Faidah Fatwa: Tidak Ada Amalan Khusus Di Bulan Rajab

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Al-Allamah Prof DR Shalih Bin Fauzan -Hafizahullah-

Pertanyaan:

هل صحيح أن شهر رجب يُفرَدُ بعبادةٍ معينة أو بخصوصية‏؟‏ أرجو إفادتنا؛ حيث إن هذا الأمر مُلتبسٌ علينا، وهل يُفرَدُ أيضًا زيارة للمسجد النبوي فيه‏؟

“Apakah benar, bahwa bulan Rajab dikhususkan dengan ibadah tertentu? Mohon penjelasannya, karena perkara ini menjadi rancu bagi kami. Dan apakah dikhususkan pula berziarah ke masjid Nabawi pada bulan Rajab?“.

Jawaban

Tentang Ada Tidaknya Amalan Khusus Di Bulan Rajab

شهر رجب كغيره من الشهور، لا يُخصَّص بعبادة دون غيره من الشهور؛ لأنه لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم تخصيصه لا بصلاة ولا صيام ولا بعمرة ولا بذبيحة ولا غير ذلك، وإنما كانت هذه الأمور تُفعل في الجاهلية فأبطلها الإسلام؛ فشهر رجب كغيره من الشهور، لم يثبت فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم تخصيصه بشيء من العبادات؛ فمن أحدث فيه عبادة من العبادات وخصه بها؛ فإنه يكون مبتدعًا؛ لأنه أحدث في الدين ما ليس منه، والعبادة توقيفية؛ لا يقدم على شيء منها؛ إلا إذا كان له دليل من الكتاب والسنة، ولم يرد في شهر رجب بخصوصيته دليل يُعتمد عليه، وكل ما ورد فيه لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم، بل كان الصحابة ينهون عن ذلك ويُحذِّرون من صيام شيء من رجب خاصة‏.‏ أما الإنسان الذي له صلاة مستمر عليها، وله صيام مستمر عليه؛ فهذا لا مانع من استمراره في رجب كغيره، ويدخل تبعًا‏.‏ 

“Bulan Rajab, kedudukannya sama seperti bulan-bulan yang lainnya, tidak dikhususkan dengan ibadah tertentu.

Sebab tidak terdapat dalil dari Nabi ﷺ bahwa beliau mengkhususkannya dengan shalat, puasa, umrah, menyembelih dan ibadah yang lainnya.

Perkara mengkhususkan ibadah hanya dilakukan pada masa jahiliyah, kemudian islam datang membatalkannya.

Sehingga bulan Rajab sebagaimana bulan yang lainnya, tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mengkhususkannya dengan ibadah tertentu.

Hati-Hati Terjerumus Dalam perbuatan Bid’ah

Dan barangsiapa mengada-ada dibulan Rajab dengan suatu ibadah dan mengkhususkannya di bulan Rajab maka dia pengusung bid’ah.

Hal itu karena dia mengada-ada didalam agama, yang sama sekali bukan bagian dari agama itu sendiri, sementara ibadah, sifatnya “tauqifiyah” (ditetapkan berdasarkan dalil).

Sehingga tidak boleh mendahulukan sesuatu darinya, kecuali berlandaskan dalil dari Al-Qur’an & As Sunnah. Dan tidak ada dalil yang bisa dijadikan patokan terkait mengkhususkan bulan Rajab.

Semua riwayat tentang itu tidaklah shahih dari Nabi ﷺ, Bahkan para sahabat -radhiyallahu anhum- telah melarang dari hal tersebut sekaligus memperingatkan agar tidak mengkhususkan puasa pada bulan Rajab.

Adapun bagi orang yang memang memiliki kebiasaan shalat dan puasa, maka tidak mengapa melanjutkan kebiasaannya tersebut dibulan Rajab, sebagaimana yang dilakukannya dibulan lain“.

Sumber
Al Muntaqo Min Fataawa Asy Syeikh Sholeh Al Fauzan : 1/222-223 [Soal no 124].

Apakah Ahlussunnah Orang Yang Keras dan Berlebih-Lebihan?

Berkata Asy-Syaikh Sulaiman Ar-ruhaili waffaqahullah

ومن سمات أهل السنة والجماعة أنهم أهل التيسير الشرعي الصحيح، فلا تشدد ولا غلو عند أهل السنة والجماعة، بل أهل السنة والجماعة يُحذّرون من الغلو، ويأمرون بالتيسير الشرعي، ويحذّرون من التساهل،

 وبعض الناس اليوم يصفون أهل السنة والجماعة بأنهم متشددون، وفي الحقيقة أهل السنة والجماعة ليسوا أهل تشدد، بل هم أهل التيسير الشرعي، فهم وسط بين الغلاة والمتساهلين؛ وسط بين من عُرفوا بالتساهل ومن عرفوا بالغلو، وفرق بين التيسير الشرعي وبين التساهل،

ومن المعروف أن الفقهاء قد اتفقوا من جميع المذاهب الأربعة على أن من عُرف بالتساهل لا تؤخد عنه الفتوى، أما التيسير فهو مطلوب، وكيف لا يكون أهل السنة والجماعة أهل التيسير وهم يتمسّكون بسنة النبي ﷺ !؟

“Diantara ciri Ahlus sunnah wal jama’ah bahwa mereka adalah orang yang membawa kemudahan yang sesuai syar’i dan yang benar.

Tidak ada sikap keras dan tidak pula berlebih-lebihan dikalangan ahlus sunnah, bahkan mereka memperingatkan dari bahaya sikap ghuluw atau berlebih-lebihan dan mereka memerintahkan untuk memberikan kemudahan yang syar’i dan juga memperingatkan untuk tidak bergampangan.

Baca juga: Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah

Pada hari ini sebagian orang memberikan sifat kepada Ahlus sunnah wal jama’ah bahwa mereka adalah orang yang keras, namun pada hakikatnya mereka bukanlah demikian.

Bahkan mereka adalah orang yang membawa kemudahan yang syar’i, mereka bersikap pertengahan, tidak berlebih lebihan dan tidak pula bergampangan, yaitu pertengahan antara orang yang dikenal bergampangan dengan orang yang berlebih-lebihan atau ghuluw.

Dan berbeda antara kemudahan yang syar’i dengan bergampangan .

Perkara yang sudah diketahui bahwa ulama fikih yang empat mazhab, mereka sepakat bahwa siapa yang dikenal bergampangan, maka fatwa nya tidak bisa diambil.

Adapun kemudahan yang syar’i maka ini perkara yang menjadi sebuah tuntutan, bagaimana mungkin ahlus sunnah bukan dikatakan ahlut taisiir atau yang memberikan kemudahan yang syar’i padahal mereka adalah orang-orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ“

أصول أهل السنة هداية وأمان صـ ٢٤

Mengenal Penyimpangan Firqah Jahmiyah (Bagian 1)

Firqah Jahmiyah adalah pengikut Jahm bin Shafwan at- Tirmidzi, yang mendirikan mazhab (kelompok) Jahmiyah, gurunya yaitu Ja’ad bin dirham, ja’ad menyadur dari Thalut seorang yahudi, yg juga di ambilnya dari Labid bin al ‘Asham yang pernah menyihir Rasululllah ﷺ, mazhab (kelompok) ini yang menyatakan (penyimpangan mereka) bahwa :

1. Al Qur’an adalah Makhluk
2. Al jabr, yaitu pandangan mereka bahwa manusia terpaksa atas segala amal perbuatannya,dan lainnya.

Oleh sebab itu mereka di nisbatkan, kepada al- Jahm (Jahm bin Shofwan), atau di sebut Al-Jahmiyah.

Ideologi Diambil Dari Ja’ad Yang hidup Di Akhir Kekuasaan Bani Umayyah

Jahm mengambil (ideologinya) dari Ja’ad yang ia hidup di akhir kekuasaan Bani Umayyah, dan ia di bunuh oleh Khalid bin Abdillah Al-Qusri.

Ketika itu Khalid berkhutbah pada hari raya ‘Idhul ‘Adha, dan mengatakan :

تقبل الله ضحاياكم، فإني مضح بالجعد بن درهم

Sembelih hewan-hewan kalian wahai sekalian manusia, Semoga Allah menerima Qurban-Qurban kalian,sesungguhnya aku akan menyembelih Ja’ad bin Dirham, karena dia mengatakan bahwa Alla ta’la tidak berbicara kepada nabi musa, dan nabi ibrahim bukan khalil (kekasih Allah), kemudian dia (khalid) turun dari mimbar dan menyembilh Ja’ad bin dirham, karena dia adalah orang yang zindiq, maka membunuhnya adalah wajib, Perbuatan itu disyukuri oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
(At -Ta’liqat al Mukhtashirah ‘Ala Matnil Al Aqidah Thahawiyah Imam Abu Ja’far At Thahawi, Oleh Syaikh Shalih Fauzan.hlm.265-266)

Baca Juga: Sebab-Sebab Perpecahan Umat Islam Dan Solusinya

Jahmiyah Kelompok yang menolak Asma’

Firqoh Jahmiyah mereka adalah kelompok yang menolak Asma’ (nama- nama) dan Sifat Allah ta’la, ini merupakan kekufuran, wa ‘iyadzu billah.
(Syarhu Sunnah Al Imam Barbahari, syarah Syaikh Shalih Fauzan ,hlm.21)

Artikel ini adalah bersambung ke Mengenal Penyimpangan Firqah Jahmiyah (Bagian 2).

الله أعلم بالصواب

Ust.Abu Yusuf Dzulfadhli M,BA.

Sebab-Sebab Perpecahan Umat Islam Dan Solusinya

Diantara sebab perpecahan umat Islam, terpecah menjadi beberapa golongan adalah:

1. Mengikuti hawa nafsu dan Dhzon (prasangka).

2. Godaan makar Setan.

3. Salah kaprah dalam menafsir dalam memahami nash dalil- dalil dari Al Qur’an & sunnah yang shahih.

4. Ta’shub (Fanatik Golongan).

5. Tipu daya musuh- musuh islam seperti Yahudi dan yg lainnya, sebagaimana “Boelas” masuk ke agama Nasrani untuk menghancurkan ,merusak agama Nashrani, begitu juga Abdullah bin saba’ al yahudi masuk ke dalam agama Islam untuk ,merusak dan mengahancurkan agama islam.

6. Mencomot atau mengambil ayat sebagian- sebagian sesuai kepentingan mereka.

7. Tidak kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan pemahaman para sahabat radhiallahu ‘anhum.

8. Mereka tidak merujuk (kembali) ke Ulama robbani Kibar sebagaimana Ibnu Abbas radhiallahu ketika mendebat orang- orang khawarij, tidak ada satupun seorang sahabat tidak pula ahli ilmu dan ulama bersama mereka.

9. Jahil terhadap Agama.

10. Mereka membaca Al Qur’an tidak melewati tenggorokan, artinya mereka ketika membaca Al Qur’an tidak sampai ke hati. Meraka tidak bisa mengambil istinbat hukum di dalam Al Qur’an dan Sunnah dengan benar.

11. Mereka adalah Orang- orang yang lemah dari segi bahasa Arab, baik dari sisi lughawi (bahasa),dan sisi Isthilahi (syar’i.)

Solusi dalam menghadapi perpecahan:

1. Berpegang dengan tali Allah dan jangan terpecah belah. sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’la :

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ  جَمِيـعًا وَلاَ تَفَرَقُوا

Berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah terpecah belah. (Q.s Al Imran : 103)

2 .Tafaqquh fiddin (menuntut Ilmu Syar’i ) dengan benar.

3. Merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para sahabat radhiallahu ‘anhum

4. Kembali kepada Ulama, jika terjadi perpecahan, karena mereka lebih berilmu dan lebih banyak memiliki pengalaman hidup.

5. Mewaspadai hawa nafsu syahwat, syubhat dan makar syaithon, tidaklah hawa nafsu bisa dilawan melainkan dengan kesabaran dan tidaklah syubhat dan makar setan bisa di lawan melainkan dengan Ilmu .

6. Berdoa’ kepada Allah agar jauh dari perpecahan,fitnah syubhat dan syahwat serta makar syaithon, dan makar musuh- musuh islam dan musuh- musuh kaum muslimin.

Semoga bermanfaat.

الله أعلم بالصواب

Ditulis dengan keterbatasan.
Ust.Abu Yusuf Dzulfadhli M,BA.

Pandeglang, Banten Senin 20 syawal 1437 H / 25 juli 2016 M

Faidah-faidah Dauroh Masyaikh Ummul Quro’ (Bab,Firoq wa adyan) di Ponpes. Riyadhus Sholihin, Pandeglang dari Syaikh DR.Shalih Dibarsy az Zahroni حفظه الله

Hukum Membaca Surat Yunus Ayat 107 Setelah Sholat Fardhu

Assalamualaikum ustadz. ‘afwan ana mau bertanya, apakah ada amalan setelah sholat fardhu membaca surat yunus ayat 107, agar urusan dipermudahkan?

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Wajib untuk diyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Dienul Islam sudah sempurna sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Q.S. Al-Ma`idah ayat 3:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini, Aku telah menyempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah sempurnakan untukmu nikmat-Ku, dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama.”

Dan Rasulullah ﷺ juga menyatakan bahwa barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama maka itu tertolak.

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama maka itu tertolak.” (HR. Abu Dawud: 4608 dan dishahihkan oleh al-Albani)

Beliau ﷺ juga menyebutkan:

وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan apapun itu, yang tidak dilandasi oleh perintah kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhaari: 2141)

Perkara yang baru dalam agama itu seluruhnya sesat meskipun dianggap baik oleh manusia. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khathtab radhiyallaahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً

“Seluruh bid’ah (perkara baru dalam agama) itu sesat, meskipun manusia menganggapnya baik.” (Lihat: Dzamm al-Kalaam wa Ahlihi, karangan Imam al-Harawi: II/ 126 nomor riwayat: 276)

Dan Imam Malik bin Anas rahimahullaahu menuturkan:

مَنِ ابْتَدَعَ فِي اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا r  خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ : اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ  فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

“Barangsiapa membuat kebid’ahan dalam Islam yang dianggapnya sebagai suatu kebaikan, berarti dia telah mengklaim bahwasanya Muhammad ﷺ telah mengkhianati risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untukmu agamamu.” (QS. Al-Ma`idah: 3). Maka, apa saja yang pada waktu itu (yakni saat Rasulullah ﷺ masih hidup) bukan merupakan agama, maka hari ini pun hal tersebut bukan merupakan agama.” (Lihat: Al-I’tishaam karangan Imam asy-Syathibi, I/ 33)

Terkait dengan pertanyaan di atas, dalam kitab-kitab hadits yang mu’tabar maupun tulisan-tulisan ulama yang mengikuti manhaj Salaf, tidak didapati adanya keterangan yang valid yang mendukung amalan membaca surat Yunus ayat 107 setelah melaksanakan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnat. Dengan demikian, mengamalkannya merupakan bentuk mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak didukung oleh dalil.

Wallaahu A’lam bi ash-Shawaab

Fatal Beragama Hanya Mengandalkan Definisi Bahasa Saja!

Beragama Mengandalkan Ta’riful Lughah (Definisi Bahasa) saja, berakibat Fatal!!!

Dalam beragama ,mendefinisikan suatu kata harus di tinjau 2 hal :

1. Istilah Bahasa
2. Istilah Syari’

Contoh: Shalat

Secara Bahasa, artinya ” Doa”

 Secara Syar’i, yaitu ” “Beribadah kepada Allah ta’la dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui yang dimulai dengan Takbir dan di akhiri dengan salam disertai dengan niat dan syarat-syarat khusus”.

Jadi seseorang mendefenisikan shalat secara bahasa saja, maka ketika ia ber do’a saja, itu berarti dia sudah shalat. Inilah sebuah kefatalan yang besar, dan penyimpangan dalam beragama.

Oleh karena itu penting belajar bahasa arab, agar memahami satu kata ditinjau dari istilah bahasa dan Istilah Syar’i.

Ibnu Utsman al Maidany

Hukum Melaksanakan Milad untuk Organisasi

Assalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh
Ana ingin bertanya tentang milad. Apakah milad untuk organisasi diperbolehkan?

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Terkait dengan hukum milad, Imam Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaahu pernah ditanya tentang hukum melaksanakan hari raya-hari raya kelahiran anak atau hari jadi pernikahan.

Jawaban Imam Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaahu terkait hukum milad

Beliau rahimahullaahu menjawab sebagai berikut:

“Dalam agama Islam, tidak ada hari raya-hari raya selain hari Jum’at yang merupakan hari raya dalam sepekan, hari pertama dari bulan Syawwal yang merupakan ‘Iedul Fitri, dan hari kesepuluh dari bulan Dzul Hijjah yang merupakan ‘Iedul Adh-ha. Dan terkadang Hari ‘Arafah dinamakan hari raya bagi orang-orang (yang melaksanakan ibadah Wuquf) di ‘Arafah, dan hari-hari Tasyrik sebagai hari raya karena mengikuti ‘Iedul Adh-ha. Adapun hari raya-hari raya berkenaan dengan kelahiran seseorang atau anak-anaknya, atau hari jadi pernikahan dan sebagainya maka semua itu tidak disyari’atkan. Juga lebih mendekat ke perkara bid’ah ketimbang kepada perkara yang mubah.” (Lihat: Majmuu’ Fataawaa wa Rasaa`il Fadhilah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaahu (w. 1421 H), dikumpulkan dan disusun oleh Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Cetakan 1413 H, Jilid II hal. 302, no. 354)

Wallaahu ‘Alamu bi ash-Shawaab

Hari Gini Masih Mempermasalahkan Dimana Allah? (Bag.1)

Berikut kami nukilkan beberapa perkataan Ahlussunnah Salafush Shalih tentang hal ini:

1. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata –ketika Nabi ﷺ wafat-, “Barangsiapa menyembah Muhammad ﷺ maka sesungguhnya beliau telah wafat. Dan barangsiapa menyembah Zat Yang di atas langit maka sesungguhnya Dia Maha hidup tidak akan mati.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy karangan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi, tahqiq Doktor Muhammad Khalifah at-Tamimi, II/ 159)

2. Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwasanya suatu ketika dirinya berjalan melewati seorang perempuan yang sudah tua, lalu perempuan tersebut memintanya berhenti. Dia pun berhenti sambil berbicara kepadanya. Tiba-tiba seorang pria berseru kepada ‘Umar, “Wahai Amirul Mukminin! Gara-gara perempuan tua ini, Anda sudah menghalang-halangi orang.” Mendengar hal ini ‘Umar berkata, “Hus! Tahukah kamu siapa wanita ini? Dia inilah wanita yang pengaduannya didengar oleh Allah dari atas tujuh langit. Ini adalah Khaulah yang Allah ﷻ turunkan tentangnya ayat:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.” (QS. Al-Mujadilah: 1)

(Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 164)

3. ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Semoga ad-Dayyaan (salah satu nama Allah yang artinya Maha Pemutus Perkara -penj) yang ada di atas langit menjatuhkan kebinasaan kepada orang yang memutuskan perkara di kalangan penduduk bumi! Kecuali yang memerintah dengan keadilan, memutuskan perkara dengan benar, tidak memutuskan perkara di atas hawa nafsu, di atas kerabat, di atas kecintaan dan di atas ketakutan (kepada seseorang). Dan dia menjadikan Kitabullah sebagai cermin di hadapannya.”  ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 160)

4. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya ketika dia mengambil sumpah setia (bai’at) untuk ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu dan manusia membai’atnya, dia menengadahkan kepalanya ke atap mesjid seraya berkata, “Ya Allah! Persaksikanlah!” ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 164)

5. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Antara langit terjauh dengan Kursi sejauh lima ratus tahun. Antara Kursi dan air juga begitu. ‘Arasy di atas air. Dan Allah ﷻ di atas ‘Arasy. Tidak ada sesuatu pun dari amal kalian yang tersembunyi dari-Nya.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 164)

6. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Apabila nuthfah telah mendiami rahim seorang perempuan selama empat puluh malam, datanglah ke rahimnya itu seorang malaikat lalu malaikat tersebut menariknya kemudian membawanya naik menuju (Allah) ar-Rahmaan lalu dia berkata, “Ciptakanlah, wahai Zat Yang merupakan sebaik-baik Pencipta!” Maka Allah menetapkan padanya apa saja yang Dia kehendaki, menentukan rezekinya dan penciptaannya. Lantas malaikat tadi turun membawa keduanya sekaligus.” ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 169)

7. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Silahkan kalian memikirkan segala sesuatu! Namun jangan sekali-kali kalian memikirkan Zat Allah! Karena sesungguhnya antara langit-langit ke Kursi-Nya ada tujuh ribu cahaya. Dan Dia (Allah) di atas itu semua. Mahasuci dan Mahatinggi Dia.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 171)

8. Ka’b al-Ahbar rahimahullaahu (tabi’in) berkata, “Allah berfirman dalam Taurat: “Aku-lah Allah di atas semua hamba-Ku. ‘Arasyku di atas seluruh makhluk-Ku. Dan Aku di atas ‘Arasy-Ku. Aku mengatur urusan seluruh hamba-Ku. Dan tidak satupun yang di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari-Ku.” ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 187)

9. Malik bin Dinar rahimahullaahu (tabi’in, w. 127 H) berkata, “Bersungguh-sungguhlah kamu!” Dan dia membaca dan berkata, “Dengarkanlah perkataan Zat Yang Mahabenar dari atas ‘Arasy-Nya!” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 199)

10. ‘Ubeid bin ‘Umeir al-Laitsi rahimahullaahu (tabi’in, w. 68 H) berkata, “Ar-Rabb (Allah ﷻ) turun di separuh malam ke langit dunia lalu berkata, “Siapakah yang akan meminta kepada-Ku lalu Aku memberinya? Siapakah yang akan meminta ampunan kepada-Ku lalu aku mengampuninya?” Hingga ketika fajar Ar-Rabb ﷻ naik ke langit.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 204)

11. Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullaahu dia berkata, “Ketika Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman (tabi’in, w. 136 H) ditanya, “Bagaimana Dia (Allah) ber-istiwa`?” Dia menjawab, “Istiwa` diketahui (maknanya, yaitu di atas). Bagaimana caranya tidak bisa diketahui. Dari Allah-lah datangnya risalah. Rasulullah ﷺ berkewajiban menyampaikannya. Dan kewajiban kita membenarkannya.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 213)

12. Dirawayatkan dari Hammad bin Zaid dia berkata, “Aku mendengar Ayyub as-Sikhtiyani (tabi’in, w. 131 H) dan ia menyebutkan kaum mu’tazilah dengan berkata, “Tidak lain, inti dari ucapan orang-orang itu ialah bahwa di atas langit tidak ada apapun.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 218)

13. ‘Abdurrahman bin ‘Amru al-Auza’i rahimahullaahu (w. 157 H) berkata, “Kami dan para tabi’in masih banyak jumlahnya mengatakan: Sesungguhnya Allah ﷻ di atas ‘Arasy-Nya, dan kami mengimani sifat-sifat-Nya yang disebutkan oleh Sunnah (Rasulullah ﷺ).” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 223)

14. Abu Muthi’ al-Hakam bin ‘Andillah al-Balkhi meriwayatkan dalam al-Fiqh al-Akbar, dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Hanifah (w. 150 H) tentang seseorang yang mengatakan, “Aku tidak tahu Rabbku di atas langit atau di bumi.” Ia menjawab, “Barangsiapa tidak mengakui bahwasanya Allah di atas ‘Arasy, sesunggunya dia telah kafir. Karena Allah ﷻ berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaa Haa: 5)

Dan ‘Arasy-Nya di atas tujuh langit.” Aku berkata, “Sesungguhnya Dia (Allah) mengatakan: Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Akan tetapi orang itu tidak tahu apakah ‘Arasy itu di atas langit atau di muka bumi?” Dia berkata, “Apabila dia mengingkari bahwasanya Dia (Allah) di atas langit maka sesungguhnya dia telah kafir.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 226)

15. Malik bin Anas rahimahullaahu (tabi’in, w. 179 H) berkata, “Allah ﷻ itu di atas langit, dan ilmu-Nya di setiap tempat.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 228)

16. Muqatil bin Hayyan rahimahullaahu (w. sebelum 150 H) berkata tentang firman Allah ﷻ:

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.” (QS. Al-Mujadilah: 7)

Dia berkata, “Dia (Allah) di atas ‘Arasy-Nya dan ilmu-Nya bersama mereka.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 228)

17. ‘Ali bin al-Hasan bin Syaqiq, guru al-Bukhari, berkata, “Aku bertanya kepada ‘Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H), “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita?” Ia menjawab, “(Dia ﷻ) di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arasy-Nya.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 239)

18. ‘Abdul ‘Aziz bin al-Mughirah berkata, “Hammad bin Salamah rahimahullaahu (w. 167 H) menyampaikan hadits: “Allah I turun ke langit dunia” lalu dia berkata, “Barangsiapa kamu melihat orang yang mengingkari hal ini maka curigailah dia!” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 246)

19. Ahmad bin Hanbal berkata, “Waki’ telah menyampaikan kepada kami dari Isra`il hadits: “Jika ar-Rabb (Allah) telah duduk di atas Kursi…” Tiba-tiba seorang laki-laki yang berada di dekat Waki’ berubah raut wajahnya. Melihat hal ini Waki’ pun marah dan berkata, “Kami telah bertemu dengan al-A’masy dan Sufyan. Mereka menyampaikan hadits-hadits ini dan tidak mengingkarinya.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 253)

20. Abu Ishaq ats-Tsa’labi meriwayatkan, dia berkata, “Al-Auza`i ditanya tentang firman Allah ﷻ:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaa Haa: 5)

Dia berkata, “Dia (Allah) di atas ‘Arasy sebagaimana Dia menyifati diri-Nya sendiri.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 180)

21. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaahu (150-204 H) berkata, “Perkataan tentang as-Sunnah yang aku berada di atasnya, aku melihat Ahlul Hadits di atasnya, yang aku lihat seperti Sufyan, Malik dan lainnya (yaitu) mengiikrarkan syahadat Laa Ilaaha Illallaahu (tidak ada sembahan yang hak untuk disembah dengan sebenarnya melainkan Allah)  dan Muhammad utusan Allah…” Beliau rahimahullaahu menyebutkan beberapa perkara kemudian berkata, “Dan bahwasanya Allah di atas ‘Arasy-Nya di atas langit-Nya. Dia dekat kepada makhluk-Nya menurut kehendak-Nya dan turun ke langit dunia menurut kehendak-Nya.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 220)

22. Yahya bin Ma’in rahimahullaahu (158-233 H) berkata, “Apabila kamu ditanya oleh seseorang yang berpemahaman jahmiyyah: “Bagaimana Dia (Allah I) turun?” Maka tanyakanlah kembali kepadanya, “Bagaimana cara Dia naik?”

23. Hanbal berkata, “Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) (164-241 H), “Apa makna firman Allah I:

وَهُوَ مَعَكُمْ

“Dan Dia bersama kalian.” (QS. Al-Hadid: 4)

Dan (firman-Nya):

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.” (QS. Al-Mujadilah: 7)

Ia menjawab, “Ilmu-Nya meliputi segalanya. Dan Rabb kita di atas ‘Arasy tanpa batasan apapun dan tanpa sifat apapun.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 246)

24. Yusuf bin Musa al-Qaththan berkata, “Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) rahimahullaahu ditanya, “(Apakah) Allah di atas langit yang ketujuh di atas ‘Arasy-Nya, terpisah dari semua makhluk-Nya dan ilmu serta kekuasaan-Nya di semua tempat?” Dia menjawab, “Benar.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 247)

25. ‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, “Abu bertanya kepada Abu Hatim ar-Razi (195-277 H) dan Abu Zur’ah ar-Razi (200-264 H) tentang mazhab Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok agama, dan tentang akidah ulama-ulama lain yang mereka jumpai di berbagai negeri dan apa yang mereka berdua yakini. Keduanya berkata, “Kami telah bertemu dengan ulama-ulama di berbagai negeri: Hijaz, Irak, Mesir, Syam dan Yaman. Di antara mazhab mereka ialah bahwasanya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan terpisah dari makhluk-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya tanpa bertanya tentang hakikatnya, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. “(Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 256)

26. Abu ‘Abdillah al-Bukhari berkata dalam Kitaab ar-Radd ‘alaa al-Jahmiyyah, yang di akhir kitab Shahiih-nya tentang firman-Nya:

وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“Dan ‘Arasy-Nya di atas air.” (QS. Huud: 7)

“Abu al-‘Aliyah berkata, “Istawaa ilaa as-samaa`: naik.” Mujahid berkata, “Dia di atas ‘Arasy.” Dan Zainab isteri Nabi ﷺ berkata, “Allah ﷻ menikahkanku dari atas tujuh langit.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 257-258)

27. At-Tirmidzi rahimahullaahu (209-279 H) berkata ketika meriwayatkan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan: “Sesungguhnya Allah ﷻ menerima sedekah, mengambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu menumbuhkannya.” Dia (at-Tirmidzi) berkata, “Ini hadits shahih, diriwayatkan dari ‘Aisyah dari Nabi ﷺ. Dan hadits ini telah dikomentari oleh lebih dari satu ulama, begitu pula permasalahan yang semisalnya tentang sifat-sifat Allah. Dan juga tentang turunnya ar-Rabb (Allah) Tabaaraka wa Ta’aalaa setiap malam ke langit dunia….” ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 261)

28. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rahimahullaahu (223-311 H) berkata, “Barangsiapa tidak mengakui bahwasanya Allah di atas ‘Arasy-Nya, bersemayam di atas tujuh langit-Nya, terpisah dari semua makhluk-Nya maka dia kafir yang wajib dituntut untuk bertaubat. Jika dia bertaubat (maka diterima taubatnya). Jika tidak, maka lehernya dipenggal, dan jasadnya dicampakkan ke tempat sampah supaya Ahlul Qiblah (kaum muslimin) dan Ahlu Dzimmah tidak terganggu dengan bau bangkainya!” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 277)

29. Abu Ja’far Ahmad bin Salamah ath-Thahawi rahimahullaahu (238-321 H) berkata, “Dan ‘Arasy dan al-Kursi adalah hak (benar adanya) sebagaimana yang Dia jelaskan dalam Kitab-Nya, dan Dia tidak memerlukan ‘Arasy dan apa saja yang di bawahnya, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu dan (Dia) di atasnya (‘Arasy).” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 286)

30. Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari rahimahullaahu (260-324 H) berkata, “Ada yang bertanya, “Apa yang kamu katakan tentang ‘istiwaa`’? Dijawab kepadanya: “Kami katakan bahwasanya Allah di atas ‘Arasy sebagaimana Dia berfirman, “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaa Haa: 5)

Dan Dia ﷻ berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

“Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Faathir: 10)

Dia juga berfirman:

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat-Nya (Isa) kepada-Nya.” (QS. An-Nisaa`: 158)

Dan Dia ﷻ berfirman menceritakan tentang Fir’aun:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ ﴿﴾ أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

“Dan berkatalah Firaun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu! (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” (QS. Ghaafir: 36-37)

Dia (Fir’aun) mendustakan Musa tentang perkataannya bahwasanya Allah di atas langit-langit. Dan Allah ﷻ berfirman:

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” (QS. Al-Mulk: 16)

Maka, langit-langit itu di atasnya adalah ‘Arasy. Ketika ‘Arasy di atas langit-langit, dan setiap sesuatu yang tinggi maka dia di atas, yakni (di atas) seluruh langit. Dan yang Dia maksud tidak lain adalah ‘Arasy yang merupakan langit tertinggi. Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menyebutkan langit-langit. Dia berfirman:

وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا

“Dan Allah menciptakan padanya (yakni langit-langit itu) bulan sebagai cahaya.” (QS. Nuuh: 16)

Bukanlah maksud-Nya bahwasanya bulan itu memenuhi langit-langit itu seluruhnya. Dan kita melihat kaum muslimin semuanya mengangkat tangan-tangan mereka –ketika mereka berdoa- ke langit. Karena Allah ﷻ bersemayam di atas ‘Arasy yang ia itu di atas langit-langit. Andaikan bukan karena bahwasanya Allah ﷻ di atas ‘Arasy, niscaya mereka tidak mengangkat tangan mereka ke ‘Arasy. Kelompok Mu’tazilah, Jahmiyyah dan Haruriyyah (Khawarij) mengatakan bahwasanya makna istawaa ialah menguasai, memiliki dan mengalahkan, dan (mengatakan) bahwasanya Allah di segala tempat, serta mengingkari bahwa Dia di atas ‘Arasy sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul Haqq. Mereka (Mu’tazilah, Jahmiyyah dan Khawarij) berpendapat bahwa istiwaa` bermakna qudrah (kemampuan). Kalaulah memang seperti yang mereka katakan, niscaya tidak ada bedanya sama sekali antara ‘Arasy dan langit yang tujuh lapis. Karena sesungguhnya Allah ﷻ Mahakuasa atas segala sesuatu, maka bumi (termasuk dalam) sesuatu tersebut. Maka, Allah ﷻ Mahakuasa atasnya (bumi) dan atas kebun-kebun. Begitu pula halnya sekiranya makna istiwaa` ‘ala al-‘Arasy (bersemayam di atas ‘Arasy -penj) adalah Dia menguasai ‘Arasy, berarti boleh saja dikatakan: Dia di atas segala sesuatu. Padahal tidak boleh menurut seorang muslim pun mengatakan: “Allah di atas kebun-kebun dan tempat-tempat buang air. Dengan demikian, batal-lah bahwa istiwaa` ‘alaa al-‘Arsy itu bermakna menguasai.” (Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 286-288)

31. Abu Bakar al-Ajurri rahimahullaahu (w. 360 H) berkata, “Yang menjadi pendapat Ahlul Ilmi ialah bahwasanya Allah ﷻ di atas ‘Arasy-Nya, di atas langit-langitnya, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya ilmunya meliputi seluruh apa yang Dia ciptakan di langit-langit yang paling tinggi, dan meliputi apa saja yang ada di atas bumi yang tujuh. Semua amal hamba diangkat kepada-Nya.

Jika ada yang bertanya, “Apa makna firman Allah ﷻ:

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya.” (QS. Al-Mujaadilah: 7)?

Yaitu ayat yang mereka jadikan hujjah. Maka dijawab kepadanya, “(Maksudnya) ilmu-Nya dan Allah ﷻ di atas ‘Arasy-Nya, sedangkan ilmu-Nya meliputi mereka. Demikianlah yang ditafsirkan oleh Ahli ilmu. Ayat itu, baik awal maupun akhirnya, menunjukkan bahwa maksudnya ialah ilmu-Nya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arasy-Nya. Maka inilah yang merupakan pendapat (akidah) kaum muslimin.” ((Lihat: Kitab al-‘Arsy, II/ 302)

32. Imam Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Baththah al-‘Ukbari rahimahullaahu (304-387 H)  berkata, “Bab: Mengimani Bahwasanya Allah ﷻ Di Atas ‘Arasy-Nya, Terpisah Dari Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya Meliputi Semua Makhluk-Nya. Dan kaum muslimin dari kalangan para sahaba Nabi ﷺ, para tabi’in dan seluruh ulama dari orang-orang yang beriman, sepakat bahwasanya Allah ﷻ di atas ‘Arasy-Nya di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, dan ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidak ada yang menolak dan mengingkarinya kecuali orang yang menganut mazhab al-hululiyyah. Mereka ini adalah kaum yang hati mereka telah tersesat dan syaitan-syaitan telah membuat mereka bingung. Mereka keluar dari agama ini. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya tidak satu tempatpun yang hampa dari Zat Allah.” Mereka (pun) mengatakan, “Sesungguhnya Dia berada di muka bumi sebagaimana Dia berada di langit. Dan Dia dengan Zat-Nya menempati segala sesuatu.” (Mahasuci Allah ﷻ dari perkataan mereka yang nista ini –penj). Sungguh, kedustaan mereka ini telah diterangkan oleh al-Qur`an, as-Sunnah, serta perkataan-perkataan para sahabat dan para tabi’in dari kalangan ulama kaum muslimin. Kelompok al-Hululiyyah ditanya, ”Mengapa kalian mengingkari bahwasanya Allah Ta’ala di atas ‘Arasy? Padahal Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaa Haa: 5)

Dan Dia berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا

“Kemudian Dia di atas ‘Arasy. (Dialah Allah) Yang Maha Pengasih. Maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui tentang Dia (yakni Muhammad ﷺ).”

Ini adalah pemberitahuan dari Allah. Melalui pemberitahuan tersebut Dia mengabarkan tentang diri-Nya dan (mengabarkan) bahwasanya Dia di atas ‘Arasy.

Mereka (kelompok al-Hululiyyah) menjawab, “Kami tidak mengatakan bahwasanya Dia di atas ‘Arasy, karena sesungguhnya Dia lebih besar dari ‘Arasy, dan karena jika Dia di atas ‘Arasy berarti Dia tidak berada di tempat-tempat yang lain. (Jika demikian berarti) sesungguhnya kita telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya. (Alasannya) Jika salah seorang dari mereka (makhluk Allah) berada di sebuah tempat, maka ia hanya berada di tempat yang ditempatinya itu, dan ia tidak berada di bagian rumahnya yang lain. Akan tetapi kami (kelompok al-Hululiyyah) mengatakan bahwasanya Dia berada di bawah bumi yang tujuh lapis sebagaimana Dia berada di atas langit yang tujuh lapis. Dan (kami mengatakan) bahwasanya Dia berada di setiap tempat. Tidak satu tempat pun yang hampa dari-Nya. Dan Dia tidak berada di suatu tempat pun tanpa di tempat yang lain.”

Kami (Ibnu Bathtah rahimahullaahu) katakan: Adapun ucapan kalian bahwasanya Dia (Allah ﷻ) tidak berada di atas ‘Arasy karena sesungguhnya Dia lebih besar dari ‘Arasy, maka (kami bantah): Allah benar-benar menghendaki Dia berada di atas ‘Arasy padahal Dia lebih besar darinya.

Allah ﷻ berfirman:

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ

“Kemudian Dia berada di atas langit.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Dia juga berfirman:

وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ

“Dan Dia-lah Allah berada di atas langit-langit.”  (QS. Al-An’aam: 3)

Setelah itu Dia berfirman:

وَفِي الْأَرْضِ يَعْلَمُ

“Dan di bumi, Dia mengetahui.” (QS. Al-An’aam: 3)

Dia mengabarkan bahwasanya Dia berada di atas langit dan bahwasanya Dia dengan ilmu-Nya di bumi. Dan Dia ﷻ juga berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Allah) Ar-Rahman di atas ‘Arasy.” (QS. Thaa Haa: 5)

Dia ﷻ juga berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh menaikkannya.” (QS. Faathir: 10)

Adakah ‘naik’ itu kecuali ke sesuatu yang berada di atas? Dia ﷻ juga berfirman:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

“Sucikanlah nama Rabbmu Yang paling tinggi.” (QS. Al-A’laa: 1)

Dia ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia lebih tinggi dari makhluk-Nya. Dan Dia ﷻ pun berfirman:

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

“Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka.” (QS. An-Nahl: 50)

Dia ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia berada di atas para malaikat-Nya Dan Allah ﷻ mengabarkan bahwasanya Dia di atas langit di atas ‘Arasy. Dia berfirman:

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?” (QS. Al-Mulk: 16)

Dan berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh menaikkannya.” (QS. Faathir: 10)

Dan Dia ﷻ berfirman kepada ‘Isa:

إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

“Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali ‘Imran: 55)

Dia ﷻ juga berfirman:

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.” (QS. An-Nisaa`: 158)

Dan Dia ﷻ berfirman:

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya.” (QS. Al-Anbiyaa`: 19)

Dia ﷻ juga berfirman:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ

“Dan Dialah yang berkuasa di atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’aam: 18)

Dan Dia ﷻ berfirman:

رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ

“(Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arasy.” (QS. Ghafir: 15)

Dan Dia ﷻ berfirman:

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya.” (QS. As-Sajdah: 5)

Dan Dia ﷻ berfirman:

ذِي الْمَعَارِجِ  تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij: 3-4)

Demikianlah. Dan yang semisalnya dalam al-Qur`an sangat banyak. Akan tetapi orang yang menganut paham Jahmiyyah Mu’tazilah Hululiyyah yang dilaknat pura-pura tuli dan mengingkarinya, lalu mengandalkan dalil yang mutasyabih untuk mencari fitnah karena kesesatan yang bersemayam di dalam hatinya. Karena kaum muslimin, semuanya, telah mengetahui berbagai tempat, dan tidak ada yang boleh dari Rabb mereka pada tempat-tempat itu selain ilmu-Nya, kebesaran-Nya, dan kemahakuasaan-Nya. Sedangkan Zat-Nya tidak berada di tempat-tempat itu.

Lantas, apakah seorang penganut paham Jahmiyyah mengklaim bahwasanya tempat Iblis yang dia berada di situ, Allah berkumpul dan Dia berada di (tempat Iblis) itu? Bahkan penganut paham Jahmiyyah mengklaim bahwasanya Zat Allah ﷻ tinggal dalam diri iblis!!!

Dan apakah penganut paham Jahmiyyah mengklaim bahwasanya para penghuni neraka berada di neraka dan bahwasanya (Allah) Yang Mahaagung, Mahabesar, Maha Perkasa dan Mahamulia bersama mereka di dalamnya? Mahatinggi Allah dengan ketinggian yang besar dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang.

Dan apakah mereka mengklaim bahwasanya Allah menempati bagian dalam hamba-hamba, jasad mereka, bagian dalam anjing, babi, kebun-kebun, dan tempat-tempat yang jorok, yang makhluk  yang bersih saja enggan untuk tinggal atau duduk di situ. Atau dia berkata kepadanya bahwasanya seseorang yang dimuliakannya, disayanginya atau dihormatinya mendiami tempat-tempat jorok tersebut.

Dan orang yang menganut pemahaman mu’tazilah mengklaim bahwasanya Rabbnya berada di tempat-tempat tersebut seluruhnya, dan (mengklaim) bahwasanya Rabbnya ada dalam lengan bajunya, mulutnya, sakunya, badannya, cangkir minumnya, periuknya, bejana-bejananya dan di tempat-tempat yang Allah ﷻ kita sucikan dari menisbatkan-Nya kepada tempat-tempat itu.”

(Lihat: Al-Ibaanah ‘an Syarii’at al-Firqah an-Naajiyah wa Mujaanabah al-Firaq al-Madzmuumah, III/ 136-139)

Kesempurnaan Islam (Bagian 1)

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah ta’la yang berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.” (QS. Al-Ma`idah: 3)

‘Abdullah bin ‘Abbas (3 SH – 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa memberitahukan kepada nabi-Nya Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang beriman bahwasanya Dia telah menyempurnakan keimanan bagi mereka, sehingga mereka tidak memerlukan tambahan selamanya. Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa telah mencukupkannya, maka Dia tidak akan menguranginya selamanya. Dan Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa telah meridhainya maka Dia tidak akan murka kepadanya selamanya.”[1]

Al-Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H) rahimahullaahu  menjelaskan, “(Ayat) ini adalah sebesar-besar nikmat yang Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan atas umat ini. Karena Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, sehingga mereka tidak lagi memerlukan agama lainnya dan tidak pula nabi yang lainnya. Semoga shalawat dan salam tercurah atas mereka. Oleh sebab itu, Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada yang haram selain apa yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkannya. Segala hal yang diberitakannya adalah hak dan benar, tidak mengandung kebohongan dan tidak pula mengandung pengingkaran janji. Sebagaimana Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. “ (QS. Al-An’aam: 115)

Maksudnya benar dalam semua berita dan adil dalam segala perintah dan larangan. Tatkala Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa telah menyempurnakan untuk mereka agama ini, berarti telah sempurnalah nikmat itu atas mereka. Itulah sebabnya Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa befirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.”

Maksudnya: maka ridhailah dia (agama Islam) untuk dirimu! Karena sesungguhnya dia merupakan satu-satunya agama yang Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa cintai dan ridhai. Dengannya Dia mengutus rasul yang paling utama, dan dengannya pula Dia Subhaanahu wa Ta’aalaa menurunkan kitab suci yang paling mulia.”[2]

Diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki Yahudi berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin! (Ada) satu ayat di dalam Kitab (suci)mu yang kamu baca, yang jika ayat itu diturunkan atas kami kaum Yahudi, kami pasti menjadikan hari (turunnya ayat) itu sebagai hari raya.” ‘Umar bertanya, “Ayat yang mana?” Laki-laki itu menjawab, “(yaitu ayat) Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku padamu, dan Aku telah meridhai untukmu Islam sebagai agama.” ‘Umar berkata, “Kami benar-benar mengetahui hari dan lokasi diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau berdiri di ‘Arafah pada hari Jum’at.”

Al-Husein bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H) rahimahullaahu  berkata, “’Umar mengisyaratkan bahwa hari itu merupakan hari raya bagi kita (kaum muslimin).”[3]

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sungguh, tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali dia berkewajiban menunjukkan kepada umatnya kebaikan apapun yang diketahuinya, serta memperingatkan kepada mereka keburukan apapun yang diketahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 1844, dari Ibnu ‘Amru Radhiyallaahu ‘anhu)

Dan bersabda,

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

“Tidak ada suatu perkara pun yang tersisa, (baik) yang akan mendekatkan ke surga maupu yang menjauhkan dari neraka, kecuali telah diterangkan kepadamu.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir: 1647, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: IV/ 416, no hadits: 1803)

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallaahu ‘anhu, ia menceritakan bahwasanya ada yang berkata kepadanya –dalam sebuah riwayat: sambil mencemooh, yaitu sebagian orang musyrik-, “Sesungguhnya nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga persoalan buang hajat.” Salman menanggapi, “Memang benar. Beliau melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang hajat atau kencing, (melarang kami) beristinja` dengan tangan kanan atau kurang dari tiga buah batu atau beristinja` dengan kotoran atau tulang.”[4]

Abu al-Qasim Isma’il bin Muhammad bin al-Fadhl al-Ashbahani (457-535 H) rahimahullaahu  berkata, “Maka beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan sesuatu apapun dari semua urusan agama, baik kaidah-kaidahnya, perkara-perkara ushulnya, syari’at-syari’atnya dan bagian-bagiannya melainkan beliau telah menerangkannya, menyampaikannya secara sempurna dan tidak menunda-nunda penjelasan ketika diperlukan. Karena di antara kelompok-kelompok umat ini tidak ada yang berbeda pendapat bahwasanya menunda-nunda penjelasan ketika diperlukan tidak diperbolehkan walau bagaimanapun. Dan sebagaimana diketahui bahwasanya urusan tauhid dan penetapan ash-Shaani’ (Zat yang menciptakan) terus diperlukan di setiap waktu. Seandainya penjelasan tentangnya ditunda-tunda, berarti itu membebani umat ini dengan sesuatu yang tidak ada jalannya bagi mereka. Jika perkaranya adalah sebagaimana yang telah kami paparkan, maka kita dapat mengetahui bahwasanya dalam perkara-perkara begini, Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membiarkan mereka berdalil dengan al-a’raadh dan tidak bergantung kepada al-jawaahir serta perubahannya. Karena tidak memungkinkan bagi seorang pun untuk meriwayatkan satu huruf pun yang demikian dari beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari seorang sahabat beliau pun, baik dengan jalan mutawatir maupun ahad. (Kalau begitu) Dapatlah diketahui bahwasanya pendapat mereka menyelisihi pendapat beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, serta menempun selain jalan mereka.”[5]

Imam Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdil Halim al-Harrani (661-728 H)  rahimahullaahu  menuturkan, “Dan merupakan hal yang mustahil juga bahwa Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah mengajari umatnya segala hal hingga adab buang hajat, yang bersabda,

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِكٌ

“Saya tinggalkan kamu di atas jalan yang putih bersih, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang dari jalan itu sepeninggalku kecuali orang yang celaka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad: IV/ 126 dan beberapa imam hadits lainnya, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: III/ 11 nomor hadits: 937)

Yang juga bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sungguh, tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali dia berkewajiban menunjukkan kepada umatnya kebaikan apapun yang diketahuinya, serta memperingatkan kepada mereka keburukan apapun yang diketahuinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 1844, dari Ibnu ‘Amru Radhiyallaahu ‘anhu)

Dan Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu menyatakan, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat dalam keadaan tidaklah seekor burung pun yang mengepakkan kedua-dua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir: II/ 166, nomor: 1647, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahiihah: IV/ 416 nomor hadits: 1803)

Juga ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berdiri di antara kami di suatu tempat. Lalu beliau menceritakan awal penciptaan (makhluk) hingga para penghuni surga memasuki tempat-tempat tinggal mereka dan para penduduk neraka memasuki tempat-tempat tinggal mereka. Hal itu diingat oleh siapa saja yang ingat dan dilupakan oleh siapa saja yang lupa.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhaari dalam Shahiih-nya: VI/ 286 nomor hadits: 3192)

(merupakan) hal yang mustahil jika mereka (umat beliau) diajari segala hal yang mengandung manfaat bagi mereka dalam agama –meskipun kecil-, beliau tidak mengajari mereka hal-hal yang mereka ucapkan dengan lisan mereka dan yang mereka yakini dengan hati mereka terhadap Rabb mereka, sembahan mereka, Rabb pemilik semesta alam, yang mengenal-Nya merupakan puncak semua pengetahuan, yang peribadahan kepada-Nya merupakan tujuan paling mulia dan yang tujuan kepada-Nya merupakan puncak dari semua tujuan. Bahkan, ini adalah inti dakwah kenabian dan esensi risalah ilahiyyah. Oleh karenanya, bagaimana bisa seseorang yang hatinya masih memiliki sedikit keimanan dan hikmah menduga bahwa penjelasan tentang bab ini (aqidah asma` was shifat, dan begitu juga urusan-urusan agama lainnya) tidak disebutkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sebaik-baiknya?”[6]

Imam Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani (1173-1250 H) rahimahullaahu  berkata, “Jika Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan agamanya sebelum mewafatkan Nabi-Nya Subhaanahu wa Ta’aalaa, maka pendapat apakah ini yang diada-adakan oleh pemiliknya, setelah Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa menyempurnakan agamanya? Apabila menurut keyakinan mereka pendapat tersebut merupakan bagian agama ini, berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan pendapat mereka. Dan ini sama saja menolak al-Qur`an (yang menyebutkan agama ini telah sempurna –penj). Sedangkan, jika pendapat itu tidak bagian dari agama ini, lantas apa gunanya menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak merupakan bagian dari agama ini?”[7]

Ahmad bin al-Hasan ar-Raazi rahimahullaahu  berkata, “Setiap perkara yang diada-adakan setelah turunnya ayat ini (yakni QS. Al-Ma`idah: 3), maka itu merupakan berlebihan, tambahan dan bid’ah.”[8]

Maka ayat di atas menunjukkan bahwasanya agama Allah ‘Azza wa Jalla yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam sempurna. Juga menunjukkan bahwasanya beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam telah menerangkan dan menjelaskannya sejelas-jelasnya. Tidak tersisa sesuatu pun dari agama ini yang belum dijelaskannya, baik dalam perkara ushul maupun dalam perkara furu’. Dengan demikian tidak ada ruang untuk menciptakan akidah-akidah lain dari berbagai pikiran dan pendapat manusia, tidak ada celah untuk mengada-adakan ibadah-ibadah dan berbagai bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa dari perasaan-perasaan manusia. Dan firman Allah: diinakum (agama kamu) bersifat umum mencakup urusan agama yang sifatnya ushul maupun furu’. Agama ini, semuanya telah disempurnakan dan diterangkan dalam permasalahan ushul dan furu’nya. Dalam agama ini, telah diterangkan apa saja yang berkaitan dengan akidah dan keimanan, amalan-amalan dan berbagai taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adab serta akhlak. Semuanya telah diterangkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah segamblang-gamblangnya. Maka apabila Anda meyakini perkara-perkara akidah yang disebutkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah akidah yang paling benar, lurus dan selamat. Jika Anda mengamalkan ibadah-ibadah yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah sesempurna-sempurnanya ibadah. Dan jika Anda mempraktekkan akhlak-akhlak yang diterangkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itulah akhlak yang paling suci dan paling baik.[9]

Wallaahu ‘Alam bi ash-Shawaab.


[1]  Silahkan melihat Jaami’ al-Bayaan ‘an Ta`wiil Aay al-Qur`aan penulis Abu Ja’dar Muhammad bin Jarir ath-Thabari tahqiq Doktor ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (VIII/ 80), Markaz al-Buhuuts wa ad-Diraasaat al-‘Arabiyyah wa al-Islaamiyyah.
[2]  Silahkan melihat ‘Umdat at-Tafsiir ‘an al-Haafizh Ibni Katsiir Mukhtashar Tafsiir al-Qur`aan al-‘Azhiim, penulis asy-Syaikh Ahmad Syakir, Daar al-Wafaa` (I/ 628-629)
[3]  Silahkan melihat Ma’aalim at-Tanziil, penulis Abu Muhammad al-Husein bin Mas’ud al-Baghawi, tahqiq dan takhrij hadits-hadits oleh: Muhammad ‘Abdullah an-Namir, ‘Utsman Jumu’ah Dhamiriyyah dan Sulaiman Muslim al-Harsy, Daar Tahyyibah  (III/ 13)
[4]  Silahkan melihat Shahiih Muslim: 262, dan Misykaat al-Mashaabiih penulis Muhammad bin ‘Abdillah al-Khathib at-Tibrizi, tahqiq Muhammad Nashiruddin al-Albani, Kitaab ath-Thahaarah Bab Aadaab al-Khalaa`, hal 119, nomor hadits: 370, al-Maktab al-Islami.
[5]  Silahkan melihat al-Hujjah fii Bayaan al-Mahajjah wa Syarh ‘Aqiidah Ahlis Sunnah (I/ 375-376) tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi al-Madhkhali, Daar ar-Raayah.
[6]  Silahkan melihat al-Fatwaa al-Hamawiyyah al-Kubraa, tahqiq Doktor Hamad bin ‘Abdul Muhsin at-Tuwaijiri, Daar ash-Shami’i, hal. 178-181, dengan beberapa adaptasi.
[7]  Dinukil dari kitab ‘Ilm Ushuul al-Bida’ Diraasah Takmiiliyyah Muhimmah fii ‘Ilm Ushuul al-Fiqh, penulis ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdil Hamid al-Halabi al-Atsari, Daar ar-Raayah, hal. 21
[8]  Silahkan melihat Dzamm al-Kalaam wa Ahlih penulis Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al-Harawi, takhrij hadits dan ta’liq oleh ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshari, (I/ 281) nomor riwayat: 15, Maktabah al-Ghurabaa` al-Atsariyyah.
[9]  Silahkan melihat Tadzkirah al-Mu`tasii Syarh ‘Aqiidah al-Haafizh ‘Abdil Ghaniy al-Maqdisi, penulis Profesor ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr, hal. 50-51, penerbit Gharaas.