Kitab Qowa’idul Mustla Fi Sifatillah Ta’ala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah Dan Nama Allah Yang Sempurna
Bab 2: Kaidah – Kaidah Dalam Memahami Sifat-Sifat Allah
Kaidah 1: “Sifat Allah terbagi kepada 2 jenis: Sifat Tsubutiyyah dan Sifat Salbiyyah”
Perlu kita pahami, bahwasanya Sifat Allah terbagi kepada 2 jenis, yaitu:
1. Sifat Tsubutiyyah, Yaitu adalah sifat-sifat yang Allah tetapkan pada Diri Allah dalam Alqur’an, atau sifat-sifat yang ditetapkan dari lisan Rasulullah dalam sabdanya, dan semua sifat Tsubutiyyah adalah sifat kesempurnaan yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun dari sisi manapun, seperti sifat Hidup, sifat Ilmu, sifat Kemampuan, sifat Bersemayam diatas Arsy, sifat Turun ke langit dunia, sifat Wajah, sifat Kedua Tangan, dll. Maka Wajib atas kita untuk menetapkan semua sifat Allah secara Hakiki sesuai dengan kesempurnaan Dzat Allah, yang mana itu diharuskan secara Wahyu dan Akal:
a. Wahyu, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Nabi Muhammad), Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapa yang kufur kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir sungguh dia telah tersesat sangat jauh.” [An-Nisa’: 136]
Maka pada hakikatnya keimanan kepada Allah mencakup beriman kepada Sifat-sifat Allah, begitu juga beriman kepada Kitab yang Allah turunkan mencakup beriman kepada Ayat-ayat yang Allah firmankan dari Ayat-ayat Sifat Allah, begitu beriman kepada Rasul-Nya yang diutus mencakup beriman kepada apa yanh disampaikan Rasulullah dari kabar terkait sifat-sifat Allah.
b. Akal, yaitu bahwasanya ketika Allah mengabarkan terkait diri-Nya dan sifat-Nya dalam Alqur’an maka kita harus menetapkan kepastian Tekstual dan makna dari Tekstual tersebut, karena kita sudah meyakini bahwasanya Allah lebih mengetahui terhadap Dzat dan Sifat Allah daripada selain Allah, dan Allah lebih jujur dan paling jujur perkataan-Nya daripada selain Allah, dan Allah paling mampu dan paling Fasih dalam berfirman dan memilih kata-kata yang paling pantas dan pas untuk melafadzkan makna yang Allah maksudkan daripada selain Allah, dan Allah adalah Tuhan yang paling menginginkan Hidayah dan Petunjuk kepada Hamba-hambaNya daripada selainnya sehingga tidak mungkin Allah menyulitkan dan memberatkan hamba-Nya dengan merumitkan Tekstual lafadz dari makna-maknanya.
Maka dengan semua kepastian tersebut Wajib bagi kita untuk Yakin terhadap Tekstual Lafadz beserta makna yang ada dalam firman-Nya dan sabda Rasul-Nya tanpa sedikitpun keraguan dalam benak kita. Karena pada hakikatnya, keraguan hanya ditujukan kepada perkataan dari dzat yanh mungkin memiliki kebodohan, kebohongan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan perkataan dengan baik, adapun ketika yang berkata adalah Dzat Allah yang mustahil memiliki aib-aib tersebut maka Wajib bagi kita untuk Yakin dan Haram untuk ragu.
Begitu juga dengan Rasulullah, walaupun Rasulullah manusia namun dalam menyampaikan wahyu Rasulullah adalah Utusan Allah, sehingga Allah meniadakan sifat Bohong, Bodoh, Khianat, Cacat bicara, dll, sehingga tidak boleh kita untuk meragukan semua sabda yang keluar dari Lisan Rasulullah.
2. Sifat Salbiyyah, yaitu adalah sifat yang Allah sucikan dari diri Allah dalam Alqur’an dan sifat yang Rasulullah sucikan dari diri Allah, yang mana semua sifat tersebut adalah kekurangan bagi Dzat Allah, seperti sifat kematian, tidur, bodoh, lupa, lemah, lelah, dll, maka semua sifat tersebut haris disucikan dari Dzat Allah dengan sekaligus menetapkan makna kebalikan dari sifat kurang tersebut yang notabenenya makna kebalikan tersebut adalah sifat kesempurnaan bagi Dzat Allah.
Hal tersebut dikarenakan penafian atau peniadaan sifat saja tanpa penetapan makna kebalikan bukanlah sesuatu kesempurnaan, karena peniadaan semata adalah ketiadaan saja, sehingga perlu untuk menetapkan kebalikan kekurangan tersebut yang notabenenya adalah kesempurnaan, adapun jika meniadakan sifat kurang tanpa menetapkan kebalikannya dari sifat kesempurnaan maka pada hakikatnya itu hanyalah ketiadaan, seperti mengatakan “Tembok ini tidak Zdolim” maka perkataan tersebut bukanlah pujian.
Diantara contohnya, Allah berfirman:
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”. [Kahf: 49]
Begitu juga Allah berfirman:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِن شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا
“Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [Fatir: 44]
Pada ayat diatas, Allah menafikan sifat Lemah dari Dzat Allah dan sekaligus menetapkan sifat kebalikan dari Lemah yaitu kesempurnaan kemampuan Allah, oleh karena itu pada akhir ayat Allah menetapkan nama Allah Yang Maha Mampu.
–
–
–
Kaidah 4: Sifat Tsubutiyyah adalah sifat terpuji dan sempurna sehingga semakin banyak disebutkan maka semakin jelas kesempurnaan Dzat Allah.
Oleh karena itu, Allah menetapkan sifat Tsubutiyyah secara terperinci dengan sangat banyak dan berulang-ulang dalam Alqur’an jauh lebih banyak dari penyebutan sifat Salbiyyah. Adapun sifat Salbiyyah maka Allah tidak menyebutkannya kecuali pada beberapa keadaan:
1. Penjelasan terhadap kesempurnaan sifat-sifat Allah, seperti firman Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [shura: 11]
Begitu juga Allah berfirman:
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. [Ikhlas: 4]
2. Menafikan tuduhan-tuduhan dusta yang ditujukan kepada Sifat-sifat Allah, Allah berfirman:
أَن دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا () وَمَا يَنبَغِي لِلرَّحْمَٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا () إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا
“Karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” [Maryam: 91-93]
pada ayat diatas, Allah menetapkan bahwa Allah mustahil memiliki anak seperti yang didakwakan oleh para pendusta dari musuh-musuh Allah, Karena memiliki anak adalah sifat kekurangan yang mengharuskan kehancuran keesaan bagi Tuhan, yaitu bahwasanya Kepemilikan anak menjadikan tuhan tersebut tidak Esa lagi karena terdapat anak yang memiliki predikat tuhan yang mana ia berasal dari dzat tuhan sehingga ini menghilangkan keesaan dari dzat tuhan tersebut.
3. Menghapuskan prasangka terkait sifat kekurangan pada Dzat Allah, Allah berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan.” [Qaf: 38]
Begitu juga Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ () لَوْ أَرَدْنَا أَن نَّتَّخِذَ لَهْوًا لَّاتَّخَذْنَاهُ مِن لَّدُنَّا إِن كُنَّا فَاعِلِينَ
“Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya).” [Anbiya: 16-17]
Pada ayat diatas Allah menafikan sifat lemah setelah menciptakan Langit bumi dalam 6 hari dikarenakan Allah mengetahui adanya tuduhan dan prasangka dari orang-orang yang ragu seperti Yahudi, sehingga Allah meniadakan secara langsung. Begitu juga Allah meniadakan sifat sia-sia dari Penciptaan langit bumi karena Allah mengetahui adanya prasangka seperti itu dari beberapa sekte sesat.
–
–
–
Kaidah 5: Sifat Tsubutiyyah dan terbagi kepada 2 macam: Dzatiyyah dan Fi’liyyah
Bahwasanya Sifat Allah yang ditetapkan oleh Allah dari sifat-sifat kesempurnaan terbagi kepada 2 macam:
1. Sifat Dzatiyyah, yaitu adalah sifat yang selalu melekat dan tidak akan pernah hilang dari Dzat Allah. Seperti sifat Ilmu, Kemampuan, Pendengaran, Penglihatan, keperkasaan, kebijaksanaan, tinggi, keagungan.
Sifat-sifat Dzatiyyah terbagi kepada 2 dari sisi metode diketahuinya, yaitu:
a. Dzatiyah Khabariyyah, yaitu adalah sifat yang tidak bisa diketahui kecuali harus ada dalil wahyu yang menetapkannya, seperti wajah, kedua tangan, kedua mata, kaki, jari jemari, dll.
b. Dzatiyah Maknawiyyah, yaitu adalah sifat yang bisa diketahui dengan hanya dengan akal, seperti ilmu, kemampuan, penglihatan, Pendengaran, tinggi, dll.
2. Sifat Fi’liyyah, yaitu adalah sifat yang satuan atau aksinya tergantung dengan keinginan dan kehendak Allah, jika Allah berkehendak untuk melakukannya maka terjadi dan jika Allah tidak berkehendak untuk melakukannya maka tidak terjadi. Seperti sifat Bersemayam diatas Arsy, Turun ke Langit dunia, Datang pada hari akhir, Menciptakan, memberikan rezeki, mengatur Alam, dll.
Sifat-sifat Fi’liyyah pum terbagi kepada 2 dari sisi metode diketahuinya, yaitu:
a. Fi’liyyah Khabariyyah, yaitu adalah sifat yang tidak bisa diketahui kecuali harus ada dalil wahyu yang menetapkannya, seperti turun, Bersemayam diatas Arsy, Datang, Tertawa, Murka, dll.
b. Fi’liyyah Maknawiyyah, yaitu adalah sifat yang bisa diketahui dengan hanya dengan akal, seperti Penciptaan, Pengaturan, memberikan rezeki, dll.
Sifat-sifat Fi’liyyah ini disebut dengan sifat Dzatiyyah Fi’liyyah, karena semua sifat tersebut jika dilihat dari sisi jenis sifat (yaitu keterkaitan sifat tersebut dengan kemampuan Allah) maka semua sifat tersebut adalah Dzatiyyah karena Allah selalu mampu untuk melakukan sifat tersebut sejak azali, adapun jika dilihat dari sisi aksi atau satuan sifat (yaitu keterkaitan sifat tersebut dengan kehendak Allah) maka semua sifat tersebut adalah Fi’liyyah karena aksi dan satuan sifat perbuatan tersebut tergantung dengan kehendak Allah dalam pengkhususan waktu dan cara melakukannya sehingga menjadikan aksi dan satuan dari sifat tersebut baru sesuai dengan hikmah serta keberadaan dan keadaan objeknya.
Diantara contohnya seperti sifat kalam atau berbicara, yang man itu adalah sifat Dzatiyyah sekaligus Fi’liyyah, maka Allah sudah mampu untuk berbicara secara Azali walaupun Allah belum melakukannya karena hikmah yang allah ketahui, dan Allah akan melakukan sifat tersebut pada waktu baru dan tertentu, kapan saja dan bagaimana saja, sesuai dengan hikmah Allah.
Allah berfirman:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” [Yasin: 82]
Dan pada hakikatnya, semua perbuatan Allah terkait pengkhususan wakti tertentu, objek tertentu, cara tertentu, maka semuanya mengikuti hikmah Allah, yang terkadang hikmah tersebut bisa kita ketahui dan terkadang tidak bisa kita ketahui, namun pastinya akan selalu ada hikmah dari semua perbuatan yang Allah lakukan, seperti yang Allah firmankan:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” [Takwir: 29]