Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla Bagian 1 Kaidah Memahami Nama dan Sifat Allah

Penjelasan Kitab Qowaidul Mutsla (Bagian 9)

12th Desember 2025
Imam Fikri, S. H, M. Ag

Kitab Qowa’idul Mustla Fi Sifatillah Ta’ala Wa Asmaihi Husna (Trilogi Kaidah Dalam Sifat Allah dan Nama Allah Yang Sempurna)


Faidah-Faidah:

Perlu Kita ketahui, bahwa orang-orang yang mentakwil firman Allah banyak menyuntikkan syubhat-syubhat kepada kalangan awam terkait dalil sifat Allah dalam Al-Qur’an dan Hadist, kemudian mengatakan bahwa Ahlu Sunnah juga mentakwil agar Ahlu Sunnah harus setuju dengan metode Takwil sifat tersebut.

Maka perlu kita perjelas bahwasanya Tafsir salaf adalah menafsirkan Sifat-sifat Allah sesuai dengan Zdohir Tekstual Lafadz Al-Qur’an tanpa mengubahnya.

Zdohir adalah makna yang paling cepat masuk dipikiran pembaca ketika ia membaca Tekstual Al-Qur’an beserta tatanan dan susunan kata-kata sebelum dan sesudahnya, karena makna kata zdohir akan berubah ubah sesuai tatanan kata dan kalimat.

Ahlu Bid’ah banyak menuduhkan bahwa Ahlu Sunnah mau tidak mau harus mentakwil beberapa dalil, padahal tidak ada bukti terkait hal tersebut, yang mana pada hakikatnya mereka para Ahlu Bid’ah memahami suatu dalil dengan menyamakan Allah dengan makhluk yang sudah terpatri dalam akal mereka sehingga mereka mengira bahwa zdohir dari dalil tersebut adalah Penyamaan Allah dengan makhlukNya, sehingga mau tidak mau harus ditakwil namun pada hakikatnya pemahaman mereka yang salah dalam memahami zdohir dalil yang notabenenya bukanlah zdohir dari dalil tersebut.

Diantara contohnya suatu hadits:

الحجَرُ الأسوَدُ يمينُ اللهِ في الأرضِ فمن استلمه أو صافحه فكأنَّما صافح اللهَ تعالَى وقبَّل يمينَه

Hajar Aswad adalah Tangan Kanan Allah di Bumi, siapa yang menyentuhnya seperti menyentuh tangan kanan Allah dan menciumnya“.

Pertama, Hadist ini tidak shohih dari Rasulullah, namun ada riwayat Mauqif dari Ibnu Abbas, dan jikalah shohih maka makna zdohirnya bukan lah seperti yang dipahami Ahlu Bid’ah bahwasanya hajar aswad adalah tangan Allah, namun dalam hadits tersebut dikaitkan dengan kata “Di Bumi” menunjukkan bahwa kata “tangan kanan” tidak dimutlakkan namun dikaitkan dengan tempat bumi, inj menunjukkan itu bukan Tangan Allah Hakikiy namun makhluk yang dimuliakan dengan penyebutan seperti itu, ini adalah makna Zdohir, dan juga Sesuatu yang disamakan bukanlah sesuatu yang disamakan kepadanya, sehingga jelaslah bahwa tangan tersebut bukanlah tangan Hakiki secara Zdohir.

Begitu juga Hadist:

إن القلوبَ بين إصبعين من أصابعِ اللهِ يقلِّبُها كيف يشاءُ

“Sesungguhnya hati itu berada di antara dua jemari dari jari-jemari Allah ‘Azza wa Jalla, Ia membolak-balikkannya sebagaimana apa yang Dia kehendak“.

Hadist tersebut shohih dan Ahlu Sunnah menetapkan bahwa Allah memiliki sifat jari jemari sesuai dengan Zdohir hadits, dan itu tidak mengharuskan sama dengan jari makhluk dan tidak mengharuskan bersentuhan jari Allah Dengan hati makhluk.

Begitu juga Hadist Rasulullah:

إنِّي أجدُ نفَسَ الرَّحمنِ من ها هنا

Aku mendapati bahwa Nafs Allah berada di Yaman…

Perlu dipahami bahwa makan Nafs ini bukan “Diri Allah” secara zdohir, namun Zdohinya adalah etimologi dari kata Nafs secara bahasa Arab yaitu “Tanfis” yang berarti “Jalan Keluar yang Allah tetapkan” adalah dari sisi Yaman, maka ini adalah Zdohir yang benar, tidak seperti yang dipahami Ahlu Bid’ah dengan menyamakan Allah kepada makhluk.

Begitu juga dengan makna Firman Allah:

ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati“. [Fussilat: 11]

Begitu juga Firman Allah:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِن ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” [Mujadilah: 7]

Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat “Bersama” dengan makhluk secara Zdohir, namun makna tersebut sama sekali tidak mengharuskan Allah berada di tempat yang sama dengan makhlukNya, namun Allah bersama hambaNya secara mutlak, yaitu Allah bersama hambaNya walaupun Allah berada diatas ArsyNya dan makhluk berada diatas Bumi, Karena Allah berada diatas sebagaimana yang telah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, Hadist, dan sesuai Akal sehat serta Ijma’ Ulama.

Diantara pemikiran sesat Ahlu Bid’ah dari kalangan “Wihdatul Wujud” terhadap hadits:

مَن عادَى لي وَلِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشَيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الَّذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

Allah ta’ala berfirman: Barangsiapa yang memerangi wali-Ku, maka ia mengumumkan perang terhadap-Ku. Dan ketika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku, maka tidak ada yang paling Aku cintai melebihi perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya. Dan ketika seorang hamba senantiasa melakukan amalan-amalan sunnah, maka aku semakin mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, maka Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya. Jika ia meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Jika ia minta perlindungan kepadaku, akan Aku lindungi. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti Aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman. Dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya”.

Menurut Ahlu Bid’ah bahwa Hadist ini menunjukkan bahwa Allah menyatu dengan hambaNya yang Sholih, namun maksud hadits tersebut adalah bahwa Allah menjaga dan memelihara Pendengaran, Penglihatan, perjalanan, dan perabaan agota tubuhnya dengan pengawasan Allah, itu adalah makna zhohirnya, karena pada akhir hadits disebutkan bahwa Jika ia meminta maka akan dikabulkan, hal tersebut menunjukkan bahwa tetap ada dualisme antara Allah yang mengabulkan dan hamba yang meminta.

Begitu juga Hadist:

إنَّ اللَّهَ عزَّ وجلَّ يقولُ يَومَ القِيامَةِ: يا ابْنَ آدَمَ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قالَ: يا رَبِّ، كيفَ أعُودُكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: أَمَا عَلِمْتَ أنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ؟ أمَا عَلِمْتَ أنَّكَ لو عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟ يا ابْنَ آدَمَ، اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، قالَ: يا رَبِّ، وكيفَ أُطْعِمُكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: أَمَا عَلِمْتَ أنَّه اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلانٌ، فَلَمْ تُطْعِمْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أنَّكَ لوْ أطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذلكَ عِندِي، يا ابْنَ آدَمَ، اسْتَسْقَيْتُكَ، فَلَمْ تَسْقِنِي، قالَ: يا رَبِّ، كيفَ أسْقِيكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: اسْتَسْقاكَ عَبْدِي فُلانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أمَا إنَّكَ لو سَقَيْتَهُ وجَدْتَ ذلكَ عِندِي.

Sesungguhnya pada hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Hai anak Adam, Aku sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku’.” Dia berkata, ”Wahai Rabbku, bagaimana aku menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?” Dia berfirman, ”Tahukah kamu bahwa hamba-Ku si fulan, sakit, tapi kamu tidak mau menjenguknya. Tahukah kamu, jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisinya.” ”Hai anak Adam, Aku minta makan kepadamu, tapi kamu tidak mau memberi makan kepada-Ku.” Dia berkata, ”Wahai Rabbku bagaimana aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau adalah Rabb semesta alam?” Dia berkata, ”Tidakkah kamu tahu bahwa ada seorang hamba-Ku, si fulan, minta makan kepadamu, tapi kamu tidak memberi makan kepadanya? Tidakkah kamu tahu bahwa jika kamu memberi makan kepadanya, kamu akan mendapati hal itu di sisi-Ku?‘”

Pada Hadist ini Ahlu Bid’ah mengira bahwa Hadist ini harus ditakwil karena ada kemustahilan untuk Allah sakit, namun pada hakikatnya Zdohir Hadist sama sekali tidak menetapkan bahwa Allah sakit, karena setelahnya Allah langsung menjelaskan bahwa yang sakit adalah para wali Allah.

Ini menunjukkan lemahnya pemahaman Ahlu Bid’ah yang terdesak mengira bahwa hadist ini mengharuskan takwil, padahal Zdohir tersebut adalah Zdohir tarkibiy yaitu zdohir secara susunan dan tatanan kalimat yang menetapkan bahwa maknanya harus sesuai dengan semua kalimat dari awal sampai akhir hadits, disini menunjukkan bahwa Zdohirnya adalah makna yang dijelaskan oleh Allah sendiri sehingga tidak ada keterkaitan dengan takwil ataupun qorinah.

Oleh karena itu, maka kita pahami bahwa Al-Qur’an dan Hadist adalah Hidayah yang sempurna dan cahaya bagi mereka yang mentadabburinya dengan niat untuk mengikuti Haq, karena tidak mungkin Kelaziman dari Zdohir Al-Qur’an dan Hadist yang notabenenya adalah Haq, melazimkan sesuatu kecuali juga Haq.

Maka pada hakikatnya semua perkiraan adanya pertentangan suatu dalil dengan dalil lain atau dengan Akal sehat maka ketahuilah bahwa hal tersebut berasa dari tumpulnya akal mereka yang mengira hal tersebut, pada hakikatnya tidak pertentangan pada Firman Allah. Allah berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [Nisa: 82]

Dan tidak mungkin Al-Qur’an menetapkan kerancuan dan Kesamaran dalam setiap ayatnya, padahal Allah berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” [Nahl: 89]

Oleh karena itu, ketika ada kata-kata dan pemikiran sebagian orang yang menetapkan kekurangan bagi Allah dari kalangan Mu’atthil ataupun Mumatsil maka harus untuk dijauhi, karena hal tersebut adalah prasangka buruk kepada Allah.

Penulis

Dosen: Islamic Studies @ UNIMED, Islamic Theology @ IMUN Islamic Law Methodology @ IMUN & Penulis Buku: Menghapus Titik Kelabu dan Mercusuar Biru