalah Surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari api Neraka. Karena aku mendengar Rasulullah bersabda,

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

 ‘Sesungguhnya, akan ada nanti di tengah ummat ini orang-orang yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a’,” (Shahih, HR Abu Dawud [96] dan Ibnu Majah [3864]).

 

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakenya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu), ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوءِ، فَأَرَاهُ الْوُضُوءَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ»

“Ada seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah dan bertanya kepada beliau tentang tata cara wudhu. Beliau memperlihatkan tata cara berwudhu, yakni membasuh setiap anggota wudhu masing-masing tiga kali. Kemudian beliau berkata, ‘Begitulah tata cara berwudhu, barangsiapa menambah-nambahinya, maka ia telah berbuat kesalahan atau melampaui batas atau berbuat zhalim’.” (HR Abu Dawud [135], an-Nasa’i [I/88], Ibnu Majah [422], dan al-Baghawi [228]).

 

Kandungan Bab

1. Dibolehkan berwudhu sekali-sekali, dua kali-dua kali, atau tiga kali-tiga kali. Dan juga diharuskan untuk sempurna di dalam setiap wudhu yang dilakukan baik sekali-sekali, dua kali-dua kali, ataupun tiga kali-tiga kali. Barangsiapa menambah lebih dari itu, maka ia termasuk orang yang melampaui batas dalam berwudhu.

Ibnul Mubarak telah berkata, “Dikhawatirkan orang yang menambah-nambahi lebih dari tiga kali-tiga kali dalam berwudhu jatuh dalam perbuatan dosa.”

Imam Ahmad dan Ishaq mengatakan, “Hanya orang yang celaka sajalah yang menambah-nambahi lebih dari tiga kali-tiga kali.” (Sharhus Sunnah [I/445]).

2. Tidak boeh berlebih-lebihan dalam penggunaan air, walaupun jumlah basuhan sesuai dengan ketentuan yang disyari’atkan.

Al-Bukhari berkata dalam kitab Shahihnya, Kitaab Wudhuu Bab: Perihal Wudhu’, Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa kewajiban berwudhu itu adalah sekali-sekali, dua kali-dua kali atau tiga kali-tiga kali dan tidak boleh lebih dari itu. Para ahli ilmu mebenci israf (berlebih-lebihan menggunakan air) dalam berwudhu dan menambah-nambahi tata cara yang dilakukan oleh Rasulullah

3. Menambah-nambahi dari jumlah yang telah disyaria’atkan akan menyebabkan pelakunya jatuh dalam perasaan was-was (ragu-ragu) akan kesempurnan wudhunya. Dan hal ini merupakan hal yang tercela.

4. Larangan israf tersebut tidak boleh diartikan karena air yang tersedia sedikit. Saat air yang tersedia sedikit ataupun saat banyak, berlebih-lebihan dalam menggunakan air tidak dibolehkan. Telah dinukil dari Abu Darda, Ibnu Mas’ud dan Hilal bin Yasaf bahwa mereka berkata: “Salah satu perkara yang dilarang dalam wudhu adalah israf, meskipun engkau berwudhu di tepi sungai.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (I/66-67).

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 8 Muharram 1439 H / 28 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star), Medan

 

 

Ringkasan Kajian Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Sengaja Meninggalkan Bacaan Basmalah Ketika Memulai Wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

Tidak sah shalat tanpa wudhu dan tidak sempurna wudhu tanpa membaca nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya” (Hasan, HR. Abu Dawud [101], Ibnu Majah [399], dan Ahmad [II/418]).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

Tidak sempurna wudhu tanpa menyebutkan nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya.” (Hasan, HR. Ahmad [III/41]).

Diriwayatkan dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْ

Tidak sempurna wudhu tanpa menyebutkan nama Allah (basmalah-pent.) di awalnya”.

Ketiga hadits diatas menyebutkan diharuskannya membaca bismillah sebelum mulai berwudhu. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama tentang penafsiran kalimat “tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu“.

Pendapat pertama, sebagian ulama menyamakan makna kalimat diatas dengan hadits,

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394).

Dalam hadits diatas, tidak membaca al-fatihah, maka sholatnya tidak sah. Begitu pula ulama berpendapat bahwa tidak membaca bismillah sebelum berwudhu maka wudhunya tidak sah.

Pendapat kedua, sebagian ulama menyamakan makna kalimat “tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu“, dengan hadits,

Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi seseorang yang tidak memenuhi janji.” (HR. imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad Ahmad, di shahihkan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004).

Dalam hadits diatas, kalimat “tidak ada keimanan” dan “tidak ada agama” menyatakan tidak sempurnanya iman seseorang bila mereka tidak amanah dan tidak memenuhi janji, bukan tidak sah atau batalnya iman dan agama seseorang. Maka semakna dengan hadits diatas, ulama berpendapat bahwa tidak membaca bismillah sebelum berwudhu maka wudhunya tidak sempurna, tetapi wudhu tersebut tetap sah.

Dari hadits-hadits dan pendapat-pendapat diatas, dapat ditarik 3 poin penting :

1. Sebagian ulama berpendapat, membaca bismillah merupakan syarat sah wudhu. Jika seseorang sengaja (bukan dikarenakan ia lupa) tidak membaca bismillah, dengan anggapan lebih utama berwudhu tanpa membaca bismillah maka wudhunya tidak sah.

2. Sebagian ulama berpendapat, membaca bismillah adalah wajib wudhu dan tidak termasuk syarat sah wudhu. Sehingga bila ditinggalkan ia berdosa, tetapi wudhunya tetap sah.

3. Membaca bismillah sebelum berwudhu merupakan salah satu bentuk kesempurnaan wudhu. Jika tidak membaca bismillah sebelum berwudhu, maka wudhunya tidak sempurna.

Imam Bukhari rahimahullah, dalam kitabnya Shahih Bukhari, membuat sebuah bab yang berjudul “Membaca Basmallah pada Setiap Hal”. Didalam salah satu hadits,

Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388)

Jika sebelum berhubungan suami istri saja terdapat perintah untuk mengucapkan bismillah sebelum memulainya, maka membaca bismillah sebelum berwudhu pun juga termasuk hal yang diperintahkan. 3 hadits tentang wudhu diatas tidak dicantumkan didalam Shahih Bukhari, karena Imam Bukhari hanya memasukkan hadits berderajat shahih ke dalam kitabnya dan 3 hadits diatas berderajat hasan. Walaupun demikian, hadits berderajat hasan termasuk boleh untuk diamalkan.

Kesimpulan

1. Wajib hukumnya membaca basmalah ketika memulai wudhu, karena telah diriwayatkan secara shahih perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu. dalam sebuah hadits yang sangat panjang, disebutkan di dalamnya, Rasulullah berkata, “Hai Jabir, umumkan kepada orang-orang supaya berwudhu’!” Maka akupun berkata: “Wudhu…! Wudhu…! Wudhu…!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hai Jabir, ambillah air dan tuangkan untukku, dan ucapkanlah: Bismillah.” Aku pun menuangkan air untuk beliau dan kuucapkan, Bismillah, maka aku lihat air mengalir dari sela jari –jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim [IV/3013]).

Tidak ragu lagi, sebuah perintah hukumnya wajib dilaksanakan, kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan tidak wajib. Sementara indikasi itu tidak ada, bahkan hadits-hadits yang disebutkan sebelumnya mendukung dan menguatkan kewajiban tersebut.

2. Larangan sengaja meninggalkan bacaan basmalah ketika hendak berwudhu. Barangsiapa melakukannya, maka wudhunya cacat, tidak sempurna.

 

Kajian Rutin Kitab Ensiklopedi Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc,

Kamis, 1 Muharram 1439 H / 21 September 2017

Masjid At-Taubah Jl. Prona Ringroad (Dekat Terminal Sempati Star)

Ringkasan Kajian Ensiklopedi Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Mengikuti Adat Jahiliyyah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أَوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“(keadaan kamu hai orang-oang munafik dan musyirikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi” (QS. At-Taubah : 69).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

(لتتبعن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب لاتبعتموهم ) . قلنا يا رسول الله، اليهود والنصارى ؟ قال ( فمن )).

Kalian akan mengikuti adat tradisi umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga sekiranya mereka masuk dalam lubang biawak , niscaya kalian akan mengikutinya juga.” Para Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari (3456))

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( أبغض الناس إلى الله ثلاثة ملحد في الحرم ومبتغ في الإسلام سنة الجاهلية ومطلب دم امرئ بغير حق ليهريق دمه )

Tiga orang yang paling dibenci Allah; Pelaku ilhad (mulhid) di tanah haram, pengikut tradisi Jahiliyyah dalam Islam, penuntut balas darah seorang muslim tanpa haq untuk menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari (6882))

Diriwayatkan dari Hulb radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لا يَتَخَلَّجَنَّ فِي صَدْرِكَ شَيْئًا ضَارَعْتَ فِيهِ النَّصْرَانِيَّةَ)

Jangan sampai masuk setitik pun keraguan dalam hatimu (tentang kehalalan makanan yang telah dihalalkan Allah) seperti halnya keraguan yang menjangkiti orang-orang Nasrani.” (HR. Abu Dawud (3784))

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(لَيْسَ مِنَّا مَنْ عَمِلَ بِسُنَّةِ غَيْرِنَا)

Bukan dari golongan kami, siapa saja yang mengamalkan Sunnah selain Sunnah kami.” (Shahiibul Jaami’ish Shaghiir (5439))

Diriwayatkan dari al-Mustaurid radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

(لا تترك هذه الأمة شيئا من سنن الأولين حتى تأتيه)

Tidak tersisa satu pun tradisi orang-orang terdahulu melainkan telah dilakukan oleh umat ini!” (Shahiibul Jaami’ish Shaghiir (7219))

Kandungan Bab :

a. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya mengikuti tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal itu menunjukkan kelemahan yang menimpa kaum muslimin, karena mereka telah melepas jati diri sebagai muslim. Dengan meninggalkan sunnah dan mengikuti adat-adat jahiliah, seorang muslim akan kehilangan identitas muslimnya, baik itu pada penampilan, akhlak, dan lainnya.

b. Oleh sebab itu, siapa saja yang mempertahankan tradisi Jahiliyyah, menyebarkan atau melaksanakannya atau mengajak orang kepadanya, maka ia berhak mendapatkan kebencian Allah. Dan barangsiapa dibenci oleh Allah, maka ia berhak mendapatkan kebinasaan, kehancuran dan adzab yang besar.

c. Setiap muslim wajib melepaskan seluruh perkara yang menyerupai tradisi Jahiliyyah atau diperkirakan termasuk tradisi kaum Jahiliyyah. Sebab, siapa saja yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.

d. Kaum muslimin wajib memelihara fitrah yang telah Allah gariskan atas mereka. Sesungguhnya, sengaja menyelisihi tradisi Jahiliyyah dalam segala bentuk, macam dan namanya merupakan salah satu tujuan diutusnya para Nabi, dan termasuk salah satu tujuan syari’at yang sangat agung.

Ringkasan Kajian Kitab Larangan Jilid 1 : Bab Larangan Melindungi Ahli Bid’ah

‘Ali bin Abi Thalib berkata:

مَا عِنۡدَنَا كِتَابٌ نَقۡرَأُهُ إِلَّا كِتَابَ اللهِ غَيۡرَ هَٰذِهِ الصَّحِيفَةِ، قَالَ: فَأَخۡرَجَهَا، فَإِذَا فِيهَا أَشۡيَاءُ مِنَ الۡجِرَاحَاتِ وَأَسۡنَانِ الۡإِبِلِ، قَالَ: وَفِيهَا: الۡمَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيۡنَ عَيۡرٍ إِلَى ثَوۡرٍ، فَمَنۡ أَحۡدَثَ فِيهَا حَدَثًا، أَوۡ آوَى مُحۡدِثًا، فَعَلَيۡهِ لَعۡنَةُ اللهِ وَالۡمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجۡمَعِينَ، لَا يُقۡبَلُ مِنۡهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ صَرۡفٌ وَلَا عَدۡلٌ. وَمَنۡ وَالَى قَوۡمًا بِغَيۡرِ إِذۡنِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيۡهِ لَعۡنَةُ اللهِ وَالۡمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجۡمَعِينَ، لَا يُقۡبَلُ مِنۡهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ صَرۡفٌ وَلَا عَدۡلٌ. وَذِمَّةُ الۡمُسۡلِمِينَ وَاحِدَةٌ، يَسۡعَى بِهَا أَدۡنَاهُمۡ، فَمَنۡ أَخۡفَرَ مُسۡلِمًا فَعَلَيۡهِ لَعۡنَةُ اللهِ وَالۡمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجۡمَعِينَ، لَا يُقۡبَلُ مِنۡهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ صَرۡفٌ وَلَا عَدۡلٌ

“Kami tidak memiliki kitab bacaan selain Kitabullah, kecuali yang termaktub dalam lembaran ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran tersebut, ternyata di dalamnya disebutkan tentang panduan qishash atas luka-luka dan batasan umur unta yang boleh digunakan sebagai pembacaan diyat. Di dalamnya juga termaktub “Kota Madinah termasuk Tanah Haram, mulai dari bukti ‘Air sampai bukit Tsur. Barang siapa melakukan kejahatan di dalamnya atau melindungi pelaku kejahatan, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan). Siapa saja diantara budak yang memberikan loyalitasnya kepada selain tuannya, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan). Perlindungan yang diberikan oleh tiap-tiap muslim statusnya sama, walaupun yang memberi perlindungan adalah orang yang rendah kedudukannya diantara mereka. Barang siapa mengkhianati perjanjiannya dengan seorang Muslim, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan)”. (HR. Bukhari (6755) dan Muslim (1370)

Ada 2 penjelasan yang terkandung dalam hadits ini:

1. Barang siapa melindungi pelaku bid’ah, maka ia telah membantu merobohkan Islam, oleh karena itu ia berhak mendapat laknat Allah, para Malaikat, dan seluruh manusia.

Dalam kitab al-I’tishaam (1/151-155), Imam asy-Syathibi mengatakan bahwa perlindungan kepada ahli bid’ah sama dengan penghormatan kepada mereka. Penghormatan ini akan menimbulkan dua kerusakan yang akan merobohkan Islam, yaitu:

  • Orang-orang jahil dan masyarakat awam akan merespon penghormatan tersebut. Mereka akan berkeyakinan bahwa pelaku bid’ah tersebut adalah orang yang utama dan menganggap amalan yang dilakukan ahli bid’ah itu lebih baik daripada amalan yang dilakukan oleh orang lain. Dan akhirnya, mereka akan mengikuti perbuatan bid’ah yang dilakukannya dan tidak lagi mengikuti Sunnah Nabi yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah.
  • Jika pelaku bid’ah dihormati karena bid’ahnya, maka hal itu akan memotivasinya untuk membuat bid’ah-bid’ah lain dalam seluruh urusan.

Hal itulah yang disyaratkan dalam hadits Mu’adz yang berbunyi: “Hampir tiba saatnya seorang berkata: ‘Mengapa manusia tidak mengikutiku, padahal aku telah membacakan al-Quran kepada mereka? Kelihatannya mereka tidak akan mengikutiku hingga aku mengada-ngadakan sesuatu yang baru selain al-Quran!’ Hati-hatilah terhadap bid’ah yang dibuatnya, karena bid’ah yang dibuatnya itu adalah sesat”.

Ulama-ulama Salaf pun mempertegas maksud pernyataan diatas. Karena bila sebuah kebathilan diamalkan, maka kebenaran akan ditinggalkan. Maka barang siapa mengerjakan sebuah bid’ah, maka ia telah meninggalkan sebuah Sunnah.

Para ahli bid’ah terlaknat melalui lisan syari’at, laknat ini meliputi ahli bid’ah dan orang-orang yang kafir setelah beriman dan mengakui kebenaran Nubuwwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa keraguan di dalamnya. Allah berfirman:

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ, أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Bagaimana Allah akan memberi petunjuk kepada msuatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, serta mengakui bahwa Rasul (Muhammad) itu benar-benar (Rasul), dan bukti-bukti ynag jelas telah sampai kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang zhalim. Mereka itu, balasannya ialah ditimpa laknat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya” (QS. Ali-‘Imran : 86-87)

Begitu juga orang-orang yg menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah dan apa yang dijelaskan dalam Kitab-Nya, Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Sungguh orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (al-Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat” (QS. Al-Baqarah : 159).

Persamaan dari dua kelompok diatas adalah, mereka menentang, mengingkari, dan menyembunyikan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga ahli bid’ah selalu memasukkan syubhat-syubhat ke dalam perkara yang sudah jelas dan muhkam. Dengan perbuatan bid’ah tersebut, ia akan dilaknat oleh Allah, para Malaikat, dan seluruh manusia.

2. Secara implisit, hadits ini menunjukkan siapa saja yang membuat bid’ah atau melindungi ahli bid’ah dia akan mendapat laknat.

Kota Madinah disebutkan secara khusus karena kemuliannya. Madinah erupakan tempat turunnya wahyu, tempat tinggal Rasulullah, Darul Hijrah, dari kota inilah Islam tersebar ke segala penjuru dunia. Dan bila bid’ah dibiarkan ada di dalamnya, akan menimbulkan kerusakan yang besar pada kaum muslimin, tidak hanya di kota Madinah tapi juga seluruh dunia. Dan mereka akan beranggapan, kalau benar-benar bid’ah, tentu tidak akan dilakukan oleh penduduk Madinah, dan kalaulah benar-benar ahli bid’ah, tentu tidak akan dilindungi oleh penduduk Madinah.

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian Rutin Ensiklopedia Larangan Jilid 1

Ustadz Ali Nur Lc

Kamis, 10 Agustus 2017 / 17 Dzulqa’dah 1438 H

Masjid at-Taubah, Medan