Allah Memiliki Sifat Qadiim, Daaim, dan Iradah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Imam Ath-Thahawi berkata dalam Aqidah Ath-Thahawiyyah

قديم بلا ابتداء, دائم بلا انتهاء, لا يفنى ولا يَبِيْد

Artinya, “Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Kata (القديم ) dalam bahasa arab adalah lawan dari (الحديث). Syaikh Albani berkata: Qadiim adalah sebutan untuk sesuatu yang baru, yang mana sebelumnya sesuatu telah ada. Jika sesuatu itu tidak ada sebelumnya kemudian dia ada, maka tidak disebut dengan qadiim.

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (Q.S Yaasiin : 39)

, أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ , قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ ,

Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah [75], kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? [76]” (Q.S Asy-Syu’ara’ : 75-76)

Qadiim digunakan sebagai pengkhabaran sifat Allah. Adapun Qadiim terbagi menjadi dua, yaitu Taqaddum Nisbiy dan Taqaddum Mutlaq.

Taqaddum Nisbiy ditujukan kepada makhluk, karena sifat ada mereka sebagiannya mendahului sebagian yang lain. Seperti manusia yang awalnya berbentuk sperma sebelum kemudian terbentuk wujudnya.

Taqaddum Mutlaq ditujukan kepada Allah, karena Dia ada tanpa ada permulaan.

Namun Qadiim ini hanya termasuk sifat Allah dan tidak termasuk ke dalam nama-Nya. Tidak boleh kita mengatakan “Yaa Qaadiim” atau “Yaa Subhaanal Qadiim”, karena tidak pengkhususan nama dalam hal ini. Nama-nama Allah bersifat tauqify dan perlu dalil.

Adapun penyebutan Qadiim dan Daaim bagi Allah tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi Allah menyebutkan: Al-Awwal wal Aakhir, seperti firman Allah taala,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” . (Q.S Al-Hadiid : 3)

Perkataan Imam Ath-Thahawi “dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa” merupakan penguat perkataan beliau sebelumnya, yaitu “dan Dia kekal tanpa ada akhir”.

Sebagaimana kaidah Ahlus Sunnah dalam mensifat sifat Allah yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya

Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Allah kehendaki

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا يكون الا ما يريد

Artinya, “Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Dia kehendaki

Ini menunjukkan sifat iradah (kehendak) Allah. Allah berfirman,

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki” (Q.S Al-Buruuj : 16)

Allah berbuat sesuai dengan yang Dia kehendaki. Dialah pencipta segala sesuatu, dan jika Allah menginginkan terjadi sesuatu, maka hal itu pasti terjadi.

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia.” (Q.S An-Nahl : 40)

Iradah Allah terbagi atas dua, yaitu Iradah Kauniyyah dan Iradah Syar’iyyah.

Iradah kauniyah adalah kehendak Allah yang pasti terjadi. Iradah kauniyah meliputi semuanya, tidak ada yang keluar dari kehendak Allah, baik yang dicintai-Nya maupun yang dibenci-Nya.

Iradah Syar’iyyah adalah kehendak Allah yang belum tentu terjadi. Iradah Syar’iyyah hanya meliputi hal yang dicintai Allah saja. Contoh Iradah Syar’iyyah adalah hidayah yang Allah berikan kepada seorang hamba, tapi diterima atau ditolaknya hidayah tersebut tergantung kepada hamba-Nya itu. Allah berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S Al-Baqarah : 185)

Kedua Iradah ini tidak akan bisa terjadi kecuali tanpa izin Allah, Allah berfirman,

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا, قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ

Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah” (Q.S Al-Hasyr : 5)

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 11 November 2018 / 3 Rabi’ul Awwal 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Kaidah Ahlus Sunnah dalam Menetapkan Sifat Allah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Tidak Ada yang Sama Seperti Dia (Allah)

Melanjutkan perkataan Imam Ath-Thahawi dalam Aqidah Ath-Thahawiyah, beliau berkata

ولا شيء مثله

Artinya: “Tidak ada yang sama seperti Dia (Allah)

Ini adalah kalimat yang menunjukkan penafian bahwa ada yang semisal dengan Allah. Dalil dari hal ini adalah,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Q.S Asy-Syura : 11)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (Q.S Al-Ikhlas : 4)

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

Karena itu janganlan kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (Q.S Al-Baqarah : 22)

Karena tidak ada yang sama seperti Allah, tidak boleh kita mengadakan tandingan bagi Allah, dan tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Ketika seorang mukmin mengimani Allah, maka diwajibkan padanya untuk mengimani kesempurnaan Allah, bahwa tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak boleh mensifatkan Allah seperti makhluk-Nya, dan tidak boleh pula menafikan sifat Allah.

Di antara firqah-firqah sesat yang keliru dalam menetapkan sifat Allah adalah Mu’aththilah dan Musyabbihah. Mu’aththilah, mereka menolak seluruh sifat Allah, sedangkan Musyabbihah, mereka menerima sifat Allah namun mereka samakan sifat Allah dengan sifat makhluk.

Ahlussunnah (dalam menetapkan sifat Allah), mereka berada ditengah dua firqah ini. Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki sifat, namun sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya.

Kemudian kelompok dari kalangan jahmiyah dan mu’tazilah yang mereka menafikan sifat Allah. Pada awalnya, mereka meyakini bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Mereka ingin mensucikan Allah dari tasbih (penyerupaan), namun dikarenakan tidak mengikuti manhaj salaf dalam memahami sifat Allah, akhirnya mereka terjatuh ke dalam bid’ah yang lain, yaitu menolak sifat2 Allah

Ahlussunnah telah membantah mereka. Jika mereka berhujjah untuk menafikan sifat Allah dengan mengatakan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, maka cukuplah ini sebagai dalil bagi mereka Allah punya sifat.

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (Q.S Asy-Syura : 11)

Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, ini adalah sifat Allah.

Dan untuk firqah yang menyamakan sifat Allah, Ahlussunnah pun telah membantah mereka. Allah berfirman

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

Dalil ini menunjukkan Allah bersifat hidup.

يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” (Q.S Ar-Rum : 19)

Dalil ini menunjukkan bahwa makhluk bersifat hidup pula.

Namun apakah sama sifat hidupnya Allah dengan sifat hidupnya makhluk? Tidaklah sama hidupnya Allah dengan hidupnya makhluk. Allah memiliki sifat hidup dengan kesempurnaan-Nya. Dia tidak mati, tidak mengantuk dan tidak tidur. Berbeda dengan hidup makhluk yang penuh dengan kekurangan.

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

(Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur” (Q.S Al-Baqarah : 255)

Tidak ada yang Melemahkan-Nya

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا شيء يعجزه

Yang artinya “Tidak ada yang melemahkan-Nya

Ini adalah penafian dari sifat Allah yang Maha Kuat. Allah berfirman,

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Dan tidaklah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul), padahal orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa” (Q.S Fathir : 44)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikitpun.” (Q.S Qaf : 38)

Kaidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah, ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya.

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak lemah, maka Allah bersifat Maha Kuasa

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak jahil, maka Allah bersifat maha Mengetahui

Tidak Ada Ilah (Sembahan) Selain Allah

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا إله غيره

Yang artinya, “Dan tidak adalah ilah (sembahan) selain Allah

Dan ini adalah kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah). Allah berfirman,

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي

Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (Q.S Thahaa : 14)

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ

(Yunus berkata) Tidak ada tuhan selain Engkau” (Q.S Al-’Anbiya’ : 87)

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia” (Q.S Ali-Imran : 18)

Tidak mengapa bila seorang hamba ingin berzikir kepada Allah, dia menggnakan kata ganti dhamir sebagai pengganti kata Allah. Apabila seorang hamba ingin berzikir kepada Rabb-Nya, maka dia bisa mengatakan “Tidak ada tuhan selain Engkau”, atau “Tidak ada tuhan selain Allah”, atau “Tidak ada tuhan selain Dia”.

Ketika seorang hamba berzikir kepada Rabb-Nya, hendaklah dia menggunakan dzikir yang lengkap. Tidak seperti golongan Sufi yang hanya berzikir dengan mengatkan “Allah… Allah…” atau “Hu.. Hu.. (maksudnya dari kata هو)”. Maka ini adalah cara berzikir yang batil. Dari akal, bahasa, ataupun syariat hal ini adalah hal yang salah. Tidak ada zikir dan keimanan disini, dan tidak memberikan manfaat ketika dilakukan seorang hamba.

Dalam bahasa arab, kata (إله) memiliki wazan (فِعال) yang maknanya (مَفعول), artinya yang di-. Misalnya (كتاب) )tulisan) maknanya (مكتوب) (yang ditulis). Maka (إله) maknanya (مألوه) dari kata (أَله   يأَلَه) yang maknanya (عبد) yang artinya menyembah.

Maka makna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang disembah selain Allah”. Namun makna ini kurang lengkap, yaitu masih kurang tauhid uluhiyahnya. Dan masih ada tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah. Seperti firman Allah dalam surah al-Kaafirun

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ , لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” (Q.S Al-Kafirun : 1-2).

Maka makna yang sempurna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ بحق إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah”

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 28 Oktober 2018 / 19 Safar 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Dalam pembagian tauhid, sebagian ahlussunnah membagi tauhid menjadi 3 jenis, dan sebagian lagi membagi tauhid menjadi 2 jenis.

Pembagian Tauhid Menjadi 3 Jenis

Mereka yang membagi tauhid menjadi 3 jenis adalah; tauhid rububiyah, tauhid ibadah (uluhiyah) dan tauhid asma wa shifat.

Tauhid rububiyah maknanya: mentauhidkan Allah dalam ke-rububiyahan-nya. Allah-lah yang mengatur seluruh alam, seperti menciptakan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Dan tidak ada kesyirikan dalam af’al (perbuatan) Allah.

Tauhid uluhiyah ialah: mengesakan Allah dalam beribadah. Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia.

Tauhid asma wa shifat ialah: menetapkan bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi. Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan dan kaki, seperti pada dalil-dalil berikut.

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” (Q.S Az-Zumar: 67).

“(Neraka) jahanam masih saja berkata, ‘apakah ada tambahan; hingga akhirnya Tuhan Pemilik Kemuliaan meletakkan kaki-Nya, kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat.”(H.R Bukhari dan Muslim)

Allah bersifat memiliki tangan dan kaki, tetapi tangan Allah tidaklah sama dengan tangan makhluk dan kaki Allah tidaklah sama dengan kaki makhluk. Tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk dan tidak boleh kita nafikan sifat yang dimiliki Allah. Dan sifat-sifat Allah (tangan, kaki) tidak bisa kita bayangkan atau kita perumpamakan.

Pembagian Tauhid Menjadi 2 Jenis

Ulama yang membagi tauhid menjadi 2 bagian, yaitu tauhid ma’rifah wa itsbat dan tauhid ilahiyah.

Tauhid ma’rifah wa itsbat (atau disebut juga tauhid fii ‘ilmi wa qauli atau tauhid ‘ilmi wa khabari) meliputi dua tauhid, yaitu tauhid rububiyah dan tauhid asma wa shifat. Kedua tauhid ini berkaitan dengan ‘ilmu, dan dalil yang menjelaskan kedua tauhid ini sifatnya khabar/informasi.

Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa (1). Allah tempat meminta segala sesuatu (2). (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3). Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (4).” (Q.S Al-Ikhlash : 1-4)

Tauhid ilahiyah (disebut juga tauhid ibadah, atau tauhid iradah walqasdi wal ‘amali, atau tauhid thalabii) meliputi tauhid uluhiyah. Dalil yang menjelaskan tauhid ini bersifat perintah (insyaa’). Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Q.S An-Nisa: 36).

Pembagian-pembagian tauhid ini dilakukan oleh ulama ahlussunnah dengan menggunakan nash-nash syar’i.

Faedah Membagi Tauhid Menjadi Beberapa Bagian

Diantara ahli bid’ah ada yang mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi beberapa bagian ini adalah bid’ah. Perkataan mereka (para ahli bid’ah) ini adalah perkataan yang bathil. Memang benar bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada pembagian tauhid. Namun berdasarkan penelitian para ulama dari dalil Alquran maupun Sunnah, mereka membagi tauhid ini menjadi tiga untuk memudahkan kaum muslimin untuk memahami tauhid. Sebaik-baik ungakapan ialah ungkapan yang pernah dibuat oleh ahli fiqih (ulama). Sebagai contoh yaitu sholat, mereka membaginya menjadi rukun, wajib, dan sunnah. Contoh lain misalnya adalah pembelajaran yang terbagi menjadi tafsir, aqidah, dan fiqih. Pembagian ini tidak dikenal pada zaman dahulu, namun para ulama membagi-bagi hal ini untuk memudahkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Pembagian ini pun bukan sembarangan, akan tetapi didasari oleh dalil dan nash-nash syar’i.

Pembagian tauhid menjadi beberapa bagian memiliki faedah. Faedah yang pertama, pembagian tauhid memudahkan para penuntut ilmu memahami tauhid. Faedah yang kedua, pembagian tauhid menunjukkan bahwa hanya meyakini tauhid rububiyah saja tidak memasukkan seseorang kedalam Islam. Sebagaimana orang kafir quraisy yang meyakini kerububiyahan Allah, Allah berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. Maka mereka akan menjawab, “Allah.”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa?” (Q.S Yunus: 31).

Mereka (kafir quraisy) meyakini kerububiyahan Allah, tetapi mereka tidak hanya menyembah Allah dan mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah. Keyakinan mereka terhadap rububiyah Allah saja, tanpa disertai tauhid uluhiyah, tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam.

Kebathilan dalam Membagi Tauhid

Pembagian tauhid yang batil pernah dilakukan oleh orang-orang yang menyelisihi ahlussunnah. Seperti ahli kalam (filsafat) membagi tauhid menjadi tauhid Dzat, tauhid shifat, dan tauhid af’al. Mereka mengatakan bahwa Dzat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Shifat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Dan af’al Allah tunggal, tidak ada yang sepertinya. Pembagian tauhid ini adalah pembagian yang bathil. Penjelasannya tentang kesesatan pembagian ini cukup panjang, namun Syaikh Al-Baraak memberi kesimpulan bahwa: Kebathilan pembagian ini adalah mereka tidak memasukkan tauhid ibadah ke dalam pembagian tauhid mereka. Selain itu mereka memasukkan sifat Allah ke dalam pembagian mereka untuk menafikan sifat Allah. Sedangkan Ahlussunnah meyakini sifat Allah dan sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk.

Pembagian bathil lain misalnya adalah, pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat, dan hakimiyah. Pembagian ini dilakukan oleh orang-orang khawarij. Mereka menambahkan tauhid hakimiyah, dengan tujuan mengkafirkan orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Wallahu a’lam bishshawab

Masjid at-Taubah Prona, 21 Oktober 2018 / 12 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Muqaddimah Aqidah Ath-Thhawiyyah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Muqaddimah

Berkata Abu Ja’far Al-Waraaq Ath-Thahawi rahimahullah:

“Ini adalah penjelasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah di atas mazhab para fuqaha agama ini: Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kuufi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibanii -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama dan mereka beragama kepada Rabbul ‘aalamiin.”

Yang dimaksud beliau adalah aqidah Imam Abu Hanifah adalah seperti apa yang beliau tulis di buku ini. Imam Abu Hanifah memiliki aqidah ahlussunnah wal jamaah dan berada di atas mazhab yang lurus, dan aqidah beliau menyelisihi aqidah-aqidah sesat yang ada (qadariyah, mu’tazhilah, jahmiyah, dll).

Ketika beliau berkata “…dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama…”, yang dimaksud dengan pokok agama adalah: enam pokok iman, (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar), dan juga lima pokok islam (persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji).

Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih

Sebagian ulama memutlakkan ushuluddin dengan pembahasan i’tiqad atau aqidah saja, dan fiqih sebagai pembahasan furu’. Sebenarnya hal itu tidaklah demikian. Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih (amaliyah). Permasalahan aqidah seperti ushul sittah (rukun iman) dan permasalahan Fiqih seperti sholat, zakat dll, keduanya termasuk ke dalam pembahasan ushuluddin dan tidak boleh dipisahkan. Masing2 memiliki ushul dan furu’. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengingkari pemisahan ini. Karena aqidah memiliki ushul dan fiqih pun memiliki ushul.

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata “Kami berkata tentang tauhid Allah, kami meyakininya dengan taufiq-Nya: Sesungguhnya Allah itu esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yg serupa seperti-Nya, dan tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada sembahan selain Dia.”

Ahlussunnah meyakini Allah itu Esa

Yang dimaksud kami pada kalimat “Kami berkata…” maksudnya adalah Ahlussunnah. “Sesungguhnya Allah itu esa…”, ini adalah bentuk itsbat (penetapan), dan kalimat “…tidak ada sekutu bagi-Nya…” ini maksudnya adalah nafii (penafian). Syaikh Al-Albani berkata, “2 rukun di dalam kata laailaaha illallah, ialah (nafi) penafian dan (itsbat) penetapan. 2 rukun ini haruslah ada dalam setiap diri seorang muslim. Maksud penafian yaitu dia menafikan tuhan-tuhan yang lain, dan penetapan yaitu dia menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah”.

Allah mentauhidkan diri-Nya maksudnya Allah mensucikan dirinya. Allah itu ahad (satu) di dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mentauhidkan Allah di dalam 3 hal ini.

Menafikan 3 hal di atas akan membawa diri seseorang ke dalam kesesatan bahkan kekufuran. Diantara bentuk menafikan rububiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Qadariyah, mereka menafikan bahwa Allah mengetahui/menciptakan perbuatan buruk makhluknya. Mereka ini seperti kaum Majusi yang meyakini tuhan mereka ada 2, yaitu tuhan cahaya (yang menciptakan kebaikan) dan tuhan kegelapan (yang menciptakan keburukan). Diantara bentuk menafikan uluhiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Sufi, mereka meyembah Allah bersamaan dengan menyembah makhluk-Nya. Mereka ber-istighasah kepada para Nabi, orang shalih, wali, syaikh, dan menjadikan mereka sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah. Dan diantara bentuk menafikan asma wa shifat Allah, adalah dengan mensifati Allah sama dengan sifatnya makhluk.

Syaikh Al-Baraak berkata: “Tauhid adalah hal yg pertama sekali diyakini dan dipelajari,”. Inilah cara beragama yang benar. Tidak seperti orang-orang filsafat yang menjadikan nadzhar (penelitian/berfikir tentang ayat 2 Allah) sebagai hal yg pertama sekali. Mereka memikirkan ayat-ayat Allah terlebih dahulu sebelum meyakini-Nya. Seharusnya kita meyakininya terlebih dahulu kemudian setelah itu berfikir. Memang baik jika kita berfikir atau membahas ayat-ayat Allah tapi hal itu bukanlah yang pertama. Yang pertama adalah mengimaninya kemudian memikirkannya, maka dengan begitu hal ini akan menguatkan keimanan kita.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 14 Oktober 2018/ 5 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Biografi Imam Ath-Thahawi dan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Biografi Imam Ath-Thahawi

Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salmah bin Abdul Malik al-Azady al-Mishri ath-Thahawi. Nama kunyah beliau adalah Abu Ja’far. Beliau lahir di Thaha, sebuah kampung kecil di Mesir. Sebagian ulama berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 239 H, sebagian lagi berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 238 H. Namun, yang rajih ialah beliau lahir pada tahun 239 H. Diantara guru beliau adalah Yunus bin Abdul A’la, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dan Ahmad bin Abi ‘Imran. Beliau juga belajar dari paman beliau, Imam al-Muzaani (pengarang Syahrus Sunnah, murid langsung imam Syafi’i). Imam Ath-Thahawi berangkat ke Syam, dan belajar pada Abdul Hamid bin Abdul Aziz. Di Syam, beliau banyak belajar dari ahli hadits.

Awalnya bermazhab Syafi’i lalu berpindah ke mazhab Hanafi

Pada awalnya Imam ath-Thahawi bermazhab Syafi’i. Kemudian beliau berpindah ke mazhab Hanafi. Hal ini dikarenakan pada suatu ketika Imam Ath-Thahawi bertanya suatu hal kepada Imam Al-Muzaani (Imam Al-Muzaani bermazhab Syafi’i). Namun beliau kurang puas terhadap jawaban yang diberikan Imam Al-Muzaani, sehingga Imam Al-Muzaani marah kepada beliau dan berkata “Demi Allah, kau tidak akan mendapatkan apapun”. Beliau pun marah dan tersinggung, kemudian beliau pergi ke majelis Ibnu Abi Imran. Ibnu Abi Imran adalah seorang yang bermazhab Hanafi. Beliaulah yang berperan dalam perubahan mazhab Imam Ath-Thahawi. Adapun perubahan mazhab ini hanya dalam hal fiqih, dan bukan dalam hal aqidah.

Pujian ulama kepada beliau

  • Ibnu Yunus berkata: “Beliau adalah orang yang tsiqah, faqih, cerdas dan tidak ada yang seperti beliau.”
  • Imam Al-Khalili berkata: “Beliau memiliki banyak karangan dalam perkara hadits, dan beliau termasuk ahli hadits.”
  • Imam Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah seorang muhaddits di Mesir, dan juga merupakan ahli fiqih.”
  • Imam Ibnu Katsir berkata: “Beliau adalah orang faqih, bermazhab Hanafi, dan memiliki karangan yang banyak.”

Imam Ath-Thahawi wafat di Mesir, pada malam kamis di bulan Dzulqa’idah, pada tahun 321 H.

Biografi Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Beliau bernama ‘Abdurrahman bin Nashir bin Baraak bin Ibrahim Al-Baraak. Beliau lahir di negeri Bukairiyyah, sebuah daerah di Qashim, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 1352 H. Ayah beliau wafat pada saat beliau berumur 1 tahun, lalu kemudian beliau tinggal di rumah pamannya bersama ibunya, dan beliau diajari agama dengan baik. Pada saat berumur 5 tahun, beliau safar bersama ibunya ke Makkah, lalu ibunya menikah dengan Muhammad bin Mahmud al-Barrak. Di usia 5/6/7 tahun, beliau sekolah di ar-Rahmaniyyah, dan pada saat kelas 2, Allah menakdirkan mata beliau menjadi buta, Pada saat itu beliau berumur 10 tahun.

Setelah Syaikh ‘Abdurrahman menyelesaikan sekolahnya (pada saat berumur belasan tahun), beliau kembali ke kampungnya. Beliau lalu menghafal al-qur’an bersama pamannya. Setelah selesai menghafal al-qur’an, beliau belajar bersama muqri’ (ahli qira’ah) di kampungnya. Pada tahun 1364/1365 H beliau mulai belajar dengan ulama di tempatnya. Beliau belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah as-Sabiil, beliau belajar [Kitab at-Tauhid] dan [Al-Jurumiyyah]. Kemudian kepada Syaikh Muhammad bin Muqbil, beliau belajar [ats-Tsalatsah al-Ushul].

Safar & Menetap di Mekkah selama 3 tahun

Kemudian Syaikh ‘Abdurrahman safar ke Mekkah pada tahun 1366 H dan menetap disana selama 3 tahun. Beliau mempelajari [Al-Jurumiyah] kepada imam besar Masjidil Haram, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Khalifi. Disini beliau bertemu dengan murid-murid besar Syaikh Muhammad bin Ibrahim, diantaranya: Syaikh Shalih bin Husain al-’Ali al-’Iraqi, teman dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ketika Syaikh al-’Iraqi diangkat sebagai Mudir Madrasah ‘Azizah di negeri Dalm, beliau ingin membawa Syaikh ‘Abdurrahman bersamanya, agar mereka belajar kepada Syaikh bin Baz yg pada saat itu menjabat sebagai Qhadhi Dalm. Maka Syaikh ‘Abdurrahman safar pada tahun 1369 H, dan masuk ke Madrasah al Azizah. Disini beliau belajar kitab [Qawa’id Tajwid], dan pada tahun ini juga beliau melaksanakan haji. Setelah pulang beliau keluar dari Madrasah ‘Azizah, dan beliau bermulazamah bersama Syaikh bin Baz untuk mengfal matan-matan.

Syaikh ‘Abdurrahman tinggal di kota Dalm bersama Syaikh al-’Iraqi. Syaikh al-’Iraqi lah yang mengasuh beliau, dan disini beliau menghafal kitab [at-Tauhid], [al-Ushul ats-Tsalatsah], [al-Ajurumiyyah], [Qatrun Nida], dan [Alfiyah Ibnu Malik], dan Alfiyah Al’Iraqy dalam ilmu hadits. Beliau tinggal di kota Dalm sampai akhir tahun 1370 H.

Menuntut Ilmu Ma’had ‘Ilmi Riyadh

Kemudian ketika Ma’had ‘Ilmi dibuka di Riyadh pada tahun 1370 H, banyak murid Syaikh bin Baz yang masuk ke dalamnya. Maka Syaikh ‘Abdurrahman ikut masuk ke Ma’had ‘Ilmi, dan beliau mulai belajar pada bulan Muharram tahun 1371 H. Di Ma’had ‘Ilmi terdapat 2 marhalah (tingkat), tingkat pertama adalah Tamhidi (persiapan untuk pemula) dan Tsanawi (lanjutan). Saat itu tingkat tsanawi berlangsung selama 4 tahun, dan beliau selesai pada tahun 1374 H. Kemudian beliau melanjutkan ke Kuliah Syari’ah dan selesai pada tahun 1378 H. Pada saat kuliah beliau belajar kepada Syaikh bin Baz dan Muhammad Amin al-Syanqiti. Beliau belajar tafsir dan ushul fiqih pada mereka berdua.

Dan guru Syaikh ‘Abdurrahman yang paling besar pengaruhnya pada dirinya ialah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Beliau belajar kepada Syaikh bin Baz selama 50 tahun, dari tahun 1369 H sampai Syaikh bin Baz wafat pada tahun 1420 H. Dan Syaikh al-’Iraqi.

Diantara pekerjaan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak, beliau pernah menjadi mudir di Ma’had ‘Ilmi selama 3 tahun pada tahun 1379 H. Beliau kemudian dipindahkan untuk mengajar ke Kuliah Syari’ah pada tahun 1379 H dan disana beliau mengajar ilmu syari’ah. Ketika kuliah ushuluddin, beliau juga mengajar di ushuddin. Beliau memiliki karangan kitab diantaranya kitab aqidah dan mazhab-madzhab kontemporer. Pada tahun 1420 H, beliau keluar dari Kuliah Syari’ah dan beliau lebih sibuk berdakwah dan mengadakan ta’lim di masjid-masjid.

Sering di ajak Syaikh bin Baz Untuk ikut bergabung ke dalam Dewan Fatwa

Syaikh bin Baz sering mengajak Syaikh ‘Abdurrahman untuk ikut bergabung ke dalam dewan fatwa namun beliau selalu menolak. Namun beliau pernah masuk ke dewan fatwa untuk sementara, dimana saat itu Syaikh bin Baz sedang pergi ke Thaif. Setelah Syaikh bin Baz wafat, mufti saudi sekarang yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh pernah meminta Syaikh ‘Abdurrahman untuk masuk ke dalam Lajnah Daimah, namun Syaikh ‘Abdurrahman pun kembali menolak. Inilah bentuk ke-tawadhu-an beliau.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 9 Oktober 2018/ 28 Muharram 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala