Ringkasan Kajian Kitab Al-Adab al-Mufrad – hadits ke-4

Ringkasan Kajian Al-Adab al-Mufrad

عن ابن عباس، أنه أتاه رجل فقال : إنّي خطبت امرأة فأبت أن تنكحني، وخطبها غيري فأحبت أن تنكحه، فغرت عليها فقتلتها، فهل لي من توبة؟ قال : أمّك حيّة؟ قال : لاو قال : تب إلى الله عز وجل، وتقرب إليه ما استطعت، (قال عطاء بن يسار: ) فذهبت فسألت ابن عباس : لم سألته عن حياة أمّه؟ فقال:

((إنّي لا أعلم عملا أقرب إلى الله عز وجل من برّ الوالدة))

Dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seseorang mendatanginya lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah meminang seorang wanita dan dia tidak mau menikah denganku. Dan ketika orang lain meminangnya dia mau menikah dengannya. Muncullah kecemburuanku kepadanya, lalu aku membunuhnya. Apakah aku memiliki pintu taubat?” Ibnu ‘Abbas bertanya: “Apakah ibumu masih hidup?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Kalau demikian bertaubatlah kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya sesuai kesanggupanmu.” (‘Atha’ bin Yasar berkata:) Aku pergi dan bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Kenapa engkau bertanya tentang ibunya, apakah masih hidup?” Ibnu ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada sebuah amalan yang paling mendekatkan kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia daripada berbuat baik kepada seorang ibu.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad no. 4 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 2799 dan Shahih Al-Adabil Mufrad no.4)

Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari hadits ini:

  1. Seorang wanita boleh saja menolak lamaran seorang lelaki apabila dia memang tidak berminat, walaupun lelaki tersebut baik agama dan akhlaknya.

Untuk diterimanya lamaran seseorang, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah ridha dari wanita yang dilamar. Adapun hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut,

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

Hadits tersebut menceritakan tentang seorang lelaki yang ditolak lamarannya karena bagusnya agama atau keshalihan lelaki tersebut. Bisa saja karena wanita tersebut merasa tidak cukup baik untuk menjadi pasangannya atau alasan lainnya. Apabila karena hal ini lamaran seorang lelaki yang shalih ditolak, maka fitnah dan kerusakan besarlah yang akan terjadi di bumi.

Sebagaimana Fatwa Syaikh Dr. Sholeh al-Fauzan terkait hal tersebut. Beliau pernah ditanya, bolehkah menolak pinangan lelaki shalih karena tidak cinta?

Jawaban beliau,

إذا كنت لا ترغبين الزواج من شخص؛ فلا إثم عليك، ولو كان صالحًا؛ لأن الزواج مبناه على اختيار الزوج الصالح مع الارتياح النفسي إليه ؛ إلا إذا كنت تكرهينه من أجل دينه؛ فإنك تأثمين في ذلك من ناحية كراهة المؤمن، والمؤمن تجب محبته لله ، ولكن لا يلزمك مع محبتك له دينًا أن تتزوجي منه مادمت لا تميلين إليه نفسيًا . والله أعلم

Menolak menikah dengan seseorang, tidak berdosa. Meskipun dia orang shalih. Karena menikah prinsipnya adalah memilih pasangan yang shalih dan adanya rasa cinta dari hati. Kecuali jika anda tidak suka dengannnya karena agamanya. Maka anda berdosa dalam hal ini, karena anda membenci orang mukmin. Sementara orang mukmin wajib dicintai karena Allah. Akan tetapi, anda tidak harus menikah dengannya, selama anda tidak ada rasa cinta. Allahu a’lam. (Al-Muntaqa min Fatawa Dr. Sholeh al-Fauzan, 3/226)

  1. Cemburu itu ada dua jenis:

– Cemburu untuk yang dicintai (الغيرة للمحبوب), yakni cemburu untuk membela yang dicintai.

Contohnya ketika Alquran diinjak-injak oleh seseorang, maka saat itu seorang muslim wajib cemburu terhadap Islam karena ada orang yang telah menginjak-injak harkat dan martabat kaum muslimin dengan menghinakan Alquran.

– Cemburu atas yang dicintai (الغيرة على المحبوب), yakni cemburu ketika ada orang lain mencintai orang yang kita cintai.

Contohnya ketika ada lelaki lain yang mencintai istri seseorang. Di saat itu, seseorang  cemburu karena tidak ingin ada lelaki lain yang mencintai istrinya. Ini adalah jenis kecemburuan yang dirasakan oleh lelaki pada hadits di atas, begitu juga dengan kecemburuan yang dirasakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu’anha.

Anas radhiyallahu’anhu Mengisahkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَرْسَلَتْ أُخْرَى بِقَصْعَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتْ يَدَ الرَّسُولِ، فَسَقَطَتِ الْقَصْعَةُ، فَانْكَسَرَتْ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكِسْرَتَيْنِ فَضَمَّ إِحْدَاهُمَا إِلَى الْأُخْرَى، فَجَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ، وَيَقُولُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berada di rumah salah satu istrinya. Ternyata ada istri beliau yang lain, mengirim makanan kepada beliau. Spontan sang istri yang sedang mendapatkan jatah gilir ini, langsung memukul tangan Rasulullah, jatuhlah piring berisi makanan itu, dan pecah. Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun mengambil serpihan pecahan-pecahan itu, dan beliau kumpulkan. Beliau juga mengumpulkan makanan yang berserakan. Sambil bersabda: “Ibumu sedang cemburu.” (HR. Bukhari, Nasai, dan yang lainnya).

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang memecahkan mangkuk adalah ‘Aisyah Ummul Mu’minin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy. (Fathul Bari 7/149 dan 9/236).

Kecemburuan yang kedua ini adalah sesuatu yang wajar dan dapat timbul pada setiap diri manusia terhadap orang-orang yang dia cintai. Maka kecemburuan lelaki dalam hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidaklah salah, namun yang salah adalah perilakunya yang melewati batas syar’i sehingga membunuh wanita yang dicemburuinya tersebut.

 

  1. Seseorang hendaknya senantiasa bertanya kepada ahli ‘ilmu apabila ada perkara dalam hal agama yang tidak dipahami walaupun sekecil apapun.

Allah ‘azza wajalla berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

  1. Taubat nasuha hendaknya diikuti dengan banyak beramal shalih.

Sebagaimana nasihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu di atas kepada lelaki itu:

تب إلى الله عز وجل، وتقرب إليه ما استطعت

“bertaubatlah kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya sesuai kesanggupanmu”

Karena taubat nasuha tidak cukup walaupun syarat-syaratnya telah terpenuhi, apabila tidak diikuti dengan ber’amal shalih. Hendaknya seseorang itu mengikuti taubatnya dengan perbaikan-perbaikan.

Allah ‘azza wajalla berfirman:

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 5)

Bahkan ‘amal shalih dapat menghapuskan dosa-dosa terdahulu. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda:

…وأتبع السيئة الحسنة تمحها…

“…dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya ia akan menghapusnya…” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987)

Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa memperbanyak ‘amal shalih setelah taubatnya dengan harapan Allah subhanahu wata’ala akan menerima taubatnya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً

“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71)

  1. Seorang penuntut ‘ilmu hendaknya mengutamakan adab dalam mengambil ‘ilmu dari seorang ahli ‘ilmu.

Dalam hadits di atas, ‘Atha’ bin Yasar rahimahullahu mendengar percakapan antara Ibnu ‘Abbas radhiyallahu‘anhu dan seorang lelaki mengenai suatu permasalahan.  Beliau mendengarnya hingga sampai kepada suatu pembahasan yang membuatnya penasaran, yaitu tatkala mendengar pertanyaan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu yang menanyakan apakah Ibu lelaki tersebut masih hidup atau tidak. Namun sebagai penuntut ‘ilmu yang beradab, beliau tidak langsung memotong percakapan sang ahli ‘ilmu (yakni Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu), melainkan beliau menunggunya hingga percakapan tersebut selesai.

  1. Seorang penyampai ‘ilmu hendaknya berakhlak dalam menyampaikan ‘ilmu.

Dalam hadits di atas, tatkala ‘Atha’ bin Yasar rahimahullahu bertanya sesuatu kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, beliau radhiyallahu’anhu menjawab:

إنّي لا أعلم عملا أقرب إلى الله عز وجل من برّ الوالدة

“Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada sebuah amalan yang paling mendekatkan kepada Allah yang Maha Agung dan Mulia daripada berbuat baik kepada seorang ibu”

Di sini, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu menjawab sebatas pengetahuannya dengan mengatakan “…aku tidak mengetahui…” yang maknanya ‘setahu saya’, artinya mungkin saja ada amalan lain yang dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, namun beliau radhiyallahu’anhu tidak mengetahuinya.

Apalagi bagi seorang penuntut ‘ilmu yang kadar keilmuannya belum sempurna. Tatkala ada seseorang yang menanyakannya tentang sesuatu dan dia tidak begitu paham, hendaknya dia bersikap sebagaimana sikap Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu di atas karena belum tentu apa yang tidak diketahuinya sudah pasti tidak ada.

 

Wallahu a’lam bish-showab

Kajian rutin Kitab Adabul Mufrad
Ustadz Ali Nur, Lc
Sabtu, 19 Dzulqa’dah 1438 H / 12 Agustus 2017
Masjid Dakwah USU, Medan