Kitab Qowa’idul Mustla Fi Sifatillah Ta’ala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah Dan Nama Allah Yang Sempurna
Bab 1: Kaidah – Kaidah Dalam Memahami Nama-Nama Allah
Kaidah 3: “Nama-Nama Allah Jika Disebutkan Dengan Kata Yang Notabenenya Memiliki Objek, Maka Nama Tersebut Mencakup 3 Hal:”
1. Penetapan Nama untuk Dzat Allah yang Allah Dipanggil dengan Nama Tersebut.
2. Penetapan Sifat yang Terkandung dalam Nama Tersebut.
3. Penetapan Hukum dan Ketentuan yang Menjadi Keharusan dari Nama Tersebut.
Sebelumnya, Perlu kita ketahui bahwa sifat dan nama Allah ketika ditinjau dari keterkaitan dengan objek maka terbagi kepada 2 macam:
A. Sifat Lazimah (Tidak memiliki Objek), sifat ini ketika disebutkan dalam dalil Alqur’an dan Hadist maka mencakup 2 hal, yaitu:
1. Penetapan Nama untuk Dzat Allah yang Allah Dipanggil dengan Nama Tersebut.
2. Penetapan Sifat yang Terkandung dalam Nama Tersebut.
Sifat Lazimah tidak mengandung hukum dan ketentuan yang berkaitan dengan objek karena sifat tersebut tidak memiliki objek, seperti sifat Istiwa’ (Bersemayam), Nuzul (Turun ke langit dunia), Majii’ (Datang pada Hari kiamat), Al-Hayat (Hidup), dll, namun sifat-sifat lazimah tetap memiliki hikmah yang sangat besar dari sifat tersebut terhadap hamba-hamba Allah.
B. Sifat Muta’adi (Memiliki Objek), Sifat ini lah yang disebutkan pada kaidah diatas, yaitu sifat tersebut ketika disebutkan dalam dalil Alqur’an dan Hadist maka mencakup semua hal yang telah disebut sebelumnya, sehingga memiliki perbedaan dengan sifat Laziimah yaitu adalah bahwa sifat Muta’adi memiliki hukum dan keharusan terhadap objeknya.
–
Maksud dari hukum sifat Muta’adi adalah keharusan atau dampak dari adanya sifat tersebut pada makhluk-makhluk Allah, diantara contohnya:
1. Nama Allah “Al-Kholiq” (Yang Maha Menciptakan), Menunjukkan terhadap Nama Allah, sifat “Penciptaan” yang sempurna, dan hukum dari sifat tersebut yaitu bahwa Tidak ada satu makhluk kecuali Allah yang menciptakannya, termasuk “perbuatan manusia” maka juga termasuk ciptaan Allah.
Allah berfirman:
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (AlHasyr 24)
2. Nama Allah “As-Samii'” (Yang Maha Mendengar), Menunjukkan terhadap Nama Allah, sifat “Pendengaran” yang sempurna, dan hukum dari sifat tersebut yaitu bahwa Allah mendengar semua suara dan perkataan manusia mau besar ataupun kecil suara tersebut, mau berapa Desibel pun suara tersebut maka Allah mendengarnya, dan termasuk dari keharusan sifat Allah adalah bahwa Allah mendengar pada saat suara itu ada, adapun sebelum suara itu ada maka Allah belum mendengarnya.
Allah berfirman:
مَّا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Luqman: 28]
3. Nama Allah “Al-Ghofur” (Yang Maha Pengampun) dan “Ar-Rahim” (Yang Maha Penyayang), Menunjukkan nama Allah, Sifat “Pengampunan” dan “Menyayangi” yang sangat luas, dan hukum dari dua sifat tersebut yaitu bahwa ketika seorang hamba bertaubat kepada Allah dari dosa sebesar apapun itu maka Allah akan mengampuni semua dosa tersebut, begitu juga tindak pidana yang dilakukan manusia dan ia bertaubat sebelum diketahui oleh pemerintah maka Allah akan mengampuni dosanya dan menghilangkan hukum pidana darinya.
Allah berfirman:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Baqarah: 199]
–
Adapun nama-nama dari sifat lazimah maka nama tersebut mencakup penetapan nama dan sifat saja tanpa ada hukum yang berkaitan dengan makhluk karena sifat tersebut tidak memiliki objek. diantara contohnya adalah Nama Allah “Al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), Menunjukkan nama dan sifat Al-Hayat (kehidupan sempurna) pada Dzat Allah, namun tidak ada hukum yg berkaitan dengan makhluk, namun semua nama Allah tetap menghasilkan Rasa Takut, cinta, dan Harap di hati hamba Allah ketika mereka mentadabburinya.
Allah berfirman:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.”[Baqarah: 255]
Nama Allah “Al-Hayyu” (Yang Maha Hidup) juga memiliki Faidah bahwa Allah memiliki sifat sempurna yang menjadi kelaziman dari sifat hidup, yaitu sifat Melihat, Mendengar, Berbicara, tidak mengantuk, dan tidak mati, semua itu dikarenakan sifat Hidup Allah sempurna berbeda dengan makhluk yang kehidupannya kurang. Sifat Al-Hayyu juga merupakan asal dari segala sifat Dzatiyyah Allah (Sifat yang selalu melekat pada Dzat Allah).
–
–
–
KAIDAH 4: NAMA-NAMA ALLAH YANG DISEBUTKAN DALAM ALQUR’AN DAN HADIST MENUNJUKKAN KEPADA DZAT DAN SIFAT ALLAH DENGAN PENUNJUKAN MUTHOBAQOH (KESESUAIAN), TADHOMMUN (CAKUPAN), DAN ILTIZAM (KEHARUSAN).
Sebelumnya, perlu pahami dengan paati bahwa Alqur’an diturunkan oleh Allah dengan bahasa Arab, Allah berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” [Yusuf: 2]
Ketika Alqur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka semua hukum kata bahasa berlaku pada Ayat-ayat Alqur’an termasuk makna-makna yang terkandung pada susunan huruf dan kata pada Ayat-ayat Alqur’an.
Dan diantara hikmah Allah turunkan Alqur’an dengan bahasa arab adalah bahwasanya bahasa Arab memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi sehingga bisa memaksudkan maksud-maksud yang ingin Allah sampaikan kepada Hamba-hambaNya dengan mukjizat susunan kata dan kalimat yang sangat sempurna dari Allah.
Diantara salah satu hukum bahasa arab untuk menetapkan makna yang terkandung di dalamnya adalah Dilalah, yaitu penunjukan makna-makna yang terkandung dari suatu kata lafadz arab. Dalam bahasa arab, suatu kata pasti menunjukkan kepada satu atau dua dari 3 macam penunjukan bahasa arab, yaitu:
1. PENUNJUKAN MAKNA SECARA KESESUAIAN (DILALAH MUTHOBAQOH)
Yaitu adalah penunjukan makna dari sebuah kata yang mana makna tersebut sesuai secara keseluruhan dengan kata tersebut, baik dari itu sendiri ataupun dari keterkaitan kata tersebut dengan kata sebelum dan sesudahnya. Contoh, kata “Rumah” menunjukkan makna Tempat tinggal, rumah hakiki, dan semua benda yang ada di dalamnya.
Begitu juga dengan nama Allah, contohnya “Al-Kholiq” (Yang Maha Pencipta) maka secara “dilalah muthobaqoh” nama tersebut menunjukkan penetapan terhadap nama Allah “Al-Kholiq“, kemudian penunjukan terhadap Dzat Allah, dan penetapan terhadap sifat “Al-Kholqu” (Penciptaan).
2. PENUNJUKAN MAKNA SECARA CAKUPAN (DILALAH TADHOMMUN)
Yaitu adalah penunjukan makna dari sebuah kata yang mana makna tersebut adalah cakupan yang terkandung dalam kata tersebut, walaupun kata tersebut tidak sesuai tekstualnya dengan makna tersebut. Contoh kata “Rumah” menunjukkan hal-hal yang tercakup dalam kata tersebut, seperti “pintu”, “jendela”, “kamar”, dll.
Begitu juga dengan nama Allah, contohnya “Ar-Rahman” (Yang Maha Pengasih) maka secara Muthobaqoh menunjukkan nama Allah Ar-Rahman, dan secara Tadhommun menunjukkan sifat Ar-Rahmah (sifat kasih sayang) dan menunjukkan Dzat Allah.
3. PENUNJUKAN MAKNA SECARA KEHARUSAN/KELAZIMAN (DILALAH ILTIZAM)
Yaitu adalah penunjukan makna dari sebuah kata yang mana makna tersebut adalah keharusan atau kelaziman dari kata tersebut walaupun makna tersebut berada diluar cakupan kata tersebut. contoh kata “Rumah” menunjukkan kelaziman dari adanya rumah yaitu adanya “pembuat rumah atau tukang bangun rumah”. begitu juga jika disebutkan “Anak” maka mengharuskan adanya “ayah” dan sebaliknya.
Begitu juga dengan nama Allah, contohnya nama “Al-Kholiq” (Yang Maha Pencipta) maka secara Dilalah Iltizam menunjukkan kepada Sifat Ilmu, sifat Qudroh (Kemampuan), sifat Iradah (keinginan), karena sifat Penciptaan mengharuskan adanya sifat ilmu, qudroh, dan irodah bagi Dzat yang menciptakan.
Oleh karena itu Allah berfirman setelah menyebutkan Penciptaan langit dam bumi:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Talaq: 12]
Diantara contohnya juga, ketika Allah berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” [Maidah: 64]
Ayat diatas menetapkan Sifat Allah ” Tangan” secara kesesuaian (Muthobaqoh) dan menunjukkan sifat “Qudroh” secara keharusan. Dan tidak boleh menghapus makna dari Dilalah Muthobaqoh dengan menggantinya kepada Dilalah Iltizam, yang boleh adalah menetapkankan keduanya sekaligus, dikarenakan Dilalah Muthobaqoh adalah pondasi atau asal, sedangkan Dilalah Iltizam adalah cabang sehingga asal tidak boleh digantikan dengan cabang, oleh karena itu salah ketika ada orang yang memaknai sifat “Tangan Allah” kepada sifat “Qudroh” dengan menghapus makna “Tangan”, karena ketika ditetapkan “Tangan” maka otomatis mengharuskan adanya sifat “Qudroh” sehingga tidak perlu menghapus salah satu dari keduanya.
–
Dalam permasalahan kelaziman, Ibnu Taimiyyah mengatakan:
ملزوم الباطل باطل، كما أن لازم الحق حق، والدليل ملزوم لمدلوله فمتى ثبت ثبت مدلوله، ومتى وجد الملزوم وجد اللازم، ومتى انتفى اللازم انتفى الملزوم، فيستدل على بطلان الشيء ببطلان لازمه ويستدل على ثبوته بثبوت ملزومه.
“Bahwa suatu kelaziman yang bathil maka ia pasti berasal dari sesuatu yang bathil juga, sebagaimana kelaziman dari kebenaran adalah kebenaran juga, Dalil adalah sesuatu yang mengharuskan apa yang ditunjukkan olehnya, maka ketika dalilnya tetap maka makna yang ditunjukkan olehnya juga tetap, dan ketika ada sesuatu yang mengharuskan maka keharusannya juga harus ada, dan ketika suatu keharusan hilang maka hilang juga hal yang mengharuskannya, maka bisa ditetapkan kebatilan sesuatu hal dengan membuktikan kebatilan kelazimannya, dan Begitu juga ditetapkan kebenaran suatu kelaziman dengan membuktikan kebenaran sesuatu yang mengharuskannya.”
Maka Dilalah Iltizam ini pada hakikatnya sangat penting ketika kita mentadabburi ayat Alqur’an karena dengan begitu seseorang bisa memahami babyak hal hanya dengan satu dalil.
Dan perlu kita ketahui bahwa kelaziman dari firman Allah dan sabda Rasulullah adalah kebenaran yang sudah dipastikan, karena kebenaran dalam Firman Allah dan Sabda Rasulullah yang bersumber dari Wahyu adalah kebenaran Absolut sehingga mustahil melazimkan kesalahan, dan Allah lah yang paling mengetahui kelaziman-kelaziman dari kata-kata yabg ada pada firman Allah dan Sabda RasulNya sehingga apa yang disebutkan itu adalah benar-benar kata dan makna yang dimaksudkan oleh Allah tanpa ada kelaziman bathil, karena tidak mungkin Allah mengatakan sesuatu yang mengharuskan kebatilan dari firman-Nya.
–
Adapun perkataan manusia, maka ada 3 keadaan:
1. Ketika suatu kata disebutkan oleh seseorang dan orang tersebut juga mengakui kelaziman dari perkataannya, maka hal tersebut dengan kelazimannya bisa benar dan bisa salah secara sekaligus.
Contohnya, ketika seseorang menetapkan sifat-sifat Allah yang terbaharui dalam waktu ke waktu secara satuannya, maka dia harus menetapkan bahwa sifat Allah ada yang baru, seperti “Menciptakan”, “Mendengar”, “Berbicara”, maka ini adalah kebenaran karena sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Alqur’an.
Allah berfirman:
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. [Kahf: 109]
Begitu juga Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِن بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
” Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Luqman: 27]
2. Ketika suatu kata disebutkan oleh seseorang dan orang tersebut meniadakan atau tidak menetapkan kelazimannya, maka kelazimannya bisa benar adalah sesuatu yang menjadi kelaziman dan bisa juga hal tersebut memang bukan kelaziman dari perkataannya.
Contohnya, ketika seseorang menetapkan sifat-sifat Allah yang terbaharui dari waktu ke waktu, seperti berbicara, melihat, dll, maka sifat tersebut tidak mengharuskan Dzat Allah baru, karena sifat akan selalu muncul setelah dzat yang disifati, dan Dzat akan selalu ada lebih duluan dari sifat tersebut.
Dan terbaharuinya satuan dari sifat Allah tidak mengharuskan terbaharui keberadaan sifat tersebut dari tidak ada menjadi ada, karena terbaharuinya sifat Allah dari potensi perbuatan menjadi perbuatan nyata tidak menunjukkan kekurangan sedikitpun terhadap Dzat Allah, dikarenakan hal tersebut berkaitan dengan “keinginan Allah” kapan perbuatan itu terjadi yang mana keinginan Allah penuh dengan hikmah, bukan berkaitan dengan ketidakadaan kemampuan kemudian menjadi mampu yang mana hal tersebut mustahil bagi Dzat Allah.
3. Ketika suatu kata disebutkan oleh seseorang dan orang tersebut tidak menetapkan juga tidak meniadakan kelaziman dari perkataannya tersebut, maka kelaziman tersebut harus diminta dan ditanyai klarifikasi apakah ia mengakui kelaziman tersebut atau tidak.
Maka karena ini lah para ulama mengatakan:
أن لازم القول ليس بالقول
“Kelaziman daei perkataan manusia bukanlah perkataan manusia itu”.
Hal tersebut dikarenakan manusia memiliki kekurangan yang banyak dari kebohongan, lupa, lalai, salah, sehingga terkadang ia mengatakan sesuatu dan tidak menyadari kelaziman dari perkataannya yang mana jika ia menyadarinya maka ia akan menarik perkataannya, berbeda dengan Firman Allah dan Sabda Rasulullah yang notabenenya berasal dari Wahyu sehingga mustahil adanya kesalahan pada kelazimannya.