Ancaman Bagi Orang Yang Bermudah-mudah Meninggalkan Shalat

 Asy-Syaikh Abdul Aziz Bin Baz Rahimahullah:

فالواجب على أهل الإسلام الحذر غاية من التساهل بالصلاة، والواجب أن تؤدى في أوقاتها، المرأة تؤديها في الوقت، والرجل يؤديها في جماعة في المساجد، ولا يجوز التشبه بالمنافقين في التساهل بالصلاة، وعرفت أن بعض أهل العلم يقول: إن من تركها تهاوناً حتى خرج الوقت كفر بذلك، وهذا القول قول صحيح، ترك الصلاة تهاون وتساهل بها كفر أكبر -نسأل الله العافية- فإن السنة تؤيده، السنة عن رسول الله ﷺ تؤيد هذا القول، فإن الباب فيه أحاديث صحيحة كما تقدم، فيجب على المسلم أن يحذر هذا الأمر الخطير، وأن يحافظ على الصلاة في وقتها، وأن يستعين على ذلك بكل ما يستطيع من ساعة وغيرها، حتى يؤدي الصلاة في وقتها مع إخوانه المسلمين، وحتى تؤدي المرأة صلاتها في وقتها في بيتها قبل خروج الوقت، فهي عمود الإسلام وهي أهم الفرائض بعد الشهادتين، نسأل الله للجميع الهداية والتوفيق. نعم.

“Maka yang wajib bagi umat Islam untuk berhati-hati dengan kehati-hatian yang sangat dari bermudah-mudahan dalam masalah shalat.

Yang wajib adalah shalat ditunaikan pada waktunya. Seorang wanita menunaikannya pada waktunya. Para lelaki menunaikannya secara berjamaah di masjid-masjid. Tidak boleh menyerupai orang-orang munafik dalam bermudah-mudahan terhadap shalat. Dan engkau telah mengetahui bahwa sebagian ulama berpendapat, “Siapa yang meninggalkan shalat karena menganggap ringan dan bermudah-mudahan terhadapnya sampai keluar waktunya, maka dia telah melakukan kekufuran”. Dan pendapat ini adalah pendapat yang benar.

Meninggalkan shalat karena menganggap ringan dan bermudah-mudahan adalah kekafiran yang besar kita meminta keselamatan kepada Allah.

Karena sunnah menguatkan hal tersebut. Sunnah dari Rasulullah ﷺ menguatkan pendapat ini. Karena permasalahan ini, terdapat padanya hadis-hadits yang kuat sebagaimana telah berlalu.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk berhati-hati terhadap perkara yang sangat berbahaya ini dan selalu menjaga shalat pada waktunya. Serta membuat semacam bantuan dengan segala apa yang bisa dari alarm dan selainnya sehingga ia menunaikan shalat pada waktunya bersama saudara-saudaranya kaum muslimin.

Begitu juga para wanita menunaikan shalatnya pada waktunya di rumah sebelum keluar dari waktu.

Shalat itu tiangnya Islam dan merupakan kewajiban terpenting setelah syahadatain. Kami meminta kepada Allah hidayah dan taufik bagi semua“.

sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas

Allah Memiliki Sifat Qadiim, Daaim, dan Iradah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Imam Ath-Thahawi berkata dalam Aqidah Ath-Thahawiyyah

قديم بلا ابتداء, دائم بلا انتهاء, لا يفنى ولا يَبِيْد

Artinya, “Allah dahulu tanpa permulaan, dan Dia kekal tanpa ada akhir, dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa

Kata (القديم ) dalam bahasa arab adalah lawan dari (الحديث). Syaikh Albani berkata: Qadiim adalah sebutan untuk sesuatu yang baru, yang mana sebelumnya sesuatu telah ada. Jika sesuatu itu tidak ada sebelumnya kemudian dia ada, maka tidak disebut dengan qadiim.

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (Q.S Yaasiin : 39)

, أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ , قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ ,

Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah [75], kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? [76]” (Q.S Asy-Syu’ara’ : 75-76)

Qadiim digunakan sebagai pengkhabaran sifat Allah. Adapun Qadiim terbagi menjadi dua, yaitu Taqaddum Nisbiy dan Taqaddum Mutlaq.

Taqaddum Nisbiy ditujukan kepada makhluk, karena sifat ada mereka sebagiannya mendahului sebagian yang lain. Seperti manusia yang awalnya berbentuk sperma sebelum kemudian terbentuk wujudnya.

Taqaddum Mutlaq ditujukan kepada Allah, karena Dia ada tanpa ada permulaan.

Namun Qadiim ini hanya termasuk sifat Allah dan tidak termasuk ke dalam nama-Nya. Tidak boleh kita mengatakan “Yaa Qaadiim” atau “Yaa Subhaanal Qadiim”, karena tidak pengkhususan nama dalam hal ini. Nama-nama Allah bersifat tauqify dan perlu dalil.

Adapun penyebutan Qadiim dan Daaim bagi Allah tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi Allah menyebutkan: Al-Awwal wal Aakhir, seperti firman Allah taala,

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” . (Q.S Al-Hadiid : 3)

Perkataan Imam Ath-Thahawi “dan Dia tidak fana dan Dia tidak binasa” merupakan penguat perkataan beliau sebelumnya, yaitu “dan Dia kekal tanpa ada akhir”.

Sebagaimana kaidah Ahlus Sunnah dalam mensifat sifat Allah yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya

Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Allah kehendaki

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا يكون الا ما يريد

Artinya, “Tidak terjadi sesuatu apapun kecuali apa yang Dia kehendaki

Ini menunjukkan sifat iradah (kehendak) Allah. Allah berfirman,

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

Mahakuasa berbuat apa yang Dia kehendaki” (Q.S Al-Buruuj : 16)

Allah berbuat sesuai dengan yang Dia kehendaki. Dialah pencipta segala sesuatu, dan jika Allah menginginkan terjadi sesuatu, maka hal itu pasti terjadi.

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, maka jadilah ia.” (Q.S An-Nahl : 40)

Iradah Allah terbagi atas dua, yaitu Iradah Kauniyyah dan Iradah Syar’iyyah.

Iradah kauniyah adalah kehendak Allah yang pasti terjadi. Iradah kauniyah meliputi semuanya, tidak ada yang keluar dari kehendak Allah, baik yang dicintai-Nya maupun yang dibenci-Nya.

Iradah Syar’iyyah adalah kehendak Allah yang belum tentu terjadi. Iradah Syar’iyyah hanya meliputi hal yang dicintai Allah saja. Contoh Iradah Syar’iyyah adalah hidayah yang Allah berikan kepada seorang hamba, tapi diterima atau ditolaknya hidayah tersebut tergantung kepada hamba-Nya itu. Allah berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q.S Al-Baqarah : 185)

Kedua Iradah ini tidak akan bisa terjadi kecuali tanpa izin Allah, Allah berfirman,

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا, قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ

Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah” (Q.S Al-Hasyr : 5)

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 11 November 2018 / 3 Rabi’ul Awwal 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Kaidah Ahlus Sunnah dalam Menetapkan Sifat Allah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Tidak Ada yang Sama Seperti Dia (Allah)

Melanjutkan perkataan Imam Ath-Thahawi dalam Aqidah Ath-Thahawiyah, beliau berkata

ولا شيء مثله

Artinya: “Tidak ada yang sama seperti Dia (Allah)

Ini adalah kalimat yang menunjukkan penafian bahwa ada yang semisal dengan Allah. Dalil dari hal ini adalah,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Q.S Asy-Syura : 11)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (Q.S Al-Ikhlas : 4)

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا

Karena itu janganlan kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” (Q.S Al-Baqarah : 22)

Karena tidak ada yang sama seperti Allah, tidak boleh kita mengadakan tandingan bagi Allah, dan tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Ketika seorang mukmin mengimani Allah, maka diwajibkan padanya untuk mengimani kesempurnaan Allah, bahwa tidak ada yang semisal dengan-Nya, tidak boleh mensifatkan Allah seperti makhluk-Nya, dan tidak boleh pula menafikan sifat Allah.

Di antara firqah-firqah sesat yang keliru dalam menetapkan sifat Allah adalah Mu’aththilah dan Musyabbihah. Mu’aththilah, mereka menolak seluruh sifat Allah, sedangkan Musyabbihah, mereka menerima sifat Allah namun mereka samakan sifat Allah dengan sifat makhluk.

Ahlussunnah (dalam menetapkan sifat Allah), mereka berada ditengah dua firqah ini. Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki sifat, namun sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya.

Kemudian kelompok dari kalangan jahmiyah dan mu’tazilah yang mereka menafikan sifat Allah. Pada awalnya, mereka meyakini bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya. Mereka ingin mensucikan Allah dari tasbih (penyerupaan), namun dikarenakan tidak mengikuti manhaj salaf dalam memahami sifat Allah, akhirnya mereka terjatuh ke dalam bid’ah yang lain, yaitu menolak sifat2 Allah

Ahlussunnah telah membantah mereka. Jika mereka berhujjah untuk menafikan sifat Allah dengan mengatakan bahwa Allah tidaklah sama dengan makhluk-Nya, maka cukuplah ini sebagai dalil bagi mereka Allah punya sifat.

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (Q.S Asy-Syura : 11)

Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, ini adalah sifat Allah.

Dan untuk firqah yang menyamakan sifat Allah, Ahlussunnah pun telah membantah mereka. Allah berfirman

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

Dalil ini menunjukkan Allah bersifat hidup.

يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” (Q.S Ar-Rum : 19)

Dalil ini menunjukkan bahwa makhluk bersifat hidup pula.

Namun apakah sama sifat hidupnya Allah dengan sifat hidupnya makhluk? Tidaklah sama hidupnya Allah dengan hidupnya makhluk. Allah memiliki sifat hidup dengan kesempurnaan-Nya. Dia tidak mati, tidak mengantuk dan tidak tidur. Berbeda dengan hidup makhluk yang penuh dengan kekurangan.

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertakwalah kepada Allah yang Hidup, yang tidak mati” (Q.S Al-Furqan : 58)

لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

(Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur” (Q.S Al-Baqarah : 255)

Tidak ada yang Melemahkan-Nya

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا شيء يعجزه

Yang artinya “Tidak ada yang melemahkan-Nya

Ini adalah penafian dari sifat Allah yang Maha Kuat. Allah berfirman,

أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَكَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Dan tidaklah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul), padahal orang-orang itu lebih besar kekuatannya dari mereka? Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa” (Q.S Fathir : 44)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikitpun.” (Q.S Qaf : 38)

Kaidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah, ketika Allah mensifatkan diri-Nya dengan menafikan hal-hal yang menunjukkan kelemahan/kekurangan, maka itu berarti Allah menetapkan kebalikan sifat itu dengan kesempurnaan-Nya.

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak lemah, maka Allah bersifat Maha Kuasa

Jika Allah mensifatkan dirinya dengan tidak jahil, maka Allah bersifat maha Mengetahui

Tidak Ada Ilah (Sembahan) Selain Allah

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata,

ولا إله غيره

Yang artinya, “Dan tidak adalah ilah (sembahan) selain Allah

Dan ini adalah kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah). Allah berfirman,

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي

Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (Q.S Thahaa : 14)

لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ

(Yunus berkata) Tidak ada tuhan selain Engkau” (Q.S Al-’Anbiya’ : 87)

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia” (Q.S Ali-Imran : 18)

Tidak mengapa bila seorang hamba ingin berzikir kepada Allah, dia menggnakan kata ganti dhamir sebagai pengganti kata Allah. Apabila seorang hamba ingin berzikir kepada Rabb-Nya, maka dia bisa mengatakan “Tidak ada tuhan selain Engkau”, atau “Tidak ada tuhan selain Allah”, atau “Tidak ada tuhan selain Dia”.

Ketika seorang hamba berzikir kepada Rabb-Nya, hendaklah dia menggunakan dzikir yang lengkap. Tidak seperti golongan Sufi yang hanya berzikir dengan mengatkan “Allah… Allah…” atau “Hu.. Hu.. (maksudnya dari kata هو)”. Maka ini adalah cara berzikir yang batil. Dari akal, bahasa, ataupun syariat hal ini adalah hal yang salah. Tidak ada zikir dan keimanan disini, dan tidak memberikan manfaat ketika dilakukan seorang hamba.

Dalam bahasa arab, kata (إله) memiliki wazan (فِعال) yang maknanya (مَفعول), artinya yang di-. Misalnya (كتاب) )tulisan) maknanya (مكتوب) (yang ditulis). Maka (إله) maknanya (مألوه) dari kata (أَله   يأَلَه) yang maknanya (عبد) yang artinya menyembah.

Maka makna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang disembah selain Allah”. Namun makna ini kurang lengkap, yaitu masih kurang tauhid uluhiyahnya. Dan masih ada tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah. Seperti firman Allah dalam surah al-Kaafirun

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ , لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah” (Q.S Al-Kafirun : 1-2).

Maka makna yang sempurna dari (لا إله إلا الله) adalah (لا معبودَ بحق إلا الله) yang artinya “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah”

Wallahu ta’ala a’lam

Masjid at-Taubah Prona, 28 Oktober 2018 / 19 Safar 1440 H
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Pembagian Tauhid Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Dalam pembagian tauhid, sebagian ahlussunnah membagi tauhid menjadi 3 jenis, dan sebagian lagi membagi tauhid menjadi 2 jenis.

Pembagian Tauhid Menjadi 3 Jenis

Mereka yang membagi tauhid menjadi 3 jenis adalah; tauhid rububiyah, tauhid ibadah (uluhiyah) dan tauhid asma wa shifat.

Tauhid rububiyah maknanya: mentauhidkan Allah dalam ke-rububiyahan-nya. Allah-lah yang mengatur seluruh alam, seperti menciptakan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan. Dan tidak ada kesyirikan dalam af’al (perbuatan) Allah.

Tauhid uluhiyah ialah: mengesakan Allah dalam beribadah. Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia.

Tauhid asma wa shifat ialah: menetapkan bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi. Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan dan kaki, seperti pada dalil-dalil berikut.

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” (Q.S Az-Zumar: 67).

“(Neraka) jahanam masih saja berkata, ‘apakah ada tambahan; hingga akhirnya Tuhan Pemilik Kemuliaan meletakkan kaki-Nya, kemudian dia berkata, cukup, cukup, demi kemuliaan-Mu. Lalu neraka satu sama lain saling terlipat.”(H.R Bukhari dan Muslim)

Allah bersifat memiliki tangan dan kaki, tetapi tangan Allah tidaklah sama dengan tangan makhluk dan kaki Allah tidaklah sama dengan kaki makhluk. Tidak boleh kita samakan sifat Allah dengan sifat makhluk dan tidak boleh kita nafikan sifat yang dimiliki Allah. Dan sifat-sifat Allah (tangan, kaki) tidak bisa kita bayangkan atau kita perumpamakan.

Pembagian Tauhid Menjadi 2 Jenis

Ulama yang membagi tauhid menjadi 2 bagian, yaitu tauhid ma’rifah wa itsbat dan tauhid ilahiyah.

Tauhid ma’rifah wa itsbat (atau disebut juga tauhid fii ‘ilmi wa qauli atau tauhid ‘ilmi wa khabari) meliputi dua tauhid, yaitu tauhid rububiyah dan tauhid asma wa shifat. Kedua tauhid ini berkaitan dengan ‘ilmu, dan dalil yang menjelaskan kedua tauhid ini sifatnya khabar/informasi.

Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa (1). Allah tempat meminta segala sesuatu (2). (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (3). Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (4).” (Q.S Al-Ikhlash : 1-4)

Tauhid ilahiyah (disebut juga tauhid ibadah, atau tauhid iradah walqasdi wal ‘amali, atau tauhid thalabii) meliputi tauhid uluhiyah. Dalil yang menjelaskan tauhid ini bersifat perintah (insyaa’). Dalil dari tauhid ini misalnya adalah,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (Q.S An-Nisa: 36).

Pembagian-pembagian tauhid ini dilakukan oleh ulama ahlussunnah dengan menggunakan nash-nash syar’i.

Faedah Membagi Tauhid Menjadi Beberapa Bagian

Diantara ahli bid’ah ada yang mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi beberapa bagian ini adalah bid’ah. Perkataan mereka (para ahli bid’ah) ini adalah perkataan yang bathil. Memang benar bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada pembagian tauhid. Namun berdasarkan penelitian para ulama dari dalil Alquran maupun Sunnah, mereka membagi tauhid ini menjadi tiga untuk memudahkan kaum muslimin untuk memahami tauhid. Sebaik-baik ungakapan ialah ungkapan yang pernah dibuat oleh ahli fiqih (ulama). Sebagai contoh yaitu sholat, mereka membaginya menjadi rukun, wajib, dan sunnah. Contoh lain misalnya adalah pembelajaran yang terbagi menjadi tafsir, aqidah, dan fiqih. Pembagian ini tidak dikenal pada zaman dahulu, namun para ulama membagi-bagi hal ini untuk memudahkan kaum muslimin untuk mempelajari agamanya. Pembagian ini pun bukan sembarangan, akan tetapi didasari oleh dalil dan nash-nash syar’i.

Pembagian tauhid menjadi beberapa bagian memiliki faedah. Faedah yang pertama, pembagian tauhid memudahkan para penuntut ilmu memahami tauhid. Faedah yang kedua, pembagian tauhid menunjukkan bahwa hanya meyakini tauhid rububiyah saja tidak memasukkan seseorang kedalam Islam. Sebagaimana orang kafir quraisy yang meyakini kerububiyahan Allah, Allah berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ ۚ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. Maka mereka akan menjawab, “Allah.”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa?” (Q.S Yunus: 31).

Mereka (kafir quraisy) meyakini kerububiyahan Allah, tetapi mereka tidak hanya menyembah Allah dan mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah. Keyakinan mereka terhadap rububiyah Allah saja, tanpa disertai tauhid uluhiyah, tidak cukup untuk memasukkan mereka ke dalam Islam.

Kebathilan dalam Membagi Tauhid

Pembagian tauhid yang batil pernah dilakukan oleh orang-orang yang menyelisihi ahlussunnah. Seperti ahli kalam (filsafat) membagi tauhid menjadi tauhid Dzat, tauhid shifat, dan tauhid af’al. Mereka mengatakan bahwa Dzat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Shifat Allah tunggal, tidak ada yang seperti-Nya. Dan af’al Allah tunggal, tidak ada yang sepertinya. Pembagian tauhid ini adalah pembagian yang bathil. Penjelasannya tentang kesesatan pembagian ini cukup panjang, namun Syaikh Al-Baraak memberi kesimpulan bahwa: Kebathilan pembagian ini adalah mereka tidak memasukkan tauhid ibadah ke dalam pembagian tauhid mereka. Selain itu mereka memasukkan sifat Allah ke dalam pembagian mereka untuk menafikan sifat Allah. Sedangkan Ahlussunnah meyakini sifat Allah dan sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk.

Pembagian bathil lain misalnya adalah, pembagian tauhid menjadi rububiyah, uluhiyah, asma wa shifat, dan hakimiyah. Pembagian ini dilakukan oleh orang-orang khawarij. Mereka menambahkan tauhid hakimiyah, dengan tujuan mengkafirkan orang-orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Wallahu a’lam bishshawab

Masjid at-Taubah Prona, 21 Oktober 2018 / 12 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Muqaddimah Aqidah Ath-Thhawiyyah

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Muqaddimah

Berkata Abu Ja’far Al-Waraaq Ath-Thahawi rahimahullah:

“Ini adalah penjelasan aqidah ahlussunnah wal jama’ah di atas mazhab para fuqaha agama ini: Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kuufi dan Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Hasan Asy-Syaibanii -semoga Allah meridhai mereka semua-, dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama dan mereka beragama kepada Rabbul ‘aalamiin.”

Yang dimaksud beliau adalah aqidah Imam Abu Hanifah adalah seperti apa yang beliau tulis di buku ini. Imam Abu Hanifah memiliki aqidah ahlussunnah wal jamaah dan berada di atas mazhab yang lurus, dan aqidah beliau menyelisihi aqidah-aqidah sesat yang ada (qadariyah, mu’tazhilah, jahmiyah, dll).

Ketika beliau berkata “…dan apa-apa yang mereka yakini dari pokok agama…”, yang dimaksud dengan pokok agama adalah: enam pokok iman, (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kepada qadar), dan juga lima pokok islam (persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji).

Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih

Sebagian ulama memutlakkan ushuluddin dengan pembahasan i’tiqad atau aqidah saja, dan fiqih sebagai pembahasan furu’. Sebenarnya hal itu tidaklah demikian. Pembahasan ushuluddin mencakup ke dalam masalah aqidah dan masalah fiqih (amaliyah). Permasalahan aqidah seperti ushul sittah (rukun iman) dan permasalahan Fiqih seperti sholat, zakat dll, keduanya termasuk ke dalam pembahasan ushuluddin dan tidak boleh dipisahkan. Masing2 memiliki ushul dan furu’. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah mengingkari pemisahan ini. Karena aqidah memiliki ushul dan fiqih pun memiliki ushul.

Kemudian Imam Ath-Thahawi berkata “Kami berkata tentang tauhid Allah, kami meyakininya dengan taufiq-Nya: Sesungguhnya Allah itu esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yg serupa seperti-Nya, dan tidak ada yang bisa melemahkan-Nya, dan tidak ada sembahan selain Dia.”

Ahlussunnah meyakini Allah itu Esa

Yang dimaksud kami pada kalimat “Kami berkata…” maksudnya adalah Ahlussunnah. “Sesungguhnya Allah itu esa…”, ini adalah bentuk itsbat (penetapan), dan kalimat “…tidak ada sekutu bagi-Nya…” ini maksudnya adalah nafii (penafian). Syaikh Al-Albani berkata, “2 rukun di dalam kata laailaaha illallah, ialah (nafi) penafian dan (itsbat) penetapan. 2 rukun ini haruslah ada dalam setiap diri seorang muslim. Maksud penafian yaitu dia menafikan tuhan-tuhan yang lain, dan penetapan yaitu dia menetapkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah”.

Allah mentauhidkan diri-Nya maksudnya Allah mensucikan dirinya. Allah itu ahad (satu) di dalam rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma wa shifat. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mentauhidkan Allah di dalam 3 hal ini.

Menafikan 3 hal di atas akan membawa diri seseorang ke dalam kesesatan bahkan kekufuran. Diantara bentuk menafikan rububiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Qadariyah, mereka menafikan bahwa Allah mengetahui/menciptakan perbuatan buruk makhluknya. Mereka ini seperti kaum Majusi yang meyakini tuhan mereka ada 2, yaitu tuhan cahaya (yang menciptakan kebaikan) dan tuhan kegelapan (yang menciptakan keburukan). Diantara bentuk menafikan uluhiyah Allah adalah seperti yang dilakukan kaum Sufi, mereka meyembah Allah bersamaan dengan menyembah makhluk-Nya. Mereka ber-istighasah kepada para Nabi, orang shalih, wali, syaikh, dan menjadikan mereka sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah. Dan diantara bentuk menafikan asma wa shifat Allah, adalah dengan mensifati Allah sama dengan sifatnya makhluk.

Syaikh Al-Baraak berkata: “Tauhid adalah hal yg pertama sekali diyakini dan dipelajari,”. Inilah cara beragama yang benar. Tidak seperti orang-orang filsafat yang menjadikan nadzhar (penelitian/berfikir tentang ayat 2 Allah) sebagai hal yg pertama sekali. Mereka memikirkan ayat-ayat Allah terlebih dahulu sebelum meyakini-Nya. Seharusnya kita meyakininya terlebih dahulu kemudian setelah itu berfikir. Memang baik jika kita berfikir atau membahas ayat-ayat Allah tapi hal itu bukanlah yang pertama. Yang pertama adalah mengimaninya kemudian memikirkannya, maka dengan begitu hal ini akan menguatkan keimanan kita.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 14 Oktober 2018/ 5 Safar 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Biografi Imam Ath-Thahawi dan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Artikel ini adalah bagian dari seri Ringkasan Kajian Kitab Aqidah Ath-Thahawiyah Karangan Imam Ath-Thahawi Syarah Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak.

Biografi Imam Ath-Thahawi

Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salmah bin Abdul Malik al-Azady al-Mishri ath-Thahawi. Nama kunyah beliau adalah Abu Ja’far. Beliau lahir di Thaha, sebuah kampung kecil di Mesir. Sebagian ulama berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 239 H, sebagian lagi berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun 238 H. Namun, yang rajih ialah beliau lahir pada tahun 239 H. Diantara guru beliau adalah Yunus bin Abdul A’la, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dan Ahmad bin Abi ‘Imran. Beliau juga belajar dari paman beliau, Imam al-Muzaani (pengarang Syahrus Sunnah, murid langsung imam Syafi’i). Imam Ath-Thahawi berangkat ke Syam, dan belajar pada Abdul Hamid bin Abdul Aziz. Di Syam, beliau banyak belajar dari ahli hadits.

Awalnya bermazhab Syafi’i lalu berpindah ke mazhab Hanafi

Pada awalnya Imam ath-Thahawi bermazhab Syafi’i. Kemudian beliau berpindah ke mazhab Hanafi. Hal ini dikarenakan pada suatu ketika Imam Ath-Thahawi bertanya suatu hal kepada Imam Al-Muzaani (Imam Al-Muzaani bermazhab Syafi’i). Namun beliau kurang puas terhadap jawaban yang diberikan Imam Al-Muzaani, sehingga Imam Al-Muzaani marah kepada beliau dan berkata “Demi Allah, kau tidak akan mendapatkan apapun”. Beliau pun marah dan tersinggung, kemudian beliau pergi ke majelis Ibnu Abi Imran. Ibnu Abi Imran adalah seorang yang bermazhab Hanafi. Beliaulah yang berperan dalam perubahan mazhab Imam Ath-Thahawi. Adapun perubahan mazhab ini hanya dalam hal fiqih, dan bukan dalam hal aqidah.

Pujian ulama kepada beliau

  • Ibnu Yunus berkata: “Beliau adalah orang yang tsiqah, faqih, cerdas dan tidak ada yang seperti beliau.”
  • Imam Al-Khalili berkata: “Beliau memiliki banyak karangan dalam perkara hadits, dan beliau termasuk ahli hadits.”
  • Imam Adz-Dzahabi berkata: “Beliau adalah seorang muhaddits di Mesir, dan juga merupakan ahli fiqih.”
  • Imam Ibnu Katsir berkata: “Beliau adalah orang faqih, bermazhab Hanafi, dan memiliki karangan yang banyak.”

Imam Ath-Thahawi wafat di Mesir, pada malam kamis di bulan Dzulqa’idah, pada tahun 321 H.

Biografi Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak

Beliau bernama ‘Abdurrahman bin Nashir bin Baraak bin Ibrahim Al-Baraak. Beliau lahir di negeri Bukairiyyah, sebuah daerah di Qashim, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 1352 H. Ayah beliau wafat pada saat beliau berumur 1 tahun, lalu kemudian beliau tinggal di rumah pamannya bersama ibunya, dan beliau diajari agama dengan baik. Pada saat berumur 5 tahun, beliau safar bersama ibunya ke Makkah, lalu ibunya menikah dengan Muhammad bin Mahmud al-Barrak. Di usia 5/6/7 tahun, beliau sekolah di ar-Rahmaniyyah, dan pada saat kelas 2, Allah menakdirkan mata beliau menjadi buta, Pada saat itu beliau berumur 10 tahun.

Setelah Syaikh ‘Abdurrahman menyelesaikan sekolahnya (pada saat berumur belasan tahun), beliau kembali ke kampungnya. Beliau lalu menghafal al-qur’an bersama pamannya. Setelah selesai menghafal al-qur’an, beliau belajar bersama muqri’ (ahli qira’ah) di kampungnya. Pada tahun 1364/1365 H beliau mulai belajar dengan ulama di tempatnya. Beliau belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah as-Sabiil, beliau belajar [Kitab at-Tauhid] dan [Al-Jurumiyyah]. Kemudian kepada Syaikh Muhammad bin Muqbil, beliau belajar [ats-Tsalatsah al-Ushul].

Safar & Menetap di Mekkah selama 3 tahun

Kemudian Syaikh ‘Abdurrahman safar ke Mekkah pada tahun 1366 H dan menetap disana selama 3 tahun. Beliau mempelajari [Al-Jurumiyah] kepada imam besar Masjidil Haram, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad al-Khalifi. Disini beliau bertemu dengan murid-murid besar Syaikh Muhammad bin Ibrahim, diantaranya: Syaikh Shalih bin Husain al-’Ali al-’Iraqi, teman dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ketika Syaikh al-’Iraqi diangkat sebagai Mudir Madrasah ‘Azizah di negeri Dalm, beliau ingin membawa Syaikh ‘Abdurrahman bersamanya, agar mereka belajar kepada Syaikh bin Baz yg pada saat itu menjabat sebagai Qhadhi Dalm. Maka Syaikh ‘Abdurrahman safar pada tahun 1369 H, dan masuk ke Madrasah al Azizah. Disini beliau belajar kitab [Qawa’id Tajwid], dan pada tahun ini juga beliau melaksanakan haji. Setelah pulang beliau keluar dari Madrasah ‘Azizah, dan beliau bermulazamah bersama Syaikh bin Baz untuk mengfal matan-matan.

Syaikh ‘Abdurrahman tinggal di kota Dalm bersama Syaikh al-’Iraqi. Syaikh al-’Iraqi lah yang mengasuh beliau, dan disini beliau menghafal kitab [at-Tauhid], [al-Ushul ats-Tsalatsah], [al-Ajurumiyyah], [Qatrun Nida], dan [Alfiyah Ibnu Malik], dan Alfiyah Al’Iraqy dalam ilmu hadits. Beliau tinggal di kota Dalm sampai akhir tahun 1370 H.

Menuntut Ilmu Ma’had ‘Ilmi Riyadh

Kemudian ketika Ma’had ‘Ilmi dibuka di Riyadh pada tahun 1370 H, banyak murid Syaikh bin Baz yang masuk ke dalamnya. Maka Syaikh ‘Abdurrahman ikut masuk ke Ma’had ‘Ilmi, dan beliau mulai belajar pada bulan Muharram tahun 1371 H. Di Ma’had ‘Ilmi terdapat 2 marhalah (tingkat), tingkat pertama adalah Tamhidi (persiapan untuk pemula) dan Tsanawi (lanjutan). Saat itu tingkat tsanawi berlangsung selama 4 tahun, dan beliau selesai pada tahun 1374 H. Kemudian beliau melanjutkan ke Kuliah Syari’ah dan selesai pada tahun 1378 H. Pada saat kuliah beliau belajar kepada Syaikh bin Baz dan Muhammad Amin al-Syanqiti. Beliau belajar tafsir dan ushul fiqih pada mereka berdua.

Dan guru Syaikh ‘Abdurrahman yang paling besar pengaruhnya pada dirinya ialah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Beliau belajar kepada Syaikh bin Baz selama 50 tahun, dari tahun 1369 H sampai Syaikh bin Baz wafat pada tahun 1420 H. Dan Syaikh al-’Iraqi.

Diantara pekerjaan Syaikh ‘Abdurrahman Al-Baraak, beliau pernah menjadi mudir di Ma’had ‘Ilmi selama 3 tahun pada tahun 1379 H. Beliau kemudian dipindahkan untuk mengajar ke Kuliah Syari’ah pada tahun 1379 H dan disana beliau mengajar ilmu syari’ah. Ketika kuliah ushuluddin, beliau juga mengajar di ushuddin. Beliau memiliki karangan kitab diantaranya kitab aqidah dan mazhab-madzhab kontemporer. Pada tahun 1420 H, beliau keluar dari Kuliah Syari’ah dan beliau lebih sibuk berdakwah dan mengadakan ta’lim di masjid-masjid.

Sering di ajak Syaikh bin Baz Untuk ikut bergabung ke dalam Dewan Fatwa

Syaikh bin Baz sering mengajak Syaikh ‘Abdurrahman untuk ikut bergabung ke dalam dewan fatwa namun beliau selalu menolak. Namun beliau pernah masuk ke dewan fatwa untuk sementara, dimana saat itu Syaikh bin Baz sedang pergi ke Thaif. Setelah Syaikh bin Baz wafat, mufti saudi sekarang yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh pernah meminta Syaikh ‘Abdurrahman untuk masuk ke dalam Lajnah Daimah, namun Syaikh ‘Abdurrahman pun kembali menolak. Inilah bentuk ke-tawadhu-an beliau.

Wallahu a’lam Bishawab

Masjid at-Taubah Prona, 9 Oktober 2018/ 28 Muharram 1440 H
Ditulis Oleh: Tim Panitia KRK Aqidah Ath-Thahawiyah
Diperiksa Oleh: Ustadz Abu Muhammad Julham Efendi hafidzahullah ta’ala

Pemuda Yang Ingin Menikah Namun Masih Kuliah & Belum Bekerja

Pertanyaan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz ana mau tanya, saya punya saudara laki-laki yg masih kuliah tetapi dia pingin atau ada niat menikah. tetapi ada saudara yang lain kurang setuju, dengan alasan dia belum lulus kuliah, belum bekerja, biaya hidup masih minta dari kakak-kakanya, dan lain lain.

Pertanyaannya,

  1. Bagaimana hukumnya laki-laki yang mau menikah tapi dari segi ekonominya dia belum mampu?
  2. Bagaimana tentang kakaknya yang menahan agar dia tidak menikah dulu, dengan alasan tersebut. apakah berdosa?

sukron atas jawabnya

Jawaban:

Kalau dia takut terjatuh pada perbuatan zina, maka menikah hukumnya wajib baginya, diantara pendapat ulama yg menyatakan bahwa hukum menikah melihat kondisi seseorang.

Kondisi orang seperti ini harus di bantu, dan tidak boleh dihalang- halangi, walaupun dia masih kuliah dan belum punya pekerjaan. Maka hendaknya setelah ia menikah nanti, ia di tuntut untum bekerja dan mencari nafkah untuk istrinya.

Allah ta’la berfirman:

وَتَعَاوَنُ عَلىَ البَرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa.” (Qs.Al Maidah : 2)

Namun jika pemuda tersebut, dia belum di hukumi wajib menikah, dia tidak khawatir terjatuh dari perbuatan zina maka disini ia di hukumi sunnah, maka lebih baik di menahan diri untuk menikah, sampai ia benar- benar mampu.

Nabi ﷺ bersabda:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج

Wahai para pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia kalian menikah. (HR.Bukhari no.5066 dan Muslim no.1400)

Allahu A’lam.

Di Jawab Oleh:

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Orang Tua Berwasiat Untuk Mengerjakan Amalan Yang Tidak Ada Dalilnya

Pertanyaan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

 

Ustadz ana mau bertanya.
Orang tua ana umurnya sudah 50 lebih, tadi beliau berwasiat ke ana ketika orang tua ana meninggal orang tua ana ingin diadakan tahlilan (malam ke 1, 2, dst). Lalu ana bilang hal seperti itu tidak di contohkan oleh Rasulullahﷺ dan beliau tetap kekeh untuk menjalankan wasiat itu. Apa yg harus ana lakukan ya ustadz?
Jazakallah khairan

Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Pada pertanyaan di atas, ada dua point yang akan kita bahas, yaitu berkaitan dengan amalan wasiat membacakan dzikir atau alqur’an sebagai hadiah bacaan kepada mayyit, dan apakah wasiat tersebut harus ditunaikan.

Pertama:

Apa Hukum menghadiahkan Pahala Bacaan kepada Mayyit?

Allah ta’la berfirman :

وَأَنَّ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى

“Dan Bahwasanya seseorang tidaklah memperoleh selain apa yang mereka usahakan.” (Qs.An Najm: 39)

Pada asalnya tidak bermanfaat amalan orang yang masih hidup yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal, kecuali berdasarkan dalil yang mengkhususkan keumuman dalil di atas, dan jika tidak ditemukan dalil , maka dalil tersebut diatas tetap bersifat umum seperti hukum asalnya.

Oleh karenanya Nabi ﷺ tidak pernah menganjurkan ummatnya menghadiahkan pahala bacaan Al Qur’an kepada mayyit, tidak pula memberikan contoh dan petunjuk pada amalan tersebut.
Hal ini juga tidak didapati adanya atsar dari sahabat, yang kami ketahui-akan tetapi nabi ﷺ hanya memberi contoh agar meminta ampunan kepada orang yang telah meninggal dunia, beliau ﷺ bersabda:

استغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت، فإنه الآن يسأل

Mohon ampunlah ( kepada Allah) untuk saudaramu dan mintalah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya ia sedang di tanya.” (Shahih; HR.Abu Daud no. 3221)dan yang lainnya.

Dari penjelasan diatas, bahwa bacaan Al Qur’an tidak bermanfaat (sampai,pent) kepada si mayit, demikian yang menjadi pendapat mazhab Asy- Syafi’i yang berbeda dengan pendapat jumhur. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/ 667-668).

Kedua:

Apakah wasiat yang bertentangan dengan Syariat harus di tunaikan ?

Syaikh al-Albani dalam kitab Ahkamul Janaiz menyebut satu point bahwa wasiat kezhaliman yang batil itu tertolak (tidak boleh ditunaikan,pent)
Hal tersebut Berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang beramal yang tidak ada contohnya dari kami, maka ia tertolak.” (Riwayat yang di keluarkan oleh asy Syaikhan (Imam Bukhari dan Muslim,pent)dalam kitab as- Shahihain, ahmad dan selain mereka, lihat Al Irwa’ ghalil hal.88)).

Dan dalam hadits Imran bin Husain:

“Bahwasannya Ada seorang ketika akan meninggal berwasiat memerdekakan enam orang budaknya (ia tidak memiliki harta kecuali enam budak tersebut), kemudian datanglah ahli warisnya dari pedalaman, maka mereka mengabarkannnya kepada Rasulullah ﷺ perihal apa yang ia lakukan( wasiatkan,pent) orang tersebut, lalu beliau bertanya : ‘ apa benar ia melakukan hal tersebut?’ lebih lanjut, beliau ﷺ berkata :

لو علمنا إن شاء الله ما صلينا عليه قال : فأقرع بينهم فأعتق منهم اثنين، ورد أربعة في الرقِّ.

Seandainya aku mengetahui, insya Allah aku tidak menshalatkannya, kemudian mengundi diantara mereka
dan memerdekakan dua di antaranya dan mengembalikan empat budak lainnya.” (Diriwayatkan Ahmad ( IV/446) dan hadist senada diriwyatkan pula oleh Muslim. (lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh al Albani, hlm 16-17)).

Kesimpulan:

Wasiat mayit yang bertentangan dengan syariat maka tidak boleh di tunaikan. Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah,

Nabi Bersabda ﷺ:

لاطاعة في معصية الله إنما الطاعة في المعروف

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, hanya saja ketaatan itu dalam hal yang ma’ruf (kebajikan).”
(HR.Bukhari no. 7257 dan Muslim no 1840)

Apabila jika ada dalil- dalil yang khusus yang menununjukkan bahwa ada amalan yang bermanfaat untuk si mayit, maka boleh di lakukan wasiat tersebut, namun jika tidak maka hendaknya tidak di kerjakan.

Allahu A’lam.

Di Jawab Oleh:

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Haruskah Mengaku Dulu Pernah Berzina Saat Proses Taaruf?

Haruskah Mengaku Pernah Berzina?

Pertanyaan:

السلام عليكم ورحمة اللّٰه وبركاته

‘afwan ustadz, seorang akhwat (wanita) yg dulunya pernah berzina, kemudian dia melakukan ta’aruf dengan seorang ikhwan (pria). Apakah si akhwat ini mesti mengatakan kalo dulunya dia pernah berzinah?

Jawaban:

Jika Allah telah menutupi aibnya, maka tidak perlu dia membongkar lagi perbuatannya sendiri bahwa ia pernah melakukan zina, atau dia memberitahukan kepada si ikhwan yang akan melamarnya, bahwa ia sudah tidak perawan lagi.

Dan ikhwan tersebut tidak perlu mempertanyakan hal itu ,seperti ucapan “apakah kamu masih perawan?”.namun perlu di ketahui sang ikhwan hendaknya berhati- hati mencari pasangan hidup, dia harus mencari tahu dengan benar- benar siapa wanita yang hendak akan di nikahinya, jangan sampai mencari wanita yang berstatus pezina, namun jika si wanita yang pernah berzina tersebut sudah hijrah dan bertaubat maka tidak mengapa menikahinya, akan tetapi wanita tersebut harus melaksanakan dua syarat sebelum dinikahi.

Dalam hal ini wanita pezina ada dua syarat yang harus dia lakukan ketika dia akan menikah:

  1. Benar- benar bertaubat dengan taubat nasuha
  2. Bersih sekali haidh.

Didalam kitab Shahih Fiqih Sunnah di nyatakan, Tidak boleh menikah dengan wanita pezina, kecuali dua syarat :

Syarat pertama:

Bertaubat, karena taubat bisa menghilangkan sifat wanita yang haram dinikahi.
Nabi ﷺ pernah bersabda:

التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa, bagaikan seorang yang tidak berdosa.” (HR.Ibnu Majah, 4250, di hasankan oleh Syaikh al Albani dalam shahih Ibnu Majah 2/418)

Syarat Kedua:

Membersihkan Rahimnya sekali Haidh, Ini merupakan syarat dari Imam Ahmad dan Imam Malik sebagaimana hadist Nabi ﷺ:

حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

“wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan, dan tidak pula wanita yang tidak hamil hingga mengalami satu kali haid.” (HR.Abu Daud,2157,Ahmad 3/62).

Pensyaratan bersih dari haid agar rahimnya bersih terlebih dahulu sebelum di nikahi (digauli), demikian cara menikahi wanita pezina (yang telah bertaubat,pent).
(Lihat Shahih Fiqih Sunnah 3/95).

Kesimpulan:

Boleh menikah dengan wanita pezina dengan syarat ia benar-benar bertaubat dari perbuatnya, dan bersih rahimnya satu kali haidh. Dan bagi si ikhwan tersebut tidak perlu bertanya apakah ia sudah tidak perawan lagi, ini akan menyakiti hati wanita tersebut apabila ia sudah benar- benar bertaubat, namun jika wanita tersebut masih mengerjakan praktek zina, maka jangan nikahi wanita- wanita seperti ini.

Nabi ﷺ memerintahkan kita menikah dengan wanita yang shalihah lagi baik agamanya.

Nabi ﷺ bersabda:

فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Pilihlah agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (HR.Bukhari no.5090 dan Muslim no.1466)

 

Allahu A’lam.

Di Jawab Oleh:

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Bolehkan Hanya Puasa Di 10 Muharram (Asyura) Saja?

Pertanyaan :

Apakah boleh puasa ‘Asyuro saja tanpa puasa sebelumnya atau sesudahnya, karena sesungguhnya saya pernah membaca di salah satu Majalah Fatwa didalamnya membolehkan puasa ‘Asyuro saja, karena sesungguhnya hal itu makruh, Dimana orang-orang yahudi sekarang, sungguh mereka tidak puasa ‘Asyuro (10 muharram) lagi?

Jawaban :

Mengenai puasa ‘asyuro telah disebutkan di dalam hadist- hadist Rasulullah ﷺ,

Dari Abu Qatadah bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Shaum hari ‘Asyura’ saya berharap dari Allah dapat menghapuskan dosa-dosa pada tahun sebelumnya.” (HR.Tirmidzi 752; Abu Daud 2425,2426; Ibnu Majah 1738).

Dalam riwayat lain, dari Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Saat Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.(HR.Muslim,1134)

Berdasarkan pemaparan hadist diatas di anjurkan untuk puasa ‘Asyura pada tanggal 10 muharram dan puasa tasu’ah pada tgl 9 muharram, namun bagaimana kalau seorang ingin puasa ‘Asyuro saja, simak penjelasannya dibawah ini.

Pertanyaan di atas pernah di ajukan kepada Syaikh Muhammad shalih al Utsaimin

Pertanyaan :

هل يجوز صيام يوم عاشوراء وحده من غير أن يصام يوم قبله أو بعده، لأنني قرأت في إحدى المجلات فتوى مفادها أنه يجوز ذلك لأن الكراهة قد زالت أن حيث اليهود لا يصومونه الاۤن؟

Apakah boleh puasa ‘Asyuro saja tanpa puasa sebelumnya atau sesudahnya, karena sesungguhnya saya pernah membaca di salah satu Majalah Fatwa didalamnya membolehkan puasa ‘Asyuro saja, karena sesungguhnya dimana orang-orang yahudi sekarang mereka tidak puasa ‘Asyuro (10 muharram)?

Jawaban :

كراهة إفراد يوم عاشوراء بالصوم ليست أمراً متفقاً عليه بين أهل العلم، فإن منهم من يرى عدم كراهة إفراده، ولكن الأفضل أن يصام يوم قبله أو يوم بعده، والتاسع أفضل من الحادي عشر، أي من الأفضل أن يصوم يوماً قبله لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع”، يعني مع العاشر.، وقد ذكر بعض أهل العلم أن صيام عاشوراء له ثلاث حالات: الحال الأولى: أن يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده. الحال الثانية: أن يفرده بالصوم. الحال الثالثة: أن يصوم يوماً قبله ويوماً بعده. وذكروا أن الأكمل أن يصوم يوماً قبله ويوماً بعده، ثم أن يصوم التاسع والعاشر، ثم أن يصوم العاشر والحادي عشر، ثم أن يفرده بالصوم. والذي يظهر أن إفراده بالصوم ليس بمكروه، لكن الأفضل أن يضم إليه يوماً قبله أو يوماً بعده.

Makruh Hukumnya hanya puasa ‘Asyuro (10 muharram) saja, akan tetapi perbuatan itu bukanlah perkara yg disepakati diantara para ulama, karena sebagian mereka memandang, perbuatan tersebut (puasa 10 muharram) saja tidak makruh, akan tetapi yang lebih utama adalah puasa sebelumnya atau sesudahnya, puasa tasu’ah (9 muharram) lebih afdhal dari 11 muharram, dan yg paling utama adalah puasa satu hari sebelumnya,sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

“Seandainya tahun depan aku masih hidup, niscaya saya benar-benar akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” ( HR.Muslim,1134)

(Puasa tasu’ah) yaitu dibarengi setelah itu puasa ‘asyuro (10 Muharram)

Dan sesungguhnya disebutkan oleh sebagian para ulama bahwa puasa ‘asyuro ada 3 Keadaan (kondisi) :

  1. Kondisi pertama : Puasa sebelumya atau sesudahnya.
  2. Kondisi kedua : Puasa A’syuro saja (10 muharram).
  3. Kondisi ketiga : Puasa sebelumya dan sesudahnya.

Mereka menyebutkan bahwasanya yang paling sempurna adalah (puasa ‘Asyuro) di kerjakan puasa sebelumnya dan sesudahnya, kemudian puasa tasu’ah (9 muharram) dan puasa ‘Asyuro (10 muharram), kemudian puasa (10 muharram) dan puasa ‘Asyuro ( 11 muharram). Kemudian hanya puasa A’syuro saja (10 muharram ).

Dan yang tampak bahwa puasa ‘Asyuro saja (10 muharram ) hukumnya tidaklah makruh, akan tetapi yang utama diiringi puasa sebelumnya atau sesudahnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasail, oleh Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin, Kitab shiyam) [ http://iswy.co/e3ldj]

Demikian pembahasan diatas semoga Allah ta’la memudahkan kita mengamalkannya.

Allahu ‘alam.

Dijawab oleh
Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Adab-Adab Malam Pertama Pernikahan Yang Sesuai Sunnah

Apa sajakah Adab-adab Malam Pertama Yang Sesuai Sunnah nabi ﷺ

Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustadz,

Ustadz, bagaimana urutan-urutan pada saat sebelum melakukan hubungan intim (malam pertama) yang benar atau sesuai sunnah.

Mohon penjelasannya

Jazakallahu khairan

Jawaban:

Seorang yang akan menikah hendaknya mengetahui adab-adab malam pertama, agar menghadirkan suasana yang romantis kepada pasangannya, tentunya dalam memasuki malam pertama harus sesuai dengan syariat islam.

1. Suami mengucapkan salam kepada istri

Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha

أن النبي لما تزوجها، فأراد أن يدخل عليها، سلّم

“bahwa nabi ﷺ menikah dengannya, ketika beliau ingin masuk menjumpainya, beliau mengucapkan salam.” [Akhlaqun Nabi Oleh Abul Syaikh (199) dengan sanad hasan].Lihat juga Adabuz Zifaf hlm, 92 oleh syaikh Al Albani.

2. Suami bersikap Lemah lembut dengan menyuguhkan sesuatu kepada istrinya baik itu berupa minuman atau manisan

Dari Asma’ binti Yazid berkata, Sesungguhnya aku ketika merias aisyah untuk Rasulullah ﷺ, aku hampiri beliau aku ajak beliau untuk melihat dandanan aisyah, lalu beliau datang dan duduk di samping aisyah, kemudian aku beri beliau cangkir besar yang berisi susu, lalu beliau minum, kemudian beliau beri kepada aisyah, maka aisyah menundukkan kepalanya dan malu, berkata asma’ : akupun memamfaatkan kesempatan ini, dan aku katakan kepadanya :

خذي من يد رسول الله فأخت وشربت شيئا

Ambillah dari tangan Rasulullah ﷺ ,maka iapun mengambilnya dan meminumnya sedikit ( HR. Ahmad 6/452).

3.Meletakkan Tangan diatas kepala istri dan berdo’a untuknya

Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ :

إذا تزوج أحدكم امرأة أو اشترى خادما فليأخذ بناصيتها، وليسم الله عزوجل، وليدع بالبركة، وليقل : اللهم إني أسألك من خيرها وخير ما جبلتها عليه، وأعوذ بك من شرها وشر ما فيها وشر ما جبلتها عليه

Apabila salah seorang dari kaliam menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak wanita maka peganglah ubun-ubunnya dan menyebut nama Allah azza wa jalla ,dan berdo’alah minta keberkahan, ucapkanlah: “Ya Allah aku memohon kepadamu dari kebaikan dirinya dan kebaikan yang kau ciptakan kepadanya, dan aku berlindung kepadamu dari keburukannya dan keburukan yang kau ciptakan padanya.” (HR.Abu Daud 2160 ,Ibnu Majah no 1918 dengan sanad Hasan)

4.Shalat Dua Rakaat

Yang demikian itu dari hadits abu sai’d maula abu asyad, dia berkata aku menikah dahulu aku berstatus budak, kemudian aku mengundang beberapa orang sahabat Nabi ﷺ diantaranya, Abdullah bin Mas’ud, Abu dzar dan Hudzaifah Radhiallahu ‘anhum, azan berkumandang dan abu zar langsung maju ke depan, yang lain hadir berkata : tunggulah, ia menjawab bukankan seharusnya begini, mereka menukas : ya.

Abu said melanjutkan: aku maju bersama mereka, padahal aku adalah budak belian, lantas mereka mengajariku dan berkata:

إذا دخل عليك أهلك فصلِّ ركعتين ثم سل الله من خير ما دخل عليك وتعوَّذ به من شره، ثم شأنك وشأن أهلك

“Apabila istri datang, maka shalatlah dua rakaat, kemudian mintalah kepada Allah yang terbaik dari sesuatu yang masuk kepadamu dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukannya, selanjutnya terserah kamu dan istrimu.” (Syaikh albani Menisbatkan hadits ini pada ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, lihat adabu zifaf 94)

5. Dianjurkan sebelum menemui istri bersiwak terlebih dahulu agar mulut bersih

Dari Syarih bin Hani berkata ; aku bertanya kepada Aisyah radhiallahu ‘anha;

بأي شيء كان النبي ﷺ

dengan apa Nabi ﷺ memulai masuk kedalam rumahnya, aisyah menjawab : dengan bersiwak (HR.Muslim no.253)

6. Menyebut Nama Allah dan berdo’a ketika Akan Berhubungan intim.

Dari Abdullah bin Abbas berkata; Nabi ﷺ  bersabda :

Setiap orang dari kalian kalau saja ketika mendatangi istrinya mengucapkan:

اللهم جنبني الشيطان، و جنب الشيطان ما رزقتنا، ثم قدر بينهما في ذلك -أو قضى ولد- لم يضره شيطان أبدا

“Ya Allah jauhkan aku dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau anugrahkan kepada kami”, kemudian jika keduanya mendapatkan anak, maka setan tidak memudharatkan selama-lamanya. (HR.Bukhari no.5165 dan Muslim 1434).

Allahu A’lam.

Di Jawab Oleh:

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Referensi:

1.Adabu Zifaaf Oleh Syaikh Al Albani ،cet. Maktabah Islamy
2.Shahih Fiqih Sunnah Oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, cet. Maktabah Tauqifiyah.

Hukum Menutup Rahim Untuk Mencegah Kehamilan

Assalamualaikum Ustadz, Bagaimana jika seorang istri menutup rahim untuk mencegah kehamilan sudah sekitar 10 tahun, tetapi baru saja tahu hukumnya sekarang.

جزاك اللهُ خيرًا

Jawaban:

Menutup atau mencegah kehamilan secara total ataupun dengan diangkat rahimnya agar tidak hamil lagi selama-lamanya maka ini tidak ada khilaf tentang Keharamannya. Atau dia tidak mau hamil, khawatir takut anaknya kelak akan makan bersamanya, takut sempit rezekinya atau dia takut miskin, maka perbuatan ini jelas di haramkan, karena dia telah berburuk sangka kepada Allah ta’la, padahal Allah yang memberikan rezeki kepada mereka.

Allah ta’la berfirman:

وَلَاتَقْتُلُوْا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإيّاكُمْ

“Janganlah kamu membunuh anak- anakmu karena takut miskin, kamilah yang memberi rizki kepada mereka dan kepada kalian.” (Qs.Al Isra : 31)

Namun jika kehamilan itu bisa menyebabkan dia resikonya meninggal atau yang semisalnya, maka tidak mengapa ia menutup rahim atau mengangkatnya agar tidak hamil untuk selama-lamanya, dan ini dilakukan hanya dalam kondisi darurat.

Sebagaimana kaedah fiqih menyatakan

الضرورة تبيح المحظورات

Kondisi Darurat atau terpaksa membolehkan hal-hal yang dilarang (yang semula diharamkan).

Adapun mencegah atau menutup sementara, baik itu dengan spiral, pil anti hamil dan lainnya untuk menjaga jarak kelahiran, maka hal ini sama hukumnya seperti ‘azl (Mengeluarkan sperma diluar farji istri) maka hukumnya adalah makruh.

Dalam kitab Shahih Fiqih sunnah di sebutkan, Dari Jabir ,bahwasannya ada seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ ,dia berkata:

Sesungguhnya saya memiliki budak wanita ,dan saya berbuat ‘azl kepadanya, kemudian Rasulullah ﷺ bersabda :

إنّ ذلك لن يمنع شيئا أراده الله

“Sesungguhnya hal itu tidak bisa menolak apapun yang di kehendaki Allah.” (HR.Muslim no.1439)

Dalam riwayat lain:

اعزل إن شئتَ، فإنه سيأتيها ما قُدِّرَ له

“Ber ‘azl lah jika kamu mau, karena sesungguhnya akan datang kepadanya, apa yang telah di tentukan oleh Allah ta’la untuknya.”

Dan dari Jabir juga beliau berkata:

كنا نعزل على عهد رسول الله ﷺ  والقرآن ينزل

Kami melakukan ‘azl pada zaman Nabi sementara Al Qur’an turun kala itu. (HR.Bukhari no.5208 dan Muslim no.1440).

Dari dalil- dalil diatas menunjukkan bahwa melakukan ‘azl hukumnya makruh (Lihat Shahih Fiqih Sunnah 3/189-190)

Kesimpulan:

haram hukumnya mengangkat rahim menutup atau mencegah Hamil secara total, kecuali darurat yang dapat menyebabkan kehilangan nyawa atau yang semisalnya.

Adapun jika anda telah melakukannya dan baru tau sekarang, maka bertaubatlah kepada Allah ta’la dan perbanyaklah istighfar kepada-Nya, sesungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penerima Taubat.

Adapun mencegah kehamilan sementara, untuk menjaga jarak kehamilan, maka hukumnya adalah makruh, dan lebih utama meninggalkannya, karena nabi ﷺ bangga dengan umatnya yang banyak , Nabi ﷺ bersabda :

تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah wanita- wanita yang penyayang dan subur (banyak keturunan) karena sesungguhnya aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya kalian.” (HR. Abu Daud no.2050 dan Nasai’ no 3227 dan yang lainnya)

Allahu A’lam

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Jika Ayah Berqurban Apakah Larangan Bercukur & Potong Kuku Berlaku Bagi Anak & Istrinya ?

Pertanyaan :

Ayah saya qurban dengan 1 ekor sapi. Apakah larangan cukur dan potong kuku hanya untuk ayah saya atau apakah ibu saya dan abang – abang saya serta saya tidak boleh cukur dan potong kuku juga. Mohon bantuannya ?

Jawaban :

Dari Ummu Salamah bahwa Nabi ﷺ bersabda:

َ إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Jika telah tiba sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.”( HR.Muslim no 1977,Abu Daud 2791)

Didalam penjelasan hadist di atas berkata Imam Nawawi rahimahullah :

( إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره وبشره شيئا )

Jika telah tiba sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.

، وفي رواية : ” فلا يأخذن شعرا ولا يقلمن ظفرا ” ،

Dalam satu riwayat : “maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun”

واختلف العلماء فيمن دخلت عليه عشر ذي الحجة وأراد أن يضحي ،

Ulama berbeda pendapat bagi orang yang memasuki 10 Dzulhijjah dan ingin berkurban.

فقال سعيد بن المسيب وربيعة ، وأحمد وإسحاق وداود وبعض أصحاب الشافعي : إنه يحرم عليه أخذ شيء من شعره وأظفاره حتى يضحي في وقت الأضحية ،

Sai’d bin Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Syafi’i menyatakan : Haram bagi orang yang ingin berkurban mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun sampai binatang kurbanya disembelih.

وقال الشافعي وأصحابه : هو مكروه كراهة تنزيه وليس بحرام ،
وقال أبو حنيفة : لا يكره ،

Berkata imam Syafi’i dan pengikutnya : Makruh Tanzih ( meninggalkan yang tidak baik/ tidak disukai ), bukan haram.
Berkata Abu hanifah : Tidak Makruh

وقال مالك في رواية : لا يكره ، وفي رواية : يكره ، وفي رواية : يحرم في التطوع دون الواجب ، واحتج من حرم بهذه الأحاديث ،

Berkata imam Malik : Tidak Makruh, dalam riwayat lain : Makruh.
(Al Minhaj syarhu shahih muslim bin Hajjaj ,Shahih Fiqih sunnah 2/375).

Dari penjelasan di atas, hanya bagi orang berkurban saja yang tidak boleh memotong kuku, rambut dan bulu-bulu lainnya dari tanggal 1 s/d 10 Dzulhijjah, atau sampai binatang kurbannya di sembelih.

Allahu a’lam.

Dijawab Oleh
Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Bolehkah Panitia Qurban Menerima Bagian Daging Qurban ?

Pertanyaan :

Assalamualaikum admin, tadi saya ikut dalam kepanitiaan qurban sebagai anggota di salah satu seksi. Selesai acara, saya dikasi bagian dari daging qurban tersebut. Apakah saya boleh menerimanya ?

Jawaban :

Panitia Qurban hanya mewakili shahibul Qurban untuk membantu proses pemotongan, maka panitia yang membantu proses pemotongan tersebut termasuk tukang jagal, kalau anda (penanya) menerima daging tersebut berupa upah dari perbuatan anda karena membantu proses pemotongan maka itu terlarang, berdasarkan dalam satu riwayat dari ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata:

َ أَمَرَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى الْبُدْنِ وَلَا أُعْطِيَ عَلَيْهَا شَيْئًا فِي جِزَارَتِهَا

“Nabi ﷺ memerintahkanku agar aku berada (menyaksikan hewan qurbannya) dan membagi-bagikan qurban namun aku tidak boleh memberikan apapun dari hewan qurban itu kepada tukang jagalnya”. (HR.Bukhari,no 1617)

Perintah Nabi di atas kepada Ali bin abi thalib menjelaskan bahwa tidak boleh memberi upah berupa daging kurban kepada tukang Jagal.

Adapun jika diberi sebagai hadiah, atau sedekah maka dibolehkan

Berdasarkan dalam satu riwayat,

Dari Atha bin Yasar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari, bagaimana kurban yang dilakukan pada masa Rasulullah ﷺ?”, ia menjawab;

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Seorang laki-laki menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, mereka makan daging kurban tersebut dan memberikannya kepada orang lain. (HR.Tirmidzi,no 1505)

Kesimpulan

jika panitia diberi daging Qurban sebagai upah dari pemotongan hewan Qurban tersebut, maka itu terlarang, karena hal itu termasuk jual jasa dikarenakan bayarannya berupa daging yang mereka sembelih, namun apabila pemberian itu sebagai hadiah atau sedekah dari shohibul Qurban, maka di bolehkan.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh
Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar

Pertanyaan Seputar Hukum Layanan BPJS Kesehatan

Pertanyaan

Assalamualaikum, Ana ingin menanyakan perihal hukum BPJS, di salah Satu kajian ustadz Erwandi mengatakan denda BPJS Kesehatan yg membuat BPJS Haram, apakah setelah denda di hapus seperti yg Ada di link berikut https://m.liputan6.com/health/read/2830556/tanya-bpjs-kesehatan-berapa-denda-bila-nunggak-bpjs

Jawaban

بسم الله

والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله ومن والاه. أما بعد

BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga perwakilan bentukan pemerintah untuk mengelola dana yang ditarik dari masyarakat yang menjadi peserta dengan nominal yang disepakati dan untuk mengurangi/mengatasi dampak resiko kesehatan yang terjadi dari para peserta tersebut sesuai dengan ketentuan yang disepakati. BPJS Kesehatan telah memenuhi Akad Asuransi Syariah karena beberapa alasan berikut:

  • Akadnya adalah akad hibah yaitu setoran pembayaran sejumlah dana secara cuma-cuma tanpa komersial (menentukan kepastian kembali dana sekaligus keuntungannya). Akad ini bertujuan untuk saling tolong menolong meringankan beban biaya perobatan/ tanggungan kesehatan.
  • Pemerintah sebagai perwakilan yang mengelola dana ini tidak mengambil keuntungan dari dana yang dikumpulkan. Bahkan bersedia menutupi kekurangan dana yang terkumpul atas klaim yang ada.
  • Dana yang terkumpul beserta keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat yang menjadi peserta/anggota.

Atas dasar beberapa alasan inilah Maka dana ganti rugi atas tanggungan resiko kesehatan yang diberikan tidak menjadi Riba Jual-beli dan ghoror/ketidakjelasan dana yang tertanggung tidak berpengaruh pada akad hibah seperti ini. Demikian pula dugaan judi pada akad ini tidak terjadi karena murni akad ini akad hibah.

Dihapusnya denda keterlambatan bayar setoran tanpa membayar kelebihan/ tambahan dana kecuali beban biaya premi yang tertunggak secara kumulatif. Ini juga menjadi bukti bahwa BPJS Kesehatan terbebas dari Riba Hutang-Piutang.

والله تعالى أعلم بالصواب وهو الموفِّق.

Bila ada info lain atau perkembangan terkait BPJS Kesehatan, mohon diberitahukan.

Ustadz Abu Aliyah Pembina Grup Whatsapp ❌ RIBA SUMUT ikhwan & akhwat

Pertanyaan

Bismillah, bagaimana dengan ini?

Jika dalam waktu ≤ 45 hari sejak status kepesertaan BPJS Kesehatan aktif, peserta tersebut menjalani rawat inap di rumah sakit, maka peserta tersebut wajib membayar denda sebesar 2,5% dari biaya pelayanan, dikali bulan tertunggak (maksimal 12 bulan) atau maksimal Rp 30.000.000,-

Bukankah dendanya masih ada? Mungkin yg ini ada baiknya dihapuskan juga atau langsung disebutkan kalau kepesertaan baru akan aktif setelah 45 hari setelah iuran tertunggak dilunasi.

Tambahan atas jawaban ini

بسم الله

والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن والاه وبعد

Berdasarkan keterangan dari info resmi ini, maka denda keterlambatan bayar tersebut diberlakukan dalam asuransi BPJS Kesehatan ini pada akad ke-2 yang merupakan akad baru yang sejatinya akad terpisah dari akad pertama, yaitu setelah peserta mengajukan pengaktifan kembali keanggotaannya yang sebelumnya dinon-aktifkan/dicabut karena menunggak bayar lebih dari 1 bulan sejak tanggal 10 jatuh temponya.
Jadi kesimpulannya:

Akad Riba (Tepatnya Riba Hutang-Piutang) itu terjadi dalam asuransi BPJS Kesehatan ini sesungguhnya ada pada akad ke-2 yang terpisah dari akad yang pertama, bukan pada akad yang pertama. Sehingga bila ada seseorang yang mendaftar menjadi peserta asuransi BPJS ini dengan mengambil dan menyepakati akad pertama saja maka sesungguhnya ia terlepas dari akad Riba.

Tentunya ini berbeda hukumnya bila adanya denda keterlambatan diberlakukan di akad pertama. Walaupun peserta berkomitmen untuk terus bayar tepat waktu sehingga ia tidak mendapatkan denda keterlambatan maka secara praktek ia tidak melakukan riba namun secara lisan/tulisan ia menyepakati akad riba. Maka ia tetap melakukan dosa pelanggaran larangan riba.

والله تعالى أعلم بالصواب وهو الموفِّق.

Bila ada info lain atau perkembangan terkait BPJS Kesehatan, mohon diberitahukan.

Ustadz Abu Aliyah Pembina Grup Whatsapp ❌ RIBA SUMUT ikhwan & akhwat

Tanda-Tanda Meninggal Husnul khatimah (Bagian 1)

Siapa pula diantara kita yang tidak ingin bahagia dunia dan akhirat. Siapa pula diantara kita yang tidak ingin wafat dalam keadaan husnul Khatimah. Siapa pula diantara kita yang tidak ingin masuk surga Allah ta’la.

Dan tentunya sebelum menemui alam akhirat, kita akan bertemu dengan ajal yaitu kematian.

Allah ta’la berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (Qs.Al Imran : 185)

Dan kematian seseorang itu berbeda- beda kondisinya, berikut ini ada beberapa kondisi kematian seseorang, yang merupakan termasuk tanda-tanda husnul khatimah.

Husnul Khatimah adalah menutup kehidupan dengan kematian yang baik, nabi kita ﷺ telah menjelaskan dalam beberapa riwayat memberikan penjelasan tentang seseorang mengakhiri hidup dengan kematian yang baik, diantaranya :

1. Mengucapkan kalimat syahadat.

Nabi ﷺ bersabda:

من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة

“Barang siapa yang akhir ucapannya “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah” niscaya dia masuk surga.” (HR.Hakim, Syaikh Al Al Bani berkata sanadnya hasan, lihat Ahkamul Janaiz hlm 48)

Dalam riwayat lain di sebutkan, dari Mu’adz bin Jabal dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda :

 مَا مِنْ نَفْسٍ تَمُوتُ تَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ الله ،صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجِعُ ذَلِكَ إِلَى قَلْبِ مُوقِنٍ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهَا

“Tidaklah jiwa yang meninggal dunia dengan bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak disembah dengan benar) selain Allah dan saya adalah utusan Allah, serta ucapannya itu muncul dari hati yang yakin, melainkan Allah akan mengampuninya.”(HR.Ibnu Majah 3796 dan Ahmad 20993, di shahihkan oleh syaikh al Al Bani dalam Shahihah 2278)

2. Mengeluarkan Keringat di Dahi.

Dari Qatadah dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, Bahwa ia berada di Khurasan, ia menjenguk saudaranya yang sakit, ia menemuinya tengah sekarat dan dahinya berkeringat, ia berkata: Allaahu Akbar, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِينِ

“Orang mu`min meninggal dunia dengan (mengeluarkan) keringat didahinya.” (HR.Ahmad 5/357,360 ,An Nasâi 1/259 dan yang lainnya).

3. Meninggal Pada Hari Jum’at atau malam jum’at.

Dari Abdullah bin ‘Amr berkata; Rasulullah ﷺ bersabda :

َ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR.Ahmad 6294 ,Tirmidzi 1074)

4. Meninggal Karena Tenggelam.

5. Meninggal karena Terkena wabah Tha’un.

6. Meninggal karena Sakit Perut.

7. Meninggal karena tertimpa reruntuhan.

8. Meninggal Syahid di jalan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الشهداء خمسة : المطعون، والمبطون، والغرق، وصاحب الهدم والشهيد في سبيل الله

“Syuhada itu ada lima : orang yang meninggal karena terkena wabah Ta’un, karena Sakit Perut, karena tenggelam, tertimpa reruntuhan, dan syahid fi syahid di jalan Allah” ( HR. Bukhari no.2829 dan Muslim 1914).

Semoga Allah Mewafatkan kita dalam keadaan Husnul Khatimah. آمين

Abu Yusuf Dzulfadhli Munawar, Lc

Referensi: Ahkamul Janaiz Oleh Syaikh Muhammad Nasaruddin al Abani rahimahullah.cet.Maktabah Ma’arif Riyadh.