Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla Bagian 1 Kaidah Memahami Nama dan Sifat Allah

Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla (Bagian 6)

24th September 2025
Imam Fikri, S. H, M. Ag

Kitab Qowa’idul Mustla Fi Sifatillah Ta’ala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah Dan Nama Allah Yang Sempurna


Bab 2: Kaidah-Kaidah Dalam Memahami Sifat-Sifat Allah


Kaidah 6: “Harus menghindari 2 hal dalam menetapkan Sifat Allah, yaitu: Tamtsil (Penyerupaan) & Takyif (Mendeskripsikan/Membagaimanakan)”

A. TAMTSIL: Yaitu adalah keyakinan salah yang menjangkiti seseorang ketika menetapkan sifat Allah dengan menyamakan sifat Allah seperti sifat makhluk, ini adalah keyakinan yang sesat secara Wahyu dan Akal.

Secara wahyu, Allah telah banyak meniadakan Keserupaan dan kesamaan deskripsi antara sifat Allah dan sifat makhluk. diantaranya Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [shura: 11]

Allah juga berfirman:

أَفَمَن يَخْلُقُ كَمَن لَّا يَخْلُقُ ۗ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” [Nahl: 17]

Begitu juga Allah berfirman:

رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

” Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” [Maryam: 65]

Dan juga:

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. [Ikhlas: 4]

Dan begitu juga larangan terhadap Penyerupaan terbukti secara akal, diantaranya:

1. Bahwasanya telah diketahui dengan pasti bahwa antara pencipta dan makhluk terdapat perbedaan yang sangat jauh pada dzat, perbedaan dzat tersebut mengharuskan adanya perbedaan sifat, karena sifat selalu mengikuti dan sesuai dengan dzatnya masing-masing.

Seperti yang terbukti di dunia nyata, bahwasanya setiap dzat yang berbeda memiliki sifat yang berbeda-beda pula, Kekuatan Gajah berbeda dengan kekuatan semut dan contoh lainnya, maka ketika kita mendapati adanya perbedaan perbedaan sifat dari dua dzat yang berbeda padahal keduanya adalah makhluk, maka apalagi perbedaan antara sifat makhluk dengan sifat Allah yang mama perbedaan antara kedua dzat tersebut sangat jauh.

2. Bagaimana bisa Dzat Allah Sang Pencipta Yang Maha Sempurna dari segala sisi serupa dan sama dengan dzat makhluk yang diciptakan dan diatur serta penih dengan kekurangan sehingga makhluk butuh kepada Dzat yang menciptakan mereka? Bagaimana bisa? Bukankah itu adalah penetapan kekurangan dan penistaan kepada Allah? Karena menyamakan sesuatu dengan dzat yang kurang pada hakikatnya menjadikan sesuatu tersebut juga kurang.

3. Kita menyaksikan bahwasanya diantara makhluk terdapat makhluk-makhluk dengan nama yang sama namun hakikatnya dan dzat mereka sangat berbeda, kita melihat bahwa manusia memiliki tangan yang berbeda dengan tangan gajah, manusia memiliki kekuatan yang berbeda dengan kekuatan unta, padahal nama penyebutannya sama sama “Tangan” dan “Kekuatan” namun terdapat perbedaan yang sangat jauh antara keduanya dalam Deskripsi dan Hakikatnya, oleh karena itu bisa kita simpulkan bahwasanya “kesamaan Nama (baik Etimologi ataupun Terminologi) tidak mengharuskan Keserupaan Deskripsi dan Hakikat sesuatu hal”.

Maka bisa kita pahami, terdapat perbedaan antara Tamtsil (Menyerupakan) dengan Tasybih (Menyamakan) yaitu bahwasanya Tamtsil adalah menyamakan dua hal dalam Substansi (inti suatu hal) sekaligus Deskripsi (atribut suatu hal), sedangkan Tasybih adalah menyamakan dua hal dalam Substansi dan beberapa sifat lain namun tidak seluruhnya, sehingga penyebutan Tamsil lebih dianjurkan daripada Tamtsil dalam Larangan Penyerupaan Sifat Allah dengan sifat makhluk.

Oleh karena itu, tidak mungkin suatu hal dikatakan “Serupa” padahal hakikatnya berbeda, seperti Manusia dan hewan tidak mungkin dikatakan serupa walaupun ada kesamaan yaitu sama-sama hidup dan sama-sama memiliki wujud, namun tidak dikatakan “Serupa”. Inilah salah satu kesalahan logika (Cacat Pikir) yang dianut Ahlu Kalam yang sangat Fundamental sehingga menjadikan mereka meniadakan semua sifat Allah.

Yaitu mereka mengklaim bahwa Sifat Melihat milik Allah sama dengan sifat Melihat milik makhluk karena namanya sama-sama “melihat”, sehingga mereka mau mensucikan Allah dengan meniadakan semua sifat karena semua namanya sama dengan sifat-sifat yang dimiliki makhluk, sampai pada akhirnya mereka menyadari bahwa Allah memiliki “Wujud” dan makhluk juga memiliki “Wujud” maka mereka akan kembali kepada 2 jalan keluar, yang pertama adalah Atheisme yang mana ini konsekuensi dari Metodologi mereka sama seperti ketika mereka meniadakan sifat lain dan sekarang harus meniadakan wujud Allah, dan yang kedua adalah “Wihdatul Wujud” (Monoisme) yang mana mereka harus menyamakan Dzat Allah adalah sama dan satu kesatuan dengan dzat makhluk seperti keyakinan para Shufiy, Muktazilah, dan Jahmiyyah.

B. TAKYIF: Yaitu adalah meyakini mengetahui Deskripsi atau hakikat dari sifat Allah, seperti menyebutkan “bahwa sifat Tangan Allah begini dan begini, sifat Wajah Allah begitu dan begini” tanpa menyerupakan dengan hal tertentu.

Maka pada hakikatnya keyakinan ini Bathil secara Wahyu dan Akal:

Secara wahyu, bahwa Allah berfirman:

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” [TaHa: 110]

Begitu juga Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Isra: 36]

Karena kita tidak mengetahui sifat Allah, karena tidak pernah melihat Allah, tidak pernah melihat yang semisal Allah, dan tidak ada dikabarkan terkait deskripsi sifat Allah, maka keyakinan seorang muslim dalam nama dan sifat Allah adalah meyakini Adanya Deskripsi sifat Allah namun Ketiadaan ilmu makhluk terkait deskripsi tersebut, adapun yang disampaikan dalam Alqur’an dan Hadist dari Sifat Allah hanyalah sebatas Substansi bukan deskripsi sehingga tidak bisa Dibayangkan dan dibagaimakan, karena membagaimakan, menghayalkan, dan menghukumi sesuatu hal harus mengetahui Deskripsinya terlebih dahulu.

Adapun secara akal, bahwasanya sesuatu tidak bisa diketahui sifatnya kecuali mengetahui deskripsi dzatnya atau yang semisal dzatnya, atau ada kabar berita terkaitnya, dan ketiga hal tersebut tidak ada kecuali Allah hanya menyebutkan Substansi sifat saja pada wahyu Allah, sehingga tidak boleh membagaimakannya.

Dan juga, mau bagaimanapun kita membayangkan kesempurnaan Dzat Allah maka semua yang ada dipikiran kita ada dusta dan Allah lebih sempurna daripada itu, karena ketika Allah menutup Hakikat dari Deskripsi sifat-sifat Allah dari ilmu makhluk lada hakikatnya hal tersebut adalah hikmah Allah yang mana manusia tidak bisa menampung pengetahuan tersebut ketika Allah beri tahu deskripsinya, yang mana hal tersebut memadhorotkan makhluknya. Oleh karena itu, ada Ilmu-ilmu yang mana keberadaannya tidak untuk diketahui oleh manusia, contoh terdekatnya adalah Bakteri yang tidak terlihat oleh mata manusia dikarenakan ada kemadhorotan ketika manusia dapat melihatnya dengan mata telanjang yang mana itu akan menjadikan mereka tidak bisa beraktivitas dengan normal (seperti OCD), begitu juga dengan pengetahuan terkait deskripsi sifat-sifat Allah.

Oleh karena itu, ketika Imam Malik ditanya terkait firman Allah:

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” . [TaHa: 5]

Maka ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana Allah Bersemayam?” maka Imam Malik pun menunduk bergetar sampai beliau berkeringat, kemudian berkata:

الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة، وما أراك إلا ضالاً

“Istiwa’ itu dapat diketahui Substansi / maknanya, Tidak diketahui Deskripsi / Hakikatnya, Beriman kepadanya Wajib, dan bertanya deskripsinya adalah Bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali sesat”.

Beliau menuqilkan kata kata tersebut dadi Gurunya yaitu Rabi’ah Arra’iy yang notabenenya seorang Tabi’in, sehingga semua ulama Ahlu Sunnah setelah beliau mengikuti Statement atau Faidah tersebut, dari sini kita ketahui bahwa Akal tidak bisa mengetahui Deskripsi, begitu juga wahyu tidak mengabarkan terkait deskripsi sehingga wajib bagi kita untuk tidak membagaimanakannya.

Olah karena itu jika terbesit untuk membayangkan deskripsi sifat Allah maka pada hakikatnya itu adalah setan yang sedang menghasut sehingga kita harus cepat untuk berlindung dan Ta’awwuz kepada Allah.

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah”. [Araf: 200]


Kaidah 7: “Semua Sifat-Sifat Allah adalah perkasa Tauqifiyyah (Tidak bisa ditetapkan kecuali ada dalil)”

Yaitu bahwasanya semua sifat Allah adalah Tauqifiyyah, karena Akal tidak mampu menelitinya, maka kita tidak boleh menetapkan sifat kecuali yang telah ditetapkan dalam Alqur’an dan Hadist, maka penetapan sifat Allah dari Alqur’an dan Hadist terdapat 3 cara:

1. Menetapkan sifat yang ditetapkan dengan kata Sifat itu sendiri secara lugas, seperti “Al-Izzah”, “Al-Quwwah”, “Rahmah”, “Bathsyu”, “Wajhu”, “Yadain”, dll.

Allah berfirman:

وَلَا يَحْزُنكَ قَوْلُهُمْ ۘ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا ۚ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Yunus: 65]

Allah juga berfirman:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

“dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. [Araf: 156]

Begitu juga:

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya azab Tuhanmu benar-benar keras.” [Buruj: 12]

2. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama-nama Allah, seperti “Al-Ghofur” yang mengandung sifat “Magfirah”, “As-Samii'” yang mengandung sifat “Sam’u”, dll.

Allah berfirman:

فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[Maidah: 39]

3. Penyebutan Sifat dengan Kata kerja “Fi’il” atau sifat Fi’il, seperti sifat Istawa (bersemayam) , Nuzul (Turun) ke langit dunia, Al-Maji’ (datang) untuk penghakiman hamba di hafi kiamat, “Intiqom” pembalasan terhadap orang-orang pendosa.

Allah berfirman:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” [Fajr: 22]

Begitu juga Rasulullah bersabda:

ينزلُ اللهُ كلَّ ليلةٍ إلى السماءِ الدنيا ، حين يبقى ثلثُ الليلِ الآخرِ ، فيقولُ: من يدعوني فأستجيبُ له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرُني فأغفرُ له

“Tuhan kita turun pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, siapa yang minta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.” (H.R Bukhari Muslim)

Penulis

Dosen: Islamic Studies @ UNIMED, Islamic Theology @ IMUN Islamic Law Methodology @ IMUN & Penulis Buku: Menghapus Titik Kelabu dan Mercusuar Biru