Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits ke-12

Bismillah

عن أبي مرة مولى عقيل أنّ أبا هريرة كان يستخلفه مروان, وكان يكون بذي الحليفة, و كانت أمه في بيت وهو في آخر, قال: فإذا أراد أن يخرج وقف على بابها فقال: السلام عليك, يا أمتاه! ورحمة الله وبركاته, فتقول: وعليك يا بني! ورحمة الله وبركاته، فيقول: رحمك الله كما ربيتني صغيرا، فتقول: رحمك الله كما بررتني كبيرا، ثم إذا أراد أن يدخل صنع مثله.

ضعيف الإسناد، فيه سعيد بن أبي هلال، كان اختلط

Dari Abu Murrah Maula ‘Aqil bahwasannya Abu Hurairah diangkat sebagai perwakilan oleh marwan dan waktu itu beliau berada di daerah Dzul Hulaifah. Saat itu ibu beliau berada di dalam rumah dan dia di tempat yang lain. Apabila beliau akan keluar meninggalkan rumahnya, dia berdiri di depan pintu rumah ibunya dan berkata : ”Semoga kesejahteraan tercurah atasmu wahai bunda, begitu juga dengan rahmat Allah dan berkah-Nya” maka ibunya pun menjawab : “Dan semoga kesejahteraan juga tercurah atasmu wahai anakku! Begitu juga dengan rahmat Allah dan berkah-Nya”. Maka Abu Hurairah pun berkata : “Semoga Allah menyayangimu wahai ibu, sebagaimana engkau menyayangiku di saat aku masih kecil”, lalu ibunya pun menjawab : “Semoga Allah juga menyayangimu karena engkau telah berbakti kepadaku di saat engkau besar”. Apabila beliau masuk ke rumah ibunya maka ia melakukan hal yang sama.

(HR. Bukhari no.12 dalam Al-Adab Al-Mufrad, dinyatakan dha’if oleh Syaikh Albani)

Hadits ini memiliki sanad yang dha’if karena di dalam sanadnya terdapat Sa’id bin Abi Hilal, beliau memiliki hafalan yang kacau. Hanya saja, terdapat hadits hasan yang bunyinya sama dengan hadits ini, sebagaimana yang telah dicantumkan oleh Al-Bukhari di kitab yang sama, Al-Adab Al-Mufrad no.14.

 

Penamaan daerah Dzulhulaifah

Saat itu rumah Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berada di Dzulhulaifah. Dzulhulaifah merupakan miqat penduduk Madinah yang hendak berangkat haji, jaraknya sekitar 15 km dari Masjid Nabawi. Namun saat ini, daerah tersebut masyhur dengan sebutan Bir ‘Ali. Padahal nama ini tidak memiliki periwayatan yang jelas mengenai asal-usul penamaannya, baik dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam maupun dari orang-orang setelahnya. Sikap kita sebagai seorang ummat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam hendaknya menamakan tempat tersebut dengan apa yang beliau Shallallahu’alaihi wasallam namakan, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam sendiri menamai tempat tersebut dengan nama Dzulhulaifah.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ ِلأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَ ِلأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَ ِلأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَ ِلأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، وَقَالَ: هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.

Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah menentukan miqat bagi penduduk Madinah, yaitu Dzulhulaifah, bagi penduduk Syam, yaitu Juhfah, bagi penduduk Najd, yaitu Qarnul Manazil dan untuk penduduk Yaman, yaitu Yalamlam. Beliau mengatakan, ‘Semua itu adalah bagi penduduk kota-kota tersebut dan orang yang bukan penduduk kota-kota tersebut yang melewati kota-kota tersebut, yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan bagi orang yang lebih dekat dari kota-kota itu, maka ia memulai ihram dari tempatnya, sampai penduduk Makkah memulai ihram dari Makkah.” [HR. Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96]

 

Lafadz salam

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu ketika keluar dari rumah ibunya, beliau selalu mengucapkan:

السَلَامُ عَلَيكِ, يا أُمَّتَاه!””

“…semoga kesejahteraan tercurah atasmu wahai ibu…”

Dalam keseharian, kita biasa mengucapkan salam dengan lafadz “Assalamu’alaikum” kepada muslim yang lain. Secara bahasa, lafaz ini memiliki arti “semoga kesejahteraan tercurah atas kalian (laki-laki)”. Artinya, lafadz salam ini ditujukan untuk muslim laki-laki yang jumlahnya banyak, namun tidak mengapa salam dengan lafadz ini diucapkan kepada muslim yang wanita ataupun lelaki yang jumlahnya hanya sendiri.

Dalam dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

خَلَقَ اللهُ  آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ : اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ – وَهُمْ نَفَرٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ – فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ

“Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuknya. Tingginya 60 hasta. Ketika ia diciptakan, Allah berfirman kepada Adam: ‘pergilah dan berilah salam kepada sekelompok makhluk itu (yaitu Malaikat), dan dengarkanlah ucapan tahiyyah dari mereka kepadamu. Karena itu adalah ucapan tahiyyah (yang disyariatkan untuk) engkau dan keturunanmu‘. Lalu Adam pergi dan mengucapkan: Assalamu’alaikum. Para Malaikat menjawab: Wa’alaikumussalam Warahmatullah. Mereka menambahkan kata warahmatullah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadz yang lain:

خَلَقَ اللهُ آدَمَ بِيَدِهِ ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ ، وأمرالْمَلَائِكَةِ فَسَجَدُوا لَهُ ،فَجَلَسَ فَعَطَسَ فَقَالَ : الْحَمْدُ للهِ ، فَقَالَ لَهُ رَبُّهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ رَبُّكَ ، إيتِ هَؤلَاءِ الْمَلَائِكَةَ فَقُلِ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَأَتَاهُم فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ ، فَقَالُوا : وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللهِ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى رَبِّهِ تَعَالَى فَقَالَ لَهُ : هَذِهِ تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ بَيْنَهُمْ

“Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, lalu meniup ruh untuknya. Lalu Allah memerintahkan Malaikat untuk sujud kepada Adam, lalu merekapun sujud. Lalu Adam duduk, kemudian ia bersih. Allah pun berfirman: yarhamukallahu rabbuka (Rabb-mu telah merahmatimu). Kemudian Allah berfirman: ‘datangilah para Malaikat itu dan ucapkanlah: Assalaamu’alaikum‘. Lalu Adam mendatangi mereka dan mengucapkan: Assalaamu’alaikum. Lalu para Malaikat menjawab: wa’alaikumussalam warahmatullah. Lalu Adam kembali kepada Rabb-nya. Kemudian Allah berfirman kepada Adam: ‘Itu adalah ucapan tahiyyahmu dan anak keturunanmu yang kalian ucapkan sesama kalian‘”. (HR. An Nasa’i)

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Murrah, Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam kepada ibunya dengan lafaz “Assalamu’alaiki”, artinya salam itu ditujukan untuk seorang wanita yang sedang diajak bicara. Ini menunjukkan bolehnya mencocokkan lafadz salam dengan lawan bicara, seperti Assalamu’alaika (semoga kesejahteraan tercurah atas engkau (laki-laki), Assalamu’alaikuma (semoga kesejahteraan tercurah atas kalian berdua) dan seterusnya, namun ‘Ulama menjelaskan bahwa lafadz salam yang lebih utama adalah ucapan Assalamu’alaikum.

Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (14/140) mengatakan:

أَقَلّ السَّلَام أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ , فَإِنْ كَانَ الْمُسْلِم عَلَيْهِ وَاحِدًا فَأَقَلّه السَّلَام عَلَيْك , وَالْأَفْضَل أَنْ يَقُول : السَّلَام عَلَيْكُمْ ، لِيَتَنَاوَلهُ وَمَلَكَيْهِ , وَأَكْمَل مِنْهُ أَنْ يَزِيد وَرَحْمَة اللَّه , وَأَيْضًا وَبَرَكَاته , وَلَوْ قَالَ : سَلَام عَلَيْكُمْ أَجْزَأَهُ ؛ وَاسْتَدَلَّ الْعُلَمَاء لِزِيَادَةِ : وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته بِقَوْلِهِ تَعَالَى إِخْبَارًا عَنْ سَلَام الْمَلَائِكَة بَعْد ذِكْر السَّلَام : ] رَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته عَلَيْكُمْ أَهْل الْبَيْت [ ( هود : 73 ) . وَبِقَوْلِ الْمُسْلِمِينَ كُلّهمْ فِي التَّشَهُّد : السَّلَام عَلَيْك أَيّهَا النَّبِيّ وَرَحْمَة اللَّه وَبَرَكَاته

“Ucapan salam yang paling minimal adalahAssalamu’alaikum. Kalau hanya ada satu orang Muslim, maka ucapan paling minimal adalah: Assalamu’alaika. Namun yang lebih utama adalah mengucapkan: Assalamu’alaikum, agar salam tersebut tersampaikan kepadanya dan dua Malaikatnya. Dan yang lebih sempurna lagi adalah dengan menambahkan warahmatullah, dan juga menambahkan wabarakatuh. Kalau seseorang mengucapkan: salam ‘alaikum, itu sudah mencukupi. Para ulama menganjurkan penambahan warahmatullah dan wabarakatuh dengan firman Allah Ta’ala yang mengabarkan ucapan salam Malaikat (yang artinya): ‘rahmat Allah dan keberkahan-Nya semoga dilimpahkan atas kalian, wahai ahlul bait‘ (QS. Hud: 73). Dan juga berdalil dengan ucapan dalam tasyahud : Assalamu’alaika ayyuhannabiy warahmatullah wabarakatuh“.

 

Sunnah mengucapkan salam dengan lengkap

Dari hadits yang diriwayatkan Abu Murrah, dapat diketahui bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam yang lengkap kepada ibunya.

 “…السلام عليك, يا أمتاه! ورحمة الله وبركات…”

“…Semoga kesejahteraan tercurah atas engkau wahai bunda, begitu juga dengan rahmat Allah dan berkahnya…”

Beliau Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam dengan lengkap agar lengkap pula doanya kepada sang ibu; dan ketika ibunya membalas, maka lengkap jugalah doa sang ibu kepada dirinya. Ucapan salam tidak hanya bermanfaat bagi yang diberi salam, namun juga bermanfaat bagi yang mengucapkannya. Orang yang mengucapkan salam akan mendapatkan pahala dari Allah ‘Azza wajalla ketika mengucapkannya, semakin lengkap salam yang dia ucapkan, semakin besar juga pahala yang Allah berikan kepadanya.

Diceritakan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:

إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ فِي مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُونَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا الْأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ الْآخِرَةِ

Ada seseorang datang kepada Rasulullah yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat duapuluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tigapuluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah pun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabl Al-Mufrad no. 757)

Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim mengucapkan salam dengan lengkap kepada muslim yang lainnya. Selain berfungsi sebagai doa dan penambah amal kebaikan, memberi salam juga dapat membuat orang yang mengucapkannya saling mencintai.

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

“لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ”

Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Semakin lengkap salam yang diberikan seorang muslim kepada muslim yang lain, maka semakin dalam pula rasa cinta yang ada di antara mereka. Namun apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, maka sebaiknya memberi ataupun menjawab salam dihindari, sebagaimana yang dapat terjadi di antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ingatlah salah satu kaedah fiqih, menghindari mudharat diutamakan daripada memperoleh manfaat.

 

Salam adalah salah satu hak seorang muslim atas muslim yang lain

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

 حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ ». قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.

Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal itu?” Lantas beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya, (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim no. 2162)

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu telah memenuhi salah satu hak ibunya sebagai seorang muslimah dengan mengucapkan salam kepadanya. Seorang ibu lebih berhak untuk mendapat salam dari anaknya ketimbang orang lain, bahkan ketimbang ustadz sang anak sendiri. Namun kenyataannya, seseorang lebih banyak memberi salam kepada orang lain daripada kepada ibunya sendiri. Hendaknya seorang muslim tidak gengsi dalam mengucapkan salam kepada ibunya; karena dengan memberi salam kepada ibunya, menunjukkan kepada sang ibu bahwa anaknya sedang mempelajari sunnah Rasulullah Shallallahu’alahi wasallam yang mulia.

 

Anggota keluarga yang mengenal sunnah membuat suasana kekeluargaan semakin harmonis

Tatkala Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu mengucapkan salam yang lengkap kepada ibunya, maka ibunya pun menjawab dengan salam yang lengkap pula. Ibunya tidak ingin mengurangi salam kepada anaknya karena dia paham akan firman Allah ‘Azza wajalla berikut :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86)

Lihatlah betapa harmonisnya suatu keluarga apabila antara anak dan orang tua saling mengerti sunnah, mereka akan saling mendoakan bahkan bisa saling menasihati.

 

Keantusiasan Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu terhadap ibunya

Sebelum ibunya masuk Islam, Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu sangat antusias untuk mengajak ibunya menerima Islam. Hal ini karena beliau Radhiyallahu’anhu sangat menyayangi ibunya. Tatkala itu, berkali-kali dia menemui ibunya dan mengajaknya masuk Islam namun sang ibu menolak, hingga akhirnya Abu Hurairah Radhyiallahu’anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam agar beliau Shallallahu’alaihi wasallam mendoakan ibunya.

Ia bercerita: “Dahulu aku mengajak ibuku untuk masuk Islam ketika ia masih berbuat kesyirikan. Dan pada suatu hari aku mengajaknya, tapi ia berbicara tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan ucapan yang aku benci, maka itu aku mendatangi Rasulullah sambil menangis.

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah mengajak ibuku untuk masuk Islam, namun ia enggan menerima ajakanku. Dan pada hari ini aku mengajaknya lagi, tapi dia malah berkata tentangmu dengan ucapan yang aku tidak sukai, maka itu doakanlah agar ibu Abu Hurairah mendapat hidayah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berdoa: “Ya Allah, bukakanlah pintu hidayah bagi ibu Abu Hurairah.”

Lalu aku keluar dengan senang hati lantaran doa Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ketika datang aku langsung mendekati pintu rumahku yang masih tertutup, dan ibuku mendengar suara langkah kakiku, ia berkata: “Tetaplah di situ, wahai Abu Hurairah.” Dan aku mendengar kucuran air. Ia melanjutkan: “Ternyata ibuku mandi, kemudian ia mengenakan baju kurung dan memakai jilbab, lalu membuka pintu. Ia berkata: “Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang hak kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Ia berkata: “Aku pun langsung kembali menemui Rasulullah sambil menangis karena saking bahagianya. Aku berkata: “Ya Rasulullah, kabar gembira bagimu, sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan Dia telah memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Lalu beliau memuji dan menyanjung Allah dan berkata dengan perkataan yang baik. Aku berkata lagi: “Wahai Rasulullah, memohonlah kepada Allah untuk menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan mereka dicintai oleh kami.”

Maka beliau berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini -yakni Abu Hurairah- dan ibunya dicintai oleh hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka dicintai olehnya.”

Tidaklah diciptakan seorang mukmin yang mendengar tentang diriku meskipun ia tidak melihatku kecuali ia pasti mencintaiku. (HR. Muslim)

Hendaknya kita bercermin dari perilaku Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu di atas. Beliau senantiasa berusaha agar ibunya mendapat hidayah. Tatkala Allah memberinya hidayah, maka hidup mereka pun menjadi semakin harmonis.

 

Orang yang pertama kali mengucapkan salam

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ، وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

Yang muda hendaklah memberi salam pada yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah memberi salam kepada  orang yang dudukYang sedikit hendaklah memberi salam pada orang yang lebih banyak.” (HR. Bukhari no. 6231)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur : 27)

Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu pada hadits ini datang ke rumah ibunya sebagai orang yang lebih muda dan sekaligus sebagai tamu, oleh karena itu beliaulah yang pertama kali mengucapkan salam.

 

Seorang anak hendaknya selalu mengingat jasa orang tua kepadanya sewaktu kecil

Kasih sayang orang tua kepada anaknya itu memuncak pada saat anaknya masih kecil. Seluruh waktu mereka akan dihabiskan untuk merawat sang anak tatkala itu. Tidak kenal siang dan tidak kenal malam, apabila anak mereka menangis maka mereka akan segera menimang dan menenangkannya. Bahkan mereka kurang tidur pun tak masalah bagi mereka asalkan sang anak tercukupi waktu tidurnya.

Allah ‘Subhanahu wata’ala pun memerintahkan para hambanya untuk mendoakan kedua orang tua mereka karena jasa orang tua mereka kepada mereka sewaktu kecil, maka Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu pun rutin mendoakan ibunya

فيقول: رحمك الله كما ربيتني صغيرا

Abu Hurairah pun berkata : “semoga Allah menyayangimu wahai ibu, sebagaimana engkau menyayangiku di saat aku masih kecil

 

Seorang anak diharapkan baktinya tatkala dia telah dewasa

Saat masih kecil, sang anak tidak bisa banyak membantu kedua orang tuanya, bahkan dia bergantung pada bantuan kedua orang tuanya dalam berbagai hal. Maka tatkala sang anak telah dewasa, bantuannya sangat diharapkan oleh orang tuanya, terutama tatkala orang tua sudah berusia lanjut dan tidak mampu melakukan banyak hal untuk dirinya sendiri. Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu termasuk sahabat yang berbakti kepada ibunya tatkala dia telah dewasa, oleh karenanya sang ibu membalas doanya dengan mengatakan:

فتقول: رحمك الله كما بررتني كبيرا

Ibunya pun menjawab : “semoga Allah juga menyayangimu karena engkau telah berbakti kepadaku di saat engkau besar

 

Wallahu a’lam bish-showab

 

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad

Ustadz Ali Nur, Lc

Sabtu, 18 Dzulhijjah 1438 H / 9 September 2017

Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits ke-11

Bismillah

عن أبي بُرْدَةَ أَنَّهُ شهد ابن عُمَر, ورجل يمانيّ يطوف بالبيت, حمل أُمَّهُ وراء ظهره يقول:

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ –  إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

ثُمَّ قَالَ : ياَ ابْنَ عُمَرَ أَتَرَانِى جَزَيْتُهَا ؟  قَالَ : لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ فَأَتَى الْمَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ : يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ  تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا

صحيح الإسناد

Dari Abu Burdah, ia melihat melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.”

Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu ‘Umar apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik Zafrah (nafas) yang ia keluarkan ketika melahirkan.” Beliau (Ibnu ‘Umar) lalu thawaf dan shalat dua raka’at pada maqam Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.” (HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 11, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari hadits ini:

1. Lelaki tersebut tidak menggendong ibunya secara terpaksa

Lelaki Yaman yang diceritakan hadits di atas sama sekali tidak malu ataupun terpaksa dalam menggendong ibunya, bahkan ia bangga dengan apa yang ia lakukan seraya bersenandung syair:

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ –  إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

“Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.”

 

2. Tidak ada amalan seorang anak yang mampu membalas jasa kedua orang tua

Lelaki itu bertanya kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu apakah amalannya tersebut telah membalas jasa ibunya atau tidak. Maka Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu pun berkata:

لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ

“…tidak, bahkan dengan satu zafrah pun”

Zafrah adalah rasa sakit yang membuat seseorang bernapas tersengal-sengal.

Arti perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu di atas adalah sebesar apapun jasa atau kebaikan sang anak kepada ibunya, maka itu tidak akan cukup untuk membalas satu Zafrah pun yang dirasakan seorang ibu tatkala melahirkan sang anak. Sedangkan rasa sakit itu tidak hanya terjadi sekali pada seorang ibu tatkala melahirkan anaknya, namun berkali-kali.

 

3. Beberapa hukum terkait tawaf

Berbicara tatkala bertawaf itu diperbolehkan. Hal ini ditunjukkan dari percakapan yang terjadi antara lelaki dari Yaman tersebut bersama Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, padahal keduanya sedang tawaf di baitullah. Berhenti sebentar untuk berbicara juga diperbolehkan, sebagaimana yang disebutkan dalam matan hadits di atas:

… ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ…

“…Beliau (Ibnu ‘Umar) lalu thawaf…”

Ini menunjukkan bahwa pada awalnya mereka tawaf, namun saat mereka berbincang-bincang, mereka berhenti sejenak dan setelah perbincangan itu selesai, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu kembali bertawaf.

Namun jika ingin berbicara atau berhenti sejenak, sebaiknya dilakukan saat tawaf dari Hajar Aswad ke Rukun Yamani, dikarenakan adanya doa khusus yang hendaknya dibaca oleh orang yang tawaf dari Rukun Yamani ke Hajar Aswad.

Dari Sahabat Abdullah bin Saib Radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ (رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ)

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam membaca doa (Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa api neraka) antara rukun Yamani dengan rukun Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud 1894 dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Disunnahkan bagi orang yang selesai bertawaf untuk shalat di belakang Maqam Ibrahim. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits di atas; tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu selesai melakukan tawaf, beliau shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim dan berkata:

 يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ  تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا

“Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.” 

Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

“…Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat…”(QS. Al-Baqarah: 125)

 

4. Seorang anak seharusnya tetap berusaha berbakti kepada kedua orang tua

Telah diketahui dari pembahasan hadits di atas maupun hadits sebelumnya, bahwasannya bagi seorang anak untuk membalas jasa kedua orang tuanya itu sangat sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Namun sudah selayaknya bagi seorang anak, terutama yang memiliki akhlak yang baik, untuk senantiasa berusaha membalas jasa orang tuanya, walaupun dia tau itu tidak akan mungkin. Keinginan itu harus tetap ada dan menyala di dalam diri setiap kaum muslimin.

Jadilah seperti lelaki Yaman yang diceritakan hadits di atas. Dia dengan semangat menggendong sang ibu untuk membantunya tawaf. Tatkala bertemu dengan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu, dia bertanya apakah hal yang dilakukannya telah membalas jasa sang ibu kepadanya atau tidak. Hal ini menunjukkan keikhlasannya dan tekadnya yang kuat untuk membalas jasa ibunya kepadanya.

Keburukan apapun yang mereka lakukan terhadap sang anak, maka sang anak tetap wajib membalasnya dengan kebaikan. Walaupun keduanya telah menzhalimi sang anak, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk membalas menzhalimi keduanya.

 

Wallahu a’lam bish-showab

 

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad

Ustadz Ali Nur, Lc

Sabtu, 4 Dzulhijjah 1438 H / 26 Agustus 2017

Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits no. 10

Bismillah

 

عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ عن انَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَل : لاَ يَجْزِى وَلَدٌ وَالِدَهُ إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ

 

Dari Abu Hurairah dari “Rasulullah Shallallhu’alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Seorang anak tidak dapat membalas budi orang tuanya kecuali jika dia menemukannya dalam keadaan diperbudak, lalu dia membelinya kemudian membebaskannya.” 

(HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 10, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Ada beberapa pelajaran yang dapat di tarik dalam pelajaran ini :

1. Seorang anak tidak akan pernah dapat membalas jasa kedua orang tuanya.

Seberapapun besarnya jasa seorang anak untuk kedua orang tuanya, selain hal di atas, maka itu selamanya tidak akan cukup untuk membalas jasa orang tua kepada anak. Melihat keadaan saat ini yang dimana perbudakan itu sudah tidak ada lagi, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada jasa seorang anak yang cukup untuk membalas jasa kedua orang tuanya.

2. Hadits di atas tidak hanya berlaku untuk ayah tetapi juga untuk ibu.

Penyebutan kata “وَالِدَ” pada hadits di atas secara bahasa berarti ayah, namun bukan berarti hadits di atas hanya berlaku untuk ayah saja, melainkan juga berlaku untuk ibu.

Rasulullah Shallallhu’alaihi wasallam bersabda :

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

“Sesungguhnya wanita merupakan saudari kandung bagi laki-laki” (HR. Ahmad (6/277,256), Abu Daud no. 236 dan Tirmizi no. 113)

Artinya adalah hukum untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan. Berarti seorang anak, selain tidak akan bisa membalas jasa ayahnya, dia juga tidak bisa membalas jasa ibunya.

3. Berapa hukum terkait hadits di atas

Pada hadits di atas disebutkan:

“…lalu dia membelinya kemudian membebaskannya.” 

Apakah ini berarti orang tua hanya bisa bebas setelah anak yang membelinya mengikrarkan kemerdekaannya?

Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila seorang anak membeli orang tuanya yang berstatus budak lantas sang anak tidak memerdekakannya, maka orang tua tersebut akan berada di bawah kepemilikan anaknya. Mereka hanya bisa merdeka setelah sang anak memerdekakan keduanya.

Namun jumhur ‘Ulama menegaskan bahwasannya apabila seorang anak membeli seorang hamba sahaya yang merupakan orang tuanya, maka orang tuanya akan langsung berstatus merdeka begitu dibeli anaknya walaupun tanpa niat memerdekakan oleh sang anak. Hal ini dikarenakan tidak boleh bagi seorang anak untuk memiliki orang tuanya sebagai hamba sahaya.

Tidak hanya berlaku untuk orang tua, jumhur berpendapat bahwa hal ini juga berlaku untuk mahram yang berada di atas; yakni orang tua, kakek dan seterusnya, dan mahram yang berada di bawah; yakni anak, cucu, dan seterusnya. Terdapat khilaf di antara para ‘Ulama mengenai hukum tersebut pada mahram yang arahnya ke samping seperti saudara laki-laki dan perempuan.

 

Wallahu a’lam bish-showab

 

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad

Ustadz Ali Nur, Lc

Sabtu, 4 Dzulhijjah 1438 H / 26 Agustus 2017

Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits ke-9

Bismillah

عَنْ عُروَةَ قَالَ : (واخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحمَة) [الإسراء : ٢٤] : لا تمتنع من شيء أحباه

صحيح الإسناد

Dari ‘Urwah : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang” [QS. Al-Isra : 24] : “jangan kalian menghalang-halangi apa saja yang mereka mau” (HR. Bukhari No. 9 dari kitab Al-Adab Al-Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

 

Seorang anak, apakah dia telah menjadi seorang jendral berbintang, seorang mufti, ataupun seorang ustadz, apabila sudah berhadapan dengan orangtua maka dia harus menanggalkan semua gelar itu lalu hendaknya dia merendahkan diri di hadapan keduanya sebagai seorang anak. Ingatlah kisah Haiwah bin Syuraih. Dia adalah seorang ulama besar yang suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya untuk memenuhi permintaan ibunya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Apa saja yang kedua orangtua minta maka penuhilah permintaan itu selama mampu dan tidak bertentangan dengan syariat. Apapun keputusan orangtua atas seorang anak, walaupun itu memberatkan hatinya, maka dalam rangka menaati Allah Subhanahu wata’ala, hendaknya anak itu berlapang dada dalam menerima keputusan itu.

Contoh kasus apabila seorang gadis dilamar oleh seorang lelaki shalih yang dia cintai namun ternyata orangtuanya menolak lamaran lelaki itu. Maka tidak layak bagi sang gadis untuk memrotes keputusan orangtuanya yang telah bertahun-tahun memberi penghidupan baginya. Hendaknya sang gadis meyakini bahwa dengan tidak menghalang-halangi keputusan orangtuanya, dia telah bertakwa kepada Allah ‘Azza wajalla.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hasan. at-Tirmidzi : 1899,  HR. al-Hakim : 7249, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir : 14368, al-Bazzar : 2394)

Apabila dia telah bertakwa kepada-Nya maka percayalah bahwa Allah ‘Azza wajalla pasti akan memberinya jalan keluar, kemudahan rezeki dan urusan yang dipermudah.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Tholaq: 2-3)

 

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا…

“…Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

Bisa jadi Allah ‘Azza wajalla akan mendatangkan untuk gadis itu seorang lelaki yang jauh lebih Shalih dan lebih baik dari lelaki yang sebelumnya.

Marilah kita bersama-sama menaruh perhatian yang kuat dalam hal berbakti kepada keduanya dan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar kita semua dapat berkumpul bersama orangtua-orangtua kita di surga-Nya kelak.

Wallahu a’lam bish-showab

 

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad

Ustadz Ali Nur, Lc

Sabtu, 26 Dzulqa’dah 1438 H / 19 Agustus 2017

Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab Al-Mufrad – Hadits Ke-8

Bismillah

عَنْ طَيْسَلَةَ بنِ مَيَّاسٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.

Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata “Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena durhaka [kepada keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat Ash Shahihah 2898)

Hadits ini memiliki beberapa pelajaran yang dapat ditarik darinya:

1. An-Najdaat merupakan salah satu firqah khawarij.

Seperti sebagian firqah-firqah yang menyimpang, firqah ini dinamai berdasarkan orang yang pertama kali mendirikannya yaitu Najdah bin ‘Amir Al-Khariji, dia memiliki pemahaman khawarij. Salah satu pemikiran menyimpang yang dimiliki Najdah bin ‘Amir adalah ia meyakini bahwasannya setiap pelaku dosa kecil maupun besar telah murtad dan keluar dari Islam, oleh karena itu para pengikutnya tidak boleh mengerjakan dosa apapun. Inilah perlakuan ghuluw yang dilakukan oleh firqah ini karena tidak mungkin seseorang itu luput dari dosa.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Seluruh anak Adam berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat” (HR. Ibnu Maajah no 4241, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Pemikiran mereka jelas bertentangan dengan Agama Islam karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tidak menyatakan bahwa pelaku dosa telah murtad. Pelaku dosa hanya bisa murtad apabila mereka menghalalkan dosa tersebut setelah Allah ‘Azza wajalla dan Rasulnya Shallallahu’alaihi wasallam mengharamkannya.

2. Teman dan lingkungan sekitar sangat berpengaruh terhadap kehidupan agama seseorang.

Karena teman-teman Thaisalah memiliki pemahaman Khawarij Najdah, yang menyatakan kafirnya pelaku dosa kecil dan besar, akhirnya dia pun terpengaruh dan sulit untuk membedakan antara dosa-dosa kecil dan besar. Ini menunjukkan besarnya pengaruh teman terhadap diri seseorang. Pemikiran teman akan memengaruhi pemikiran seseorang, apalagi bila pemikiran tersebut berasal dari teman-teman dekat. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyuruh ummatnya untuk mencari teman yang baik-baik.

Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang dia jadikan teman karib”. (HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ 3545).

Dalam sebuah hadits Rasululah Shallallahu‘alaihi wasallam menjelaskan mengenai peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan : “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”(Fathul Bari 4/324)

Jikalaulah seseorang itu merasa dirinya bukan termasuk orang yang baik, maka hendaknya dia berusaha mencari teman-teman yang baik dengan harapan dia dapat terpengaruh dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh teman-temannya tersebut.

Imam Qatadah Rahimahullahu berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.”(Al Ibanah 2/477 no. 500)

3. Ketika seseorang memiliki masalah dan dia bertanya kepada orang yang tepat, maka itu adalah taufiq dari Allah ‘Azza wajalla.

Betapa banyak orang yang memiliki masalah namun bertanya kepada orang yang salah. Tatkala seseorang ingin menjadi lebih baik, namun apabila dia tidak bertanya pada orang yang tepat, tidak jarang dia jatuh kepada kebid’ahan atau dosa yang jauh lebih buruk.

Seperti kisah seseorang yang pernah membunuh 99 orang dan ingin bertaubat, namun bertanya kepada seorang ahli ‘ibadah yang tidak memiliki ‘ilmu. Ahli ‘ibadah itu mengatakan bahwa orang itu tidak memiliki pintu taubat, maka orang itu pun membunuh sang ahli ‘ibadah dan genaplah orang yang dibunuhnya menjadi 100. (HR. Bukhari dan Muslim no. 2766.)

Salah satu ciri khawarij adalah mereka menjauhkan para pemuda dari ‘Ulama sehingga mereka tidak bertanya kepada para ‘Ulama yang sudah mumpuni ‘ilmunya. Namun demikian, walaupun Thaisalah berteman dengan para khawarij, tatkala Thaisalah memiliki hajat untuk bertanya, Allah Subhanahu wata’ala memberinya taufiq dan menggerakkan hatinya sehingga ia bertanya kepada orang yang paling tepat, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar. Oleh karena itu seseorang hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah untuk diberikan taufiq dalam menimba ‘ilmu agama dan senantiasa bersyukur atas taufiq yang telah dikaruniakan oleh Allah kepadanya.

4. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu tidak membatasi jumlah dosa besar menjadi sembilan.

Perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu sebagai berikut

”…هُنَّ تِسْعٌ…”

“…dosa besar itu ada sembilan…”
Tidak bermaksud membatasi jumlah dosa besar itu hanya sembilan, akan tetapi makna dari perkataan beliau Radhiyallahu’anhu tersebut adalah “…di antara dosa-dosa besar adalah…”

5. Menyakiti hati orang tua sudah cukup bagi seseorang untuk dikatakan sebagai pelaku dosa besar.

Ini adalah perkara yang banyak diremehkan orang-orang. Walaupun terlihat remeh namun sebenarnya ini adalah perkara yang besar di dalam Agama Islam. Allah secara langsung, melalui firman-Nya, memerintahkan para hamba-Nya untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kalian kembali (QS. Luqman : 14)

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil (QS. Al-Isra : 24)

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a “Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk menysukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridlai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (QS. Al-Ahqaaf : 15)

Bahkan Allah ‘Azza wajalla, dalam firman-Nya, menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orangtua kepada perintah untuk mentauhidkan Allah.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya (QS. Al-Isra : 23)

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukanNya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak….. (QS. An-Nisa : 36)

Tauhid adalah perintah yang paling utama untuk dikerjakan oleh setiap hamba dan syirik adalah larangan yang terberat untuk ditinggalkan oleh setiap hamba. Setelah kedua perintah ini, Allah ‘Azza wajalla meneruskan firman-Nya agar para hamba-Nya berbakti kepada kedua orangtua. Ini menunjukkan bahwa, hendaknya seorang muslim menaruh perhatian yang serius dan berhati-hati terhadap perkara ini. Jangan sampai seseorang itu menyakiti hati orangtuanya dengan membantah mereka, membuat mereka khawatir, enggan melakukan perintah mereka walaupun sepele atau karena tidak memerdulikan mereka.

Sudah semestinya kaum muslimin berlomba-lomba untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Gunakanlah setiap kesempatan yang ada untuk mengamalkannya. Perhatikanlah sikap salah satu ‘Ulama terdahulu terhadap orang tuanya. Begitu besarnya perhatiannya terhadap masalah ini.

Haiwah bin Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Diambil dari al-Birr wasilah, karya Ibnu Jauzi)

Haiwah bin Syuraih adalah ‘Ulama besar di kampungnya dan orang-orang berdatangan untuk hadir di pengajiannya. Namun hal itu tidak membuatnya menunda perintah ibunya ketika ibunya menyuruhnya melakukan sesuatu.

6. Berbakti kepada orangtua memiliki beberapa keutamaan.

Perhatikan perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu sebagai berikut:

“…Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.”

Hal di atas menunjukkan keutamaan berbakti kepada orangtua, yang mana keutamaannya adalah terbuka lebarnya pintu surga bagi sang anak. Orangtua, terutama yang sudah tua renta, sangat perlu kepada pertolongan anaknya dan anak sangat perlu untuk bersabar dalam menghadapinya. Permintaan orangtua kadang membuat seorang anak merasa terbebani. Apabila sang anak tidak sabar dalam menghadapinya, maka dia telah menyia-nyiakan pintu surganya namun apabila sang anak senantiasa sabar dalam memenuhi setiap permintaan orangtuanya, maka dapat dipastikan dia akan masuk surga selama dia menjauhi dosa-dosa besar.

7. Berbakti kepada orangtua tidak dapat menghapus dosa besar.

Perkataan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu’anhu pada poin sebelumnya juga menunjukkan bahwa berbakti kepada orangtua ternyata tidak dapat menghapus dosa-dosa besar. Apabila seseorang hendak menghapus dosa-dosa besar yang telah ia lakukan, hendaknya ia melakukan taubat nasuha kepada Allah dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). (QS. At Tahrim: 8)

 

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian rutin Kitab Al-Adab Al-Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 26 Dzulqa’dah 1438 H / 19 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab al-Mufrad – hadits ke-7

عن سعيد القيسي عن ابن عباس قال:
ما من مسلم له والدان مسلمان، يصبح إليهما محتسبا، إلّا فتح الله له بابين – يعني من الجنّة – وإن كان واحدا، فواحد، وإن أغضب أحدهما لم يرض الله عنه حتى يرض عنه، قيل: وإن ظلماه؟ قال: وإن ظلماه.

ضعيف الإسناد، سعيد مجهول

Dari Sa’id Al-Qaisy, dari Ibnu ‘Abbas berkata:

“Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua yang muslim lantas setiap pagi dia berbakti kepada keduanya mengharapkan pahala dari Allah kecuali Allah akan bukakan baginya dua pintu – yakni pintu surga – apabila orang tuanya tinggal satu, maka hanya satu pintu surga, dan jika dia membuat murka salah satunya maka Allah tidak akan ridha kepadanya sampai orang tuanya ridha kepadanya.” Ditanyakan kepadanya “walaupun keduanya menzhalimi si anak?” Ibnu ‘Abbas berkata “walaupun keduanya menzhaliminya”.

Hadits ini dinyatakan dha’if oleh Syaikh Albani Rahimahullahu karena ada perawi yang majhul, yakni Sa’id namun makna hadits ini benar.

Di kehidupan dunia, ada beberapa orang tua yang bersikap zhalim kepada anaknya, bisa jadi karena ketidaktahuannya terhadap syari’at Islam. Namun apakah berarti sang anak boleh membalas kezhaliman mereka? Jawabannya tidak boleh karena hukumnya haram. Begitu juga saat orang tua menaikkan suara kepada anaknya, maka tidak boleh sang anak menjawabnya dengan suara yang sama atau bahkan lebih tinggi.

Selama di dunia, sebagai anak, seorang muslim harus menaati seluruh perintah kedua orangtua. Seorang muslim akan mendapat pahala apabila berbakti kepada keduanya dan mendapat dosa apabila mendurhakainya, kecuali apabila mereka mengajak kepada kesyirikan dan memerintahkan kepada kemaksiatan. Hal ini berlaku juga apabila orangtuanya adalah seorang musyrik.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan Aku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik dan ikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu maka Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu kerjakan” (QS. Luqman : 15)

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

 

Perhatikanlah potret para Salaful Ummah dalam berbakti kepada orangtua mereka

Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka beliau berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “Dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah. (HR. Bukhari)

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi. (dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)

 

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian rutin Kitab Adabul Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 19 Dzulqa’dah 1438 H / 12 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan

Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab al-Mufrad – hadits ke-4

عن ابن عباس، أنه أتاه رجل فقال : إنّي خطبت امرأة فأبت أن تنكحني، وخطبها غيري فأحبت أن تنكحه، فغرت عليها فقتلتها، فهل لي من توبة؟ قال : أمّك حيّة؟ قال : لاو قال : تب إلى الله عز وجل، وتقرب إليه ما استطعت، (قال عطاء بن يسار: ) فذهبت فسألت ابن عباس : لم سألته عن حياة أمّه؟ فقال:

((إنّي لا أعلم عملا أقرب إلى الله عز وجل من برّ الوالدة))

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seseorang mendatanginya lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah meminang seorang wanita dan dia tidak mau menikah denganku. Dan ketika orang lain meminangnya dia mau menikah dengannya. Muncullah kecemburuanku kepadanya, lalu aku membunuhnya. Apakah aku memiliki pintu taubat?” Ibnu ‘Abbas bertanya: “Apakah ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Kalau demikian bertaubatlah kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya sesuai kesanggupanmu.” (‘Atha’ bin Yasar berkata:) Aku pergi dan bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa engkau bertanya tentang ibunya, apakah masih hidup?” Ibnu ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada sebuah amalan yang paling mendekatkan kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia daripada berbuat baik kepada seorang ibu.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad no. 4 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 2799 dan Shahih Al-Adabil Mufrad no.4)

Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari hadits ini:

  1. Seorang wanita boleh saja menolak lamaran seorang lelaki apabila dia memang tidak berminat, walaupun lelaki tersebut baik agama dan akhlaknya.

Untuk diterimanya lamaran seseorang, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah ridha dari wanita yang dilamar. Adapun hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut,

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

Hadits tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang ditolak lamarannya karena bagusnya agama atau keshalihan lelaki tersebut. Bisa saja karena wanita tersebut merasa tidak cukup baik untuk menjadi pasangannya atau alasan lainnya. Apabila karena hal ini lamaran seorang lelaki yang shalih ditolak, maka fitnah dan kerusakan besarlah yang akan terjadi di bumi.

Sebagaimana Fatwa Syaikh Dr. Sholeh al-Fauzan terkait hal tersebut. Beliau pernah ditanya, bolehkah menolak pinangan lelaki shalih karena tidak cinta?

Jawaban beliau,

إذا كنت لا ترغبين الزواج من شخص؛ فلا إثم عليك، ولو كان صالحًا؛ لأن الزواج مبناه على اختيار الزوج الصالح مع الارتياح النفسي إليه ؛ إلا إذا كنت تكرهينه من أجل دينه؛ فإنك تأثمين في ذلك من ناحية كراهة المؤمن، والمؤمن تجب محبته لله ، ولكن لا يلزمك مع محبتك له دينًا أن تتزوجي منه مادمت لا تميلين إليه نفسيًا . والله أعلم

Menolak menikah dengan seseorang, tidak berdosa. Meskipun dia orang shalih. Karena menikah prinsipnya adalah memilih pasangan yang shalih dan adanya rasa cinta dari hati. Kecuali jika anda tidak suka dengannnya karena agamanya. Maka anda berdosa dalam hal ini, karena anda membenci orang mukmin. Sementara orang mukmin wajib dicintai karena Allah. Akan tetapi, anda tidak harus menikah dengannya, selama anda tidak ada rasa cinta. Allahu a’lam. (Al-Muntaqa min Fatawa Dr. Sholeh al-Fauzan, 3/226)

  1. Cemburu itu ada dua jenis:

– Cemburu untuk yang dicintai (الغيرة للمحبوب), yakni cemburu untuk membela yang dicintai.

Contohnya ketika Alquran diinjak-injak oleh seseorang, maka saat itu seorang muslim wajib cemburu terhadap Islam karena ada orang yang telah menginjak-injak harkat dan martabat kaum muslimin dengan menghinakan Alquran.

– Cemburu atas yang dicintai (الغيرة على المحبوب), yakni cemburu ketika ada orang lain mencintai orang yang kita cintai.

Contohnya ketika ada lelaki lain yang mencintai istri seseorang. Di saat itu, seseorang  cemburu karena tidak ingin ada lelaki lain yang mencintai istrinya. Ini adalah jenis kecemburuan yang dirasakan oleh lelaki pada hadits di atas, begitu juga dengan kecemburuan yang dirasakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu’anha.

Anas radhiyallahu’anhu Mengisahkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَرْسَلَتْ أُخْرَى بِقَصْعَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتْ يَدَ الرَّسُولِ، فَسَقَطَتِ الْقَصْعَةُ، فَانْكَسَرَتْ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكِسْرَتَيْنِ فَضَمَّ إِحْدَاهُمَا إِلَى الْأُخْرَى، فَجَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ، وَيَقُولُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berada di rumah salah satu istrinya. Ternyata ada istri beliau yang lain, mengirim makanan kepada beliau. Spontan sang istri yang sedang mendapatkan jatah gilir ini, langsung memukul tangan Rasulullah, jatuhlah piring berisi makanan itu, dan pecah. Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun mengambil serpihan pecahan-pecahan itu, dan beliau kumpulkan. Beliau juga mengumpulkan makanan yang berserakan. Sambil bersabda: “Ibumu sedang cemburu.” (HR. Bukhari, Nasai, dan yang lainnya).

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang memecahkan mangkuk adalah ‘Aisyah Ummul Mu’minin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy. (Fathul Bari 7/149 dan 9/236).

Kecemburuan yang kedua ini adalah sesuatu yang wajar dan dapat timbul pada setiap diri manusia terhadap orang-orang yang dia cintai. Maka kecemburuan lelaki dalam hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidaklah salah, namun yang salah adalah perilakunya yang melewati batas syar’i sehingga membunuh wanita yang dicemburuinya tersebut.

 

  1. Seseorang hendaknya senantiasa bertanya kepada ahli ‘ilmu apabila ada perkara dalam hal agama yang tidak dipahami walaupun sekecil apapun.

Allah ‘azza wajalla berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

  1. Taubat nasuha hendaknya diikuti dengan banyak beramal shalih.

Sebagaimana nasihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu di atas kepada lelaki itu:

تب إلى الله عز وجل، وتقرب إليه ما استطعت

“bertaubatlah kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya sesuai kesanggupanmu”

Karena taubat nasuha tidak cukup walaupun syarat-syaratnya telah terpenuhi, apabila tidak diikuti dengan ber’amal shalih. Hendaknya seseorang itu mengikuti taubatnya dengan perbaikan-perbaikan.

Allah ‘azza wajalla berfirman:

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 5)

Bahkan ‘amal shalih dapat menghapuskan dosa-dosa terdahulu. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda:

…وأتبع السيئة الحسنة تمحها…

“…dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapusnya…” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987)

Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa memperbanyak ‘amal shalih setelah taubatnya dengan harapan Allah subhanahu wata’ala akan menerima taubatnya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً

“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71)

  1. Seorang penuntut ‘ilmu hendaknya mengutamakan adab dalam mengambil ‘ilmu dari seorang ahli ‘ilmu.

Dalam hadits di atas, ‘Atha’ bin Yasar rahimahullahu mendengar percakapan antara Ibnu ‘Abbas radhiyallahu‘anhu dan seorang lelaki mengenai suatu permasalahan.  Beliau mendengarnya hingga sampai kepada suatu pembahasan yang membuatnya penasaran, yaitu tatkala mendengar pertanyaan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu yang menanyakan apakah Ibu lelaki tersebut masih hidup atau tidak. Namun sebagai penuntut ‘ilmu yang beradab, beliau tidak langsung memotong percakapan sang ahli ‘ilmu (yakni Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu), melainkan beliau menunggunya hingga percakapan tersebut selesai.

  1. Seorang penyampai ‘ilmu hendaknya berakhlak dalam menyampaikan ‘ilmu.

Dalam hadits di atas, tatkala ‘Atha’ bin Yasar rahimahullahu bertanya sesuatu kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, beliau radhiyallahu’anhu menjawab:

إنّي لا أعلم عملا أقرب إلى الله عز وجل من برّ الوالدة

“Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada sebuah amalan yang paling mendekatkan kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia daripada berbuat baik kepada seorang ibu”

Di sini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu menjawab sebatas pengetahuannya dengan mengatakan “…aku tidak mengetahui…” yang maknanya ‘setahu saya’, artinya mungkin saja ada amalan lain yang dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, namun beliau radhiyallahu’anhu tidak mengetahuinya.

Apalagi bagi seorang penuntut ‘ilmu yang kadar keilmuannya belum sempurna. Tatkala ada seseorang yang menanyakannya tentang sesuatu dan dia tidak begitu paham, hendaknya dia bersikap sebagaimana sikap Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu di atas karena belum tentu apa yang tidak diketahuinya sudah pasti tidak ada.

 

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian rutin Kitab Adabul Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 19 Dzulqa’dah 1438 H / 12 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan