Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla Bagian 1 Kaidah Memahami Nama dan Sifat Allah

Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla (Bagian 3)

17th Juli 2025
Imam Fikri, S. H, M. Ag

Kitab Qowa’idul Mustla Fi Sifatillah Ta’ala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah Dan Nama Allah Yang Sempurna

Bab 1: Kaidah – Kaidah Dalam Memahami Nama-Nama Allah

Kaidah 5: “Nama-Nama Allah Adalah Hal Tauqifiyyah (Hal-Hal Yang Hanya Bisa Diketahui Dengan Dalil Wahyu)”

Nama Allah dan begitu juga sifat Allah, hanya bisa diketahui dari pengkabaran wahyu dalam Alqur’an dan Hadist saja, adapun akal manusia tidak bisa mengetahuinya alih-alih untuk menetapkannya.

Hal tersebut dikarenakan akal manusia tidak bisa mengetahui suatu hal yang mana akal tidak memiliki data yang cukup untuk mengolah dan menganalisis hal tersebut. Data yang diperoleh oleh akal adalah data yang didapatkan dari “Pendengaran” dan “Penglihatan” Manusia saja, ini yang disebut dengan Panca Indra. Jika data atau ilmu yang didapatkan hanya berasal dari Metode Panca Indra maka dapat kita simpulkan bahwa data yang didapat adalah hal-hal yang nampak dan bida diakses oleh panca indra saja, yaitu adalah hal-hal Empirik saja. Adapun hal-hal yang tidak bisa diakses oleh panca Indra yaitu hal-hal Ghoib, maka akal manusia tidak akan biaa memikirkannya karena akal tidak memiliki data terhadap hal-hal ghoib. Dengan begitu akal tidak bisa beroperasi dalam meneliti hal-hal ghoib, ketika akal tidak bisa meneliti hal ghoib maka akal tidak boleh menghukumi terkait apa yang harus, mungkin, dan mustahil dari hal-hal ghoib tersebut, terlebih lagi menghukumi Dzat Allah terkait apa yang harus, mungkin, dan mustahil dari Dzat, sifat, dan nama Allah yang Ghoib.

Allah berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. [Al Isra: 85]

Perlu kita ketahui bahwasanya akal manusia dapat memikirkan sesuatu hal dan menelitinya jika salah satu dari 3 metode ini terpenuhi:

1. Melihat suatu hal tersebut.
Maka ini mustahil pada Dzat Allah, dikarenakan Allah tidak bisa dilihat di dunia, Allah berfirman:

لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Anam: 103]

2. Melihat sesuatu yang sama dengan suatu hal tersebut.
Maka ini juga mustahil pada Dzat Allah, dikarenakan Allah tidak sama dengan sesuatu apapun yang ada di dunia ini, Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” [shura: 11]

3. Mendapatkan Kabar atau informasi yang valid dan absah terkait suatu hal tersebut, maka hal ini hanya bisa dipahami terbatas sesuai informasi dan terbatas sekedar memahami Substansi Global saja tanpa memahami Deskripsi suatu hal tersebut.

Maka hanya metode ketiga inilah yang bisa dipakai untuk mengenal Allah, dikarenakan adanya dalil wahyu yang mengabarkan tentang Nama dan Sifat Allah, jika itu valid dan absah maka akal bisa mentadabburi dalil tersebut untuk mengenal Allah, namun itu hanya sebatas Substansi Global tanpa bisa mengetahui Deskripsi dari Nama dan Sifat Allah.

Contohnya, ketika disebutkan dalam Alqur’an bahwa Allah memiliki nama “Ar-Rahman” (Yang Maha Mengasihi), maka kita bisa menetapkan dan meyakini bahwa Allah memiliki nama Ar-Rahman yang mana jika tidak ada dalil Alqur’an maka akal manusia tidak akan bisa mengetahuinya. Akal manusia bisa mengetahui sifat Kasih sayang Allah hanya sebatas Substansi global saja, yaitu makna inti atau substansi inti secara global yang belum dikhususkan atau dinisbatkan kepada hal apapun, Substansi Global ini bisa kita pahami karena kita melihat kasih sayang manusia yang ada di dunia maka kita bisa mengetahui Substansi Global dari sifat Kasih Sayang, namun ketika kasih sayang tersebut telah dinisbatkan kepada Dzat Allah maka manusia tidak bisa mengetahui Deskripsi / Bagaimana sifat kasih sayang Allah, dan setelah itu kasih sayang Allah harus dipahami dengan “Qiyas Awlawy” Bahwa secara Deskripsinya sifat kasih sayang Allah jauh lebih sempurna daripada semua kasih sayang manusia yang ada diatas muka bumi.

Oleh karena itu Allah berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Isra: 36]

Begitu juga Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”[Araf: 33]

Maka hendaklah seorang hamba untuk menahan diri dari menetapkan nama yang tidak ditetapkan oleh Allah, dan menahan diri dari menolak nama-nama yang telah Allah tetapkan untuk diri Allah, karena hal tersebut adalah hak Allah dan adab seorang hamba terhadap firman Allah dan Sabda Rasulullah, dan kesadaran diri seorang hamba terhadap kelemahan akal manusia.



KAIDAH 6: NAMA-NAMA ALLAH TIDAK TERBATAS DENGAN JUMLAH TERTENTU.

Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tersebut, karena Rasulullah bersabda:

أسألك اللهم بكل اسمٍ هو لك سميت به نفسك، أو أنزلته في كتابك، أو علمته أحداً من خلقك، أو استأثرت به في علم الغيب عندك

“Aku meminta, Ya Allah, dengan seluruh nama yang menjadi milik Engkau, yang Engkau menamai diri-Mu dengannya, yang Engkau turunkan di kitab-Mu, yang Engkau telah ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau simpan dalam ilmu gaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, Shohih)

Pada Hadist diatas disebut bahwa ada nama-nama yang Allah simpan pada ilmu yang mana hanya Allah yang mengetahuinya, maka dengan itu manusia tidak bisa mengetahui semua nama Allah terlebih dengan membatasi kepada jumlah tertentu.

Adapun Sabda Rasulullah:

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَة وَتِسْعِينَ اِسْمًا ، مِائَة إِلَّا وَاحِدًا ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghitungnya, niscaya masuk surga.” (HR. Bukhari, Muslim)

Hadist tersebut pada hakikat menjelaskan bahwa ada 99 nama Allah yang dijelaskan dalam Alqur’an dan Hadist, namun tidak membatasi nama-nama hanya 99 karena 99 itu adalah nama-nama yang Allah beritahukan kepada Hamba-hambaNya di dalam Alqur’an dan Hadist, dan barang siapa yang mentadabburi 99 nama tersebut maka ia akan masuk surga Allah.

Perkataan Hadist tersebut sama seperti ketika seseorang mengatakan “Saya memiliki uang seratus ribu rupiah” yang mana perkataan tersebut pada hakikatnya tidak membatasi bahwa orang tersebut hanya memiliki uang seratus ribu rupiah saja.

Allah telah menetapkan 99 nama dalam Alqur’an dan Hadist:
1. Ar Rahman (الرحمن) : Maha Pengasih
2. Ar Rahiim (الرحيم) : Maha Penyayang
3. Al Malik (الملك) : Maha Merajai
4. Al Quddus (القدوس) : Maha Suci
5. As Salaam (السلام) : Maha Memberi Kesejahteraan
6. Al Mu`min (المؤمن) : Maha Memberi Keamanan
7. Al Muhaimin (المهيمن) : Maha Mengatur
8. Al Aziz (العزيز) : Maha Perkasa
9. Al Jabbar (الجبار) : Memiliki Mutlak Kegagahan
10. Al Mutakabbir (المتكبر) : Maha Megah
11. Al Khaliq (الخالق) : Maha Pencipta
12. Al Baari (البارئ) : Maha Melepaskan
13. Al Mushawwir (المصور) : Maha Membentuk Rupa
14. Al Ghaffaar (الغفار) : Maha Pengampun
15. Al Qahhaar (القهار) : Maha Memaksa
16. Al Wahhaab (الوهاب) : Maha Pemberi Karunia
17. Ar Razzaaq (الرزاق) : Maha Pemberi Rezeki
18. Al Fattaah (الفتاح) : Maha Pembuka Rahmat
19. Al `Aliim (العليم) : Maha Mengetahui
20. Al Qaabidh (القابض) : Maha Menyempitkan
21. Al Baasith (الباسط) : Maha Melapangkan
22. Al Khaafidh (الخافض) : Maha Merendahkan
23. Ar Raafi (الرافع) : Maha Meninggikan
24. Al Mu`izz (المعز) : Maha Memuliakan
25. Al Mudzil (المذل) : Maha Menghinakan
26. Al Samii (السميع) : Maha Mendengar
27. Al Bashiir (البصير) : Maha Melihat
28. Al Hakam (الحكم) : Maha Menetapkan
29. Al `Adl (العدل) : Maha Adil
30. Al Lathiif (اللطيف) : Maha Lembut
31. Al Khabiir (الخبير) : Maha Mengenal
32. Al Haliim (الحليم) : Maha Penyantun
33. Al `Azhiim (العظيم) : Maha Agung
34. Al Ghafuur (الغفور) : Maha Memberi Pengampunan
35. As Syakuur (الشكور) : Maha Pembalas Budi
36. Al `Aliy (العلى) : Maha Tinggi
37. Al Kabiir (الكبير) : Maha Besar
38. Al Hafizh (الحفيظ) : Maha Memelihara
39. Al Muqiit (المقيت) : Maha Pemberi Kecukupan
40. Al Hasiib (الحسيب) : Maha Membuat Perhitungan
41. Al Jaliil (الجليل) : Maha Luhur
42. Al Kariim (الكريم) : Maha Pemurah
43. Ar Raqiib (الرقيب) : Maha Mengawasi
44. Al Mujiib (المجيب) : Maha Mengabulkan
45. Al Waasi (الواسع) : Maha Luas
46. Al Hakiim (الحكيم) : Maha Maka Bijaksana
47. Al Waduud (الودود) : Maha Mengasihi
48. Al Majiid (المجيد) : Maha Mulia
49. Al Baa`its (الباعث) : Maha Membangkitkan
50. As Syahiid (الشهيد) : Maha Menyaksikan
51. Al Haqq (الحق) : Maha Benar
52. Al Wakiil (الوكيل) : Maha Memelihara
53. Al Qawiyyu (القوى) : Maha Kuat
54. Al Matiin (المتين) : Maha Kokoh
55. Al Waliyy (الولى) : Maha Melindungi
56. Al Hamiid (الحميد) : Maha Terpuji
57. Al Muhshii (المحصى) : Maha Menghitung
58. Al Mubdi (المبدئ) : Maha Memulai
59. Al Mu`iid (المعيد) : Maha Mengembalikan Kehidupan
60. Al Muhyii (المحيى) : Maha Menghidupkan
61. Al Mumiitu (المميت) : Maha Mematikan
62. Al Hayyu (الحي) : Maha Hidup
63. Al Qayyuum (القيوم) : Maha Mandiri
64. Al Waajid (الواجد) : Maha Penemu
65. Al Maajid (الماجد) : Maha Mulia
66. Al Wahid (الواحد) : Maha Tunggal
67. Al Ahad (الاحد) : Maha Esa
68. As Shamad (الصمد) : Maha Dibutuhkan
69. Al Qaadir (القادر) : Maha Menentukan
70. Al Muqtadir (المقتدر) : Maha Berkuasa
71. Al Muqaddim (المقدم) : Maha Mendahulukan
72. Al Mu`akkhir (المؤخر) : Maha Mengakhirkan
73. Al Awwal (الأول) : Maha Awal
74. Al Aakhir (الأخر) : Maha Akhir
75. Az Zhaahir (الظاهر) : Maha Nyata
76. Al Baathin (الباطن) : Maha Ghaib
77. Al Waali (الوالي) : Maha Memerintah
78. Al Muta`aalii (المتعالي) : Maha Tinggi
79. Al Barru (البر) : Maha Penderma
80. At Tawwaab (التواب) : Maha Penerima Tobat
81. Al Muntaqim (المنتقم) : Maha Pemberi Balasan
82. Al Afuww (العفو) : Maha Pemaaf
83. Ar Ra`uuf (الرؤوف) : Maha Pengasuh
84. Malikul Mulk (مالك الملك) : Maha Penguasa Kerajaan
85. Dzul Jalaali Wal Ikraam (ذو الجلال و الإكرام) : Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan
86. Al Muqsith (المقسط) : Maha Pemberi Keadilan
87. Al Jamii` (الجامع) : Maha Mengumpulkan
88. Al Ghaniyy (الغنى) : Maha Kaya
89. Al Mughnii (المغنى) : Maha Pemberi Kekayaan
90. Al Maani (المانع) : Maha Mencegah
91. Ad Dhaar (الضار) : Maha Penimpa Kemudharatan
92. An Nafii (النافع) : Maha Memberi Manfaat
93. An Nuur (النور) : Maha Bercahaya
94. Al Haadii (الهادئ) : Maha Pemberi Petunjuk
95. Al Badii’ (البديع) : Maha Pencipta
96. Al Baaqii (الباقي) : Maha Kekal
97. Al Waarits (الوارث) : Maha Pewaris
98. Ar Rasyiid (الرشيد) : Maha Pandai
99. As Shabuur (الصبور) : Maha Sabar



KAIDAH 7: PENYIMPANGAN DALAM NAMA-NAMA ALLAH ADALAH PENYELEWENGAN DARI APA YANG SEHARUSNYA TETAP DALAM NAMA-NAMA ALLAH.

Diantara penyelewengan dalam nama-nama Allah adalah:

1. MENGINGKARI SESUATU DARI NAMA-NAMA ALLAH.
Mengingkari nama-nama Allah adalah gidak mau meyakini atau mengubah makna dari nama-nama Allah yang telah ditetapkan dalam Alqur’an dan Hadist. Seperti yang dilakukan oleh Ahlu Ta’thil (Sekte yang meniadakan sifat dan nama Allah) dari kalangan sekte Jahmiyyah dll, maka pada hakikat hal tersebut adalah penyelewengan daripada apa yang diwajibkan manusia yaitu meyakini, namun mereka meniadakan dan menentangnya dengan mengubah Makna Alqur’an dan Hadist hanya karena menurut mereka nama dan sifat tersebut bertentangan dengan Teori logika mereka, yang mana pada hakikatnya Teoriogika tersebut bersumber dari data-data Empirik yang diakses oleh panca Indra.

Allah berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” [Araf: 180]

2. MENAMAI ALLAH DENGAN NAMA YANG TIDAK ALLAH TETAPKAN DALAM ALQUR’AN DAN HADIST.
Menamai Allah dengan nama-nama yang tidak Allah sebutkan dalam Alqur’an dan Hadist, maka pada hakikat nama tersebut Tidak sempurna dan tidak cocok dimanai untuk Allah, maka pada hakikatnya nama-nama tersebut bersumber dari hawa nafsu dan akal pikiran manusia saja.

Diantara contohnya adalah menamai Allah dengan “Tuhan Bapak” seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Begitu juga nama “Kausa Prima”, “Sebab Sempurna”, “Sebab Aktif” dll, seperti yang dilakukan para Filsuf Islam seperti Ibnu Sina, Abu Nashr Alfaraby, Ibnu Rusyd, dll.

Maka pada hakikatnya, menamai Allah dengan nama yang tidak Allah tetapkan bukan hanya sekedar penyelewengan namun juga penistaan terhadap Dzat Allah yang sempurna.

Allah berfirman:

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَآبَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ الْهُدَىٰ

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” [Najm: 23]

3. MEMAKNAI NAMA ALLAH DENGAN MAKNA YANG MENYERUPAI MAKHLUK.
Menjadikan nama-nama Allah sebagai nama-nama yang bjsa dinamakan untuk makhluk sebagai upaya untuk menyamakan Allah dengan makhlukNya, seperti yang dilakukan oleh Ahlu Tasybih (Sekte yang menyamakan Allah dengan makhlukNya) dari kalangan Sekte Shufy dan selainnya ketika menamai Allah dengan nama “Yang Dicintai dengan Asmara”.

Allah berfirman:

رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” [Maryam: 65]

4. MENJADIKAN NAMA-NAMA ALLAH SEBAGAI NAMA UNTUK SESEMBAHAN SELAIN ALLAH DARI BERHALA, KUBURAN, MANUSIA, DLL.
Menjadikan nama-nama Allah sebagai nama untuk sesembahan selain Allah, seperti sekte Syi’ah ketika menamai Ali bin Abi Tholib dengan Tuhan, begitu juga Kafir Quraisy ketika menamai berhala dengan ” Laata” yang diartikan “Sesembahan” dan berhala “‘Uzza” yang diartikan “Yang Maha Perkasa”, begitu juga berhala “Manaat” yang diartikan “Yang Maha Memberi”, maka ini adalah penyelewengan dan penistaan kepada nama-nama Allah.

Allah berfirman:

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” [Najm: 19 – 20]

Penulis

Dosen: Islamic Studies @ UNIMED, Islamic Theology @ IMUN Islamic Law Methodology @ IMUN & Penulis Buku: Menghapus Titik Kelabu dan Mercusuar Biru