Muqaddimah Aqidah Ath-Thhawiyyah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Muqaddimah

Berkata Abu Ja’far Al-Waraaq Ath-Thahawi rahimahullah:

“Ini adalah penjelasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah di atas mazhab para fuqaha agama ini: Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kuufi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibanii -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama dan mereka beragama kepada Rabbul ‘aalamiin.”

Yang dimaksud beliau adalah aqidah Imam Abu Hanifah adalah seperti apa yang beliau tulis di buku ini. Imam Abu Hanifah memiliki aqidah ahlussunnah wal jamaah dan berada di atas mazhab yang lurus, dan aqidah beliau menyelisihi aqidah-aqidah sesat yang ada (qadariyah, mu’tazhilah, jahmiyah, dll).

Ketika beliau berkata “…dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama…”, yang dimaksud dengan pokok agama adalah: enam pokok iman, (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar), dan juga lima pokok islam (persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji).

Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih

Sebagian ulama memutlakkan ushuluddin dengan pembahasan i’tiqad atau aqidah saja, dan fiqih sebagai pembahasan furu’. Sebenarnya hal itu tidaklah demikian. Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih (amaliyah). Permasalahan aqidah seperti ushul sittah (rukun iman) dan permasalahan Fiqih seperti sholat, zakat dll, keduanya termasuk ke dalam pembahasan ushuluddin dan tidak boleh dipisahkan. Masing2 memiliki ushul dan furu’. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengingkari pemisahan ini. Karena aqidah memiliki ushul dan fiqih pun memiliki ushul.

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata “Kami berkata tentang tauhid Allah, kami meyakininya dengan taufiq-Nya: Sesungguhnya Allah itu esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yg serupa seperti-Nya, dan tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada sembahan selain Dia.”

Ahlussunnah meyakini Allah itu Esa

Yang dimaksud kami pada kalimat “Kami berkata…” maksudnya adalah Ahlussunnah. “Sesungguhnya Allah itu esa…”, ini adalah bentuk itsbat (penetapan), dan kalimat “…tidak ada sekutu bagi-Nya…” ini maksudnya adalah nafii (penafian). Syaikh Al-Albani berkata, “2 rukun di dalam kata laailaaha illallah, ialah (nafi) penafian dan (itsbat) penetapan. 2 rukun ini haruslah ada dalam setiap diri seorang muslim. Maksud penafian yaitu dia menafikan tuhan-tuhan yang lain, dan penetapan yaitu dia menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah”.

Allah mentauhidkan diri-Nya maksudnya Allah mensucikan dirinya. Allah itu ahad (satu) di dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mentauhidkan Allah di dalam 3 hal ini.

Menafikan 3 hal di atas akan membawa diri seseorang ke dalam kesesatan bahkan kekufuran. Diantara bentuk menafikan rububiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Qadariyah, mereka menafikan bahwa Allah mengetahui/menciptakan perbuatan buruk makhluknya. Mereka ini seperti kaum Majusi yang meyakini tuhan mereka ada 2, yaitu tuhan cahaya (yang menciptakan kebaikan) dan tuhan kegelapan (yang menciptakan keburukan). Diantara bentuk menafikan uluhiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Sufi, mereka meyembah Allah bersamaan dengan menyembah makhluk-Nya. Mereka ber-istighasah kepada para Nabi, orang shalih, wali, syaikh, dan menjadikan mereka sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah. Dan diantara bentuk menafikan asma wa shifat Allah, adalah dengan mensifati Allah sama dengan sifatnya makhluk.

Syaikh Al-Baraak berkata: “Tauhid adalah hal yg pertama sekali diyakini dan dipelajari,”. Inilah cara beragama yang benar. Tidak seperti orang-orang filsafat yang menjadikan nadzhar (penelitian/berfikir tentang ayat 2 Allah) sebagai hal yg pertama sekali. Mereka memikirkan ayat-ayat Allah terlebih dahulu sebelum meyakini-Nya. Seharusnya kita meyakininya terlebih dahulu kemudian setelah itu berfikir. Memang baik jika kita berfikir atau membahas ayat-ayat Allah tapi hal itu bukanlah yang pertama. Yang pertama adalah mengimaninya kemudian memikirkannya, maka dengan begitu hal ini akan menguatkan keimanan kita.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 14 Oktober 2018/ 5 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala