Tauhid Rububiyyah – 01

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

(05 – Serial Aqidah)

 

TAUHID RUBUBIYYAH – 01

Berbicara tentang tauhid tidak akan lepas pembicaraan tersebut dari pembahasan Tauhid Rububiyyah. Tauhid inilah yang pertama kali harus diyakini dan diimani oleh seorang muslim.

– Makna Tauhid Rububiyyah ialah : Mengimani adanya Allah Ta’ala, dan Dialah Allah yang Maha menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur segala sesuatu. Tidak ada satupun sekutu bagi Allah Ta’ala.

– Tauhid Rububiyyah mencakup dua hal :

1. Mengimani adanya Allah Ta’ala
2. Meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu, Allah yang memberi rezeki kepada makhluknya. Meyakini bahwa Allah yang menghidupkan dan mematikan.

Sehingga ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah yang menciptakan segala sesuatu, maka ia akan meyakini bahwa tidak ada satupun yang dapat menciptakan segala sesuatu kecuai Allah. Ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah yang memberikan rezeki kepada makhluknya, maka ia akan meyakini bahwa tidak ada yang dapat memberikan rezeki kecuali Allah Ta’ala.

Begitu banyak dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang menetapkan rububiyyah Allah Ta’ala. Maka setiap nash ataupun dalil yang terdapat penyebutan dari nama “Rabb” atau penyebutan kekhususan dari rububiyyah berupa al kholqu (penciptaan), ar rizqu (pemberi rezeki), al malik (raja), dan lain sebagainya. Maka ini merupakan dalil-dalil Tauhid Rububiyyah.

Seperti firman Allah Ta’ala

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al Fatihah : 1)

Seperti firman Allah juga,

اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ

Ingatlah! Hanya milik Allah segala penciptaan dan urusan.” (QS. Al ‘Arof : 54)

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya untuk senantiasa memerhatikan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang dzohir (terlihat jelas) pada makhluk-makhlukNya. Sebagai bukti atas rububiyyah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَفِى الْاَرْضِ اٰيٰتٌ لِّلْمُوْقِنِيْنَۙ وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ

Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?.” (QS. Adz Dzariyat : 20-21)

Pada ayat di atas Allah menjelaskan, bahwasanya di bumi tempat berpijak terdapat tanda-tanda rububiyyah Allah yang begitu banyak. Yang menunjukkan akan besarnya ciptaan Allah berupa jenis-jenis tumbuhan, hewan-hewan, gunung-gunung, gurun pasir, lautan, sungai-sungai, dan lain sebagainya.

Begitupun yang terdapat pada diri manusia, berupa tertatanya susunan anggota tubuh sesuai dengan letak kebutuhan dan kegunaannya. Kemudian berupa berbedanya bahasa-bahasa, warna kulit, bahkan berbeda dan bertingkat-tingkatnya akal dan pemahaman manusia. Ini semua menunjukkan keagungan Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalaah.

Bersambung In syaa Allah…

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

Depok, 30 Rabi’ul Akhir 1445/14 November 2023

———————————————

Sumber :

– Al Qoulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

– Tahdzib Syarah Tashil Aqidah Al Islamiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin

Nikmat Dekat Dengan Ahli Ilmu

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Menuntut ilmu merupakan kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya. Namun tidak semua hamba Allah memperoleh kenikmatan ini. Tidak semua dapat merasakan nikmatnya memahami agama islam ini, memahami tentang hakikat iman yang sesungguhnya. Sungguh! Ini merupakan anugrah dan nikmat terbesar. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُ ۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ۬ مِّن رَّبِّهِۦ‌ۚ

Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
(QS. Az Zumar : 22)

Dengan ilmu, Allah Ta’ala mengangkat derajat seseorang. Allah Ta’ala berfirman,

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتٍ۬

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al Mujadilah : 11)

 

Karena begitu nikmatnya memperoleh ilmu, maka dekat dengan ahli ilmu akan menyempurnakan kenikmatan tersebut. Bagaimana tidak, dengan perantara ahli ilmu –setelah izin dari Allah– kita mengetahui suatu hal yang tidak kita ketahui sebelumnya. Hal yang masih samar bagi kita, menjadi jelas dan terang benderang tanpa ada kesamaran sedikitpun. Ini merupakan nikmat di antara nikmat-nikmat yang sering kita lupakan.

Dekat dengan Ahli Ilmu dapat menghidupkan ruh dengan ilmu dan cahaya petunjuk
Tentunya tatkala seseorang dekat dengan Ahli Ilmu akan membuatnya dekat kepada ilmu, ia akan mendapatkan jasadnya terisi dengan ruh yang penuh akan ilmu dan cahaya. Allah Ta’ala mensifati Al-Qur’an yang merupakan pokok dari ilmu sebagai ruh dan cahaya petunjuk,

وَكَذَٲلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحً۬ا مِّنۡ أَمۡرِنَا‌ۚ مَا كُنتَ تَدۡرِى مَا ٱلۡكِتَـٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَـٰنُ وَلَـٰكِن جَعَلۡنَـٰهُ نُورً۬ا نَّہۡدِى بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَا

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”
(QS. Asy Syuraa : 52)

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah (wafat th.1376H) beliau menafsirkan ayat di atas,

وَهُوَ هَذَا القُرْآنُ الكَرِيْمُ، سَمَّاهُ رُوْحًا، لِأَنَّ الرُّوْحَ يحْيا بِهِ الجَسَدُ، وَالقُرْآنُ تَحْيَا بِهِ القُلُوْبُ وَالأَرْوَاحُ، وَتَحْيَا بِهِ مَصَالِحُ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، لمِاَ فِيْهِ مِنَ الخَيرِ الكَثِيْرِ وَالعِلْمِ الغَزِيْرِ

Demikianlah yang dimaksud dengan ruh adalah Al-Qur’an Al-Karim, Allah Ta’ala menamakan Al-Qur’an dengan Ruh. Karena dengan Ruh jasad dapat hidup, sedangkan dengan Al-Qur’an hati-hati dan ruh pun juga hidup. Sehingga dengan itulah kemaslahatan dunia dan agama dapat terealisasikan. Meningat di dalam Al-Qur’an terdapat kebaikan yang banyak dan ilmu yang melimpah.”
(Lihat Taisir Karimirrahman fi Tafsiril Kalaamil Mannaan Hal.726 Cet. Mu’assasah Ar Risalah)

Oleh karena itu, dekat dengan ahli ilmu merupakan sumber dari ruh dan cahaya petunjuk. Sebaliknya, jika tidak dekat dengan ahli ilmu dan juga ilmu, maka ini merupakan awal dari sebuah petaka. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah (wafat th.204H) bahkan mengatakan,

وَمَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ …… ‌فَكَبِّرْ ‌عَلَيْهِ ‌أَرْبَعًا ‌لِوَفَاتِهِ

Siapa yang terluput dari ilmu di masa mudanya, …… Maka takbirkan ia sebanyak empat kali atas wafatnya.”
(Lihat Diwaan Asy Syafi’i Hal.59)

Seseorang yang jauh dari ilmu dah ahli ilmu, sejatinya mereka adalah mayat yang berjalan. Karena tidak ada ruh berupa ilmu pada jasad-jasad mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah.

Ahli Ilmu tidak akan mencelakakan orang-orang disekitarnya
Bahkan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang lain merasakan manfaat dengan adanya Ahli Ilmu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Ahli Ilmu,

إِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ ‌حَتَّى ‌الحِيْتَانُ فِي المَاءِ

Sesungguhnya makhluk-makhluk Allah di langit dan di bumi benar-benar akan memohonkan ampun kepada Ahli Ilmu, sampai ikan-ikan yang berada di dalam air.
(Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud No.3641 dan At Tirmidzi No.2682)

Sebab dari istighfar ini adalah karena seorang yang berilmu mengajarkan kepada manusia ilmu. Termasuk untuk memerhatikan dan menjaga hewan-hewan, mengenalkan kepada manusia perkara yang halal dan yang haram, dan juga mengajarkan kepada manusia bagaimana cara untuk memperoleh hewan tersebut, menggunakan hewan tersebut untuk berkendara, bahkan sampai tata cara menyembelih dengan cara terbaik, Dengan ini Ahli Ilmu berhak untuk memperoleh istighfar dari makhluk tersebut. Demikianlah yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah (wafat th. 751H) di dalam kitabnya (Miftaah Daaris Sa’adah 1:175)

Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati Ahli Ilmu,

‌هُمُ ‌الْقَوْمُ ‌لَا ‌يَشْقَى ‌بِهِمْ جَلِيسُهُمْ

Mereka adalah suatu kaum yang tidak akan mencelakakan teman duduk mereka.”
(Hadits diriwayatkan Imam Muslim No.2689)

Tentunya berbanding terbalik jika kita dekat dengan bukan dari Ahli Ilmu, seringkali kekecewaan, kecemasan dan kesedihan yang kita dapatkan dari mereka. Bahkan sulit rasanya untuk memperoleh kepercayaan dan ketenangan pada mereka. Sehingga fitrah pada diri manusia pun dapat menilai. Begitu nikmatnya dekat dengan Ahli Ilmu.

Ahli Ilmu merupakan pewaris para Nabi ‘alaihimussalam
Hal ini sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan dalam haditsnya, Dari Abu Darda radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُورِّثُوا دِيْنَاراً وَلَا دِرْهَماً، ‌إِنَّمَا ‌وَرَّثُوا ‌العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍ وَافِرٍ

Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh! Para Nabi tidaklah mewariskan dinar dan juga dirham, mereka hanyalah merwariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya maka ia telah memperoleh perbendaharaan yang berharga.”
(Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib 1:138 Cet. Maktabah Al Ma’arif)

Karena ahli ilmu pewaris para Nabi, maka dekat dengan mereka membuat kita setidaknya sedikit merasakan nikmatnya mendapatkan warisan para Nabi ‘alaihimussalam, yang tentunya warisan ini lebih berharga daripada warisan yang ada di dunia ini.

Dekat dengan Ahli Ilmu memudahkan seseorang untuk bertanya prihal agama
Allah Ta’ala berfirman,

فَسۡـَٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّڪۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
(QS. Al Anbiya : 7)

Ini di antara nikmat dekat dengan Ahli Ilmu. Kita bisa bertanya kepada siapanya tentang prihal agama yang tidak diketahui. Sehingga sirnalah kebodohan dalam diri seseorang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‌أَلَا ‌سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا، فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

Tidakkah mereka ingin bertanya tatkala mereka tidak mengetahui, karena sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya.”
(Lihat Sunan Abu Daud No.336)

Inilah di antara nikmat dekat dengan Ahli Ilmu. Sehingga ini yang harus disyukuri dan jangan dilupakan jasa-jasa mereka. Terdapat sebuah perkataan yang menarik yang dikatakan oleh Syu’bah,

كُنْتُ إِذَا سَمِعْتُ مِنَ الرَّجُلِ الحَدِيْثَ كُنْتُ لَهُ عَبْداً مَا حَيِيَ

Tatkala aku mendengar satu hadits dari seseorang (Ahli Ilmu), aku siap untuk menjadi budak selama dia hidup.”
(Lihat Tadzkirotus Saami’ Hal. 190. Cet. Maktabah Ibnu Abbas)

Terakhir, tentunya dekat dengan Ahli Ilmu untuk diambil ilmunya dan diambil manfaat serta faidah-faidah dari mereka. Bukan tujuan dekat dengan Ahli Ilmu untuk meningkatkan status sosial, jabatan, bahkan berbangga dengan menunjukkan kepada manusia bahwa ia dekat dengan Ahli Ilmu. Cukuplah membuat kita bangga dengan faidah dan ilmu yang bisa diproleh dari mereka tidak lupa doa untuk mereka tentunya. Khawatirnya berbangga dengan hal tersebut justru membuat kita ghurur (tertipu) dengan itu semua. Sehingga yang menyelimuti kita justru adalah penyakit ujub, ria dan sum’ah. Bangga dengan dikatakan fulan adalah murid ustadz fulan tanpa ada sedikitpun ilmu yang terpatri pada dirinya. ‘Iyaadzan Billah

Masih banyak lagi nikmat dengan Ahli Ilmu, selain dari hal yang disebutkan di atas. Semoga hal di atas dapat menjadi motivasi bagi mereka yang belum mendekat kepada Ahli Ilmu, dan menjadi pengingat untuk bersyukur bagi mereka yang dekat dengan Ahli Ilmu.

 

Wabillahit Taufiq.

Zia Abdurrofi
Depok, 27 Rajab 1445H / 8 Februari 2024

Hukum Wanita Keluar Rumah Ketika Tidak Ada Suami

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Fatwa Ulama : Hukum Wanita Keluar Rumah Ketika Tidak Ada Suami

 

سئل العلامة الألباني رحمه الله عن خروج المرأة وزوجها غائب ؟

الأصل في هذا :

أن تعرف المرأة أنها خُلقت لتلزم بيتها وتخدم زوجها وتربي أولادها إنْ كان لها أولاد، وإنْ لم يكن لها ولد فَحَسْبُها أن تُعْنى ببيتها وزوجها.

ثم يجوز لها أن تخرج لقضاء بعض المصالح التي لا يستطيع الزوج أو أحد أقاربها من محارمها أن يقوم بذلك أو لا يتيسر لغيرها أن يقوم لها بذلك،

ثم لا بأس من خروجها لزيارة صواحبها أو أقاربها في حدود ،

ليست كثيرة كما هو الشأن بالنسبة للرجال،لأن الرجال لم يُخاطبوا بمثل ما خُوطبت النساء، في قوله تبارك وتعالى : ﴿وَقَرْنَ في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى﴾

هذا ينبغي على المرأة أن تضع ذلك نصب عينها، أي: أن لا يكون خروجها كخروج الرجل دون حساب ودون حدود، حتى ولو لم يمانع زوجها في ذلك.

【 سلسلة الهدى والنور : 3 】

Syaikh Al Albani rahimahullah pernah ditanya tentang hukum wanita keluar rumah ketika tidak ada suami.

Beliau menjawab,
“Hendaknya seorang wanita mengetahui bahwa ia diciptakan untuk menetap di rumahnya, berkhidmat kepada suaminya, dan mendidik anak-anaknya jika ia memiliki anak. Kalau dia tidak memiliki anak, maka cukup baginya memperhatikan dan mengurusi suami dan rumahnya.

Kemudian, diperbolehkan bagi seorang wanita keluar rumahnya untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Yang mungkin tidak bisa dipenuhi oleh suaminya, maupun salah satu keluarga dekat dari mahromnya. Ataupun kebutuhan yang orang lain tidak bisa menggantikannya.

Kemudian, tidak masalah bagi seorang wanita untuk keluar mengunjungi sahabat dekat ataupun kerabatnya, namun tetap pada batasan tertentu. Tidak sama halnya seperti laki-laki. Karena di dalam Al Qur’an, laki-laki tidak diarahkan sebagaimana para wanita diarahkan. Seperti pada firman Allah Ta’ala,

وَقَرۡنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرُّجْنَ تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab : 33)

Inilah yang seharusnya diperhatikan oleh seorang wanita, dan hendaknya ia letakkan perkara ini di pelupuk matanya. Maksudnya, jangan samakan cara keluarnya wanita dengan laki-laki, tanpa ada perkiraan yang tepat dan tanpa ada batasan apapun. Walaupun suaminya tidak melarangnya untuk hal itu.”

(Silsilah Al Huda wan Nur : 3)

Jangan Berwatak Keras!

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Agama Islam adalah agama yang penuh kelembutan, tidak tempramen dan tidak kasar. Islam terkenal dengan agama yang santun dan berakhlak mulia. Telah masyhur hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam terdengar oleh kita. Beliau bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 8595)

Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ۬

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qolam : 4)

Sehingga akhlak yang mulia dan agung, merupakan junjungan tertinggi yang harus dimiliki oleh setiap Muslim dan Muslimah. Dan akhlak yang mulia tidaklah dapat terealisasikan melainkan dengan adanya kelemah lembutan kepada sesama, mudah dalam bergaul dan bermuamalah serta tidak tempramen serta kasar terhadap sesama. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحۡمَةٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡ‌ۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَ‌ۖ فَٱعۡفُ عَنۡہُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى ٱلۡأَمۡرِ‌ۖ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu..” (QS. Ali Imron : 159)

Sehingga sifat keras dan kasar yang bukan pada tempatnya adalah suatu hal yang hendaknya dijauhi dan dihindari. Mengingat ini bukan cara yang diajarkan oleh agama Islam. Bahkan dalam berdebat atau dialog sekalipun agama kita melarang untuk berlaku keras dan kasar. Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُ ۥ فِى ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيُشۡهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلۡبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ

Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah [atas kebenaran] isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS. Al Baqoroh : 204)

Bahkan keras dalam berdebat termasuk di antara perkara kemunafikan yang harus dihindari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ

Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara tersebut ada pada dirinya maka dia menjadi orang munafik, dan apabila salah satu sifat dari empat perkara tersebut ada pada dirinya, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari kemunafikan hingga dia meninggalkannya: orang yang apabila berbicara dia bohong, dan apabila dia berjanji maka dia mengingkari, apabila dia memusuhi maka dia melakukan kekejian (dengan melampaui batas), dan apabila dia mengadakan perjanjian maka dia yang mulai membatalkannya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Bukhori No.2279, Ahmad No.6568, Abu Daud No.4068)

Ketika dia berdebat, maka ia akan berlaku kasar. Terlebih jika lawan debatnya mengunggulinya. Sehingga hal ini serupa dengan orang-orang munafiq. Tentunya yang seperti ini harus dijauhkan.

Dari ‘Aisyah radiyalllah ‘anha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang paling keras (gemar) dalam berbantah-bantahan.”
(Hadits diriwayatkan oleh Bukhori No.2277, Muslim No.4821 dan An Nasa’i No.5328)

Oleh karena itu, jangan sampai ada pada kita karakter, watak, dan tabiat yang keras dan kasar. Terlebih kepada orang-orang terdekat yang kita cintai. Kepada istri dan anak-anak, yang hak mereka sejatinya bukan untuk menerima sifat kasar dan kerasnya tabi’at yang kita punya. Begitupun istri kepada suami dan anak-anaknya, dan anak-anak kepada kedua orang tuanya.

Kendati sebagian manusia memiliki watak yang kasar. Tentunya watak dan tabiat itu dapat dirubah secara perlahan. Dengan berjalannya waktu dan zaman disertai dengan do’a dan kesungguhan untuk merubahnya.

 

إِنَّما العلمُ بِالتَّعَلُّمِ ، و إِنَّما الحِلْمُ بِالتَّحَلُّم

Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar, dan kelembutan diperoleh dengan berlatih untuk berlaku lembut.”
(Lihat Silsilah Al Ahaadits As Shahihah No.342)

Wallahul muwaffiq.

 

Zia Abdurrofi

Depok, 19 Rajab 1445H / 31 Januari 2024

Hilangnya Ilmu dengan Wafatnya Para Ulama

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

#Fawaid 3

 

HILANGNYA ILMU DENGAN WAFATNYA PARA ULAMA

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَاد
ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بقَبْضِ العُلَمَاءِ، حتَّى إذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فأفْتَوْا بغيرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari para hambaNya, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga tatkala tidak tersisa seorang yang berilmu, manusiapun menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin (ulama). Merekapun berfatwa tanpa ilmu, merekapun sesat dan menyesatkan.”
(Hadits diriwayatkan oleh Bukhori No.100)

قال ابن مسعود رضي الله عنه :
” عليكم بالعلم قبل أن يقبض وقبضه أن يذهب أصحابه.

Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu berkata,
Hendaknya kalian berpegang kepada ilmu sebelum dicabut! Ilmu dicabut dengan hilangnya para pemilik ilmu tersebut (wafatnya para ulama).” (Al Faqih wal Mutafaqqih 2/167)

 

قال الشيخ ابن عثيمين – رحمه الله :-
‏فَوالله إنَّ فَقْدَ العالِم لا يُعَوِّضُ عَنهُ مَالٌ ولا عَقَارٌ ولا مَتَاعٌ ولا دِينار ،‏ بَلْ فَقْدُهُ مُصيبَةٌ على الإسلام والمُسلمين .

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
Demi Allah! Hilangnya seorang ahli ilmu tidak akan bisa diganti dengan uang, ladang, harta benda, dan juga dinar. Sejatinya kehilangan seorang ahli ilmu adalah sebuah musibah untuk islam dan kaum muslimin.” (Adh Dhiyaaul Laami’ Hal 12)

Sebuah renungan yang harus disadari bahwasanya para ulama dan ahli ilmu tidak kekal selamanya berada di dunia ini. Sehingga adanya para ulama dan ahli ilmu menjadi kesempatan bagi seluruh manusia untuk meneruskan ilmu yang disampaikan oleh mereka. Kesempatan emas bagi kita yang ingin melanjutkan tombak estafet keilmuan. Sebelum nantinya musibah itu datang, dengan diwafatkannya para ulama yang mulia.

Semoga bermanfaat
Wallahu’alam

 

Zia Abdurrofi

Depok, 9 Rabi’ul Akhir 1445H – 24 Oktober 2023

———————
Referensi :

– Majmu’ah Ibnu Utsaimin Al Ilmiyyah
– Adh Dhiyaaul Laami’ Karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah

Ucapan Para Salaf Lebih Bermanfaat

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

#Fawaid 2

 

UCAPAN PARA SALAF LEBIH BERMANFAAT

 

Seringkali kita mendengar ucapan dari para salaf yang sangat menyentuh hati. Bahkan tak sedikit orang-orang yang tersentuh dan tersadarkan dari segala perbuatan buruk dan maksiat, disebabkan indahnya untaian-untaian kalimat yang mereka ucapkan.

Tentu hal ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Pasti ada suatu hal yang menyebabkan perkataan mereka amat sangat bermanfaat. Sejenak kita perhatikan dan renungkan perkataan seorang ulama.

Dari Abdullah bin Mubaarak rahimahullah ia berkata, Hamdun bin Ahmad pernah ditanya,

مَا بَالُ كَلَامِ السَّلَفِ أَنْفَعُ مِنْ كَلَامِنَا ؟ قَالَ : لِأَنَّهُمْ تَكَلَّمُوا لِعِزِّ الإسْلَامِ وَنجَاةِ النُّفُوسِ وَرِضَا الرَّحْمَنِ وَنَحْنُ نَتَكَلَّمُ لِعِزِّ النُّفُوسِ وَطَلَبِ الدُّنْيَا وَرِضَا الخَلْقِ

Mengapa bisa perkataan salaf (para ulama terdahulu) lebih bermanfaat dari pada perkataan kita?“. Hamdun pun menjawab : “Dikarenakan mereka berkata untuk mengangkat dan membela agama islam, serta untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka (dari perbuatan buruk) dan mengharapkan ridho Sang Rahman (Allah Ta’ala). Adapun kita (saat ini) berkata atau berbicara untuk membela diri-diri kita sendiri, untuk mencari kegemerlapan dunia dan berharap keridhoan manusia.” (Ayna Nahnu Min Akhlaaqis Salaf Hal – 15)

Ternyata sebab berbekasnya perkataan mereka karena keikhlasan mereka dalam mengharapkan keridhoan Allah Ta’ala. Sehingga Allah berikan kepadanya penerimaan untaian kalimat tersebut di hati-hati manusia. Allah berfirman,

هَلۡ جَزَاۤءُ ٱلۡإِحۡسَـٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَـٰنُ

(QS. Ar Rahman : 60)

Syaikh As Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,
Tidaklah balasan bagi orang-orang yang memperindah ibadahnya kepada Sang Khaliq, yang suka memberikan manfaat kepada orang lain, melainkan Allah akan berbuat baik pula kepadanya dengan memberikan kepadanya pahala yang berlimpah, kemenangan yang besar, kenikmatan yang kekal, dan kehidupan yang tentram.”  (Lihat Tafsir As Sa’di surat Ar Rahman : 61)

Lihatlah! Hal itu tidaklah terjadi melainkan karena tulusnya niat-niat mereka dalam menyampaikan untaian-untaian kata. Sehingga Allah membalasnya dengan sampainya kata-kata tersebut bahkan tertancap dalam relung hati-hati manusia. Masyhur dikalangan orang-orang arab sebuah perkataan,

مَا خَرَجَ مِنَ القَلْبِ وَصَلَ إِلَى القَلْبِ

Setiap yang keluar dari hati, akan sampai ke hati.”

Sehingga ini menjadi sebuah rumus yang sakti dan telah terbukti. Sampaikanlah untaian kata demi kata dari hati yang terdalam penuh keikhlasan kepada Allah Ta’ala. Sampaikan nasihat-nasihat dengan niat yang tulus, tidak untuk ria dan sum’ah apalagi ujub.

Ambillah pelajaran dari para salaf! Karena telah terbukti perkataan para ulama salaf sampai sekarang masih harum nan wangi, tumbuh dan subur. Kendati jasad-jasad mereka sudah berada di dalam kubur.

Semoga bermanfaat,
Wallahu’alam

 

Zia Abdurrofi

Depok, 2 Rabi’ul Akhir 1445H – 17 Oktober 2023

——————

Referensi :

– Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf Karya Bahaauddiin bin Faatih

– Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah

Makna Tauhid dan Macam-Macamnya

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

(04 – Serial Aqidah)

 

MAKNA TAUHID DAN MACAM-MACAMNYA

 

Setelah mengetahui tentang makna aqidah, sumber pengambilan aqidah, dan lain sebagainya. Maka ada perlunya kita mengetahui tentang “apa itu tauhid?” berikut dengan pembagiannya, sebelum nantinya kita perlu mengetahui pula tentang lawan dari tauhid berupa kesyirikan. Tentunya dengan mengetahui tauhid terlebih dahulu, akan mudah nantinya mengetahui segala macam bentuk kesyirikan.

Sebelum beranjak lebih jauh berbicara tentang tauhid, pertanyaan dasar yang mungkin terlintas. Apa bedanya tauhid dengan aqidah? Apakah sama antara tauhid dan aqidah?

Secara umum tidak ada bedanya antara tauhid dan aqidah keduanya dipakai dalam istilah aqidah islamiyah yang berarti keyakinan. Secara asal, tauhid dikhususkan hanya kepada Allah rabbul ‘alamin. Adapun aqidah dikhususkan untuk rukun iman dan perkara-perkara yang ghoib.

Sehingga dapat disimpulkan, segala macam tauhid termasuk perkara aqidah. Namun perkara aqidah belum tentu termasuk perkara tauhid. Karena terkadang perkara aqidah ada padanya bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang. Sehingga makna aqidah lebih luas dari makna tauhid.

Tauhid secara bahasa berasal dari kata
وَحَّدَ – يُوَحِّدُ – تَوْحِيْدًا

yang artinya, menjadikan sesuatu menjadi satu (mengesakan).

Secara istilah meyakini keesaan Allah dengan beribadah hanya kepadaNya serta mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Tauhid yang harus diyakini seorang muslim terbagi menjadi tiga. Yaitu,
1. Tauhid Rububiyyah
2. Tauhid Uluhiyyah
3. Tauhid Asma’ was Shifat

Ketiga tauhid ini bersumber dari penelitian terhadap dalil-dalil dari Al Qur’an. Di antara dalilnya Allah Ta’ala berfirman,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya. Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam : 65)

 

Tauhid Rububiyyah ada pada ayat,

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا

(Dialah) Rabb (yang menguasai) langit, bumi, dan segala yang ada di antara keduanya.”

 

Tauhid Uluhiyyah ada pada ayat,

فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖ

Maka, sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya.

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat,

هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا

Apakah engkau mengetahui sesuatu yang sama dengan-Nya?.”

 

Tauhid Asma was Shifat ada pada ayat ini karena, makna dari ayat di atas adalah, “Engkau tidak akan mengetahui atau mendapati yang semisal dan sama dengan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatnya.” (Lihat penjelasan ini di kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah – hal 19)

Sehingga inilah di antara dalil dari pembagian tauhid. dan pembagian tauhid ini bukan termasuk dari perkara bid’ah karena tidak ada penjelasan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak hal yang dibagi atau disusun oleh para ulama, namun hal itu tidak ada di zaman Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya hal ini untuk memudahkan kaum muslimin dalam memahami aqidah mereka. Sama halnya seperti pembagian rukun-rukun sholat, syarat-syarat sahnya sholat. Apakah kita katakan ini bid’ah ? tentu tidak. Karena ini hanya sekedar washilah untuk ketaatan.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat berada pada lingkungan yang penuh dengan ilmu, sehingga mereka begitu faham dan mengerti apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terlalu membutuhkan pembagian seperti demikian. Sebuah perkataan yang disandarkan kepada Ali bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu,

العِلْمُ نُقْطَةٌ كَثَّرَهَا الجَاهِلُوْنَ

Ilmu pada asalnya hanya satu titik, kemudian diperbanyak oleh orang-orang bodoh.” (Lihat Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi – Hal 3)

Yakni, ilmu di zaman para sahabat dahulu sedikit. Ketika zaman semakin jauh dari zaman para sahabat, semakin banyaklah kebodohan dan semakin harus banyak permasalahan-permasalahan yang diungkap.

Demikianlah tauhid dan macam-macamnya yang harus diketahui oleh seorang muslim, dan pembagian ini bukan termasuk dari perkada bid’ah. Untuk perinciannya masing-masing akan datang ditulisan selanjutnya In syaa Allah.

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

Depok, 4 Rabi’ul Awwal 1445/19 September 2023

——————————————

Sumber :

– Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Manhajiyah fi Qiro’ati Kutubi Ahlil ‘Ilmi Karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh

Agama Hadir Untuk Kemaslahatan dan Menghilangkan Kemudhorotan

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

#Fawaid 1

 

AGAMA HADIR UNTUK KEMASLAHATAN DAN MENGHILANGKAN KEMUDHOROTAN

 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (wafat th. 1421) pernah berkata :

فما من شيء أمر الله به رسوله صلى الله عليه وسلم إلا والمصلحة في وجوده ومن من شيء نهى الله عنه ورسوله إلا والمصلحة في عدمه.

Tidak ada satupun perkara yang Allah dan RasulNya perintahkan melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan RasulNya larang melainkan pada ketidak adaanya terdapat kemaslahatan.” ( Lihat Syarah Riyadusshalihin 3/533 – Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).


Syaikh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya,

الدين جاء لسعادة البشر ….. ولانتفاء شر عنهم والضرر
فكل أمر نافع قد شرعه ….. وكل ما يضرنا قد منعه

“Agama hadir untuk kebahagiaan manusia
     dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudhorotan.
Maka setiap perkara yang bermanfaat telah disyari’atkan
     dan setiap yang memudhorotkan kita telah dilarang.”


Dari hal di atas maka dapat dipastikan segala hal yang membawa manfaat bagi kaum muslimin, maka agama Islam memperbolehkannya bahkan mewajibkannya. Jika perkara itu termasuk dari ibadah, maka agama Islam memerintahkan untuk hal itu dan jika bukan dari perkara ibadah, maka Islam memberikan kelonggaran dengan dimasukkannya perkara tersebut dalam perkara yang mubah.

– Sebagai contoh dalam perkara ibadah, Allah memerintahkan hambaNya untuk melaksanakan sholat, yang tentu manfaatnya kembali kepada hambaNya. Dengan sholat, seorang hamba mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Dengan sholat, hubungan seorang hamba dengan RabbNya semakin dekat. dan manfaat-manfaat yang lainnya.

– Sebagai contoh dalam perkara duniawi, di antara kendaraan yang dimudahkan di zaman sekarang adalah pesawat. Maka tentunya hal ini diperbolehkan walaupun tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya karena hal ini adalah manfaat dan bisa menjadi sarana untuk kebaikan, begitupun hal ini bukan termasuk perkara ibadah.

Jika ada yang menyanggah dengan mengatakan, kalau Islam membolehkan hal yang bermanfaat mengapa Islam melarang riba ? padahal riba memberikan manfaat. Ada beberapa keuntungan di dalamnya.  Jawabnya, riba tidaklah memberikan manfaat kecuali sedikit saja. Riba memberikan keuntungan untuk sepihak saja, tidak dengan pihak yang lain. Dan kemudhorotan riba lebih banyak dan berlipat-lipat. Kemudhorotannya meliputi dunia dan akhirat.

Sama halnya dengan judi dan khamr, Allah berfirman mengenai keduanya,

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (QS. Al Baqoroh : 219)

Lihatlah! Kendati manfaat terdapat pada judi dan khamar, Allah mengharamkannya karena mudhorotnya jauh lebih besar dari pada manfaatnya.

Dari hal di atas pula kita mengetahui, bahwa agama Islam mencegah segala macam bentuk kemudhorotan. Baik sebelum terjadi (preventif) ataupun setelah terjadi (represif). Seperti halnya riba, agama kita melarang sebelum terjadinya riba dan sesudah terjadinya riba.

Maka segala macam kemudhorotan yang berpengaruh kepada agama, akal, badan, harta, baik itu sifatnya individual atau masyarakat, kesemuanya agama Islam telah melarangnya.


Kesimpulannya, dapat dipastikan segala apa yang Allah dan RasulNya perintahkan untuk melaksanakannya akan mendatangkan manfaat, kemaslahatan, kebaikan, ketenangan, ketentraman hati, pahala dan lain sebagainya. Ini merupakan buah dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Allah Ta’ala berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 97)

Para ulama dalam menafsirkan ayat “Kehidupan yang baik” ada beberapa penafsiran. Di antaranya,
– Rizqi yang halal dan thoyyib
– Qona’ah
– Kebahagiaan
– Mengamalkan ketaatan dan hati yang lapang.

Dan kesemua tafsiran di atas benar dan terangkum dalam ayat di atas. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsir rahimahullah.

(Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al Qurthubi)

Sebaliknya, bagi mereka yang menerjang larangan Allah dan RasulNya, hatinya akan gusar, gundah gulanah dan tidak merasakan ketenangan. Ini merupakan akibat dari mengerjakan apa yang Allah dan Rasulnya larang. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”(QS. Thaha : 124)

 

Wallahu’alam

Zia Abdurrofi

Bogor, 12 Shafar 1445 – 29 Agustus 2023

————————

Referensi :
– Syarah Riyadush Shalihin – Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
– Syarah Mandzumah Ushul Fiqh wa Qowa’iduhu – Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
– Tafsir Ibnu Katsir
– Tafsir Al Qurthubi

Sumber Pengambilan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Tatkala seorang muslim berkeyakinan dengan sebuah aqidah, maka yang harus ia perhatikan adalah dari mana ia mengambil sumber aqidah tersebut. Karena tidak semua aqidah itu haq adanya. Terdapat banyak sekali aqidah-aqidah menyimpang, yang sama sekali mereka tidak berpedoman kepada sumber yang benar. Sehingga harus menjadi skala prioritas bagi kita untuk mengetahui sumber pengambilan aqidah yang benar.

Aqidah sifatnya adalah tauqifiyyah, yakni aqidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan adanya dalil. Murni perkara aqidah bersumber dari dalil Al Qur’an dan juga As Sunnah. Sehingga sama sekali tidak ada ruang ataupun celah untuk akal ikut serta dalam mengatur perkara aqidah ini.

Sumber pengambilan aqidah yang benar adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Karena tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentangnya kecuali Allah Ta’ala dan tidak ada yang lebih mengetahui pula setelah Allah melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang diyakini oleh Salafus Shalih dan orang-orang yang mengikuti mereka. Apa saja yang diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tentang Allah, mereka akan beriman dan mengamalkannya. Sebaliknya, apapun yang tidak diterangkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah mereka menafikannya.

Dengan kita berpegang dengan prinsip di atas tidak akan terjadi perbedaan dalam masalah aqidah. Karena Allah Ta’ala menjamin bagi siapa yang berpegang kepada kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, akan terus bersatu.


Allah Ta’ala berfirman :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ..

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imron : 103)


Allah juga berfirman :

فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ 

…Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha : 123)


Berkata Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah :

Tatkala sebagian orang membangun aqidah mereka dari selain Al Qur’an dan As Sunnah, dari ilmu kalam dan ilmu mantiq yang diwariskan dari filsafat yunani. Terjadilah penyimpangan dan perpecahan dalam masalah keyakinan, perpecahan dalam barisan mereka, serta hancur lah masyarakat islam karena sebab tersebut.”(Lihat Aqidatut Tauhid Hal 12)


Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kita harus menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber adalah firman Allah Ta’ala :

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِن وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلا مُّبِينا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Riwayat Al Hakim dalam Mustadrok dan dishahihkan Syaikh Al Albani).


Sebagai tambahan faidah, ada sebagian orang yang hanya mencukupkan diri dengan Al Qur’an saja. Adapula yang mencukupkan diri dengan As Sunnah saja. Hal ini tentu keliru. Karena Allah Ta’ala mengkolerasikan antara sunnah Rasul-Nya dengan kitabnya di banyak dalil. Bahkan mewajibkan hamba-Nya untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan Sunnah Rasul adalah penjelas makna Al Qur’an. Bagaimana mereka bisa mencukupkan hanya dengan Al Qur’an saja ?

 وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ

…Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An Nahl : 44)

 

Wabillahittaufiq.

Zia Abdurrofi

 

——————————————–

Sumber :

– Aqidatut Tauhid Karya Asy Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan

– Al Wajiz fi Aqidatissalafis Shaalih Karya Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary

Ilmu yang Barokah

Ilmu Yang Barokah

Asy Syaikh Muhammad bin Shaalih Al Utsaimin rahimahullah beliau berkata :

إِنَّ مِنْ أَبْرَكِ العِلْمِ تَحْصِيْلًا وَتَأْثِيْرًا فِيْ النَّفْسِ وَفِي العَمَلِ وَالْمَنْهَجِ هُوَ مَا يَحْصُلُ فِيْ المَسَاجِدِ، فَمَا أَبْرَكَ عِلْمَ الْمَسَاجِدِ! لِأَنَّ المَسَاجِدَ فِيْهَا خَيْرٌ وَبَرَكَةٌ، وَلِذَلِكَ أَنَا أَقُوْلُ لَكُمْ عَنْ نَفْسِي: إِنَّ العِلْمَ الحَقِيقِي الذِّي أَدْرَكْتُهُ هُوَ العِلْمُ الذِّي قَرَأْتُهُ عَلَى المَشَايِخِ، وَإِنْ كُنْتُ اسْتَفَدْتُ مِنَ الجَامِعَةِ فِي فُنُونٍ أُخْرَى، لَكِن العِلْم الرَّاسِخ المُبَارك هُوَ مَا يُدْرِكُهُ الإِنْسَانُ عِنْدَ المَشَايِخِ.

Sesungguhnya diantara ilmu yang paling berkah dari segi hasil dan berbekasnya ilmu itu di dalam jiwa, di dalam amalan dan manhaj, adalah ilmu yang didapatkan dari masjid-masjid.

Sungguh berkah ilmu yang didapatkan dari masjid-masjid! Karena di dalam masjid-masjid terdapat kebaikan dan keberkahan.

Karenanya saya katakan kepada kalian berdasarkan pengalaman saya pribadi: Ilmu yang haqiqi (sebenarnya) yang saya dapatkan adalah ilmu yang saya baca dihadapan para syaikh (guru). Walaupun saya banyak mengambil faidah dari kelas di Universitas pada cabang ilmu yang lain. Akan tetapi ilmu yang kokoh lagi berkah adalah ilmu seseorang yang dia dapatkan dari para syaikh (yang mengajar di masjid).”

Dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il (26/202)

Allah Beristiwa di Atas ‘Arsy

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 

Diantara keyakinan yang harus diyakini oleh setiap muslim. Bahwa Allah beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arsy. Demikianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun Sunnah. Bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy. Fitroh manusiapun sepakat meyakini bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy.

Terdapat tujuh dalil yang menerangkan dan menetapkan bahwasanya Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Berikut ini adalah dalil-dalilnya, Allah berfirman :

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.”[Al ‘Arof : 54]

 

﴿إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy?” [Yunus : 3]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy” [Ar Ra’d : 2]

 

﴿ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia istiwa di atas ‘Arsy”[Al Furqon : 59]

 

﴿ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ﴾

Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.”[As Sajdah : 4]

 

﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ﴾

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia istiwa di atas ‘Arsy.” [Al Hadid : 4]

 

﴿ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥﴾

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thoha : 5]

 

Perhatikanlah ! kesemua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah istiwa di atas ‘Arsy. Kesemuanya senada dalam menetapkan Allah di atas ‘Arsy dengan kalimat “Beristiwa di atas ‘Arsy”.

Sehingga yang dapat difahami dari dalil-dalil di atas adalah makna secara hakiki. Bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arsy. Tidak mungkin bisa ditakwil (dirubah/diselewengkan) ke makna yang lainnya.

Istiwa secara bahasa (etimologi) terdapat empat makna. Yaitu,

عَلاَ – اِرْتَفَعَ – صَعِدَ – اِسْتَقَرَّ

Yang kesemua maknanya artinya adalah di atas. Para ulama ketika mereka menafsirkan makna istiwa, maka mereka kembali kepada keempat makna ini.

 

Adapun secara istilah (terminology) artinya adalah : Sifat berupa perbuatan khusus hanya milik Allah, yang sesuai dengan kemuliaannya dan keagungannya.

Sehingga dari sinilah kita harus mengimani dan meyakini bahwa Allah berada di atas ‘Arsy. Kendati sebagian ada yang mentakwil arti istiwa menjadi istawla yang artinya berkuasa atau menguasai. Hal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal akibatnya. Dengan keyakinan ini, seseorang bisa membatalkan dalil-dalil di atas dan menyelisihi yang diyakini oleh kaum muslimin dari dahulu hingga sekarang.

Diantara kefatalan dari pemahaman yang mentakwil menjadi istawla adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Daud bin ‘Ali Al Asbahaniy, beliau berkata : “Aku pernah bersama Ibnul Araby, kemudian datanglah seseorang,

seraya berkata : “Apa makna dari ayat ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ (“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”) ?

Ibnul Araby pun lantas menjawab : “Allah berada di atas ‘Arsy nya sebagaimana yang telah dikabarkan (dalam Al Qur’an).”

Orang itupun menjawab : “Wahai Abu Abdillah (Kunyah Ibnul Araby), makna yang benar adalah Istawla (menguasai).” Ibnul Araby menjawab : “Apa yang membuatmu berpendapat demikian ?, tidaklah engkau mengatakan Istawla (berkuasa) melainkan karena ada lawan sebelumnya, siapa yang menang maka dialah yang menguasai.” (Lihat : Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Mandzur 14/414, dinukil dari kitab Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hal 101).

Sehingga jika istawa ditakwil menjadi istawla, seolah-olah kita mengatakan bahwa tuhan itu berbilang. Seolah-olah kita mengatakan Allah memenangi peperangan dengan tuhan yang lain sebelum Allah menguasai ‘Arsy. Inikah yang engkau yakini ? Sungguh! Teramat buruk keyakinan yang demikian.

 

Ketahuilah ! bahwa takwil istiwa menjadi istawla (menguasai arsy) merupakan takwil yang batil dari beberapa sisi;

Pertama, Takwil ini adalah takwil yang bid’ah! Tidak ada sebelumnya dari kalangan para sahabat ataupun tabi’in yang mereka menafsirkan ayat tersebut dengan istawla. Dan yang pertama kali mentakwil ayat itu adalah Jahmiyyah dan Mu’tazilah.

Kedua, Kalau maksud dari istiwa adalah istawla (menguasai), maka dapat kita simpulkan tidak ada perbedaannya antara ‘Arsy (makhluk Allah yang agung), dengan bumi yang paling bawah. Secara jika ditakwil menjadi istawla maknanya tidak lagi berada di atas. Maka apa faidahnya disebutkan ‘Arsy jika tidak ada bedanya dengan bumi yang paling bawah ?

Ketiga, Di dalam Al Qur’an dan Sunnah semua lafadz menggunakan lafadz Istiwa dan tidak ada satupun yang menggunakan istawla. Andaikata ada satu saja lafadz istawla maka kita bisa mengimani hal tersebut. Nyatanya tidak ada satupun lafadz istawla sebagai penafsir dari istiwa.

Dan masih banyak lagi bantahan-bantahan bagi mereka yang mentakwil makna istiwa menjadi istawla. Intinya yang harus kita Imani bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy demikianlah yang sesuai dengan dalil-dalil yang ada.

 

Catatan :

Seringkali kata Istiwa diterjemahkan menjadi bersemayam. Bahkan sudah dari dulu digunakan terjemah ini. Alangkah baiknya terjemah ini ditinggalkan dan cukup menggunakan lafadz Istiwa, mengingat ada ketidak sesuaian makna antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia dalam hal ini.

Tidak mengapa lafadz tersebut diucapkan ketika memang orang lain tidak faham akan makna Istiwa sehingga harus ada bahasa padanan yang menggantikannya. Kendati bersemayam tidak mewakili makna dari Istiwa itu sendiri.

Namun tentu yang terbaik adalah mengganti terjemahan bersemayam cukup dengan menyebutkan Istiwa. dan ketika menterjemahkan ayat pula, harus disebutkan lafadz istiwanya. Karena Istiwa adalah termasuk perbuatan Allah yang harus ditetapkan. Begitupun Tinggi termasuk sifat dzatiyyah bagi Allah yang harus ditetapkan pula.

Sehingga kurang tepat jika dikatakan, “Allah di atas ‘Arsy” saja tanpa menggunakan Istiwa, katakan “Allah Istiwa di atas ‘Arsy”.

 

Wallahu’alam.

Wabillahittaufiq,

Zia Abdurrofi

 

Referensi :

Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah (cet. Daarul ‘Ashimah Tahun 1425H) Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan.

Penjelasan Tentang Makna Aqidah

Aqidah secara bahasa diambil dari kata Al ‘Aqdu. Yang artinya ikatan atau mengikat sesuatu. Dimaknai pula, yaitu segala hal yang manusia beragama dengannya. Seperti ucapan orang arab : Ia memiliki aqidah yang baik. Artinya, selamat dari keraguan.

Aqidah adalah amalan hati dan tempatnya dihati berupa keyakinan dan kepercayaan.

Adapun secara istilah adalah keimanan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan beriman terhadap suatu hal yang diwajibkan kepada hamba berupa tauhid (iman kepada Allah), Iman kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Begitupun beriman kepada segala cabang dari pondasi keimanan di atas.

Inilah yang dinamakan dengan aqidah, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala dan juga beriman kepada rukun iman yang enam. Sehingga mengetahui ke enam hal diatas beserta perinciannya merupakan hal yang dituntut dalam agama kita.

Perlu diketahui ada beberapa nama lain dari aqidah, beberapa penamaan yang disebutkan oleh para ulama. Diantaranya adalah As Sunnah sebagai pembeda dari Aqidah yang jauh dari kebenaran. Karena aqidah yang shahih adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Diantara penamaannya, Ushuluddin (pokok/asas agama). Karena Aqidah berkaitan dengan pokoknya agama, sehingga sah atau tidaknya amalan tergantung dari Aqidah yang seorang hamba yakinin dan imani. Dari sinilah Aqidah dinamakan Ushuluddin.

Diantara nya juga ada Fiqhul Akbar para ulama menamakan Aqidah dengan Fiqhul Akbar karena Aqidah kembali kepada pokok agama. Sedangkan amalan-amalan dinamakan dengan Fiqhul Ashgar karena amalan-amalan sebagai cabang dari hal yang pokok. Al Imam Abu Hanifah memiliki kitab yang berjudul Al Fiqhul Akbar padanya terdapat penjelasan tentang masalah Aqidah dan bukan masalah Fiqh yang sifatnya ‘Amaliyyah.

Secara garis besar syariat agama Islam terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Perkara I’tiqodiyah

Yakni, segala hal yang tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Perkara I’tiqodiyah berkaitan dengan keyakinan, inilah yang disebut dengan aqidah. Seperti beriman kepada Allah dan wajib beribadah hanya kepadanya. Hal ini tidak ada kaitannya dengan tata cara beramal. Ini dinamakan juga dengan perkara ushuliyyah.

2. Perkara ‘Amaliyyah

Yakni, segala perkara atau hal yang berkaitan dengan amal. Seperti contohnya salat, zakat, puasa dan segala hukum-hukum yang sifatnya amal. Ini dinamakan juga dengan perkara furu atau cabang karena amal ini tergantung dengan aqidah yang benar.

Sehingga aqidah yang benar merupakan asas atau pokok yang dengannya amalan dapat diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَن كَانَ يَرجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦفَليَعمَل عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشرِك بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦ أَحَدَا

Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surat Al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman :

وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (Surat Az-Zumar : 65)

Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwasanya segala bentuk amalan tidak akan diterima melainkan jauh dari segala macam bentuk kesyirikan. Dan dari sinilah terlihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mementingkan perkara aqidah terlebih dahulu tatkala beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan meninggalkan penyembahan selain dari Allah.

Allah Ta’ala berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah ṭāgūt, ” (Surat An-Nahl : 36)

Semua rasul yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala utus ke muka bumi ini yang pertama kali mereka dakwahi kaumnya adalah berkaitan tentang aqidah dan tauhid.

Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah di kota Mekah selama tiga belas tahun lamanya mengajak manusia kepada tauhid dan perbaikan aqidah. Karena perkara aqidah sekali lagi adalah perkara pokok yang dengannya dibangun sebuah agama.

Wabillahit taufiq.

 

Zia Abdurrofi

Bogor, 13 Juli 2023

 

Referensi :
– Aqidatut tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan. Cet. Daarul Ashimah
– Tahdzib Syarah Tashil Aqidah Al Islamiyyah karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin rahimahullah.
– Dan lain lain.

JANGAN LUPUT! TUNAIKAN HAK ALLAH INI

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Amma Ba’du..

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Di antara hal yang wajib diketahui oleh seorang muslim bahwasanya aqidah adalah perkara yang sangat penting. Di karenakan perkara aqidah amat erat kaitannya dengan hak-hak Allah yang harus kita tunaikan sebagai seorang hamba yang berjalan di muka bumi ini.

Suatu ketika, sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu pernah dibonceng oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu perjalanan. Lalu Nabi bertanya kepada sahabat Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu.

«يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ؟» قَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «أَنْ يُعْبَدَ اللهُ وَلَا يُشْرَكَ بِهِ شَيْءٌ»، قَالَ:«أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟» فَقَالَ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ:«أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ»

Wahai Mu’adz , apakah engkau mengetahui hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba ?.” Mu’adz menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hendaknya seorang hamba menyembah Allah dan tidak menyukutukannya dengan sesuatu apapun.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya : “Apakah engkau mengetahui hak para hamba tatkala mereka telah mengerjakan hal tersebut ?”. Muadz kembali menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Yaitu , Allah tidak mengadzab mereka” (tatkala mereka menyembah Allah dan tidak berbuat kesyirikan).[1]

Hadits di atas menunjukkan akan urgensinya ilmu Aqidah. Sehingga Nabi mendahulukan hak Allah yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Begitupun di hadits yang lain, tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal radiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman. Maka yang diperintahkan oleh nabi untuk di dakwahkan pertama kali adalah ‘Aqidah , setelah itu baru sholat dan lain lainnya. Dikarenakan ‘Aqidah berkaitan dengan hak Allah Ta’ala yang wajib kita tunaikan sebagai seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman :

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu” (Qs : Muhammad : 19)

Ini adalah ilmu yang Allah perintahkan -yakni ilmu tauhid (aqidah)- hukumnya wajib atas setiap manusia tanpa terkecuali. Bahkan seluruh makhluq diharuskan untuk mengetahuinya.”[2]

Dan metode atau cara untuk kita mengetahui Aqidah yang benar , bahwasanya tiada ilaah yang berhak di ibadahi dengan benar ada beberapa metode, diantaranya :

– Mentadabburi nama , sifat sifat dan perbuatan Allah. Yang itu semua menunjukkan akan kesempurnaan-Nya , kebesaran-Nya , kemuliaaan-Nya.

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala adalah yang Maha Esa dengan segala penciptaan dan mengatur (alam semesta).

– Mengilmui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa atas segala nikmat yang diberikan. Baik secara dzohir (terlihat) atau baathin (tersembunyi) baik secara agama ataupun dunia.

– Dengan kita melihat dan mendengar balasan berupa pahala bagi para wali-wali Allah yang merealisasikan tauhid, dimana mereka Allah balas dengan pertolongan dan nikmat yang di segerakan. Begitupula, dengan kita melihat dan mendengar hukuman bagi orang orang yang menyekutukan Allah. Dengan dua hal itu , lebih membawa kita untuk mengetahui bahwa dialah Allah yang Maha Esa. Yang berhak untuk diibadahi secara totalitas.

– Mengetahui sifat-sifat dari berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan yang di sembah selain Allah dan dijadikan sebagai Ilaah. Mengetahui , bahwa itu semua diliputi oleh kekurangan dari segala arah. Kurang dari sisi dzatnya , sesembahan itu tidak dapat menguasai dirinya sendiri apalagi untuk para penyembahnya begitupun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot.

Kitab kitab yang Allah turunkan bersepakat dan bersatu padu atas wajibnya mengetahui dan mengesakan Allah.[3]

Demikianlah beberapa poin yang hendaknya dijadikan patokan bagi kita sekalian untuk mempelajari Aqidah ini. Yang mana dengan aqidah ini dapat di tentukan kehidupan seseorang. Apakah ia termasuk orang yang berbahagia atau tidak.

Dikarenakan diterimanya amalan atau tidak bergantung pada Aqidah ini. Sekiranya ia beraqidah dengan aqidah yang benar, kelak syurga ganjarannya. Kalau ia berbuat syirik atau menyukutukan Allah dengan sesuatu apapun bahkan dengan seekor lalat sekalipun. Maka neraka lebih berhak untuk ia proleh pada hari kiamat nanti.

Sebagian ulama memuthlakkan penamaan aqidah dengan “Ushulud Din” dikarenakan agama ini terbagi menjadi dua hal : Yaitu , ‘I’tiqodiyyat dan ‘amaliyyat. ‘i’tiqodiyyat adalah yang berkaitan dengan aqidah atau keyakinan. Adapun ‘amaliyyat adalah yang berkaitan dengan hukum hukum atau amalan amalan. Seperti sholat , zakat , haji, jual beli dan lain lain. Dan ‘amaliyyat ini di sebut dengan furu’ (cabang) adapun ‘i’tiqodiyyat disebut dengan ushul (akar/pondasi).

 

Sebuah sya’ir mengatakan :

و بعد فاعلم أن كل العلم

كالفرع للتوحيد فاسمع نظمي

لأنه العلم الذي لا ينبغي

لعاقل لفهمه لم يبتغ

Maka ketahuilah , bahwa seluruh ilmu

Ibarat cabang dari ilmu tauhid , maka dengarlah bait syairku

Karena ilmu tauhid adalah ilmu yang mengharuskan

Bagi seorang yang berakal untuk memahaminya, walau ia tidak di minta (untuk memahaminya).[4]

 

Maka ilmu ilmu yang berkaitan dengan sholat, zakat, puasa atau yang lainnya. Itu adalah cabang dari ilmu aqidah. Dan Aqidah adalah semulia mulianya ketaatan. Mengingat baiknya aqidah adalah syarat diterimanya ibadah. Tatkala aqidah rusak maka ibadah tersebut pun tak di terima.

Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:

فاعلم أن العبادة لا تسمى عبادة إلا مع التوحيد كما أن الصلاة لا تسمى صلاة إلا مع الطهارة. فإذا دخل الشرك في العبادة فسدت كالحدث إذا دخل في الطهارة

Maka ketahuilah!, bahwasanya ibadah tidak di anggap sebagai ibadah melainkan dengan adanya Tauhid (aqidah). Ibarat sholat , tidak dikatakan sebuah sholat itu sah melainkan dengan adanya kesucian (wudhu) terlebih dahulu. Maka , ketika kesyirikan masuk kedalam sebuah ibadah niscaya ibadah itupun akan sirna. Sebagaimana tatkala hadats ada pada sebuah kesucian.”[5]

Diantara urgensi mempelajari aqidah[6] :

– Aqidah adalah ilmu agama yang paling penting.

– Dengan mempelajari aqidah , dapat meluruskan keyakinan yang rusak.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, dapat menjaga seseorang dari kesyirikan.

– Aqidah adalah semulia mulia dan seagung agungnya ilmu.

– Dengan mempelajari aqidah yang benar, menambah rasa takut seseorang dan menjauhkan dari perbuatan maksiat.

– Aqidah yang benar dapat melindungi diri dari perkara syubhat.

Wabillahit Taufiq,

 

Zia ‘Abdurrofi

 

Referensi :
-‘Aqidatut Tauhid Karya Syaikh Shaalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah

– Taisir Karimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalamil Mannan Karya Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rahimahullah.

– Qowa’idul Arba’ Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

– Syarh Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyyah Karya Prof.Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin

– Website alukah.net

——————————–
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori No.7373 dan Al Imam Muslim No. 30. Dibawakan pula dalam Kitabut Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.
[2] Lihat kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[3] Diringkas dari kitab Taisir Kariimir Rahmaan Fi Tafsiri Kalaamil Mannan – Karya Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
[4] Footnote kitab Syarh Tashil Al Aqidah Al Islamiyah Hal 32 – Karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin (Dosen Fakultas Tarbiyah Di Universitas Malik Su’ud Kota Riyadh, Saudi Arabia)
[5] Lihat di Muqoddimah kitab Qowa’idul Arba’ – Karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
[6] Di nukil dari tulisan Dr. Robi’ Ahmad di website alukah.net

Buah Manis Bertauhid (Part 2)

Artikel ini di tulis dalam rangka Menjaga Akidah Kita Di Masa Pandemi Covid-19 atau disebut juga Corona & merupakan sambungan dari Buah Manis Bertauhid.

Kembali kita ingat bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Perintah yang paling besar yang Allah embankan kepada manusia adalah bertauhid. Oleh karenanya, mereka yang melanggar tauhid alias menyekutukan Allah, berarti orang ini telah melakukan perbuatan dosa yang terbesar dibandingkan dosa-dosa yang lainnya.

Kali ini kita akan berbicara tentang apa itu buah manis dari tauhid?

  1. Seorang yang bertauhid yang menjauhkan dirinya dari kesyirikan maka mereka dijamin oleh Allah mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat serta dijamin oleh Allah akan mendapatkan petunjuk.

Petunjuk adalah suatu perkara yang sangat diinginkan dalam setiap lini kehidupan kita. Tidak hanya dalam perkara bagaimana cara kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi setiap perkara yang terkait dengan masalah dunia juga kita butuh petunjuk dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Misalnya, kita butuh pekerjaan dan kita menginginkan pekerjaan yang paling nyaman dan cocok untuk kita, maka kita mohon kepada Allah. Oleh karena itu, petunjuk adalah perkara yang paling urgen dalam setiap gerakan dan ucapan kita.

Apabila seseorang tidak memperdulikan petunjuk dalam perkataan dan perbuatan mereka, maka tidak ada tempat yang layak untuknya kecuali neraka. Makanya seorang yang bertauhid itu dijamin Allah Subhanahu wa Ta’ala aman dan dijamin Allah mendapatkan petunjuk dariNya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82).

Ini merupakan buah yang luar biasa. Allah menyebutkan,

“…dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik)…”

Zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Pada zaman Rasulullah ﷺ, ketika turun ayat ini dan para shahabat  mendengar ayat ini, maka apa kata mereka ?

“Ya Rasulullah, apa ada di antara kami yang tidak pernah berbuat zhalim? Tidak ada di antara kami yang tidak berbuat zhalim, pasti pernah. Jadi kalau orang yang berbuat zhalim tidak berhak mendapatkan keamanan, tidak berhak mendapat hidayah ya Rasulullah ?

Satu hal yang mengkhawatirkan para shahabat, lantas Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang zhalim yang dimaksud di sini adalah kesyirikan. Ini juga yang disebutkan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya ketika memberi nasihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم…..

“…‘Wahai anakku! Jangalah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar’ (QS. Lukman : 13)

Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-‘Anbiya ayat 103,

لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ

“Kengerian besar (Hari Kiamat) tidak membuat mereka gundah,…”

Orang-orang yang bertauhid tidak akan merasa susah pada hari kiamat.

وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ…

“…dan para malaikat menyambut mereka…”

Mereka disambut oleh para malaikat dan ini hanya untuk orang yang bertauhid.

هَٰذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ…

“…(Malaikat berkata), ‘Inilah hari kalian yang telah dijanjikan kepada kalian’ (QS. Al-Anbiya’ : 103)

Mereka mengatakan, ini adalah hari yang pernah dijanjikan untuk kalian.

 

  1. Seorang yang bertauhid ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dikarenakan apapun maka orang ini berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Orang yang paling beruntung mendapatkan syafa’atku di hari kiamat yaitu mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah ikhlas dan murni di hatinya bukan karena paksaan melainkan murni karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Inilah orang yang paling berhak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ.

 

  1. Seorang yang bertauhid tidak akan kekal di dalam neraka.

Manusia bukanlah makhluk yang suci yang tidak ada kesalahannya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”

Makanya tidak ada anak Adam yang tidak pernah berbuat salah, termasuk orang yang bertauhid. Namun, sebesar-besarnya dosa seorang yang bertauhid, kalaupun Allah tidak ampuni dosanya hingga dia masuk neraka, dia tidak akan kekal di dalam neraka. Beda halnya dengan seorang yang tidak bertauhid, mereka akan kekal dalam neraka selama-lamanya karena Allah tidak akan mengampuni dosanya. Dosa besar selain syirik masih ada kemungkinan untuk Allah ampuni jika Allah kehendaki. Berarti, ada yang dikehendaki Allah untuk diampuni dan ada juga yang tidak dikehendaki hingga tidak diampuni dosanya. Dan mau tidak mau dia harus masuk ke neraka.

Tapi ingat, azab dia tidak sama dengan orang yang kafir karena suatu saat dia akan keluar dari api neraka. Jangan ada satupun di antara kita yang ingin masuk neraka karena azab neraka yang paling ringan adalah dia memijak api neraka lalu otaknya menggelegak.

Seorang yang bertauhid tidak akan kekal dalam api neraka. Apa dasarnya? Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Abi Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala selesai menetapkan hukuman-hukuman kepada para hambaNya lantas Allah ingin mengeluarkan penduduk neraka dari api neraka dengan rahmatNya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada malaikat untuk mengeluarkan siapa saja yang tidak pernah menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, itupun memang orang yang Allah rahmati yaitu dari orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah.”

Para malaikat mengetahui mana yang layak untuk dikeluarkan dengan syarat dan ketetapan yang berlaku yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Darimana para malaikat tahu ? Mereka tahu penduduk-penduduk neraka yang layak keluar dari api neraka dari bekas sujud mereka.

“Karena Allah telah mengharamkan api neraka membakar bekas sujud yang  ada di tubuh anak Adam. Maka mereka pun keluar dan mereka sudah gosong. Dan dituangkanlah kepada mereka air, dimandikan mereka. Yang dikatakan air kehidupan.”

Jadi, orang-orang yang bertauhid tetap akan dikeluarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari api neraka. Tapi ingat, jangan ada di antara kita yang mengidam-idamkan masuk neraka karena tidak enak masuk neraka. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Didatangkan seseorang yang paling memiliki kehidupan yang paling bahagia di muka bumi. Memiliki segalanya apa saja yang dia inginkan dia bisa lakukan. Intinya yang paling bahagia di dunia. Lantas dia dicelupkan dalam api neraka sekali celup saja. Lantas ditanyakan, ‘Ya fulan, apakah kamu pernah merasakan kebahagiaan?’ Katanya, ‘Demi Allah tak pernah ya Allah’

Bayangkan, seumur hidup dia bahagia di muka bumi, tapi sayangnya dia termasuk penduduk neraka lalu dicelupkan sebentar saja ke dalam neraka. Lantas, ditanyakan apakah engkau pernah merasakan kebahagiaan ? Katanya, ‘tidak pernah ya Allah’. Makanya jangan ada di antara kita yang sempat masuk neraka, upayakan langsung masuk ke dalam surge-Nya Allah.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah mereka yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan dia ingkari semua sekutu-sekutu Allah.

Dia tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan dia tujukan seluruh jenis ibadah hanya kepada Allah maka haram hartanya dan jiwanya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah dan menegakkan sholat, dan membayar zakat. Kalau mereka lakukan itu semua maka terpeliharalah dariku darah dan harta mereka kecuali haknya islam, hisabnya ada pada Allah”

Jadi ada hak Islam yang memang harus kita keluarkan dari harta kita dengan zakat. Demikian juga ada seorang muslim, dia sudah bertauhid, maka mau tidak mau, halal darahnya dikarenakan sesuatu pelanggaran yang dia lakukan. Pelanggaran apa itu ? Rasulullah ﷺ bersabda,

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali tiga hal yaitu seorang yang sudah berumah tangga namun dia berzina,…”

Halal darahnya yang berarti dia di hukum mati (razam).

“…mereka membunuh orang lain,…”

Maka dia boleh diqishash yang artinya boleh dihukum mati.

“…mereka meninggalkan agama Islam dan meninggalkan jamaah kaum muslimin.”

Tiga orang ini halal darahnya. Oleh karenanya, seseorang yang sudah mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan Muhammadur Rasulullah, terpeliharalah darah dan hartanya kecuali hak Islam.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hatinya cahaya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-An’am ayat 122,

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?…” (QS. Al-An’am : 122)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwasanya orang yang bertauhid itu akan diberikan cahaya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cahaya dalam kehidupannya bahkan nanti cahaya di akhirat. Bahkan Allah menyebutkan orang yang bertauhid itu dikatakan orang yang hidup. Perhatikan,

“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan…”

Maksud mati di sini adalah orang kafir yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang musyrik yang tidak mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadatannya, maka dia dianggap mati. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah kepada mereka, maka itu adalah awal daripada kehidupan mereka. Allah beri mereka cahaya, dan sebesar apa cahaya mereka ? Semakin kuat tauhid mereka maka semakin dahsyat cahaya mereka. Makanya orang-orang mukmin itu ada yang cahayanya terang benderang bagaikan matahari, ada yang cahayanya bagaikan rembulan, ada yang cahayanya bagaikan bintang, ada yang bagaikan pelita yang terang dan semua ini tergantung sejauh mana tauhid yang ada pada diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 12-13,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَىٰ نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

“pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman; laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kalian kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang agung’.”

“Pada hari orang-orang munafik; laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman (ketika mereka meniti ash-Shirath), ‘Tunggulah kami! Biar kami mendapat secercah dari cahaya kalian.’ (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian).’ Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu; yang dari sebelah dalamnya (di tempat orang-orang Mukmin) adalah rahmat dan di sebelah luarnya (di tempat orang-orang munafik) adalah azab.” (QS. Al-Hadid : 12-13).

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah berikan dalam hatinya rasa benci kepada kemungkaran.

Semakin benci seorang kepada kemungkaran maka itu merupakan tanda semakin tebal tauhidnya dan semakin mantap keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 7,

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ…

“…Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hati kalian…”

Bagaimana?

كَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

“…serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan…” (QS. Al-Hujarat : 7)

Coba kita lihat sabda yang sering kita dengar, Rasulullah ﷺ,

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubah dengan tangannya, kalau tidak sanggup dengan lisannya, kalau tidak sanggup dengan hatinya.”

Bagaimana dengan hati ini ? Dia jangan berada dalam majelis kemungkaran tersebut. Harus dia tinggalkan karena itu menunjukkan bahwa dia benci melihat kemungkaran tersebut. Makanya Rasulullah ﷺ bersabda,

“Janganlah kalian duduk yang disitu dihidangkan khamrnya.”

Apabila dengan kuasa tidak bisa, dengan lisan juga tidak bisa, dan hatinya juga tidak bisa, maka tidak ada keimanan di hatinya. Keimanan apa maksudnya? Apakah keimanan mutlak ? Tidak, akan tetapi keimanan di sini dalam masalah kemungkaran yang tidak dia bemci sehingga dia dikatakan tidak mempunyai keimanan dalam hal tersebut. Makanya, semakin tebal keimanan seseorang maka semakin benci dia dengan seluruh kefasikan dan keburukan. Ini juga bisa sebagai barometer untuk hati kita.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah mudahkan dia dalam menghadapi berbagai macam permasalahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا…

“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya” (QS. Ath-Thalaq : 2).

Orang yang bertakwa tanpa tauhid itu bukan takwa Namanya. Karena yang dikatakan takwa adalah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang paling diperintahkan dalam Islam adalah tauhid dan yang paling dilarang dalam Islam yaitu syirik. Makanya seorang tidak dikatakan bertakwa kecuali dia bertauhid. Barangsiapa yang bertauhid dan bertakwa kepada Allah maka tidak hanya jalan keluar dari masalah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 3,

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka…”  (QS. Ath-Thalaq : 3).

Apalagi dalam keadaan wabah seperti ini, di mana kita dianjurkan di rumah saja, tidak berkumpul-kumpul, menjauh dari keramaian dan kita lihat tempat-tempat mulai sepi sehingga mereka yang biasa berdagang keliling menjadi sepi, omzetnya turun. Ketauhilah bahwa seorang yang bertauhid tidak akan membuat hal itu menjadi kekesalan pada dirinya. Karena itu semua kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, di balik itu Insya Allah ada hikmahnya.

Mungkin di antara hikmahnya adalah pedagang yang tadinya keliling mulai dari pagi sampai petang bahkan mungkin pulangnya malam sehingga tidak sempat bertemu keluarga, sekarang Allah berikan anda kesempatan 24 jam untuk bersama keluarga. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan anda dan keluarga dengan orang yang anda cintai. Jadi, jangan kesal. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan sesuatu ada hikmah di baliknya.

Orang yang bertakwa selalu mengambil hikmah dari ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masalahnya selalu ada jalan keluar, dan itu merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaupun anda berpindah dari satu usaha ke usaha berikutnya, jangan anda merasa piawai karena sanggup mengubah usaha ke usaha berikutnya sesuai kondisi. Itu semua merupakan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan karena kehebatan anda.

 

  1. Seorang yang bertauhid akan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat menjadi pemimpin dan Allah akan mantapkan kedudukannya di dunia.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur ayat 55,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama mereka yang telah Dia ridhai, dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa;…” (QS. An-Nur : 55).

Ingat buah tauhid yang lalu yaitu rasa aman. Kami akan ubah rasa takut mereka jadi rasa aman dengan syarat ?

….يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“…mereka beribadah kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu apa pun denganKu…” (QS. An-Nur : 55).

Jadi, orang-orang yang bertauhidlah yang akan diangkat menjadi pemimpin di muka bumi ini, yang mantap kedudukannya dan yang aman dari segala ketakutan, itulah orang-orang yang bertauhid.

 

  1. Seorang yang bertauhid adalah seorang yang sejahtera, bahagia di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Fushshilat ayat 30-31,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian bersedih hati; dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepada kalian.’ Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kalian memperoleh apa yang diinginkan oleh diri kalian dan di dalamnya kalian juga memperoleh apa yang kalian minta…” (QS. Fushilat : 30-31)

Bayangkan, Allah membacking kehidupan dia di dunia dan akhirat. Apakah ada backing yang lebih kuat ketimbang backing Rabbul ‘Alamin ? Makanya, orang-orang yang bertauhid selalu bahagia kehidupannya, di dunia dan di akhirat. Bahagia tidak harus dengan banyak harta, karena apabila orang yang banyak harta bahagia maka Qorun lah orang yang paling bahagia. Ternyata Qorun telah Allah benamkan dalam bumi karena kekurangajarannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Qashash ayat 78,

“… ‘Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.’…”

Harta yang sekian banyak aku dapati dikarenakan kehebatanku, kepiawaianku, dan ilmuku.

Maka, karena kedurhakaannya inilah Allah benamkan dia ke dalam bumi. Kalau harus punya jabatan baru bahagia maka Fir’aun lah orang yang bahagia, tapi kita lihat bagaimana akhir hidupnya, Allah benamkan dia ke dalam sungai.

Jadi, orang yang paling bahagia adalah orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau mereka bahagia, mereka bersyukur maka itu baik untuk mereka. Kalau mereka ditimpa musibah, mereka bersabar maka itu baik untuk diri mereka. Itulah luar biasanya kondisi orang-orang yang bertauhid.

Begitulah ada sembilan hal buah manis dari tauhid. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid dan mengumpulkan kita dalam surga-Nya kelak.

Ringkasan Tablig Akbar Cerita Tentang Dajjal

Pada malam hari ini, saya mau bercerita tentang Dajjal tapi bukan DONGENG ya. Kenapa saya mengangkat tema tentang Dajjal? Karena : (1) Dajjal itu keluar di saat orang-orang tidak lagi membicarakan tentangnya dan sudah melupakannya. (2) Fitnah yang paling besar adalah Fitnah Dajjal[1]. (3) Banyak orang di zaman sekarang yang berbicara tentang tokoh yang satu ini dengan menggunakan dalil-dalil yang dhoif.

Sebelum Dajjal datang, akan ada 3 tahun yang sangat kering, di mana tahun yang pertama, Allah akan menahan sepertiga air hujan. Tahun yang kedua, Allah akan menahan dua pertiga air hujan. Tahun yang ketiga, Allah akan menahan hujan sama sekali dan di saat itu tidak ada makanan[2]. Dalam riwayat yang lain[3], “Tidak akan tegak hari kiamat sampai orang-orang akan mengharapkan keluarnya Dajjal.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa demikian?” kata Rasulullah, “Karena di saat itu kesusahan luar biasa sekali.” BAYANGKAN tidak ada makanan, di saat kesusahan seperti itu Dajjal membawa gunung roti. Di zaman sekarang saja ada orang bersedia mengganti agamanya demi mendapatkan sesuap nasi, bagaimana kalau ternyata itu di waktu Dajjal keluar? MENGERIKAN.

Disebutkan pula dalam hadits yang shahih, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan, “Makmurnya Baitul Maqdis itu tanda akan kosongnya kota Madinah. Kosongnya kota Madinah, tanda akan adanya malhamah kubro. Setelah malhamah, akan dikuasainya Konstantinopel. Dikuasainya Konstantinopel, keluarlah Dajjal.”[4]

Di sini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa tanda Dajjal sudah sangat dekat yaitu Baitul Maqdis itu makmur. Kenapa Baitul Maqdis makmur? Karena di sana merupakan kerajaan Islam terakhir di Syam dan akan dipimpin oleh Imam Mahdi. Makmurnya Baitul Maqdis, tanda kota Madinah akan kosong ditinggalkan penduduknya. Kosongnya kota Madinah, tanda akan terjadi malhamah kubro yang merupakan perperangan yang sangat dahsyat dan berakhir dengan kemenangan kaum muslimin juga dikuasainya kota Konstantinopel. Ketika kota Konstantinopel sudah dikuasai dan ketika kaum muslimin hendak mengambil ghanimah, maka terdengar seruan bahwa Dajjal sudah keluar. Maka kaum muslimin pun meninggalkan ghanimah dan lari menyelamatkan diri masing-masing.

Siapa Dajjal?

Dajjal telah ada bahkan di zaman Rasulullah, Dajjal sudah ada. dari seorang shahabat yang bernama Tamim bin Aus Ad-Dari (Abu Ruqoyyah). Tamim bin Aus Ad-Dari berkata, “Aku bersama beberapa orang dari qabilahku(yaitu dari Bani Tamim) kami berlayar di lautan akan tetapi kami diombang-ambingkan selama 3 hari 3 malam sampai akhirnya kami terdampar di sebuah pulau. Lalu di pulau itu kami bertemu dengan makhluk yang dipenuhi oleh bulu. Kami tidak tau mana depan mana belakang. Lalu kami berkata, “Kamu siapa?”

Dia menjawab, “Aku Jasasah.”

Lalu kami bertanya, “Siapa Jasasah?”

Maka dia berkata, “Hai kaum, bersegera kalian ke sebuah rumah ibadah di sana karena di sana ada seorang laki-laki yang ingin bertemu dengan kalian.”

Kami pun segera pergi ke sebuah rumah tersebut. Maka kami melihat dan bertemu dengan seorang manusia yang tidak pernah kami melihat ada yang lebih besar daripada manusia itu. Dia dirantai oleh rantai-rantai besi. Lalu kami berkata, “Siapa kamu?”

Maka orang besar ini berkata, “Kabarkan kepadaku siapa kalian?”

Kata kami, “Kami dari Arab dari Bani Tamim.”

Lalu orang yang besar ini berkata, “Apa yang dilakukan oleh Muhammad dan para shahabatnya?”

Kata Abu Ruqoyyah, “Dia sudah hijrah ke kota Madinah dan menguasai qabilah-qabilah yang ada di sekitarnya.”

Kata Dajjal, “Ketahuilah jika mereka mengikuti Muhammad itu lebih baik buat mereka.”

Lalu kemudian Dajjal minta diberitahu tentang 3 perkara. Dajjal berkata kepada Tamim, “Kabarkan kepadaku tentang kurma yang ada di suatu tempat namanya Baissan?”

Kata Tamim, “Tentang apanya?”

“Tentang kurmanya, apakah masih berbuah?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang besar ini, “Kelak nanti pohon kurma di sana tidak akan berbuah lagi.”

“Kabarkan kepadaku tentang sebuah mata air yang bernama Zughor?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, apakah masih banyak?”

Kata Tamim, “Masih.”

Kata orang ini, “Kelak airnya akan kering.” Kemudian orang ini bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku tentang danau yang bernama Tobaria(Tiberias)?”

“Tentang apanya?” kata Tamim.

“Tentang airnya, masih ada atau tidak?”

Kata Tamim, “Banyak.”

Kata Beliau, “Kelak nanti danau itu akan kering. Di saat mata air Zughor sudah kering dan Tiberias sudah kering dan pohon kurma yang ada di Baissan sudah tidak berbuah, aku akan keluar. Akulah Dajjal.”

Lalu pulanglah Tamim bersama teman–temannya, mereka pun langsung menuju kota Madinah bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu masuk islam lah Tamim dan diceritakan perihal bertemunya Tamim dengan Dajjal. Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabat, “diam di tempat-tempat kalian, bercerita kepadaku tadi Tamim tentang Dajjal persis seperti yang aku ceritakan kepada kalian.”[5]

Qadarullah, Tamim dijadikan Allah lupa di daerah mana itu, apakah di timur atau barat? Lupa Tamim. Jangankan Dajjal yang cuma satu orang, Ya’juj dan Ma’juj yang jumlahnya sangat banyak saja susah kita menemukannya di mana. Hanya Allah yang Maha Tau.

Di mana Dajjal akan keluar?

Dajjal akan keluar di sebuah tempat yang bernama Yahuda di Ashbahan. Kata Rasulullah, ”Dia akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi yang memakai toyalisah.”[6] Antum tau Ashbahan di mana? Di Iran. Perlu antum ketahui bahwa populasi jumlah Yahudi di Ashbahan sekarang ini sudah sangat banyak sekali.

Sifat-sifat Dajjal

Di antara sifat-sifat Beliau adalah :

  1. Rambutnya kribo dan pendek.[7]
  2. Besar badannya.[8]
  3. Jidatnya agak nonjol(jenong) yang bertuliskan ka fa ra.[9]
  4. Diberikan kemampuan yang luar biasa seperti dapat berjalan secepat angin, bisa menyuruh awan untuk hujan, bisa menyuruh tanah agar kering[10] dan ini merupakan fitnah yang dahsyat.
  5. Dajjal membawa air yang dingin dan membawa api.[11]
  6. Dajjal disebut almasih karena matanya pecak sebelah.[12]
  7. Dajjal akan terus mendatangi tempat-tempat di bumi.[13]

Orang yang akan terfitnah oleh Dajjal

  1. Orang Yahudi. Karena disebutkan di dalam hadits, dia(Dajjal) akan diikuti oleh 70.000 pasukan Yahudi.
  2. Wanita. Karena kebanyakan mereka bodoh dalam agama.[14]

Tempat yang tidak bisa dimasuki Dajjal

Ada 4 tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Dajjal[15] :

  1. Kota Mekkah
  2. Kota Madinah
  3. Baitul Maqdis
  4. Gunung Thur

Bagaimana cara supaya selamat dari Dajjal?

  1. Berusaha menjadi penuntut ilmu agama. Pernah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Rasulullah mengabarkan tentang ada seorang pemuda yang akan mendatangi Dajjal dan berkata pemuda itu, “Wahai manusia, sesungguhnya dia itu Dajjal, jangan diikuti oleh kalian.” Maka kemudian dia ditangkap oleh pasukan Dajjal dan dibawanya kepada Dajjal. Lalu kemudian Dajjal menyuruh dia murtad dan mengakuinya sebagai Nabi, tapi dia tidak mau. Maka digergaji kepalanya sampai jadi dua belah, kemudian Dajjal berjalan di antara dua anggota tubuhnya tersebut, rapat lagi jadi orang lagi, berdiri. Lalu Dajjal berkata, “Sekarang kamu beriman tidak bahwa aku tuhanmu?” apa kata si pemuda ini? “Justru aku semakin yakin engkau Dajjal yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”[16] rupanya si pemuda ini punya ilmu tentang hadits. Berarti ini memberikan isyarat, mereka yang berpegang kepada sunnah, yang belajar sunnah, yang belajar agama, belajar diin, insyaAllah mereka selamat.
  2. Kenali sifatsifat Dajjal. Sebab kalau kita tidak mengenalinya secara betul-betul, maka kita bisa tertipu.
  3. Berdo’a berlindung dari 4 perkara.

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jangan lupakan itu, Nabi menganjurkan umatnya sebelum salam setelah selesai tahiyat untuk berlindung dari 4 perkara.[17]

  1. Hafalkan 10 ayat pertama dari surat Al Kahfi[18]. Hafalkanlah dari sekarang.
  2. Berusaha menjauh dari Dajjal. Lari, jangan malah penasaran bagaimana Beliau itu, karena syubhatnya besar. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Seseorang ingin bertemu dengan Beliau dan dia merasa yakin dia tidak terpengaruh ternyata langsung terkena syubhatnya.”[19] Karena syubhat Beliau itu kuat sekali, berat. Ini seperti isyarat agar kita meninggalkan dan menjauhi segala macam syubhat. Jangan dekati syubhat. Kalau di zaman sekarang, banyak orang senang malah mendekati syubhat itu. Malah penasaran pengen tau, akhirnya terpengaruh. Akibat dari kita tidak mau menjauhi syubhat, akhirnya jatuhlah kepada syubhat. Nah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh kita supaya ketika mendengar Dajjal di suatu tempat, segera lari, lari, dan lari masyaAllah. Untuk lari meninggalkan Dajjal itu tidak mudah, karena butuh perjuangan luar biasa.

Berapa lama Dajjal tinggal di bumi?

Dajjal akan tinggal di bumi 40 hari. Hari yang pertama, kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sepanjang satu tahun, artinya matahari akan Allah tahan selama satu tahun. Kemudian hari kedua, kata Rasulullah panjangnya sama dengan sebulan, hari yang ketiga panjangnya sama dengan seminggu, dan hari berikutnya sama dengan hari-hari yang lainnya.[20]

Terbunuhnya Dajjal

Kemudian setelah Dajjal tinggal di bumi selama 40 hari, Allah pun turunkan Nabi Isa ‘alaihissalam, di sebuah menara yang berwarna putih di kota Damaskus. Di mana Nabi Isa turun dengan mengendarai malaikat, seakan akan beliau baru keluar dari kamar mandi. Kenapa? Karena Nabi Isa itu rambutnya selalu basah. Lalu kemudian Nabi Isa mengumumkan jihad dan di saat itu kaum muslimin hendak siap-siap untuk shalat subuh. Ketika mereka hendak shalat subuh, terdengarlah suara. Maka mereka segera menuju suara tersebut ternyata Nabi Isa ‘alaihissalam. Lalu kemudian dikumangkanlah iqamah, dipersilahkan Nabi Isa jadi Imam tapi Nabi Isa tidak mau. Makanya Rasulullah bersabda, “bagaimana keadaan kalian apabila Nabi Isa almasih telah keluar pada kalian dan ternyata yang menjadi imam tetap dari kalian?” Kenapa Nabi Isa tidak mau jadi imam? Karena menghormati umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka saat itu Nabi Isa pun mengumumkan perang, Nabi Isa hanya menerima dua, dibunuh atau masuk Islam dan tidak lagi menerima jizyah dan saat itu Nabi Isa akan menghancurkan salib, akan menghancurkan babi, dan Nabi Isa ‘alaihisallam pun diberikan oleh Allah kekuatan yang luar biasa. Tidak ada seorang pun orang kafir yang mencium nafasnya Nabi Isa kecuali mati dan nafas Nabi Isa sepanjang mata memandang beliau.[21] Dikejarnya terus dikejarnya sampai akhirnya Nabi Isa membunuh Dajjal di suatu tempat bernama Bab Ludd[22]. Di sanalah kemudian Beliau dibunuh oleh Nabi Isa. Maka the end, selesailah riwayat dari tokoh yang satu ini.

Penutup

Semua itu pasti terjadi karena itu semua dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka dari itu setiap kita mempersiapkan keimanan kita dari sekarang. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika mengabarkan Dajjal akan keluar, lalu tokoh yang satu ini akan berbuat kerusakan di sana sini, apa kata Rasulullah? “hai hamba-hamba Allah, kokohlah kalian di atas agama kalian. Kuat kalian berpegang kepada agama kalian.” Karena memang berat sekali, Allahua’lam.

*Diintisarikan dari Tabligh Akbar berjudul “Cerita Tentang Dajjal” oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam –hafizhahullah- dengan sedikit penambahan dan pengurangan yang diperlukan tanpa mengubah makna.

Video Kajian Selengkapnya Dapat Ditonton Di: KAJIAN ILMIYAH : Ustadz Abu Yahya Badru Salam, Lc – Cerita Tentang Dajjal

[1] HR. Ibnu Majah no. 4215

[2] Silsilah Hadits Ash-Shahihah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[3] Shahih Jami’, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani

[4] HR. Abu Daud

[5] Hadits Jasasah. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya

[6] HR. Muslim no. 2944

[7] HR. Abu Daud no. 4320. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[8] HR. Bukhari no. 7128 dan Muslim no. 171

[9] HR. Muslim no. 169

[10] HR. Muslim no. 2937

[11] HR. Muslim no. 2934

[12] Jami’ al-Ushul, 4: 204

[13] HR. Muslim no. 2942

[14] HR. Ahmad 2: 67

[15] HR. Ahmad 5: 364

[16] HR. Muslim no. 2938

[17] HR. Muslim no. 588

[18] HR. Muslim no. 809

[19] HR. Abu Daud no. 4319 dan Ahmad 4: 441

[20] HR. Abu Daud no. 4321

[21] HR. Muslim no. 2937 dari Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu anhu

[22] HR. At-Tirmidzi no. 2244

Tulisan ini merupakan tulisan pemenang pada Sayembara Menulis Sesuaisunnah.com edisi #01

 

Baca juga : Ciri-ciri Orang Yang diterima Amalannya di Bulan Ramadhan

Hukum Menggunakan Darah Kambing untuk Mengobati Penyakit Kulit

Hukum Menggunakan Darah Kambing :

Bismillah

Assalamu’alaikum warrahmatullah.

‘Afwan menyita waktunya Ustadz. Ana mau bertanya. Apa hukumnya mengobati penyakit kulit dengan mencelupkan lukanya ke darah binatang (kambing) yang baru aja disembelih. Karena ana mau potong kambing, sementara ada keluarga yang minta darahnya. Hal demikian tanpa diiringi keyakinan yang berbau kesyirikan. Namun belum terbukti secara ilmiah, hanya dari mulut ke mulut orang tua terdahulu.

Jawaban

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه وبعد
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Rincian untuk masalah ini:

Mengambil sesuatu menjadi sebuah sebab yang boleh untuk ditempuh, harus terpenuhi 2 syarat:

  1. Sesuatu tersebut dinyatakan secara syar’i, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang shohih sebagai sebab yang diakui. Contohnya madu, ruqyah syar’i, habbatussauda, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Syar’i.
  2. Sesuatu tersebut tidak disebutkan dalam dalil syar’i namun terbukti secara klinis (lulus uji klinis) atau teruji menurut pengalaman dan penelitian para ahli bahwa ia memiliki pengaruh kesembuhan yang hakikatnya Allah jadikan ia memiliki daya sembuh yang kemudian ditemukan manusia. Contohnya seperti kunyit untuk penyakit lever, pil Kina untuk demam, dan lain-lain. Ini disebut oleh para ulama sebagai Sebab Qodari.

 

Bila sesuatu dijadikan sebagai sebab sementara tidak disebutkan dalam dalil Al-Qur’an maupun hadits yang shohih, tidak juga ada pernyataan ahli dalam masalah tersebut serta belum lulus uji klinis maka tindakan menjadikannya sebagai sebab yang ditempuh terhitung syirik kecil ( الشرك الأصغر ) . Karena seolah -olah ia menebak dan mengetahui perkara yang ghaib. Namun bila ia meyakini sesuatu tersebut mampu memberikan kesembuhan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah, maka telah terjerumus ke dalam Syirik Besar (الشرك الأكبر ).

Lebih – lebih ternyata sebab tersebut terhitung najis. Maka tidak dibenarkan. Pada kasus yang ditanyakan, darah yang keluar dari leher hewan yang disembelih adalah najis. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ لَّاۤ اَجِدُ فِيْ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗۤ اِلَّاۤ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ}

Katakanlah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir (dari luka leher yang disembelih), daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 145).

 

Tidak Boleh Berobat dengan Menggunakan Najis

Bila darah yang najis dijadikan obat maka telah melanggar larangan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits- hadits berikut:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ:« ﻧﻬﻰ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﺪﻭاء اﻟﺨﺒﻴﺚ.» ﺭﻭاﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﻭاﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata: ” Rasulullah ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ melarang dari obat yang najis.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

«ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺧﻠﻖ اﻟﺪاء ﻭاﻟﺪﻭاء ﻓﺘﺪاﻭﻭا وﻻ ﺗﺘﺪاﻭﻭا ﺑﺤﺮاﻡ »رواه الطبراني ﻋﻦ ﺃﻡ اﻟﺪﺭﺩاء. (ﺻﺤﻴﺢ) اﻧﻈﺮ ﺣﺪﻳﺚ ﺭﻗﻢ: 1762 ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺠﺎﻣﻊ

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah! Namun jangan berobat dengan yang harom!!” (HR. Thobroniy)

والله تعالى أعلم

 

Baca juga : Bolehkah Menggantikan Kewajiban Shalat Orang Tua Yang Sedang Koma

 

Hukum Menggunakan darah kambing